• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEOR

C. Tentang Pegadaian Syariah

5. Manfaat Gada

Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk tindakan yang menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah saw. Akan tetapi, bolehkah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu, sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan? Dalam hal ini terjadi perbedaan pemdapat para ulama.27

a. Pendapat Ulama Syafi’iyah

اْﻮ ﺎ

ﺔ ﺎ ا

:

ﻮه

ْ هاﺮ ا

نْﻮهْﺮ ْا

ﺔ ْ

ْا

ﺎﺻ

,

عﺎ ْﻹْا

ﺪْ

ْﺮ

ﻻو

ﻬ ْﺮ ْا

ْ

نْﻮﻜ

نْﻮهْﺮ ْا

نأ

نْﻮهْﺮ ْﺎ

,

ْ ﻜ

ْ

ْنإ

عﺎ ْﻹْا

ةﺪ

هاﺮ

ﺔ ْﻮهْﺮ ْا

ْا

دﺮ

ﻬ ْﺮ ْا

ْ

هو

ﺎهرﺎ ْ ْ إ

.

ةدﺎ إ

ْﺄ

ْ

اذإ

ْ

ﺪﻬْ

ْ إ

نْﻮهْﺮ ْا

.

Artinya: “Manfaat yang diperoleh dari barang gadaian atau mengambil manfaat dengan barang gadaian, semuanya hak yang menggadaikan, walaupun barang gadaian itu dibawah tangan yang menerima gadai. Maka ketika diambil manfaat dari barang itu, dikembalikan dahulu kepada yang

      

27

Harun, Nasrun. Fiqh Muamalah.(Gaya Media Pratama ,Jakarta 2007).Hm.256.

 

menggadaikan, terkecuali kalau mungkin dihasilkan manfaatnya dibawah tangan yang menerima gadai. Jika yang menerima gadai tidak percaya akan dikembalikan lagi barang itu kepadanya, hendaklah diadakan saksi ketika dikembalikan sebentar itu.”28

Ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan dan di ridai pemilik barang. Bahkan menurut mereka, rida dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu.29

a. Pendapat Ulama Mazhab Imam Malik

Ulama Mazhab Imam Malik berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh menerima gadai, jika gadai itu terjadi disebabkan oleh qardh (hutang piutang). Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh al Mu’amalat ‘ala Madzhab Imam Malik:

ﻮهو

ﺎً ْ

ﻰ إ

ىدﺆ

ضْﺮ

ﺔ ْ

طْﺮ

زْﻮ

ﻻو

ﺰﺋﺎ

ﺮْ

      

28

 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al Fiqh ‘Ala Mazahib Al Arabaah, (Beirut: Daar al Ihya al Turats al Arabi, 1991), Jilid 3,hlm.187

 

29

 Harun, Nasrun. Fiqh Muamalah.(Gaya Media Pratama ,Jakarta 2007).Hlm.257.

37   

Artinya: “Tidak boleh mensyaratkan pengambilan manfaat pada gadai qardh (hutang), karena akan menyebabkan pinjaman yang menarik manfaat, dan perbuatan seperti itu tidak boleh (dilarang)”.30

Mereka juga berpendapat bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai dengan syarat-syarat tertentu, mereka mengemukakan tiga syarat, yaitu:

1) Bahwa pinjaman itu dibayarkan tidak atas sifat qardh, tetapi untuk urusan dagang

Contohnya: Seorang menjual sebidang tanah kepada seseorang dengan harga yang akan dibayar dalam batas waktu tertentu dan menerima suatu tanggungan untuk harga tanah tersebut, (ini dianggap sebagai suatu pinjaman).

2) Bahwa faedah atau kegunaan itu dijadikan syarat sewaktu pinjaman dilakukan dengan pemegang gadai.

3) Waktu atau kegunaan yang demikian telah ditetapkan dengan jelas.31

b. Pendapat Ulama Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal

      

30

 Hasan Kamil Al Mathluwi, Fiqh al Muamalat ‘ala Mazhab al Imam Malik, (Kairo: al-Majli al-A’la li asy-Syu’un al-Islamiyah,tth). Hlm.157

 

31

 Teungku Muhammad Hasbi As Siddieqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,1997) Cet.Ke-1, hlm.371 

Ulama Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:

نﺎآ

ْنﺈ

ناﻮ

ﺮْ

نْﻮﻜ

ْوأ

آْﺮ

ﺎًاﻮ

نْﻮﻜ

ﺎ إ

نْﻮهْﺮ ْا

ْﻮآﺮ

ْ

ْنأ

ﻬ ْﺮ ْ

ﺎًْﻮآْﺮ

ْوأ

ﺎًْﻮ ْ

هاﺮ ا

نْذإ

ﺮْ

و

ْ

قﺎ ْﻹْا

ﺮْﻈ

,

ﻚ ذ

لْﺪ ْا

ىﺮ

ْنأ

ْ و

.

Artinya: “barang gadaian dapat berupa hewan yang dapat ditunggangi atau dapat diperah susunya atau bukan berupa hewan, apabila barang berupa hewan tunggangan atau perahan maka penerima gadai boleh memanfaatkan dengan menunggang atau memerah susunya tanpa seizing dari pemiliknya (pemberi gadai) berdasarkan biaya yang telah dikeluarkan penerima gadai. Dan penerima gadai harus memanfaatkan barang gadaian dengan adil (sesuai dengan biaya yang dikeluarkan)”.32

Ulama Mazhab Hanbali juga membolehkan penerima gadai untuk memanfaatkan hewan yang tidak ditunggangi dan dan tidak diperah susunya dengan seizing pemberi gadai, tanpa adanya penggantian dengan ketentuan akad gadai bukan qardh. Tetapi jika akad tersebut berdasarkan qardh, maka penerima gadai dilarang memanfaatkan barang itu walaupun seizin pemberi gadai.

c. Pendapat Ulama Mazhab Imam Abu Hanifah

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan:

      

32 

Al-Imam Al-Hafidh Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, shahih Bukhari, (Beirut, Makhtabah Ashiriyah,1997), jilid 2, hlm. 757.

39   

زْﻮ

نْذﺈ

ﻻإ

ْﻮ ﻮْا

ْ و

يﺄ

نْﻮهْﺮ ْﺎ

ْ

ْنأ

هاﺮ

ﻬ ْﺮ ْا

.

Artinya: “Tidak boleh bagi pemberi gadai untuk memanfaatkan barang gadaian dengan cara bagaimanapun kecuali atas seizing penerima gadai”.

Adapun Ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan ternak, maka pihak pemberi piutang (pemegang barang jaminan) boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang.33

Dari pendapat para ulama fiqh diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap hadist Nabi saw.

Nasrun Harun menyatakan pendapatnya pada bukunya yang berjudul Fiqh Muamalah. Beliau menyatakan bahwa Ar-Rahn yang dikemukakan para ulama fiqh klasik hanya bersifat pribadi. Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seorang yang memerlukan dengan seorang yang memiliki kelebihan harta. Di zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, ar-rahn tidak saja berlaku antar pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak

      

33

 Harun, Nasrun. Fiqh Muamalah.(Gaya Media Pratama ,Jakarta 2007).Hlm.258 

bank juga menuntut barang jaminan yang boleh dipegang bank sebagai jaminan atas kredit itu. Barang jaminan ini, dalam istilah bank disebut dengan Personal Guarantee.Personal Guarantee ini sejalan dengan al-Marhun yang berlaku dalam akad Ar-Rahn. Yang dibicarakan para ulama klasik. Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran hutang yang ditentukan oleh bank. Kredit di bank, biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang yang ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu, jumlah uang yang harus dibayar orang yang berutang akan lebih besar dari uang yang dipinjam dari bank. Dengan demikian, Mustafa az-Zarqa, persoalan utang (bunga bank) yang berlaku di bank yang mewajibkan adanya personal guarantee, terkait dengan penambahan utang. Persoalan ini, oleh ulama fiqh, dibahas dalam persoalan riba, yaitu apakah bunga sebagai tambahan utang di bank itu termasuk riba atau tidak.

   

BAB III

Dokumen terkait