• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dewasa Awal yang Akan atau Sedang Menjadi Idol Penelitian ini bermanfaat untuk menambahkan pengetahuan mengenai pentingnya kecerdasan emosi bagi idol dengan usia dewasa awal. Pengetahuan ini berguna untuk meningkatkan kecerdasan emosi bagi para dewasa awal yang sedang menjalani hidupnya sebagai idol maupun bagi orang-orang yang memiliki keinginan untuk menjadi idol di usia dewasa awal.

2. Bagi Pendukung Idol di Indonesia dan yang Tidak Mendukung Penelitian ini bermanfaat sebagai pengetahuan bagaimana cara memahami dan mendukung dengan cara yang baik pada idol kegemarannya. Dengan demikian, dapat terjalin komunikasi yang positif antara penggemar dengan idol sehingga menghasilkan relasi yang baik dan nyaman antara penggemar dengan idolnya.

3. Bagi Keluarga Idol atau Keluarga Calon Idol

Penelitian ini bermanfaat sebagai pengetahuan untuk membimbing dan mendukung dengan baik anggota keluarga mereka yang merupakan idol maupun yang memiliki keinginan atau hobi sebagai idol.

4. Bagi Ilmuwan dan Praktisi Psikologi

Tidak banyak penelitian psikologi yang menyoroti seorang idol. Kebanyakan penelitian idol berpusat pada sisi industri saja, tidak melihat idol sebagai subjek psikologis, seperti penelitian-penelitianyang telah disatukan oleh Galbraith (2012) tentang idol dan selebriti Jepang dilihat dari sisi industri media di Jepang.

Khususnya di Indonesia, belum ada penelitian psikologi tentang idol. Maka penelitian ini diperlukan untuk mengembangkan penelitian kecerdasan emosi dengan target group idol dan menambah literatur kualitatif sehingga berguna untuk menambah wawasan.

24 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGANTAR

Pada bab ini menjelaskan mengenai variabel penelitian dan target group dari penelitian ini. Variabel penelitian yang akan dijelaskan adalah kecerdasan emosi yang juga dilihat dari perspektif Psikologi Perkembangan dan perspektif Psikologi Sosial.

B. DINAMIKA PSIKOLOGIS IDOL DI INDONESIA

Di bawah ini akan dijelaskan dinamika psikologis idol dilihat dari perspektif Psikologi Perkembangan dan dari perspektif Psikologis Sosial. Bila dilihat dari kacamata Psikologi Perkembangan, idol akan dikaitkan dengan golongan dewasa awal, yaitu mereka dengan umur 18-25 tahun menurut Arnett (2006). Dari kacamata Psikologi Sosial, idol akan dilihat dari perspektif seorang penari menurut Schinke (2017).

1. Perspektif Psikologi Perkembangan

Idol adalah mereka yang memakai pakaian yang lucu dan menggemaskan, warna-warni, riasan polos dan sederhana namun cantik, bertalenta untuk menari dan menyanyi serta dapat menghibur banyak orang hanya dengan senyumnya yang manis.

Citra itulah yang melekat dengan para idol yang ada di tanah air dengan aliran Jepang. Idol bisa terdiri dari banyak golongan umur, dari anak kecil SD atau SMP, hingga yang sudah berumur 25 tahun ke atas. Namun rata-rata idol di Indonesia duduk di akhir masa SMA hingga perkuliahan. Golongan usia seperti itu dianggap masih memiliki sisi aktif, kekanakan, dan polos dari masa anak-anak dan remaja, namun cukup dewasa untuk dapat tampil secara profesional di atas panggung. Dengan begitu, rata-rata umur mereka masuk pada usia dewasa awal.

Dinamika psikologis idol dapat dilihat dengan perspektif psikologi perkembangan dalam tahap perkembangan dewasa awal.

Dengan melihat rata- rata kematangan emosi mereka dicapai dalam usia 20 tahun ke atas, maka idol masuk dalam rentang usia dewasa awal. Rentang usia dewasa awal menurut Hurlock (1991) adalah usia 18 hingga 40 tahun. Transisi dari remaja ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18 sampai 25 tahun (Arnett dalam Santrock, 2011), dan selanjutnya, individu yang mengalami masa beranjak dewasa atau emerging adulthood akan disebut sebagai dewasa awal. Pada masa-masa ini, mereka mulai bereksperimen dan bereksplorasi dengan banyak hal. Mereka yang menginjak usia dewasa awal ini masih

banyak yang mencari wawasan yang luas dan bereksplorasi dengan keinginan akan karier mereka, ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana, serta gaya hidup mereka mengenai adanya pasangan atau tidak.

Ada lima ciri-ciri dari orang yang beranjak dewasa menurut Jeffrey Arnett (dalam Santrock, 2011), yaitu :

a. Eksplorasi identitas, khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan.

b. Ketidakstabilan dalam hal relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan. Hal ini juga dapat terjadi karena perpindahan tempat tinggal yang rentan terjadi pada usia ini.

c. Self-focused (terfokus pada diri sendiri). Menurut Arnett (2006), para dewasa awal cenderung fokus pada dirinya sendiri dan kurang terlibat dalam kewajiban sosial, melakukan tugas dan berkomitmen terhadap orang lain.

Akibatnya, mereka memiliki otonomi yang besar dalam mengatur ritme kehidupannya sendiri.

d. Feeling in-between (merasa seperti berada/di peralihan), berarti pada usia-usia ini, mereka merasa bukan sebagai remaja lagi tetapi juga belum menjadi seseorang dewasa yang memiliki pengalaman.

e. Usia yang memiliki berbagai peluang dan kemungkinan mengubah kehidupan. Arnett (2006), menjelaskan ada dua kemungkinan yaitu, pertama, bagi mereka yang optimis dengan masa depannya dan kedua, usia ini memberi peluang untuk mengarahkan hidup mereka yang lebih positif bagi mereka yang mengalami kesulitan saat beranjak dewasa.

Penelitian ini berfokus pada tiga ciri di atas, yaitu eksplorasi identitas; ketidakstabilan dalam hal relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan; dan usia yang memiliki berbagai peluang. Pertama, eksplorasi identitas. Dalam eksplorasinya, dewasa awal mengembangkan identitas diri mereka seperti memastikan jati diri mereka dan apa yang mereka mau dalam kehidupannya. Dewasa awal lebih mandiri dan tidak bergantung pada orang tuanya daripada ketika mereka remaja, dan mulai meninggalkan rumah.

Namun, mereka belum sepenuhnya stabil. Menurut Arnett (dalam Santrock, 2011), menunda komitmen adalah tipikal emerging adult.

Pada masa ini, mereka tidak memperhatikan orang tua mereka kembali, tetapi juga tidak berkomitmen pada macam-macam peran seorang dewasa. Ketika dewasa awal, proses pengembangan identitas dalam dunia romantis dan pekerjaan lebih intensif daripada masa remaja.

Perkara hubungan romantis, seorang emerging adult cenderung akan terlibat dalam level intimasi yang lebih dalam dan memiliki pertanyaan- pertanyaan implisit yang menjurus pada identitas dirinya seperti “Aku orang yang seperti apa dan orang yang bagaimana yang cocok denganku?”. Dengan bersosialisasi dengan banyak orang, emerging adult akan belajar tentang kualitas lebih penting daripada kuantitas, yaitu kualitas bagaimana yang menarik bagi mereka dan yang menyebalkan dan hendaknya dihindari.

Dalam hal pekerjaan, pengalaman kerja berfokus pada dasar-dasar pekerjaan. Mereka juga belajar tentang kemampuan dan ketertarikan mereka, serta pekerjaan yang bagaimana yang cocok dan tidak untuk mereka.

Kedua, ketidak-stabilan (Arnett dalam Santrock, 2011). Efek dari eksplorasi identitas dan perubahan pilihan-pilihan dalam hal percintaan dan pekerjaan membuat tahap kehidupan mereka bukan hanya penuh dan intens, namun juga tidak stabil. Ketika seseorang beranjak dewasa, mereka membuat “rencana” untuk masa depannya. Namun nyatanya, “rencana” tersebut dapat berubah atau mendapat revisi karena eksplorasi yang mereka lakukan.

Contohnya, ketika mereka menyadari bahwa jurusan kuliah yang mereka masuki tidak semenarik atau tidak sesuai ekspektasi sesuai

“rencana” mereka, maka saatnya mengubah “rencana” tersebut, seperti pindah jurusan atau berhenti kuliah dan bekerja. Dalam ketidakstabilan “rencana”, seorang dewasa akan belajar sesuatu tentang diri mereka dan mengambil langkah ke depan untuk memantapkan “rencana” masa depan seperti yang mereka inginkan.

Ketiga, berbagai peluang, kemungkinan, dan keoptimisan (Arnett dalam Santrock, 2011). Emerging adulthood adalah umur di mana seseorang memiliki banyak kemungkinan, seperti kemungkinan untuk masa depannya menjadi seperti apa dan kecil kemungkinan tujuan hidup seseorang telah ditentukan para arah tertentu. Inilah masa-masa seseorang memiliki harapan dan ekspektasi yang tinggi, sebagian mimpi mereka telah diuji dalam kenyatan kehidupan. Emerging adult mengharapkan dan membayangkan masa depan mereka yang hidup mapan, pekerjaan yang memuaskan, lancar dalam berumah tangga, dan memiliki keluarga kecil. Tentu saja, masa-masa inilah yang menawarkan pada emerging adult akan potensi untuk mengubah arah hidup mereka secara dramatis dan mendalam dan mereka memiliki kesempatan yang luas dalam menentukan pilihan mereka.

Dari ketiga poin di atas, dapat ditarik kesimpuan bahwa dewasa awal melakukan eksplorasi identitas untuk memastikan jati diri dan

menentukan masa depannya. Dalam menentukan masa depannya, mereka memiliki peluang besar yang dapat mengubah arah hidup mereka. Mereka optimis dan memiliki harapan besar terhadap masa depan yang mereka impikan. Maka, mereka memiliki rencana-rencana untuk menggapai impiannya tersebut. Namun dengan adanya eksplorasi diri, hal itu berdampak pada rencana-rencana yang telah mereka susun dapat berubah sesuai dengan kenyataan hidup yang sedang mereka hadapi. Inilah saat dewasa awal menemui ketidak-stabilan dalam hidupnya, sepertinya dalam hal hubungan romantis dan pekerjaan.

2. Perspektif Psikologi Sosial

Selain perspektif psikologi perkembangan, idol juga dapat ditinjau dari perspektif sosial. Perspektif sosial yang diambil peneliti adalah Psikologi Olahraga dan Performing Arts. Bilamana kita melihat dari perspektif tersebut, Idol dapat termasuk dalam kategori penari dalam performing arts. Performing arts di sini merujuk pada penari. Idol merupakan seorang penari karena mereka menampilkan performance mereka dengan menari di atas panggung dan kadang dengan menyanyi. Seorang kritikus seni bernama Judith Mackrell (2017) dalam artikelnya di Britannica.com dengan judul

Dance, memberikan definisi seni tari adalah gerak tubuh yang ritmis dengan iringan musik dan dilakukan di sebuah ruang, yang bertujuan untuk mengekspresikan ide atau emosi, melepaskan energi dalam diri, atau hanya sebuah kesenangan semata. Selain itu, dalam Psychology in Professional Sports and The Performing Artt, Schinke & Hackfort (2017) mengemukakan bahwa penari juga sering dianggap sebagai atlet, hal ini sudah menjadi hal wajar di kalangan para penari. Dengan dasar tersebut, maka penari sebagai penampil berbagi norma “sport ethic” layaknya atlet. Penelitian mengindikasi empat norma dari sport ethic, di mana seorang penari (1) melakukan pengorbanan untuk sebuah “permainan”; (2) berjuang untuk meraih kehormatan; (3) menerima risiko dan bermain melalui rintangan; dan (4) tidak menerima batasan dalam mengejar suatu kemungkinan (Hughes & Coakley dalam Schinke

& Hackfort, 2017).

Menurut Schinke (2017), seorang penari memiliki tiga ciri-ciri.

Pertama, seorang penari harus mencapai dan menjaga keindahan bagai model fashion, karisma, dan kedalaman emosional dari seorang aktor, dan kemampuan atletis seorang atlit, sebaik pengetahuan musikalnya yang luas. Setiap penari memiliki ideal tentang profil kepribadian seseorang yang sukses, begitu pula

dengan banyaknya cara yang diperlukan seorang penari untuk menggapai cita-citanya, dan setiap penari mengembangkan pikiran yang sangat spesifik dan khusus. Namun, seorang penari yang memiliki sensitifitas emosional yang tinggi mungkin dianggap oleh penari lain sebagai individu yang memiliki kesulitan mengatur kompetisi, namun ia dapat menampilkan dengan kestabilan yang bagus dalam konteks faktor suportif yang spesifik (misal, altetik superior, ambisi yang tinggi, dukungan keluarga, kemampuan bersosialisasi yang baik).

Kedua, ketajaman mental, fleksibilitas, dan keberanian adalah aset dalam dunia tari. Ketiga hal itu diperlukan seorang penari ketika ia belajar maupun mencoba hal-hal baru. Seorang penari tidak dapat mengelak dari opsi pergantian peran yang diberikan koreografernya. Tuntutan dalam pergantian ini tentunya dirasakan antusias oleh penari tersebut, namun tidak luput dari dampaknya yaitu dapat meningkatkan mental maupun dapat meningkatkan mental stres dan cedera.

Ketiga, kepekaan diri terhadap kondisi tubuh dan emosi.

Seorang penari dengan kepekaan diri yang tajam dapat memiliki keuntungan yaitu dapat mengelola ekspresi saat tampil dan perhatian terhadap rasa sakit di awal cedera sehingga dapat memulai

pengobatan sejak dini sebelum cedera bertambah parah. Selain itu, pendidikan dalam tari juga membuahkan hasil disiplin yang kuat dan tujuan yang memiliki batas waktu di setiap diri penari. Namun, dengan adanya keterbatasan waktu yang tertanam dalam diri penari, kerap kali mereka memaksakan diri mereka bahkan ketika mereka cedera. Penari cenderung menutupi cederanya dan terus berproses.

Maka, ketangguhan yang dimiliki penari akan sangat menguntungkan dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam meniti karir. Penari yang dapat melalui masa-masa mengecewakannya secara mental biasanya memiliki karir yang lebih sukses di masa depan daripada mereka yang tidak sanggup secara mental dan berpikir untuk berhentu. Selain itu, penari yang dapat melampauinya secara mental, mereka memiliki kekuatan dan perspektif baru, serta ketahanan untuk menghadapi rintangan selanjutnya.

Dari ketiga ciri-ciri yang telah disebutkan Schinke, dapat diambil kesimpulan bahwa penari biasanya memiliki sosok idealnya masing-masing sehingga mereka bekerja keras untuk memenuhi target ideal tersebut maupun menjaga dirinya untuk tetap berada di zona idealnya. Namun, tidak menutup kemungkinan seorang penari dapat memiliki idealisme baru ketika idealisme

sebelumnya telah tercapai. Hal ini berkaitan dengan ciri kedua, di mana seorang penari memiliki keberanian, fleksibilitas, serta ketajaman mental untuk mencoba hal-hal baru. Tidak menutup kemungkinan seorang penari memiliki cedera ketika bekerja keras mencapai cita-cita atau idealismenya tersebut. Maka, seorang penari biasanya memiliki kepekaan diri terhadap kondisi tubuhnya maupun emosi yang dirasakannya saat itu. Kepekaan penari ini dapat mencegah penari untuk mendapatkan cedera yang lebih serius. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa target penari memiliki tenggat waktunya masing- masing. Maka ketangguhan yang dimiliki seorang penari memiliki peran penting ketika mereka mengalami jatuh bangun dalam upaya mengejar target maupun memulihkan diri dari keterpurukannya untuk memenuhi target atau idealisme yang ingin dicapainya.

C. KECERDASAN EMOSI

Di bawah ini akan dijelaskan definisi kecerdasan emosi dari ahli, kemudian aspek-aspek kecerdasan emosi serta penjelasannya, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi itu sendiri, serta dampaknya bagaimana ketika memiliki kecerdasan emosi yang tinggi maupun rendah.

1. Definisi Kecerdasan Emosi

Ada dua definisi kecerdasan emosi menurut ahli. Pertama, kecerdasan emosi menurut Goleman (dalam Zeidner et al., 2009), menyebutkan bahwa “For now, we will take this term to refer to a generic competence in perceiving emotions (both in oneself and in others). This competence also helps us regulate emotions and cope efectively with emotive situations.”. Kecerdasan emosi bisa dibilang kompetensi umum untuk memahami emosi diri sendiri maupun orang lain. Kecerdasan emosi juga dapat membantu seseorang untuk meregulasi emosi dan mengatasi suatu emosi tertentu secara efektif. Selain itu, Peter Salovey dan John D. Mayer (dalam Zeidner et al., 2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah “As a subset of social intelligence that involvesthe ability to monitor one's ownand others' feelings and emotions, to discriminate among them and to use this information to guide one's thinking and actions”, bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk mengawasi perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain. Kemampuan itu berguna untuk membedakan antara dirinya dengan orang lain dan menggunakan informasi tersebut untuk memandu seseorang untuk berpikir dan bertindak.

Berdasarkan kedua penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk

memahami emosi dirinya sendiri maupun orang lain, dan orang tersebut dapat berpikir dan bertindak secara tepat berdasarkan emosi yang dirinya atau orang lain rasakan.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Menurut Mayer dan Caruso (dalam Zeidner et al., 2009), kecerdasan emosi memiliki empat aspek yang meliputi :

a. Persepsi dan Identifikasi Emosi (Emotion Perception-Identification)

Aspek persepsi dan identifikasi emosi, menunjuk pada kesadaran individu akan emosi yang sedang dirasakannya dan respons otak atau pikiran tentang emosi itu sendiri.

Selain itu, aspek persepsi-identifikasi ini juga menunjukkan bahwa individu mampu mengawasi emosi dirinya sendiri dan orang lain, dan dapat membedakan apakah itu emosi diri sendiri atau orang lain kemudian mengekspresikannya secara tepat.

b. Fasilitasi Emosi atau Asimilasi Emosi (Assimilating Emotion or Emotional Facilitation)

Aspek asimilasi emosi atau fasilitasi emosi merupakan kemampuan individu untuk menggabungkan pengalaman terhadap emosi-emosi ke dalam kehidupan. Caranya adalah

dengan memakai emosi tersebut untuk berpikir dan berperilaku. Dalam aspek ini juga menunjukkan kemampuan individu dalam selective attention. Selective attention berarti individu menimbang emosi-emosi yang dirasakannya saat itu dengan pikiran lain kemudian menentukan emosi mana yang lebih mengarahkan perhatian individu. Aspek ini mencakup menimbang emosi satu sama lain dan melawan sensasi dan pikiran lain, dan memungkinkan emosi untuk mengarahkan perhatian (misal memegang keadaan emosi dalam kesadaran yang cukup lama untuk membandingkan kesesuaian dengan sensasi serupa dalam suara, warna, dan rasa). Dari perspektif ini, menyusun emosi seseorang (untuk memenuhi tujuan) tampak penting untuk perhatian yang terpilih, pemantauan diri, motivasi diri, dan lain-lain.

c. Pemahaman dan Pertimbangan Emosi (Understanding and Reasoning about Emotions)

Aspek pemahaman dan penalaran emosi, menunjukkan kemampuan untuk memahami mengapa emosi itu ada dan dirasakannya saat itu. Selain itu, memahami tentang masalah emosi yang sedang dirasakan juga penting.

d. Manajemen Emosional atau Regulasi Emosi pada Diri Sendiri dan Orang Lain (Emotional Management, or the Regulation of Emotion in the Self and Others)

Aspek terakhir dianggap Mayer & Caruso sebagai level tertinggi dalam aspek-aspek kecerdasan emosi, yaitu aspek regulasi emosi atau manajemen emosi diri sendiri maupun orang lain. Secara singkat, aspek ini menunjukkan bagaimana cara seorang individu mengendalikan emosinya.

Contohnya, bagaimana cara menenangkan diri setelah merasa stres, atau cara menangani orang lain yang sedang merasa stres. Aspek ini memudahkan individu untuk memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.

3. Faktor-faktor dalam Kecerdaan Emosi

Menurut Mosche (2009), faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kecerdasan emosi seseorang ada sembilan, yaitu konstitusi dan temperamen (termasuk faktor genetik), proses perkembangan kognitif, proses perkembangan sosio-emosional lingkungan sekolah dan komunitas, cara mengasuh anak yang disukai orang tua dan latihannya, figur modelling dalam lingkungan sosial (teman sebaya, guru, dll.), pendidikan efektif di sekolah, norma-norma dan

nilai-nilai budaya-sosial, program intervensi pengobatan (treatment intervention programs). Namun, sesuai dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan memakai tiga faktor, yaitu faktor lingkungan komunitas, figur modelling dalam lingkungan sosial seperti teman sebaya, guru, dan dalam penelitian ini, figur idol Jepang. Yang terakhir adalah faktor norma-norma dan nilai-nilai budaya-sosial.

a. Faktor pertama adalah faktor lingkungan individu.

Keseluruhan lingkungan afektif di komunitas dan masyarakat, tempat seorang individu terpapar, tampaknya berdampak pada kompetensi emosional seorang individu yang aktif dalam komunitas yang diikutinya. Sebuah komunitas dapat meningkatkan maupun menghambat perkembangan kecerdasan emosional seseorang tergantung pada anggota komunitas itu sendiri. Misalnya, jika teman komunitas atau pemimpin komunitas tersebut sering mengungkapkan kemarahan atau kecemasan, individu dapat menginternalisasi keadaan afektif ini dan mengalaminya dalam berbagai situasi.

b. Faktor kedua adalah faktor figur modeling dalam lingkungan sosial seperti teman sebaya, guru, maupun idol Jepang yang dicontoh oleh individu. Menurut Mosche,

seseorang dalam masa hidupnya memiliki panutan atau seorang contoh yang diikutinya, seperti orangtua, teman sebaya, guru, atau bahkan artis, dll. Dalam perkembangan seseorang, orangtua biasanya menjadi figur pertama yang ditiru oleh seseorang. Dengan meningkatnya kedewasaan, teman sebaya menjadi pengaruh yang lebih menonjol pada sosialisasi emosional. Penelitian menunjukkan bahwa ketika kakak yang lebih tua menunjukkan pola sosialisasi yang bermanfaat (misalnya bereaksi positif terhadap emosi positif dan tidak menunjukkan reaksi negatif terhadap emosi negatif), adik kandung menunjukkan lebih banyak pengetahuan emosional. Contoh lain adalah, ketika seorang individu memiliki teman dekat yang sering menyumpah, individu tersebut memiliki kemungkinan besar untuk mengikuti perilaku temannya tersebut.

c. Faktor ketiga adalah faktor norma-norma dan nilai-nilai budaya sosial. Semakin bertambah umur, peran orangtua semakin berkurang, sedangkan peran teman sebaya, seorang panutan, dan juga budaya di lingkungannya bertambah kuat dalam memengaruhi seorang individu. Norma dan nilai budaya memiliki pengaruh secara tidak langsung, salah

satunya adalah melalui kepercayaan orangtua dan pendidik-pendidiknya dalam membesarkan seorang individu. Selain itu, budaya di lingkungan individu berpijak juga dapat memengaruhi keadaan emosional individu. Misalnya, seseorang yang berasal dari Sunda menempuh pendidikan di Yogyakarta. Lambat laun, orang tersebut akan terpapar budaya Jogja seperti berbicara bahasa Jawa, budaya pekewuh, dll.

Beberapa faktor di atas tidak bisa bekerja sendirian dalam mempengaruhi kecerdasan emosi. Faktor genetik yang mempengaruhi temperamen, dibantu oleh pengaruh lingkungan, membentuk suatu pengalaman pribadi seseorang. Berdasarkan pengalaman pribadi tersebut, proses perkembangan kognitif dan perkembangan sosio-emosi seseorang bertumbuh. Dampak dari proses perkembangan dalam diri tersebut salah satunya adalah proses perkembangan kecerdasan emosi. Namun, dalam beberapa masa perkembangan terpenting individu, faktor genetik yang berupa ekspresi diri yang merupakan bawaan lahir dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat dirasakan bahwa kecerdasan emosi dapat bertumbuh dengan baik bila seseorang

berada dalam penciptaan lingkungan yang mendukung secara emosional untuk diri sendiri. Hal ini berarti terdapat hubungan antara kecerdasan emosi yang tinggi dengan mencari lingkungan

berada dalam penciptaan lingkungan yang mendukung secara emosional untuk diri sendiri. Hal ini berarti terdapat hubungan antara kecerdasan emosi yang tinggi dengan mencari lingkungan

Dokumen terkait