• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mandor I merupakan pembantu asisten divisi dalam

menjalankan pengelolaan divisi. Mandor I bertanggung jawab langsung kepada asisten divisi. Mandor I bertugas membuat rencana kegiatan harian kebun, mengkoordinasikan kerja mandor-mandor, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan semua kegiatan kebun. Ketika asisten divisi berhalangan hadir, mador I bertugas mengisi posisi sementara asisten divisi. Mandor I berbagi tugas dengan asisten divisi dalam pengawasan kegiatan yang bersifat penting, misalnya pemupukan dan panen. Selain itu, mandor I aktif dalam mencari pemecahan masalah kebun terutama masalah transportasi.

Mandor panen. Mandor panen adalah petugas yang bertanggung jawab

penuh terhadap pelaksanaan dan pengawasan kegiatan panen. Mandor panen bertugas mengarahkan kegiatan panen agar berjalan baik dan bisa mencapai target panen, membuat rencana panen, membuat sensus buah harian, mengatur hanca pemanen, mengawasi mutu TBS yang dipanen, dan memastikan tidak ada buah matang tertinggal di pohon. Mandor panen melaporkan hasil kegiatan panen dalam bentuk Laporan Harian Hasil Panen (LHHP) yang berisi tentang blok yang

42

dipanen, luas panen, rotasi panen, jumlah tenaga kerja (SKU dan KHL), jumlah brondolan yang dipanen, dan prestasi kerja setiap pemanen.

Pada pelaksanaan di lapangan, masih terdapat kekeliruan dalam hal pengawasan oleh mandor panen. Masih terdapat buah matang yang masih tertinggal di pohon, pelepah tidak dirapikan di gawangan mati, dan brondolan tidak dipungut.

Mandor perawatan. Mandor perawatan bertugas dalam pelaksanaan

pengawasan kegiatan-kegiatan perawatan yang meliputi pemupukan, pengendalian gulma, pemeliharaan jalan dan jembatan, pemeliharaan TPH dan pengendalian hama dan penyakit. Tugas mandor perawatan umumnya sama untuk setiap jenis kegiatan perawatan, yaitu membuat rencana kegiatan perawatan, menyiapkan bahan, menyiapkan tenaga kerja, dan membuat laporan dalam buku mandor perawatan yang ditampilkan pada Lampiran 6.

Selama menjadi pendamping mandor, penulis mendampingi mandor pupuk dan mandor pengendalian gulma. Mandor pupuk menyiapkan tenaga kerja penabur pupuk yaitu tenaga KHL perempuan, tenaga muat pupuk KHL laki-laki, dan alat muat pupuk. Mandor pupuk memastikan kondisi lahan yang akan dipupuk dalam kondisi tidak banjir sehingga kegiatan pupuk tidak terhambat. Mandor pupuk mencatat kebutuhan pupuk dan membuat laporan hasil pemupukan yang berisi pupuk yang digunakan, luas areal pemupukan, dan jumlah tenaga kerja. Mandor pupuk mengawasi dan memastikan pupuk ditaburkan dengan benar.

Pada pelaksanaan pemupukan, sering ditemukan kekeliruan dalam pengawasan oleh mandor misalnya, masih terdapat pokok yang tidak dipupuk, pekerja membuang pupuk abu janjang karena berat dan dianggap tidak berharga mahal, dosis tidak sesuai standar, dan banyak pupuk tercecer di pinggir jalan ketika pekerja mengambil pupuk dari karung ke dalam ember.

Mandor semprot atau mandor pengendalian gulma bertugas dalam mengendalikan populasi gulma di divisi baik secara kimia maupun manual. Sebelum kegiatan pengendalian gulma dilaksanakan, mandor semprot mengecek kondisi lokasi. Mandor semprot menyiapkan tenaga penyemprot KHL perempuan sesuai kebutuhan dan menyiapkan herbisida sesuai kebutuhan yang telah

diinstruksikan oleh asisten divisi. Mandor semprot mengawasi dan mengarahkan jalannya pengendalian gulma agar berjalan baik dan benar. Setelah pekerjaan selesai, mandor menyampaikan laporan yang berisi jenis pekerjaan, jumlah tenaga kerja, lokasi pekerjaan, bahan yang digunakan, dan hasil pekerjaan.

Masalah yang ditemukan ketika penulis melaksanakan magang adalah mandor tidak mengecek terlebih dahulu kondisi lapangan sehingga tidak diketahui kondisi areal yang akan disemprot. Pada areal yang mengalami banjir, kegiatan semprot tidak bisa dilaksanakan. Masalah lain adalah kondisi nozzle aus dan terjadi kebocoran knapsack.

Krani transportasi. Krani transportasi adalah petugas yang bertanggung

jawab terhadap pengangkutan TBS dari TPH sampai PMKS. Krani transport bertugas mencatat jumlah TBS yang diangkut, berat TBS yang diangkut, mencatat prestasi kerja pemuat, mempersiapkan truk maupun traktor pemuat.

Krani transportasi bekerja di bawah pengawasan mandor I. Bersama mandor I, krani transportasi mengatasi permasalahan pengangkutan TBS seperti kebutuhan truk, pengangkutan buah restan. Kekeliruan yang sering terjadi di lapangan adalah brondolan di TPH tidak dipungut semua. Laporan hasil kerja krani transportasi berupa N o t a Ang k ut B ua h ( N AB ) seperti terlihat pada Lampiran 7.

Krani divisi. Krani divisi bertugas mencatat semua kegiatan administrasi di divisi. Data-data yang dikumpulkan dari laporan mandor-mandor dan krani transportasi dicatat ke dalam laporan Daily Work Program and Realization. Selain itu, krani divisi juga mencatat permintaan barang baik itu pupuk, herbisida, maupun bahan bakar alat transportasi. Krani divisi membukukan semua kegiatan divisi dalam bentuk laporan harian, bulanan, dan tahunan. Setiap hari krani divisi menyerahkan laporan Daily Work Program and Realization ke kantor besar untuk dimasukkan ke dalam laporan kebun.

Pendamping Asisten Divisi

Asisten divisi adalah pembantu manajer kebun (EM) yang bertanggung jawab penuh atas divisi yang dipimpinnya. Asisten divisi bertugas dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengevaluasian

44

semua kegiatan divisi. Semua kebijakan divisi diatur oleh asisten divisi berdasarkan Rencana Permintaan Dana Operasional (RPDO) yang telah disetujui oleh manajer kebun. Dalam menjalankan tugasnya, asisten divisi menerapkan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi masalah di divisi sehingga dana operasional divisi tidak melebihi anggaran dana yang telah ditetapkan.

Kegiatan sebagai asisten divisi dimulai pada pukul 06.00-06.15 WIB setiap hari kerja. Asisten divisi melakukan apel pagi dengan para mandor untuk menjelaskan rencana kegiatan pada hari yang bersangkutan dan mengevaluasi hasil kerja hari sebelumnya. Asisten divisi juga memeriksa Buku Kegiatan Mandor (BKM), memeriksa formulir permintan barang, dan memeriksa laporan hasil kerja mandor. Setelah selesai memeriksa administrasi kebun, asisten divisi melakukan pengawasan di lapangan. Hal ini untuk memastikan pekerjaan kebun berjalan lancar dan mengetahui permasalahan yang ada di kebun untuk selanjutnya mengatasinya.

Jenis Gulma

Jenis gulma yang tumbuh di suatu tempat berbeda-beda, tergantung faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Menurut Sastroutomo (1990), komunitas tumbuhan memperlihatkan adanya diferensiasi baik secara vertikal maupun horizontal. Setiap jenis tumbuhan tersebar dengan ketinggian tempat berbeda-beda dan tersebar pada lokasi dan jarak yang berberbeda-beda-berbeda-beda pula.

Untuk mengetahui kondisi gulma di suatu lahan, perlu dilakukan analisis vegetasi. Komunitas gulma dibedakan menjadi gulma di gawangan dan gulma di piringan. Untuk gulma di gawangan, data diambil dengan menggunakan metode kuadran berukuran 1 m x 1 m yang dilemparkan secara acak. Pelemparan dilakukan pada 5 gawangan pada setiap blok dengan setiap gawangan dilakukan pelemparan sebanyak 5 kali. Untuk gulma di piringan, data diambil dengan mencatat populasi gulma pada 5 gawangan untuk setiap blok dengan setiap gawangan diambil 10 pokok contoh secara acak.

Setiap individu yang ditemukan pada petak pengamatan dihitung jumlah masing-masing. Data persentase populasi gulma diperoleh dengan cara membandingkan antara jumlah individu suatu jenis gulma yang ditemukan pada semua petak pengamatan dengan total individu semua jenis gulma yang ditemukan pada petak. Jenis gulma yang ada di blok C13 dan B15 Divisi III disajikan pada Tabel 8.

Data pada Tabel 8 tentu belum bisa menggambarkan keadaan gulma yang sebenarnya di lapangan. Blok C13 dan B15 memiliki kedalaman yang berbeda-beda. Blok C13 memiliki kedalaman gambut antara 2-8 m, sedangkan Blok B15 memiliki kedalaman gambut 6 m sampai lebih dari 8 m. Hal ini tentu memiliki pengaruh terhadap kondisi gulma yang ada pada masing-masing blok.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunitas Gulma

Lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas gulma

adalah iklim terutama curah hujan. Daerah yang memiliki curah hujan tinggi memiliki pertumbuhan gulma yang cepat, beragam, dan kerapatannya tinggi.

46

Berdasarkan Schmidth-Ferguson, kebun PT JAW memiliki tipe iklim A dengan curah hujan 2 673.98mm/tahun.

Kondisi tanah, yang didominasi oleh tanah gambut, pada musim penghujan sangat basah. Hal ini menjadikan kebun PT JAW sebagai lahan yang baik bagi pertumbuhan gulma. Pertumbuhan gulma di kebun sangat cepat karena didukung oleh curah hujan yang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari kondisi gulma yang berat ketika pelaksanaan penyemprotan dan sudah tumbuh lagi dengan baik sebelum rotasi pengendalian gulma pertama selesai.

Tabel 8. Jenis-jenis Gulma di Blok C13 dan B15

No. Jenis gulma di gawangan Populasi

1 Nephrolepis bisserata 26. 6 % 2 Paspalum conjugatum 22. 4 % 3 Axonopus compressus 14. 9 % 4 Ottochloa nodosa 1. 3 % 5 Ageratum conyzoides 8. 7 % 6 Mikania micrantha 6. 2 % 7 Borreria alata 4. 9 % 8 Chromolaena odorata 3. 8 % 9 Melastoma malabathricum 1. 2 % Total 100.0 %

No. Jenis gulma di piringan Populasi

1 Nephrolepis bisserata 33. 6 %

2 Asystasia coromandeliana 31. 8 %

3 Kentosan (anakan sawit liar) 17. 3 %

4 Pteridium esculentum 11. 9 %

5 Paspalum conjugatum 5. 4 %

Total 100.0 %

Sumber : Pengamatan di Lapangan

Kultur teknis. Kegiatan teknis kebun yang berpengaruh terhadap

komunitas gulma adalah pengolahan lahan, pemupukan, dan pengendalian gulma sebelumnya. Pengolahan lahan berpengaruh terhadap penyebaran gulma.

Pemupukan berkaitan dengan daya saing gulma dalam penyerapan hara. Gulma di piringan akan tumbuh baik jika pemupukan dilakukan tanpa pembersihan gulma. Pengendalian gulma sebelumnya berkaitan dengan rotasi pengendalian gulma yang tepat. Jika rotasi dilakukan hanya 2 kali setahun, maka gulma sudah tumbuh berat sebelum satu rotasi selesai dilaksanakan.

Kondisi tanaman pokok. Kondisi tanaman pokok mempengaruhi

komunitas tanaman di bawahnya, yaitu gulma. Tanaman pokok yang baik memiliki tajuk yang saling menutup sehingga cahaya yang masuk ke permukaan tanah tidak banyak. Hal ini akan menghambat pertumbuhan gulma di bawah tajuk karena intensitas cahaya matahari kurang bagi pertumbuhan gulma. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa areal yang tajuk tanamannya sudah menutup rapat memiliki sedikit populasi gulma. Gulma tumbuh banyak di bagian luar gawangan karena penerimaan intensitas cahaya matahari lebih tinggi, sedangakan di dalam gawangan relative lebih sedikit.

Pertumbuhan tanaman pada lahan gambut memang tidak sebaik pada tanah mineral berkaitan dengan daya dukung tanah terhadap pertumbuhan kelapa sawit. Banyak pokok kelapa sawit yang tumbuh miring akibat fisik tanah tidak mampu menopang bobot tanaman.

Teknik Pengendalian Gulma Aplikasi Herbisida

Pengendalian gulma secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan herbisida. Menurut Moenandir (1993), herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan mematikan tumbuhan. Selanjutnya herbisida bisa diklasifikasikan menurut cara kerjanya menjadi herbisida kontak dan herbisida sistemik. Herbisida kontak bekerja pada bagian yang terkena herbisida dan tidak ditranslokasikan, sedangkan herbisida sitemik adalah herbisida yang ditranslokasikan ke jaringan tumbuhan.

Masalah keselamatan kerja kurang menjadi perhatian oleh para pekerja sendiri. Pekerja tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja penyemprotan, seperti pakaian khusus penyemprot dan masker. Pekerja menganggap perlengkapan tersebut menghambat kerja. Pakaian khusus

48

penyemprot tidak nyaman dipakai karena terasa panas. Masker khusus penyemprot dianggap menyulitkan pekerja bernafas. Meskipun sudah menyediakan, perusahaan tidak menekankan penggunaan perlengkapan tersebut karena pekerja tidak mau bekerja jika dipaksa menggunakannya.

Dosis. Untuk mendapatkan hasil semprot yang baik, perlu diperhatikan

dosis dan volume semprot yang dibutuhkan dalam pengendalian gulma. Manajemen PT JAW telah menetapkan dosis herbisida melalui perhitungan jumlah dosis dan volume semprot berdasarkan rekomendasi dari perusahaan. Kebutuhan herbisida perluasan dipengaruhi oleh umur tanaman dan luas bidang semprot gawangan. Berikut adalah contoh penentuan dosis herbisida Gramoxone 276 SL.

Dosis rekomendasi blanket = 1.5 l/ha

SPH (Stand Per Ha) = jumlah tanaman per ha = 135 pokok Jarak tanam dalam baris = 9.2 m

Diameter piringan = 5 m

Diameter tanaman = 0.8 m

Lebar jalan pikul yang disemprot = 1.2 m Rata-rata diameter tanaman = 0.8 m

Maka luas bidang semprot adalah luas piringan ditambah luas jalan pikul. L piringan/ha = (L lingkaran piringan - L areal tanaman) x SPH

= (πr2

- πr2) x 135

= (3.14 x (2.5 m)2 – 3.14 x (0.4 m )2) x 135 = 2578.85 m2

L jalan pikul = panjang jalan pikul x lebar jalan pikul

= x 1.2 m

= x 1.2 m

= 745 m2

L bidang semprot/ha = 2578.85 m2 + 745 m2 = 3323.85 m2

= x3323.85 m2

= 0.498 l, atau dibulatkan menjadi 0.5 l/ha.

Dosis yang digunakan tidak selalu tepat 0.5 l/ha, tergantung pada kondisi gulma. Akan tetapi, ketika penulis melaksanakan magang, perusahaan menekan penggunaan herbisida hingga dosis 0.4 l/ha untuk efisiensi biaya,. Hal ini sering menjadi masalah di lapangan.

Perusahaan menginginkan gulma bisa dikendalikan dengan dosis 0.4 l/ha, namun untuk kondisi gulma yang berat, dosis 0.4 l/ha tidak mampu menekan gulma. Mandor semprot sering memerintahkan penggunaan dosis 0.5 l/ha meskipun dengan risiko mendapat sanksi dari pimpinan. Penggunaan dosis yang melebihi anggaran biaya tersebut menyebabkan pembengkakan biaya pada realisasi penggunaan herbisida.

Tabel Lampiran 8 menunjukkan realisasi pengendalian gulma secara kimiawi di Divisi III PT JAW. Sebagian besar realisasi pengendalian gulma melebihi anggaran biaya penggunaan herbisida yang telah ditetapkan, yaitu dosis 0.4 l/ha, sedangkan penggunaan herbisida di lapangan sering mencapai 0.5 l/ha.

Volume semprot. Volume semprot per ha ditetapkan agar efisiensi

penyemprotan bisa tercapai. Volume semprot adalah banyaknya larutan yang dibutuhkan perluasan. Volume semprot berpengaruh terhadap penggunaan dosis herbisida. Jika volume semprot tidak memenuhi standar kebun, maka herbisida yang digunakan juga tidak sama dengan dosis yang telah ditetapkan.

Volume semprot yang digunakan dipengaruhi oleh kondisi jalan, kecepatan jalan, dan nozzle yang digunakan. Untuk mempermudah pekerjaan di lapangan, maka diperlukan kalibrasi volume semprot terlebih dahulu sehingga diketahui kebutuhan herbisida per knapsack. Berikut adalah contoh perhitungan standar volume semprot menggunakan nozzle hitam

V =

A = Ukuran lebar semprot rata-rata (m)

B = jarak yang ditempuh operator semprot per menit (m/menit) C = rata-rata output semprot per menit (l/menit)

50

V = volume semprot

Maka, V =

=

= 148.6 liter

Untuk memudahkan pelaksanaan penyemprotan, volume semprot dinyatakan dalam satuan knapsack (15 liter). Volume semprot yang dibutuhkan untuk semprot jalan pikul dan piringan per hektar (3323.85 m2) adalah 148.6 liter : 15 liter sama dengan 9.9 knapsack atau dibulatkan menjadi 10 knapsack . Pada pelaksanaan teknis penyemprotan di lapangan, volume semprot yang diaplikasikan tidak selalu tepat 148.6 liter. Untuk alasan yang telah disebutkan pada pembahasan tentang dosis, perusahaan menekan penggunaan herbisida menjadi 0.4 l/ha, dengan demikian kebutuhan volume semprot juga berkurang menjadi 8 knapsack .

Besarnya volume semprot yang telah ditetapkan harus dipatuhi oleh pekerja. Namun, dalam pelaksanaannya volume semprot juga dipengaruhi oleh faktor operator. Berdasarkan pengujian terhadap 5 orang operator semprot dengan cara simulasi semprot di tempat yang datar untuk mengetahui nozzle

output yang dihasilkan masing-masing operator menggunakan knapsack dan nozzle merah yang sama, diperoleh data yang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Data Pengamatan Nozzle Output.

Operator

semprot Ulangan I Ulangan II Ulangan III Rata-rata

---liter/menit--- A 1.52 1.39 1.42 1.44 B 1.51 1.42 1.46 1.46 C 1.38 1.51 1.44 1.44 D 1.47 1.56 1.46 1.49 E 1.39 1.46 1.38 1.41

Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa dengan nozzle dan knapsack yang sama, setiap operator menghasilkan output semprot yang berbeda. Meskipun perbedaannya kecil, jika dilakukan dalam waktu yang lama, yaitu selama kegiatan penyemprotan, bisa mempengaruhi volume semprot yang digunakan. Hal ini disebabkan perbedaan kecepatan dan kekuatan memompa.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua operator semprot menggunakan nozzle yang standar. Operator semprot biasanya memperbesar lubang pengeluaran nozzle untuk mempercepat keluarnya larutan dengan cara dicongkel atau dikorek menggunakan jarum. Tabel 10 menunjukkkan hasil pengujian terhadap 5 orang operator semprot menggunakan knapsack dan nozzle merah masing-masing.

Tabel 10. Data Pengamatan Nozzle Output 5 Operator Semprot Menggunakan Knapsack dan Nozzle Merah Masing-masing.

Operator semprot Ulangan I Ulangan II Ulangan III Rata-rata --- l/menit --- A 1.64 1.59 1.70 1.64 B 1.66 1.64 1.71 1.67 C 1.65 1.61 1.64 1.63 D 1.68 1.64 1.63 1.65 E 1.61 1.65 1.72 1.66

Sumber : Pengamatan di lapangan

Data pada Tabel 10 menunjukkan volume semprot juga dipengaruhi oleh

nozzle yang digunakan. Nozzle yang lubang pengeluarannya diperbesar

menghasilkan volume semprot yang lebih besar juga. Hal ini menyebabkan penyemprotan kurang merata karena pemakaian cairan herbisida boros.

Hasil uji pada Tabel 9 dan Tabel 10 belum bisa menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. Volume semprot dipengaruhi juga oleh kecepatan jalan

operator. Pada umumnya, kecepatan di lahan gambut lebih lambat dibandingkan

pada lahan datar sehingga volume semprot yang dihasilkan pun lebih besar. Pada lahan yang kondisi gulmanya sudah berat, prestasi kerja karyawan tidak mencapai 2 ha/HK karena pekerja mengalami hambatan dalam pengerjaan yang diakibatkan oleh populasi gulma tersebut. Selain itu, kondisi lahan yang

52

sering mengalami hujan menghambat laju pekerja dalam aplikasi herbisida. Berkurangnya kecepatan jalan pekerja mempengaruhi volume herbisida yang digunakan. Semakin lambat pekerja berjalan, maka semakin banyak herbisida yang digunakan.

Pengendalian gulma SP3TPH. Kegiatan SP3TPH dilaksanakan di

piringan, jalan pikul, dan TPH. Gulma yang berada di piringan dibersihkan hingga W0, sedangakan gulma di gawangan terutama jalan pikul dikendalikan hingga pada kondisi yang tidak mengganggu. Gulma di gawangan mati tidak dikendalikan secara intensif berkaitan dengan efisiensi biaya.

Campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL sangat efektif untuk mengendalikan gulma daun lebar seperti Neprolephis biserrata, clidemia hirta,

chromolaena odorata, dan Asystasia coromandeliana. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa gulma-gulma tersebut mengalami kerusakan efek bakar setelah beberapa jam dari waktu aplikasi.

Pemakaian campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL memperlebar spektrum pengendalian kedua herbisida. Gramoxone 276 SL yang merupakan herbisida kontak berbahan aktif paraquat bekerja pada semua jenis gulma dan bekerja secara cepat menimbulkan efek bakar pada jaringan yang terkena, sedangkan Ally 20 WDG merupakan herbisida sistemik berbahan aktif metil metsulfron ditranslokasikan ke seluruh jaringan tumbuhan sehingga bisa menghambat pertumbuhan bagian gulma yang berada di bawah tanah.

Menurut Tomlin (1994), metil metsulfron merupakan herbisida sistemik dan selektif. Herbisida ini kompatibel dengan banyak herbisida dan efektif dalam mengendalikan gulma daun lebar dan teki. Gambar 6 memperlihatkan hasil semprot menggunakan campuran Ally 20 WDG dan Gramoxone 276 SL yang ditandai dengan warna coklat terbakar pada bagian yang terkena cairan.

Penggunaan Smart 486 AS. Smart 486 AS mengandung bahan aktif glifosat yang merupakan herbisida sistemik nonselektif yang berspektrum luas. PT JAW menggunakan Smart 486 AS untuk mengendalikan gulma rumput di gawangan. Dosis dan volume semprot Smart 486 AS sama dengan dosis dan volume semprot pada pengendalian gulma menggunakan campuran Ally 20 WDG

dan Gramoxone 276 SL. Hasil pengamatan pengendalian gulma menggunakan Smart 486 AS disajikan pada Tabel 11.

Gambar 6. Hasil Aplikasi Campuran Gramoxone dan Ally pada Gulma Pakis

Tabel 11. Hasil Aplikasi Smart 486 AS

Jenis gulma II MSA

Tingkat kerusakan Kemudahan dicabut

Paspalum conjugatum 40 % Sangat sulit

Otochloa nodosa 40 % Sangat sulit

Axonopus compressus 40 % Sangat sulit

Nephrolepis biserrata 20 % Sangat sulit

Mikania michranta 20 % Sangat sulit

Asystasia coromandeliana 20 % Sangat sulit

Jenis gulma IV MSA

Tingkat kerusakan Kemudahan dicabut

Paspalum conjugatum 80 % Mudah

Otochloa nodosa 80 % Mudah

Axonopus compressus 80 % Mudah

Nephrolepis biserrata 50 % Sulit

Mikania michranta 50 % Sulit

Asystasia coromandeliana 50 % Sulit

Sumber : Pengamatan di Lapangan (2009)

Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa Smart 486 AS efektif dalam mengendalikan gulma rumput. Pengamatan hasil semprot yang lain juga

54

menunujukkan pada 7 MSA, gulma daun lebar sudah tumbuh lagi sedangkan gulma daun sempit masih dalam keadaan mati. Gambar 7 menunjukkan pertumbuhan kembali gulma daun lebar pada 7 MSA herbisida Smart 486 AS. Hal ini disebabkan matinya gulma rumput menyediakan ruang bagi cahaya masuk ke permukaan tanah sehingga biji gulma daun lebar bisa tumbuh.

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sari (2002) yang menunjukkan bahwa glifosat 486 AS dosis 1.5 l/ha efektif mengendalikan gulma rumput sampai pada 12 MSA, sedangkan pengendalian gulma daun lebar membutuhkan dosis yang lebih tinggi karena glifosat cenderung sulit berpenetrasi pada tumbuhan berdaun tebal akibat adanya lapisan kutikula yang tebal.

Sukarji dan Tobing (1987) menyebutkan gulma daun lebar umumya termasuk gulma semusim dengan organ perbanyakan berupa biji. Glifosat merupakan herbisida yang diaplikasikan lewat daun, bila jatuh ke tanah bahan aktifnya menjadi tidak aktif sehingga tidak mematikan biji gulma yang berkecambah.

Gambar 7. Hasil Aplikasi Smart 486 AS pada 7 MSA pada Gulma Rumput dan Daun Lebar

Pengendalian Gulma Piringan Selektif

Kegiatan ini merupakan kegiatan pengendalian gulma secara manual yang pelaksanaannya masih dalam tahap percobaan berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan. Kegiatan piringan selektif memerlukan biaya yang besar sedangkan hasil kerja karyawan sangat rendah. Perusahaan mengujicobakan cara pengupahan 5/7 HK dan borongan. Cara pengupahan 5/7 HK dilaksanakan dengan cara karyawan bekerja selama 5 jam dengan upah Rp 23 000,00. Dengan cara ini, prestasi pekerja adalah 17 – 30 pokok.

Sistem borongan dilakukan dengan upah Rp 375,00 / pokok dalam 5 jam kerja. Hasil pekerjaan tidak berbeda jauh dengan sistem 5/7 HK. Dengan sistem ini pekerja menyelesaikan 24-42 pokok. Hal ini disebabkan pekerjaan piringan selektif merupakan pekerjaan berat. Kondisi lahan pengerjaan piringan selektif merupakan lahan dengan kondisi gulma berat.

Gulma yang tumbuh umumnya gulma daun lebar berupa Asystasia

coromandeliana, Chromolaena odorata, kentosan (anakan sawit liar), Nephrolepis bisserata, dan rayutan. Masalah paling berat adalah pelepah sawit yang

menumpuk di piringan, akibat dari kegiatan panen yang tidak rapi, dan harus dibongkar dan dirapikan ke gawangan mati.

Ketersediaan KHL untuk kegiatan piringan selektif juga menjadi masalah. Pada umumnya karyawan merasa upah yang diterima tidak sebanding dengan pekerjaan. Hal ini menjadi perhatian penting bagi perusahaan mengingat hasil pekerjaan rendah sedangkan biaya pekerjaan tinggi.

Faktor-Faktor Keberhasilan Pengendalian Gulma

Pengendalian gulma ditujukan untuk mengendalikan populasi gulma hingga tahap tidak merugikan. Dalam pelaksanaanya, pengendalian gulma memenuhi efisiensi dan keefektifan pengerjaan karena akan berdampak pada penggunaan dana perusahaan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar bisa dicapai keberhasilan pengendalian gulma.

Faktor iklim. Iklim berperan aktif dalam menunjang kelancaran

pelaksanaan pengendalian gulma. Curah hujan yang tinggi menjadi penghambat

Dokumen terkait