• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FENOMENOLOGIS INTERPRETATIF TENTANG PENGALAMAN MENJADI IDOLA INDONESIA DENGAN ALIRAN JEPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FENOMENOLOGIS INTERPRETATIF TENTANG PENGALAMAN MENJADI IDOLA INDONESIA DENGAN ALIRAN JEPANG"

Copied!
411
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FENOMENOLOGIS INTERPRETATIF

TENTANG PENGALAMAN MENJADI IDOLA INDONESIA DENGAN ALIRAN JEPANG

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Yaniva Akita Putri 139114030

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

AKTUALISASI DIRI ITU SECARA TEORI SUSAH, TAPI BAHKAN IA BISA TERPENUHI DARI HAL SEDERHANA

- YANIVA AKITA PUTRI -

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Teruntuk papi dan mami, terima kasih atas segala bimbingan dan cinta kasihmu.

Aku sadar usahaku ini jauh dari sempurna, namun aku selalu memberikan nafas terbaikku untuk membahagian kalian, orang yang selalu menopangku apapun

keadaanku.

(6)

vi

(7)

vii

ANALISIS FENOMENOLOGIS INTERPRETATIF TENTANG PENGALAMAN MENJADI IDOLA INDONESIA

DENGAN ALIRAN JEPANG

Studi Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Yaniva Akita Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi makna pengalaman emosional idola Indonesia dengan aliran idola Jepang. Partisipan terdiri dari tiga perempuan dewasa awal di Yogyakarta. Ketiga partisipan merupakan idola Indonesia dengan aliran Jepang (idol lokal).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologis versi Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Interpretative Phenomenological Analysis membantu peneliti untuk menafsirkan pengalaman idola Indonesia dengan aliran idola Jepang yang unik. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur supaya peneliti dapat menggali informasi secara mendalam. Penelitian ini menemukan tafsiran tentang makna pada pengalaman emosional idola Indonesia dengan aliran idola Jepang. Makna tersebut adalah sebagai momen yang bahagia ketika menjalani kehidupan sebagai idol. Mereka juga secara profesional menjalankan perannya sebagai idol dengan mengontrol emosi negatif untuk menunjukkan emosi positif layaknya seorang idol.

Kata kunci: kecerdasan emosi, fenomenologis, idola Indonesia aliran idola Jepang, grup idol

(8)

viii

INTERPRETATIVE PHENOMENOLOGICAL ANALYSIS OF EXPERIENCE INDONESIAN IDOL WITH JAPANESE IDOL GENRE

A Study by A Psychology College Student Sanata Dharma University

Yaniva Akita Putri ABSTRACT

The study aims at deepening the meaning of emotional experience of Indonesian idol with Japanese idol genre. Within the study, three early adulthood women are involved. They are an Indonesian idol with Japanese idol genre (local idol) based in Yogyakarta, Indonesia. In conducting the study, the approach that has been selected is the Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Through the implementation of IPA helps the researcher for interpreting the experience of Indonesian idol with Japanese idol genre as a unique personality. Then, during the study, the data were collected by a semi-structured interview in order to uncover the in-depth information. The results of the study show about the meaning of the emotional experience as a blithesome moment as an idol. They took it professionally when it comes to perform as an idol with regulating negative emotions then showing the positive vibes of an idol.

Keywords: emotional intelligence, phenomenological, Indonesian idol with Japanese idol genre,

idol group

(9)

ix

(10)

x

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur peneliti panjatkan pada Tuhan Yesus atas segala penyertaan dan berkatnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penelitian ini berjudul “Analisis Fenomenologis Interpretatif Tentang Pengalaman Menjadi Idola Indonesia Dengan Aliran Jepang”. Peneliti berharap masyarakat dapat memahami cakrawala yang mungkin baru bagi kebanyakan orang awam karena jarang dilirik.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya banyak bantuan dari berbagai pihak yang memberikan dukungan sosial, materi, dan waktu, oleh sebab itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih pada:

1. Tuhan Yesus yang telah menyertaiku selama aku dilahirkan di dunia ini.

Pengharapan dan kekuatan terbesarku yang senantiasa menggiringku pada jalan yang terang.

2. Papi dan mami sebagai orang yang paling sabar dalam menopang seluruh kebutuhan sosial, kasih sayang, dan materi selama ini. Rumahku kembali ketika aku membutuhkan tempat untuk istirahat dengan semua kelelahanku.

3. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Monica E. Madyaningrum, M. App., Ph.D., selaku Kepala Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

5. Edward Theodorus M.App.Psy. selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah menerima peneliti sebagai mahasiswa bimbingan skripsi dan tetap bersemangat membimbing dalam proses penulisan skripsi yang panjang dan berat ini. Terima kasih Pak Edo atas segala kesabaran dan hal-hal baru yang diberikan selama kita berproses. Semoga doa baik selalu mengiringi langkah Pak Edo ke depan.

6. Monica E. Madyaningrum, M. App., Ph.D selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah membimbing peneliti selama berproses di kampus Sanata

Dharma tercinta.

(11)

xi

7. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sudah membantu peneliti selama tujuh tahun masa studi di kampus tercinta ini.

8. Ketiga narasumber yang sudah berbagi pengalaman dan membuka cakrawala bagi peneliti dan kelak bagi orang lain yang akan membaca kisah seru kalian.

Semoga cita-cita kalian ke depan akan tercapai!

9. Classy 13 yang sudah menentukan arah masing-masing, semoga kita bertemu di waktu lain dengan kesuksesan di tangan kita masing-masing! Aku sayang kalian, FRIENDS ARE DIAMONDS!

10. Semua pihak yang mungkin tak tersebut dan secara tidak sadar turut membantu, mendoakan, dan mendorong peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak.

Penelitian ini peneliti akui sangat jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini, peneliti berharap dengan adanya kritik dan saran yang membangun yang akan menjadi masukan yang sangat berharga bagi peneliti untuk ke depannya. Peneliti berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi sesama dan kemuliaan Allah yang lebih besar.

Yogyakarta, 15 Desember 2020 Penulis

Yaniva Akita Putri

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR DIAGRAM... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 20

C. Ruang Lingkup Penelitian ... 21

D. Tujuan Penelitian ... 21

E. Pertanyaan Penelitian ... 21

F. Manfaat Penelitian... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 24

A. Pengantar ... 24

B. Dinamika Psikologis Idol di Indonesia... 24

1. Perspektif Psikologi Perkembangan ... 24

2. Perspektif Psikologi Sosial ... 30

C. Kecerdasan Emosi ... 34

1. Definisi Kecerdasan Emosi ... 35

(13)

xiii

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi ... 36

3. Faktor-faktor dalam Kecerdasan Emosi ... 38

4. Dampak ... 42

D. Kecerdasan Emosi Idol di Indonesia ... 44

E. Kerangka Konseptual Awal ... 46

F. Kesimpulan Tinjauan Pustaka... 49

BAB III METODE... 52

A. Pengantar ... 52

B. Rancangan Penelitian ... 52

C. Partisipan ... 55

D. Fokus Penelitian ... 56

E. Prosedur Pelaksanaan ... 56

F. Alat Pengumpul Data ... 57

G. Analisis Data ... 61

H. Refleksivitas Peneliti ... 65

I. Pertimbangan Etis ... 67

BAB IV HASIL ANALISIS... 68

A. Pengantar ... 68

B. Deskripsi Partisipan ... 68

C. Pengambilan Data ... 70

D. Hasil... 71

1. Tema Superordinat N ... 73

2. Tema Superordinat V ... 125

3. Tema Superordinat M ... 166

4. Tema Superordinat Antarpartisipan ... 187

E. Pembahasan ... 203

BAB V KESIMPULAN ... 209

A. Kesimpulan ... 209

B. Keterbatasan Penelitian ... 210

C. Saran ... 210

D. Komentar Peneliti ... 212

(14)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 213

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara ... 59

Tabel 2. Identitas Partisipan ... 68

Tabel 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Wawancara ... 71

Tabel 4. Tema Superordinat N ... 73

Tabel 5. Tema Superordinat V ... 125

Tabel 6. Tema Superordinat M ... 166

Tabel 7. Tema Superordinat Antarpartisipan ... 187

(16)

xvi

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1. Kerangka Konseptual Awal ... 49

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 219

Lampiran 2. Transkrip Partisipan 1.1 ... 227

Lampiran 3. Transkrip Partisipan 1.2 ... 292

Lampiran 4. Transkrip Partisipan 1.3 ... 367

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Topik penelitian ini adalah kecerdasan emosi yang dimiliki para

idol Indonesia yang berkecimpung di dunia peridolan dengan aliran

Jepang di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Ada empat alasan yang

mendorong peneliti tertarik pada topik tersebut. Pertama, peneliti

merupakan mantan idol yang juga merasakan bagaimana dinamika

selama menjadi idol di tanah air yang kendatinya termasuk dalam

kultur Jepang yang kurang umum di mata masyarakat. Idol Jepang

berbeda dengan idol Indonesia atau para artis yang menjual sensasi dan

memiliki beragam karakter baik maupun buruk yang dapat mereka

jual. Idol Jepang biasanya menampilkan karakter yang ceria, polos, dan

baik hati kepada para penggemarnya. Mereka diharapkan memiliki

kepribadian bak malaikat sehingga hal ini menuntut mereka untuk

menunjukkan ekspresi dan emosi mereka secara profesional. Ketika

mengalami emosi yang bertentangan dengan ceria dan cenderung

negatif, peneliti sulit untuk mengelolanya sehingga dapat

(19)

mengekspresikan keceriaan dan emosi yang positif ketika menjadi idol di panggung maupun di bawah panggung. Melihat hal tersebut, peneliti sungguh kagum akan para idol tersebut karena mampu mengelola emosi mereka dengan sangat baik dan luar biasa. Mereka sungguh memiliki kapasitas untuk mengontrol diri dan emosi mereka dan menjadi idol yang sesungguhnya. Sedangkan peneliti merasa kesulitan untuk melakukan hal tersebut ketika menjalani kehidupan sebagai seorang idol.

Kedua, munculnya rasa empati untuk mengetahui bagaimana dinamika idol yang lebih senior dan lebih terkenal di Indonesia ketika mengelola dan mengekspresikan emosinya. Bagaimana perjuangannya di dunia idol yang jarang diketahui oleh masyarakat umum bahkan oleh penggemarnya sekalipun, karena biasanya idol hanya berkecimpung di dunia jejepangan dan mereka tidak terbuka dengan kehidupan pribadinya. Maka mereka cenderung tidak membuka dirinya di depan umum dan mereka menyimpan cerita pribadinya masing-masing.

Ketiga, peneliti merasa penasaran tentang kehidupan ganda idol

dengan kehidupan nyata orang tersebut memiliki perbedaan yang

cukup signifikan pada diri sang idol. Adanya perbedaan karakter orang

tersebut ketika menjadi idol dan ketika ia berfungsi dalam sistem

(20)

masyarakat merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih jauh.

Menarik untuk diteliti bahwa perbedaan karakter dan cerita mereka untuk mengolah emosinya sehingga mereka dapat memilah perilaku yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya.

Keempat, sebagai mahasiswa psikologi, peneliti memiliki

kapasitas untuk meneliti dan menyampaikan bagaimana kepedulian

terhadap dunia idol di tanah air, bagi yang telah menjadi idol maupun

mereka yang berkeinginan untuk menjadi idol. Peneliti ingin idol

menjadi lebih menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan

kehidupan idolnya supaya tidak terlalu jauh dalam mengaplikasikan

kehidupan gandanya. Sebagaimana kehidupan ganda yang dimaksud

adalah sebuah profesionalitas ketika menjadi seorang seorang idola

yang dikagumi oleh para penggemarnya dan ketika ia sedang menjadi

seseorang dalam sistem masyarakat dengan membawa identitas

dirinya yang asli. Dengan penelitian ini, idol diharapkan lebih peka

terhadap dirinya dan orang lain di sekitarnya untuk dapat menunjukkan

emosi dan dirinya secara baik. Selain itu, idol juga diharapkan untuk

lebih dewasa dalam mengatur emosinya dan menyeimbangkan antara

identitas dirinya sendiri dan identitas dirinya ketika menjadi seorang

idol.

(21)

Idol sendiri masuk dalam kategori J-Pop atau musik pop yang berasal dari Jepang. Namun, bagaimana perkembangan budaya pop sendiri di Indonesia? Perkembangan budaya pop di Indonesia sudah melalu fase yang cukup panjang setelah Indonesia merdeka.

Perkembangan tersebut tidak lepas dari adanya globalisasi dan perkembangan zaman. Globalisasi sendiri sering dikaitkan dengan ekspansi ekonomi secara mendunia pada akhir abad ke-20 ini (Saleha, 2013). Walaupun begitu, globalisasi berkembang menyangkut bidang budaya dan terbagi menjadi lima dimensi yaitu ethnosapes, technosapes, financescapes, mediascapes, dan ideoscapes (Appadurai dalam Saleha, 2013). Kemudian penyebaran budaya pop ini didukung oleh media, sehingga dapat dianggap sebagai globalisasi pada dimensi mediascapes.

Indonesia yang terpapar globalisasi dan perkembangan zaman ini berdampak pada perkembangan budaya pop dari segala bidang seperti musik, hiburan televisi, film, sastra, dan berbagai bidang lainnya.

Budaya pop itu sendiri merupakan ragam tindakan komunikatif yang disajikan untuk masyarakat luas atau sebagian besar rakyat ‘biasa’, atau oleh rakyat, maupun keduanya (Heryanto, 2012). Lalu bagaimana dengan budaya pop global yang mempegaruhi budaya pop di Indonesia?

Budaya pop yang berkembang di Indonesia ada banyak, seperti

(22)

budaya pop yang berasal dari Jepang, Barat, Tiongkok/Taiwan, dan Korea Selatan. Dalam penelitian ini berfokus pada idol yang mengarah pada budaya pop Jepang. Umumnya, produk budaya pop Jepang yang dikenal oleh dunia, juga Indonesia, di antaranya adalah manga (komik Jepang), anime (kartun animasi Jepang), dorama (drama televisi Jepang), dan musik populer Jepang seperti J-pop dan J-rock. Namun, sebelum internet dapat diakses bebas seperti sekarang, awalnya adalah kartun animasi Jepang yang dicintai oleh semua orang, yaitu Doraemon, yang memiliki andil cukup besar dalam perkembangan budaya pop Jepang di Indonesia. Doraemon yang mulai menyebar di berbagai negara Asia menjadi tokoh animasi yang semakin populer dengan nilai budaya dan gaya hidup lokal setempat (Shiraishi dalam Saleha, 2013).

Aliran globalisasi budaya ini bukan berarti proses homogenisasi,

tetapi akhirnya melahirkan keragaman dan hibriditas. Contohnya

adalah Doraemon yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia dan sudah disesuaikan dengan budaya setempat sehingga

mendapat sambutan yang baik dan populer di masyarakat. Walaupun

budaya subkultur Jepang yang memiliki identitas yang unik, bila

dilihat dari perkembangannya dapat disebarkan dengan mudah dan

cepat, maka cukup banyak masyarakat di dunia, khususnya di

Indonesia, mendapat apresiasi yang baik sehingga dapat terus

(23)

berkembang hingga saat ini.

Selain itu, budaya pop dari Taiwan dan Tiongkok juga berperan dalam perkembangan budaya pop di Indonesia. Awalnya, bersama telenovela Amerika Latin, film silat dan ilmu sejarah dari Hong Kong, Taiwan dan Tiongkok menemukan banyak penggemar yang penuh antusias sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an ketika Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru (Heryanto, 2015). Namun produk Taiwan yang sangat meledak pada masanya adalah serial drama Meteor Garden pada tahun 2001. Menurut Ariel, asal-usul transnasional Meteor Garden memberikan banyak hikmah sehingga serial dram ini sangat sukses di Indonesia.

Budaya pop Barat juga memiliki andil yang cukup besar bagi

perkembangan budaya pop di Indonesia. Seperti yang disebutkan

sebelumnya, telenovela Amerika Latin pernah sukses diterima

masyarakat Indonesia. Selain itu, musik pop Barat juga mempengaruhi

perkembangan musik tanah air. Menurut Denny Sakrie (2015), pada

tahun 1960-an, sejumlah band tumbuh pesat dengan kecenderungan

membawa lagu-lagu Barat yang saat itu dipengaruhi oleh musik grup-

grup British Invasion serta rock psikedelik. Sebut saja dari The Beales,

The Rolling Stones, The Hollines, Herman’s Hermits, Yardbirds, The

Kinks, John Mayall, dan The Bluesbreakers memiliki massa sendiri

dikalangan remaja Indonesia saat itu. Selain itu, di Jakarta juga mulai

(24)

muncul nama band anak muda dengan orientasi musik berkiblat Inggris dan Amerika, seperti The Lords, The Flower Poetman, dan lainnya. Selain itu, sampai saat ini budaya pop Barat yang masih sering dijumpai seperti film Barat, serial Netflix, dan musik-musik pop Barat.

Budaya pop dari Korea Selatan, atau lebih dikenal sebagai

Gelombang Korea atau Hallyu, juga sudah ada di Indonesia lebih dari

satu dekade dari tahun 2002 (Nugroho, 2014). Awal mula

perkembangan Hallyu akibat film serial drama Korea Selatan seperti

Endless Love pada tahun 2002 (Suminar, 2018). Banyak faktor yang

mendasari kesuksesan serial drama tersebut, seperti kisah romantisme

yang menyedihkan dan tragis namun menghanyutkan penontonnya,

ketampanan dan kecantikan dengan kemampuan akting yang baik. Di

samping itu, perkembangan musik industri Korea Selatan juga

semakin timbul semenjak tahun 2009 seperti yang masyarakat kenal

sekarang sebagai K-Pop (Nugroho, 2014). Menurut Riani Suminar

(2018), dengan mengusung tema dance pop dengan kiblat pop Barat,

kemampuan menari, wajah menawan, dan lirik lagu yang seringkali

dicampur antara Bahasa Korea dan Bahasa Inggris sukses meledak di

Indonesia. Yuli Pramita dan Syafri Harto (2016) juga mengatakan

bahwa popularitas Hallyu di Indonesia ditandai dengan

terselenggaranya serangkaian kegiatan pameran kebudayaan Korea

sejak tahun 2009-2011 yaitu “Korea-Indonesia Week”.

(25)

Di tengah maraknya berbagai budaya pop di Indonesia, budaya pop Jepang, khususnya dalam bidang musik, dengan keunikannya ia masih memiliki penggemar tersendiri di kancah musik tanah air. Tentu saja musik pop dengan ciri khas pop Jepang yang dibawakan idol juga masih memiliki tempat di hati para penggemarnya. Contoh seperti JKT48 yang masih memiliki segmen pasarnya sendiri sebagai idol dalam dunia pop Jepang di Indonesia.

Idol sendiri biasanya memiliki gambaran seorang ideal atau sempurna yang tidak dapat digapai dan sesuatu yang tersedia dan tidak terbatas secara seksual. Idol bukan hanya untuk para pria, namun juga untuk para kaum konsumen kapitalis. Biasanya para penggemar menyukai idol mereka karena idol dilihat sebagai suatu lambang ideal seorang manusia, yaitu dengan fisik yang sempurna, visual yang menarik, dan hati yang baik.

Salah satu contoh indikator idol di Indonesia yang tampak bahagia

dan profesional dalam kehidupan idolnya adalah dengan kesuksesan

grup dan banyaknya penggemar yang mereka miliki. Seperti grup

bernama LuSca yang berdomisili di Bandung. Dengan beranggotakan

enam orang perempuan muda, mereka mampu memiliki pengikut

Instagram sebanyak 5.026 pengikut, 3.063 pengikut di Twitter, dan

halaman mereka di Facebook disukai para pengikutnya mencapai

(26)

14.155 penyuka (dilihat 29 Juli 2020 pukul 18:43). Grup tersebut menjadi grup idol dengan pengikut terbanyak di seluruh tanah air.

Mereka memiliki citra grup yang ramah pada para penggemarnya, ceria, dan profesional. Selain itu, JKT48 juga menjadi salah satu idol usungan negara matahari yang mendulang kesuksesan di Indonesia.

Berbeda dari LuSca, sister group AKB48 ini merupakan grup idol yang didirikan oleh orang asli Jepang, namun anggotanya merupakan perempuan-perempuan Indonesia yang terpilih melalui seleksi ketat sesuai dengan standar orang Jepang. Mereka sukses membawa nama JKT48 di dunia musik tanah air dan memiliki banyak penggemar dari seluruh penjuru Indonesia.

Selain Ibukota, Bandung juga merupakan pusat perkembangan idol

di nusantara. Banyak grup-grup idol besar yang telah memiliki prestasi

tinggi seperti pernah tampil di Jepang, Thailand, dan Singapore, dan

pernah diundang sebagai pengisi acara di berbagai kota di Indonesia,

mereka berdomisili di kota dengan sebutan Paris Van Java ini. Sebut

saja LuSca, Daisy, Noir, dan banyak grup idol atau idol sendiri yang

berkembang di Bandung. Selain idol, penggemar- penggemarnya juga

tidak pernah surut di kota tersebut dan senantiasa mendukung idol

favoritnya. Terbukti hingga sekarang, mereka masih tidak hilang

eksistensinya dan masih cukup sering mengisi acara-acara dengan

(27)

nuansa Jepang.

Selain Bandung, Yogyakarta juga menjadi salah satu kota yang memiliki banyak idol lokal yang berkembang beserta penggemarnya.

Di kota pelajar ini juga kerap menggelar acara-acara khusus idol dengan tema dan pengisi acara oleh idol itu sendiri. Selain acara khusus idol, acara dengan nuansa kultur Jepang atau acara mereka dan selalu mendatangkan penggemarnya untuk meramaikan acara-acara tersebut. Tidak jauh berbeda dengan Bandung, Yogyakarta juga memiliki banyak grup idol lokal yang berkembang dan berdiri secara mandiri. Beberapa grup idol terkenal yang ada di Yogyakarta seperti Momiji Velvet, Minerva Land, Nanoka, Kohisekai, dll. Mereka cukup terkenal hingga kerap mendapat undangan tampil di luar kota seperti Jakarta, Semarang, Malang, Purwokerto, dan Solo. Mereka memiliki fanbase sendiri yang mendukung mereka dalam menjalankan kegiatan idol.

Menjadi idol merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dengan

berbagai aturan tertulis maupun tidak tertulisnya, seorang idol

diharapkan mampu mengendalikan dirinya saat di atas maupun di

bawah panggung. Namun, mereka juga memiliki kelalaian akan

sesuatu dan bertindak gegabah. Contohnya adalah berita tentang

anggota grup idol yang berkencan secara diam-diam. Seperti yang

(28)

dilansir pada bernas.id mengenai berita perkencanan idol JKT48, seorang member JKT48 ketahuan saat bermesraan di gym dengan laki- laki yang diduga pacarnya dan berada di kelab malam. Padahal, mereka memiliki peraturan yang disebut golden rules, seperti yang tercantum pada berita di detikhot.com, bahwa dari awal terbentuknya grup tersebut, member JKT48 tidak boleh berpacaran dengan siapapun. Hal tersebut tidak boleh dilanggar oleh setiap member yang telah menjalin kontrak dengan grup besar 48 usungan negeri matahari tersebut. Tetapi, memiliki peraturan tersebut bukan berarti para member tidak pernah tidak mematuhinya. Seperti yang tercantum dalam artikel berita liputan6.com, seorang member AKB48, Minami Minegishi, tertangkap basah keluar dari apartemen pacarnya. Setelah itu, ia langsung merasa bersalah dan menghukum dirinya sendiri dengan mencukur habis rambutnya. Oleh CEO AKB48, Minami dijatuhi hukuman berupa diturunkan pangkatnya dari member menjadi trainee. Selain itu, dilarang untuk minum minuman beralkohol dan masuk ke kelab malam.

Selain itu, ada contoh menarik lain yang menceritakan bagaimana

perbedaan reaksi idol lokal terhadap perlakuan tidak senonoh yang

dilakukan oleh para fansnya. Peneliti sebagai mantan idol, juga

memiliki pengalaman tersebut. Ketika peneliti masih aktif dan baru

(29)

awal menjadi idol beberapa tahun lalu, beberapa fns ketika meminta untuk foto bersama, mereka memeluk pinggang, menggandeng tangan, memegang kepala, dan banyak lagi. Peneliti merasa perlakuan mereka tidak menyenangkan, namun karena masih belum biasa berinteraksi dengan fans, walau peneliti tidak nyaman dan takut, peneliti membiarkan perlakuan tersebut namun setelah foto peneliti kabur ke tempat teman-teman idol lain. Saat itu peneliti takut apabila mengutarakan ketidaksukaan, maka fans akan merundung atau menganggap sombong.

Peneliti juga memiliki teman satu grup idol yang pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan dari salah satu fansnya.

Teman peneliti yang merupakan salah satu idol lokal ini sebut saja

bernama Siti. Suatu ketika ia dihampiri oleh salah satu fansnya

kemudian fans tersebut meminta untuk foto bersama. Sesudah sesi foto

itu, fans tersebut tiba-tiba memeluk Siti. Ia hanya bisa diam mematung

ketika dipeluk karena kaget. Namun setelah sadar, Siti langsung

melepas pelukan fans tersebut dan lari menuju staff grup idolnya dan

langsung diantar ke ruang ganti. Di sana, ia menangis karena

mengalami pelecehan dari seorang fansnya. Bahkan ketika ia

menangis, ia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi. Peneliti

mendengar kejadian yang dialami Siti dari seorang staff yang melihat

(30)

dan mengantarnya tersebut. Siti hanya mengangguk dan setelah menangis, ia baru bisa menceritakan kembali. Hal itu kemudian menjadi suatu masalah yang cukup panjang antara grup idol tersebut, khususnya Siti, dengan fans yang melakukan pelecehan tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan cerita seorang idol senior di Bandung yang sudah go internasional. Lila, yang saat itu sudah menjadi idol selama empat tahun, mengalami pelecehan oleh salah seorang fansnya.

Ketika berinteraksi dengan fansnya, Lila merasa ada yang menepuk pantatnya. Kemudian ia tahu bahwa yang melakukan hal tidak senonoh tersebut adalah fansnya yang bernama, sebut saja, Agung.

Walau awalnya Agung tidak mengakui perbuatannya, namun Lila dengan tenang dan kalem menasehati Agung untuk lain waktu tidak dilakukan kembali kepada siapapun. Lila kemudian mengutarakan perasaan tidak sukanya terhadap perbuatan pelecehan Agung namun tetap dengan tenang. Walau setelah itu Lila lebih berhati-hati dengan Agung, namun Lila kemudian tidak menghindari Agung sepenuhnya.

Lila hanya akan berinteraksi dengan Agung seperlunya. Namun Lila juga mengaku bahwa kemampuan untuk mengutarakan suatu hal kepada fans ketika menjadi idol memang butuh waktu dan pengalaman.

Terlihat dari pemaparan fenomena di atas bahwa pentingnya para

(31)

idol membutuhkan setidaknya dua jenis keterampilan. Pertama, keterampilan menimbang-nimbang berbagai emosi dan melawan pikiran-pikiran lain. Seperti kasus atau skandal yang menimpa Minami member AKB48, ia tidak dapat melawan emosi atau pikiran mengenai konsekuensi dan perbuatannya yaitu pergi ke apartemen pacarnya dan bahkan tidak akan berpacaran apabila Minami lebih memilih keterikatannya dengan AKB48 untuk tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Kedua, keterampilan dalam menangani emosi diri sendiri dan menanggapi perlakuan yang kurang menyenangkan dengan cara yang bijaksana. Dalam contoh di atas, terlihat perbedaan cara menanggapi antara Siti dan Lila dalam menanggapi perlakuan tidak menyenangkan, lebih tepatnya pelecehan, oleh fansnya. Lila dapat menangani emosi dirinya dengan baik sehingga dapat memberikan respon yang lebih bijaksana yaitu mengutarakan perasaan tidak nyamannya dengan baik kepada fans tersebut. Sedangkan, Siti kurang dapat menangani emosi dirinya sehingga ia langsung berlari ketika ia mengalami pelecehan tersebut.

Beragam cara menanggapi dan berinteraksi seorang idol ketika

diperlakukan tidak baik oleh fans di sini bisa disebutkan bahwa mereka

memiliki apa yang dinamakan regulasi emosi. Hal tersebut merupakan

salah satu aspek kecerdasan emosi, yaitu teori yang dibesarkan oleh

(32)

Salovey Mayer. Regulasi emosi, menurut Salovey Mayer (2000), adalah cara seseorang untuk mengendalikan emosinya agar berperilaku dengan bijak sesuai dengan emosi yang dirasakannya saat itu. Selain regulasi emosi, ada tiga aspek lain yaitu persepsi-identifikasi emosi, asimilasi emosi, dan pemahaman penalaran emosi. Salah satu aspek yang juga muncul dalam cerita Lila di atas yaitu aspek asimilasi emosi.

Asimilasi emosi, menurut Salovey Mayer (2000), adalah kemampuan untuk menggabungkan pengalaman terhadap suatu emosi tertentu dengan emosi yang dirasakannya saat itu dan lingkungannya. Dalam cerita Lila, ia menyebutkan bahwa kemampuan mengutarakan emosi yang sedang dirasakannya, khususnya yang bernuansa negatif seperti rasa tidak nyaman, memerlukan jam terbang dan pengalaman. Dari cerita singkat Lila dalam dunia peridolnya, setidaknya Lila telah memiliki dua aspek dalam kecerdasan emosi.

Tidak sedikit yang menyukai dan mendalami teori yang

dikembangkan oleh Salovey ini. Para peneliti di dunia cukup banyak

menerbitkan jurnal ilmiah maupun buku-buku yang berkaitan dengan

kecerdasan emosi. Dengan adanya alat ukur berupa skala kuantitatif

yang dapat mengukur kecerdasan emosi, penelitian tentang kecerdasan

emosi tersebut berkembang cukup pesat dengan menggunakan alat

ukur tersebut, yaitu The Mayer-Salovey-Caruso Emotional

(33)

Intelligence Test (MSCEIT). Skala tersebut juga banyak dikembangkan sehingga memiliki alat tes untuk berbagai golongan dan kepentingan seperti untuk umum, remaja, anak, dll.

Di Indonesia sendiri, sudah banyak penelitian yang membahas tentang kecerdasan emosi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Devi Sari Nastiti dan Fitri Andriani yang berasal dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya (2014). Mereka meneliti tentang hubungan antara kecerdasan emosional dengan gaya manajemen konflik pada wanita dewasa awal yang telah menikah. Penelitian kuantitatif yang mereka lakukan menggunakan metode korelasi.

Penelitian lainnya adalah penelitian yang menjabarkan hubungan

antara self compassion dengan resiliensi pada mantan pecandu narkoba

dewasa awal. Penelitian itu dilakukan oleh Rizki Febrinabilah dan

Ratih Arruum Listiyandini dari Fakultas Psikologi Universitas YARSI

(2016). Penelitian lain mengenai kecerdasan emosi di Indonesia

dilakukan oleh A. A. Anwar Prabu Mangkunegara dan Mela

Puspitasari dari Universitas Mercu Buana Yogyakarta (2015). Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh kecerdasan

emosi dan stress kerja terhadap kinerja pada guru. Penelitian ini

menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan korelasi product

moment.

(34)

Dari beragam penelitian di atas, hanya sedikit yang melakukan penelitian kualitatif mengenai kecerdasan emosi. Maka peneliti ingin melakukan penelitian secara kualitatif. Di Indonesia, masih sedikit juga yang melakukan penelitian kecerdasan emosi yang dilihat dari lingkup lain selain dalam lingkup pendidikan dan dunia perindustrian.

Selain itu, masih sedikit literatur mengenai idol dan penelitian ilmiah dan yang memiliki idol sebagai target group. Salah satu karya ilmiah yang melihat idol Jepang sebagai subjek penelitian adalah Idol and Celebrity in Japanese Media Culuture (Galbraith & Karlin, 2012).

Buku tersebut berisi jurnal-jurnal ilmiah tidak hanya mengambil sudut pandang idol, namun juga teori film, budaya selebriti, dan para penggemarnya. Mereka melihat dengan perspektif industri serta pengaruhnya dalam ekonomi, sosial, politik, dan lintas budaya. Buku tersebut dibuat dengan melihat fenomena AKB48 yang memiliki dampak besar bagi dunia idol Jepang dan bahkan media Jepang sendiri.

Selain itu, Grant Jun Otsuki (2013) juga meneliti tentang bentuk tubuh

dan karya sebuah grup idol Jepang bernama Perfume dan teknologi

musiknya. Penelitian lainnya dilakukan oleh Yuen Shu Min (2007)

berjudul Pop-Idol Concerts in Contemporary Japan – Queering

Gender, Sexuality and Ethnicity. Penelitian ini lebih berfokus pada

penampilan dan konser idol Jepang itu sendiri. Berdasarkan

(35)

penelitian-penelitian tersebut, belum ada penelitian yang mengambil idol sebagai target group dan melihatnya sebagai subjek dalam perspektif psikologi.

Di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang berfokus pada idol.

Penelitian yang sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia lebih menyasar pada penggemar idol itu sendiri. Seperti penelitian oleh Rizku Soraya (2013) berjudul JKT48 as the New Wave of Japanization in Indonesia. Penelitian ini lebih berfokus pada perbandingan JKT48 dengan AKB48 dan pengaruh budaya Jepang di Indonesia. Penelitian lainnya berupa skripsi untuk S1 yang banyak mengambil penggemar idol sebagai subjek. Maka penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan tentang idol di Indonesia, khususnya dengan mengambil perspektif psikologi.

Penelitian ini diharapkan mampu membuka pandangan baru kepada orangtua akan dinamika psikologis putra putrinya yang terjun aktif menjadi seorang idol atau baru memiliki keinginan untuk menjadi seorang idol. Diharapkan orangtua akan mendapatkan gambaran tentang susah senangnya saat buah hatinya sedang atau kelak menjadi seorang idol. Karena tidak semua orangtua mampu secara kasat mata mengetahui dinamika apa saja yang terjadi pada seorang idol.

Penelitian ini dapat memberikan gambaran dan pemahaman kepada

(36)

orangtua untuk dapat mendampingi dan memahami anaknya yang sudah terjun atau akan baru terjun ke dalam dunia idol.

Selain orang tua, orang-orang terdekat idol akan menjadi orang- orang yang bisa menjadi teman yang mendukung maupun yang tidak mendukung. Alangkah baiknya bila mereka yang merupakan orang- orang terdekat sang idol juga dapat memahami perasaan dan emosinya sehingga mampu memberi dukungan moral dan afeksi kepada idol tersebut. Maka, orang-orang terdekat idol dapat menambah pengetahuan mereka dengan membaca penelitian ini untuk lebih dapat memahami orang terdekatnya sebagai idol.

Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi sumbangsih bagi masyarakat psikologi, terutama bagi para ilmuwan dan praktisi psikologi ke depannya. Peneliti menyadari bahwa kebanyakan penelitian tentang idol berfokus pada bidang industri, penelitian tentang idol dari sudut pandang psikologi masih tergolong minim dan tidak populer, baik pada lingkup di Indonesia maupun mancanegara.

Penelitian serupa diperlukan untuk mengembangkan penelitian lain

dengan sasaran kelompok idol yang kemudian akan menambah

kekayaan intelektual bagi disiplin ilmu psikologi.

(37)

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Idealnya, idol memiliki kecerdasan emosi dalam memaknai pengalaman emosionalnya dan supaya bisa menjaga profesionalitas walaupun mengalami situasi atau perlakuan yang membuat dirinya tidak nyaman. Tetapi pada kenyataanya, tidak semua idol seperti itu.

Sehingga diperlukan penelitian untuk memahami kecerdasan emosi idol-idol di Indonesia yang telah sukses dan terkenal.

Beragam penelitian telah dilakukan terkait Kecerdasan Emosi seperti “Ability Emotional Intelligence, Depression, and Well-Being”

(Fernández-Berrocal & Extremera, 2016), ”Hubungan Antara

Kecerdasan Emosional Dengan Kreativitas Non Aptitude Pada

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri

Semarang” (Muthiah & Ratnaningsih, 2016), dan “The Relationship

Between Trait Emotional Intelligence And Creativity Across Subject

Domains”(Sánchez-Ruiz et al., 2011), tetapi belum ada penelitian

yang meneliti tentang kecerdasan emosi seorang idol di Indonesia. Di

samping itu, jumlah penelitian ilmiah mengenai idola Jepangpun

belum banyak. Salah satu buku yang berisi penelitian tentang idola

Jepang dibuat oleh Galbrait dan Jason (2012) yang meneliti idola

Jepang melihat dari sisi manajemen dan bisnis. Penelitian yang

berkaitan dengan idol banyak yang menyasarkan penggemar idol.

(38)

Belum ada penelitian ilmiah yang fokus pada idola itu sendiri sebagai manusia, khususnya di Indonesia.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Di atas telah disebutkan permasalahan mengenai kecerdasan emosi seorang idol di Indonesia. Namun, peneliti sebagai mahasiswa hanya mampu meneliti sebagian kecil idol saja di antara maraknya idol di seluruh penjuru tanah air. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang dewasa awal berdomisili di Yogyakarta.

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi makna pengalaman hidup emosional idol di Indonesia. Berdasarkan dinamika emosional seorang idol selama menjalankan perannya sebagai idol, akan muncul sebuah makna berdasarkan pengalaman tersebut.

E. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana idol memaknai

pengalaman hidup emosionalnya.

(39)

F. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Dewasa Awal yang Akan atau Sedang Menjadi Idol Penelitian ini bermanfaat untuk menambahkan pengetahuan mengenai pentingnya kecerdasan emosi bagi idol dengan usia dewasa awal. Pengetahuan ini berguna untuk meningkatkan kecerdasan emosi bagi para dewasa awal yang sedang menjalani hidupnya sebagai idol maupun bagi orang-orang yang memiliki keinginan untuk menjadi idol di usia dewasa awal.

2. Bagi Pendukung Idol di Indonesia dan yang Tidak Mendukung Penelitian ini bermanfaat sebagai pengetahuan bagaimana cara memahami dan mendukung dengan cara yang baik pada idol kegemarannya. Dengan demikian, dapat terjalin komunikasi yang positif antara penggemar dengan idol sehingga menghasilkan relasi yang baik dan nyaman antara penggemar dengan idolnya.

3. Bagi Keluarga Idol atau Keluarga Calon Idol

Penelitian ini bermanfaat sebagai pengetahuan untuk

membimbing dan mendukung dengan baik anggota keluarga

mereka yang merupakan idol maupun yang memiliki keinginan atau

hobi sebagai idol.

(40)

4. Bagi Ilmuwan dan Praktisi Psikologi

Tidak banyak penelitian psikologi yang menyoroti seorang idol. Kebanyakan penelitian idol berpusat pada sisi industri saja, tidak melihat idol sebagai subjek psikologis, seperti penelitian- penelitianyang telah disatukan oleh Galbraith (2012) tentang idol dan selebriti Jepang dilihat dari sisi industri media di Jepang.

Khususnya di Indonesia, belum ada penelitian psikologi tentang

idol. Maka penelitian ini diperlukan untuk mengembangkan

penelitian kecerdasan emosi dengan target group idol dan

menambah literatur kualitatif sehingga berguna untuk menambah

wawasan.

(41)

24 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGANTAR

Pada bab ini menjelaskan mengenai variabel penelitian dan target group dari penelitian ini. Variabel penelitian yang akan dijelaskan adalah kecerdasan emosi yang juga dilihat dari perspektif Psikologi Perkembangan dan perspektif Psikologi Sosial.

B. DINAMIKA PSIKOLOGIS IDOL DI INDONESIA

Di bawah ini akan dijelaskan dinamika psikologis idol dilihat dari perspektif Psikologi Perkembangan dan dari perspektif Psikologis Sosial. Bila dilihat dari kacamata Psikologi Perkembangan, idol akan dikaitkan dengan golongan dewasa awal, yaitu mereka dengan umur 18-25 tahun menurut Arnett (2006). Dari kacamata Psikologi Sosial, idol akan dilihat dari perspektif seorang penari menurut Schinke (2017).

1. Perspektif Psikologi Perkembangan

Idol adalah mereka yang memakai pakaian yang lucu dan

menggemaskan, warna-warni, riasan polos dan sederhana namun

cantik, bertalenta untuk menari dan menyanyi serta dapat

menghibur banyak orang hanya dengan senyumnya yang manis.

(42)

Citra itulah yang melekat dengan para idol yang ada di tanah air dengan aliran Jepang. Idol bisa terdiri dari banyak golongan umur, dari anak kecil SD atau SMP, hingga yang sudah berumur 25 tahun ke atas. Namun rata-rata idol di Indonesia duduk di akhir masa SMA hingga perkuliahan. Golongan usia seperti itu dianggap masih memiliki sisi aktif, kekanakan, dan polos dari masa anak-anak dan remaja, namun cukup dewasa untuk dapat tampil secara profesional di atas panggung. Dengan begitu, rata-rata umur mereka masuk pada usia dewasa awal.

Dinamika psikologis idol dapat dilihat dengan perspektif psikologi perkembangan dalam tahap perkembangan dewasa awal.

Dengan melihat rata- rata kematangan emosi mereka dicapai dalam

usia 20 tahun ke atas, maka idol masuk dalam rentang usia dewasa

awal. Rentang usia dewasa awal menurut Hurlock (1991) adalah

usia 18 hingga 40 tahun. Transisi dari remaja ke dewasa disebut

sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari

usia 18 sampai 25 tahun (Arnett dalam Santrock, 2011), dan

selanjutnya, individu yang mengalami masa beranjak dewasa atau

emerging adulthood akan disebut sebagai dewasa awal. Pada masa-

masa ini, mereka mulai bereksperimen dan bereksplorasi dengan

banyak hal. Mereka yang menginjak usia dewasa awal ini masih

(43)

banyak yang mencari wawasan yang luas dan bereksplorasi dengan keinginan akan karier mereka, ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana, serta gaya hidup mereka mengenai adanya pasangan atau tidak.

Ada lima ciri-ciri dari orang yang beranjak dewasa menurut Jeffrey Arnett (dalam Santrock, 2011), yaitu :

a. Eksplorasi identitas, khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan.

b. Ketidakstabilan dalam hal relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan. Hal ini juga dapat terjadi karena perpindahan tempat tinggal yang rentan terjadi pada usia ini.

c. Self-focused (terfokus pada diri sendiri). Menurut Arnett (2006), para dewasa awal cenderung fokus pada dirinya sendiri dan kurang terlibat dalam kewajiban sosial, melakukan tugas dan berkomitmen terhadap orang lain.

Akibatnya, mereka memiliki otonomi yang besar dalam mengatur ritme kehidupannya sendiri.

d. Feeling in-between (merasa seperti berada/di peralihan),

berarti pada usia-usia ini, mereka merasa bukan sebagai

remaja lagi tetapi juga belum menjadi seseorang dewasa yang

memiliki pengalaman.

(44)

e. Usia yang memiliki berbagai peluang dan kemungkinan mengubah kehidupan. Arnett (2006), menjelaskan ada dua kemungkinan yaitu, pertama, bagi mereka yang optimis dengan masa depannya dan kedua, usia ini memberi peluang untuk mengarahkan hidup mereka yang lebih positif bagi mereka yang mengalami kesulitan saat beranjak dewasa.

Penelitian ini berfokus pada tiga ciri di atas, yaitu eksplorasi identitas; ketidakstabilan dalam hal relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan; dan usia yang memiliki berbagai peluang. Pertama, eksplorasi identitas. Dalam eksplorasinya, dewasa awal mengembangkan identitas diri mereka seperti memastikan jati diri mereka dan apa yang mereka mau dalam kehidupannya. Dewasa awal lebih mandiri dan tidak bergantung pada orang tuanya daripada ketika mereka remaja, dan mulai meninggalkan rumah.

Namun, mereka belum sepenuhnya stabil. Menurut Arnett (dalam Santrock, 2011), menunda komitmen adalah tipikal emerging adult.

Pada masa ini, mereka tidak memperhatikan orang tua mereka

kembali, tetapi juga tidak berkomitmen pada macam-macam peran

seorang dewasa. Ketika dewasa awal, proses pengembangan

identitas dalam dunia romantis dan pekerjaan lebih intensif

daripada masa remaja.

(45)

Perkara hubungan romantis, seorang emerging adult cenderung akan terlibat dalam level intimasi yang lebih dalam dan memiliki pertanyaan- pertanyaan implisit yang menjurus pada identitas dirinya seperti “Aku orang yang seperti apa dan orang yang bagaimana yang cocok denganku?”. Dengan bersosialisasi dengan banyak orang, emerging adult akan belajar tentang kualitas lebih penting daripada kuantitas, yaitu kualitas bagaimana yang menarik bagi mereka dan yang menyebalkan dan hendaknya dihindari.

Dalam hal pekerjaan, pengalaman kerja berfokus pada dasar-dasar pekerjaan. Mereka juga belajar tentang kemampuan dan ketertarikan mereka, serta pekerjaan yang bagaimana yang cocok dan tidak untuk mereka.

Kedua, ketidak-stabilan (Arnett dalam Santrock, 2011). Efek dari eksplorasi identitas dan perubahan pilihan-pilihan dalam hal percintaan dan pekerjaan membuat tahap kehidupan mereka bukan hanya penuh dan intens, namun juga tidak stabil. Ketika seseorang beranjak dewasa, mereka membuat “rencana” untuk masa depannya. Namun nyatanya, “rencana” tersebut dapat berubah atau mendapat revisi karena eksplorasi yang mereka lakukan.

Contohnya, ketika mereka menyadari bahwa jurusan kuliah yang

mereka masuki tidak semenarik atau tidak sesuai ekspektasi sesuai

(46)

“rencana” mereka, maka saatnya mengubah “rencana” tersebut, seperti pindah jurusan atau berhenti kuliah dan bekerja. Dalam ketidakstabilan “rencana”, seorang dewasa akan belajar sesuatu tentang diri mereka dan mengambil langkah ke depan untuk memantapkan “rencana” masa depan seperti yang mereka inginkan.

Ketiga, berbagai peluang, kemungkinan, dan keoptimisan (Arnett dalam Santrock, 2011). Emerging adulthood adalah umur di mana seseorang memiliki banyak kemungkinan, seperti kemungkinan untuk masa depannya menjadi seperti apa dan kecil kemungkinan tujuan hidup seseorang telah ditentukan para arah tertentu. Inilah masa-masa seseorang memiliki harapan dan ekspektasi yang tinggi, sebagian mimpi mereka telah diuji dalam kenyatan kehidupan. Emerging adult mengharapkan dan membayangkan masa depan mereka yang hidup mapan, pekerjaan yang memuaskan, lancar dalam berumah tangga, dan memiliki keluarga kecil. Tentu saja, masa-masa inilah yang menawarkan pada emerging adult akan potensi untuk mengubah arah hidup mereka secara dramatis dan mendalam dan mereka memiliki kesempatan yang luas dalam menentukan pilihan mereka.

Dari ketiga poin di atas, dapat ditarik kesimpuan bahwa dewasa

awal melakukan eksplorasi identitas untuk memastikan jati diri dan

(47)

menentukan masa depannya. Dalam menentukan masa depannya, mereka memiliki peluang besar yang dapat mengubah arah hidup mereka. Mereka optimis dan memiliki harapan besar terhadap masa depan yang mereka impikan. Maka, mereka memiliki rencana- rencana untuk menggapai impiannya tersebut. Namun dengan adanya eksplorasi diri, hal itu berdampak pada rencana-rencana yang telah mereka susun dapat berubah sesuai dengan kenyataan hidup yang sedang mereka hadapi. Inilah saat dewasa awal menemui ketidak-stabilan dalam hidupnya, sepertinya dalam hal hubungan romantis dan pekerjaan.

2. Perspektif Psikologi Sosial

Selain perspektif psikologi perkembangan, idol juga dapat

ditinjau dari perspektif sosial. Perspektif sosial yang diambil

peneliti adalah Psikologi Olahraga dan Performing Arts. Bilamana

kita melihat dari perspektif tersebut, Idol dapat termasuk dalam

kategori penari dalam performing arts. Performing arts di sini

merujuk pada penari. Idol merupakan seorang penari karena mereka

menampilkan performance mereka dengan menari di atas panggung

dan kadang dengan menyanyi. Seorang kritikus seni bernama Judith

Mackrell (2017) dalam artikelnya di Britannica.com dengan judul

(48)

Dance, memberikan definisi seni tari adalah gerak tubuh yang ritmis dengan iringan musik dan dilakukan di sebuah ruang, yang bertujuan untuk mengekspresikan ide atau emosi, melepaskan energi dalam diri, atau hanya sebuah kesenangan semata. Selain itu, dalam Psychology in Professional Sports and The Performing Artt, Schinke & Hackfort (2017) mengemukakan bahwa penari juga sering dianggap sebagai atlet, hal ini sudah menjadi hal wajar di kalangan para penari. Dengan dasar tersebut, maka penari sebagai penampil berbagi norma “sport ethic” layaknya atlet. Penelitian mengindikasi empat norma dari sport ethic, di mana seorang penari (1) melakukan pengorbanan untuk sebuah “permainan”; (2) berjuang untuk meraih kehormatan; (3) menerima risiko dan bermain melalui rintangan; dan (4) tidak menerima batasan dalam mengejar suatu kemungkinan (Hughes & Coakley dalam Schinke

& Hackfort, 2017).

Menurut Schinke (2017), seorang penari memiliki tiga ciri-ciri.

Pertama, seorang penari harus mencapai dan menjaga keindahan

bagai model fashion, karisma, dan kedalaman emosional dari

seorang aktor, dan kemampuan atletis seorang atlit, sebaik

pengetahuan musikalnya yang luas. Setiap penari memiliki ideal

tentang profil kepribadian seseorang yang sukses, begitu pula

(49)

dengan banyaknya cara yang diperlukan seorang penari untuk menggapai cita-citanya, dan setiap penari mengembangkan pikiran yang sangat spesifik dan khusus. Namun, seorang penari yang memiliki sensitifitas emosional yang tinggi mungkin dianggap oleh penari lain sebagai individu yang memiliki kesulitan mengatur kompetisi, namun ia dapat menampilkan dengan kestabilan yang bagus dalam konteks faktor suportif yang spesifik (misal, altetik superior, ambisi yang tinggi, dukungan keluarga, kemampuan bersosialisasi yang baik).

Kedua, ketajaman mental, fleksibilitas, dan keberanian adalah aset dalam dunia tari. Ketiga hal itu diperlukan seorang penari ketika ia belajar maupun mencoba hal-hal baru. Seorang penari tidak dapat mengelak dari opsi pergantian peran yang diberikan koreografernya. Tuntutan dalam pergantian ini tentunya dirasakan antusias oleh penari tersebut, namun tidak luput dari dampaknya yaitu dapat meningkatkan mental maupun dapat meningkatkan mental stres dan cedera.

Ketiga, kepekaan diri terhadap kondisi tubuh dan emosi.

Seorang penari dengan kepekaan diri yang tajam dapat memiliki

keuntungan yaitu dapat mengelola ekspresi saat tampil dan

perhatian terhadap rasa sakit di awal cedera sehingga dapat memulai

(50)

pengobatan sejak dini sebelum cedera bertambah parah. Selain itu, pendidikan dalam tari juga membuahkan hasil disiplin yang kuat dan tujuan yang memiliki batas waktu di setiap diri penari. Namun, dengan adanya keterbatasan waktu yang tertanam dalam diri penari, kerap kali mereka memaksakan diri mereka bahkan ketika mereka cedera. Penari cenderung menutupi cederanya dan terus berproses.

Maka, ketangguhan yang dimiliki penari akan sangat menguntungkan dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam meniti karir. Penari yang dapat melalui masa-masa mengecewakannya secara mental biasanya memiliki karir yang lebih sukses di masa depan daripada mereka yang tidak sanggup secara mental dan berpikir untuk berhentu. Selain itu, penari yang dapat melampauinya secara mental, mereka memiliki kekuatan dan perspektif baru, serta ketahanan untuk menghadapi rintangan selanjutnya.

Dari ketiga ciri-ciri yang telah disebutkan Schinke, dapat

diambil kesimpulan bahwa penari biasanya memiliki sosok

idealnya masing-masing sehingga mereka bekerja keras untuk

memenuhi target ideal tersebut maupun menjaga dirinya untuk tetap

berada di zona idealnya. Namun, tidak menutup kemungkinan

seorang penari dapat memiliki idealisme baru ketika idealisme

(51)

sebelumnya telah tercapai. Hal ini berkaitan dengan ciri kedua, di mana seorang penari memiliki keberanian, fleksibilitas, serta ketajaman mental untuk mencoba hal-hal baru. Tidak menutup kemungkinan seorang penari memiliki cedera ketika bekerja keras mencapai cita-cita atau idealismenya tersebut. Maka, seorang penari biasanya memiliki kepekaan diri terhadap kondisi tubuhnya maupun emosi yang dirasakannya saat itu. Kepekaan penari ini dapat mencegah penari untuk mendapatkan cedera yang lebih serius. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa target penari memiliki tenggat waktunya masing- masing. Maka ketangguhan yang dimiliki seorang penari memiliki peran penting ketika mereka mengalami jatuh bangun dalam upaya mengejar target maupun memulihkan diri dari keterpurukannya untuk memenuhi target atau idealisme yang ingin dicapainya.

C. KECERDASAN EMOSI

Di bawah ini akan dijelaskan definisi kecerdasan emosi dari ahli,

kemudian aspek-aspek kecerdasan emosi serta penjelasannya, faktor-

faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi itu sendiri, serta

dampaknya bagaimana ketika memiliki kecerdasan emosi yang tinggi

maupun rendah.

(52)

1. Definisi Kecerdasan Emosi

Ada dua definisi kecerdasan emosi menurut ahli. Pertama, kecerdasan emosi menurut Goleman (dalam Zeidner et al., 2009), menyebutkan bahwa “For now, we will take this term to refer to a generic competence in perceiving emotions (both in oneself and in others). This competence also helps us regulate emotions and cope efectively with emotive situations.”. Kecerdasan emosi bisa dibilang kompetensi umum untuk memahami emosi diri sendiri maupun orang lain. Kecerdasan emosi juga dapat membantu seseorang untuk meregulasi emosi dan mengatasi suatu emosi tertentu secara efektif. Selain itu, Peter Salovey dan John D. Mayer (dalam Zeidner et al., 2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah “As a subset of social intelligence that involvesthe ability to monitor one's ownand others' feelings and emotions, to discriminate among them and to use this information to guide one's thinking and actions”, bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk mengawasi perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain. Kemampuan itu berguna untuk membedakan antara dirinya dengan orang lain dan menggunakan informasi tersebut untuk memandu seseorang untuk berpikir dan bertindak.

Berdasarkan kedua penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk

(53)

memahami emosi dirinya sendiri maupun orang lain, dan orang tersebut dapat berpikir dan bertindak secara tepat berdasarkan emosi yang dirinya atau orang lain rasakan.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Menurut Mayer dan Caruso (dalam Zeidner et al., 2009), kecerdasan emosi memiliki empat aspek yang meliputi :

a. Persepsi dan Identifikasi Emosi (Emotion Perception- Identification)

Aspek persepsi dan identifikasi emosi, menunjuk pada kesadaran individu akan emosi yang sedang dirasakannya dan respons otak atau pikiran tentang emosi itu sendiri.

Selain itu, aspek persepsi-identifikasi ini juga menunjukkan bahwa individu mampu mengawasi emosi dirinya sendiri dan orang lain, dan dapat membedakan apakah itu emosi diri sendiri atau orang lain kemudian mengekspresikannya secara tepat.

b. Fasilitasi Emosi atau Asimilasi Emosi (Assimilating Emotion or Emotional Facilitation)

Aspek asimilasi emosi atau fasilitasi emosi merupakan

kemampuan individu untuk menggabungkan pengalaman

terhadap emosi-emosi ke dalam kehidupan. Caranya adalah

(54)

dengan memakai emosi tersebut untuk berpikir dan berperilaku. Dalam aspek ini juga menunjukkan kemampuan individu dalam selective attention. Selective attention berarti individu menimbang emosi-emosi yang dirasakannya saat itu dengan pikiran lain kemudian menentukan emosi mana yang lebih mengarahkan perhatian individu. Aspek ini mencakup menimbang emosi satu sama lain dan melawan sensasi dan pikiran lain, dan memungkinkan emosi untuk mengarahkan perhatian (misal memegang keadaan emosi dalam kesadaran yang cukup lama untuk membandingkan kesesuaian dengan sensasi serupa dalam suara, warna, dan rasa). Dari perspektif ini, menyusun emosi seseorang (untuk memenuhi tujuan) tampak penting untuk perhatian yang terpilih, pemantauan diri, motivasi diri, dan lain-lain.

c. Pemahaman dan Pertimbangan Emosi (Understanding and Reasoning about Emotions)

Aspek pemahaman dan penalaran emosi, menunjukkan

kemampuan untuk memahami mengapa emosi itu ada dan

dirasakannya saat itu. Selain itu, memahami tentang

masalah emosi yang sedang dirasakan juga penting.

(55)

d. Manajemen Emosional atau Regulasi Emosi pada Diri Sendiri dan Orang Lain (Emotional Management, or the Regulation of Emotion in the Self and Others)

Aspek terakhir dianggap Mayer & Caruso sebagai level tertinggi dalam aspek-aspek kecerdasan emosi, yaitu aspek regulasi emosi atau manajemen emosi diri sendiri maupun orang lain. Secara singkat, aspek ini menunjukkan bagaimana cara seorang individu mengendalikan emosinya.

Contohnya, bagaimana cara menenangkan diri setelah merasa stres, atau cara menangani orang lain yang sedang merasa stres. Aspek ini memudahkan individu untuk memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.

3. Faktor-faktor dalam Kecerdaan Emosi

Menurut Mosche (2009), faktor-faktor yang memengaruhi

tingkat kecerdasan emosi seseorang ada sembilan, yaitu konstitusi

dan temperamen (termasuk faktor genetik), proses perkembangan

kognitif, proses perkembangan sosio-emosional lingkungan sekolah

dan komunitas, cara mengasuh anak yang disukai orang tua dan

latihannya, figur modelling dalam lingkungan sosial (teman sebaya,

guru, dll.), pendidikan efektif di sekolah, norma-norma dan nilai-

(56)

nilai budaya-sosial, program intervensi pengobatan (treatment intervention programs). Namun, sesuai dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan memakai tiga faktor, yaitu faktor lingkungan komunitas, figur modelling dalam lingkungan sosial seperti teman sebaya, guru, dan dalam penelitian ini, figur idol Jepang. Yang terakhir adalah faktor norma-norma dan nilai-nilai budaya-sosial.

a. Faktor pertama adalah faktor lingkungan individu.

Keseluruhan lingkungan afektif di komunitas dan masyarakat, tempat seorang individu terpapar, tampaknya berdampak pada kompetensi emosional seorang individu yang aktif dalam komunitas yang diikutinya. Sebuah komunitas dapat meningkatkan maupun menghambat perkembangan kecerdasan emosional seseorang tergantung pada anggota komunitas itu sendiri. Misalnya, jika teman komunitas atau pemimpin komunitas tersebut sering mengungkapkan kemarahan atau kecemasan, individu dapat menginternalisasi keadaan afektif ini dan mengalaminya dalam berbagai situasi.

b. Faktor kedua adalah faktor figur modeling dalam

lingkungan sosial seperti teman sebaya, guru, maupun idol

Jepang yang dicontoh oleh individu. Menurut Mosche,

(57)

seseorang dalam masa hidupnya memiliki panutan atau seorang contoh yang diikutinya, seperti orangtua, teman sebaya, guru, atau bahkan artis, dll. Dalam perkembangan seseorang, orangtua biasanya menjadi figur pertama yang ditiru oleh seseorang. Dengan meningkatnya kedewasaan, teman sebaya menjadi pengaruh yang lebih menonjol pada sosialisasi emosional. Penelitian menunjukkan bahwa ketika kakak yang lebih tua menunjukkan pola sosialisasi yang bermanfaat (misalnya bereaksi positif terhadap emosi positif dan tidak menunjukkan reaksi negatif terhadap emosi negatif), adik kandung menunjukkan lebih banyak pengetahuan emosional. Contoh lain adalah, ketika seorang individu memiliki teman dekat yang sering menyumpah, individu tersebut memiliki kemungkinan besar untuk mengikuti perilaku temannya tersebut.

c. Faktor ketiga adalah faktor norma-norma dan nilai-nilai

budaya sosial. Semakin bertambah umur, peran orangtua

semakin berkurang, sedangkan peran teman sebaya, seorang

panutan, dan juga budaya di lingkungannya bertambah kuat

dalam memengaruhi seorang individu. Norma dan nilai

budaya memiliki pengaruh secara tidak langsung, salah

(58)

satunya adalah melalui kepercayaan orangtua dan pendidik- pendidiknya dalam membesarkan seorang individu. Selain itu, budaya di lingkungan individu berpijak juga dapat memengaruhi keadaan emosional individu. Misalnya, seseorang yang berasal dari Sunda menempuh pendidikan di Yogyakarta. Lambat laun, orang tersebut akan terpapar budaya Jogja seperti berbicara bahasa Jawa, budaya pekewuh, dll.

Beberapa faktor di atas tidak bisa bekerja sendirian dalam mempengaruhi kecerdasan emosi. Faktor genetik yang mempengaruhi temperamen, dibantu oleh pengaruh lingkungan, membentuk suatu pengalaman pribadi seseorang. Berdasarkan pengalaman pribadi tersebut, proses perkembangan kognitif dan perkembangan sosio-emosi seseorang bertumbuh. Dampak dari proses perkembangan dalam diri tersebut salah satunya adalah proses perkembangan kecerdasan emosi. Namun, dalam beberapa masa perkembangan terpenting individu, faktor genetik yang berupa ekspresi diri yang merupakan bawaan lahir dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat dirasakan bahwa

kecerdasan emosi dapat bertumbuh dengan baik bila seseorang

(59)

berada dalam penciptaan lingkungan yang mendukung secara emosional untuk diri sendiri. Hal ini berarti terdapat hubungan antara kecerdasan emosi yang tinggi dengan mencari lingkungan yang mendukung secara sosial (misalnya hubungan yang baik dengan orang tua, teman sebaya, dan guru). Begitu juga sebaliknya, ketika ketidak-pekaan emosional dapat menuntun pada lingkungan emosional yang destruktif (misalnya memilih seorang contoh yang tidak baik, membuat musuh).

4. Dampak

Melihat dari faktor-faktor dan proses di atas, maka terdapat dampak- dampak yang muncul pada individu. Menurut Mosche (2009), kecerdasan emosi dapat dibentuk dengan baik oleh lingkungan yang suportif secara emosional terhadap orang tersebut.

Dampaknya adalah, semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang, maka semakin suportif lingkungan sosialnya. Begitu pula sebaliknya, bahwa semakin seseorang tidak peka atau tumpul kecerdasan emosinya, maka akan membangun lingkungan emosi yang destruktif. Selain itu, terdapat rincian dampak dari kecerdasan emosi yang tinggi maupun rendah pada seorang individu.

Menurut bagan yang digambarkan oleh Mosche (2009),

(60)

dampak dari individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi adalah kualitas yang baik dalam interaksi sosial, perilaku sehat yang positif, adaptasi sosial yang baik, memiliki empati, kecenderungan memiliki kelekatan, perilaku prososial, kepercayaan diri yang baik, dan memiliki pencapaian di sekolah. Sebaliknya, dampak dari kecerdasan emosi yang rendah (Mosche, 2009) adalah ketidakstabilan emosi individu, depresi, perilaku cemas, alexitymia, perilaku antisosial, perilaku kenakalan, merokok, pemakaian narkoba, dan afektifitas negatif. Alexithymia sendiri memiliki definisi telah disepakati sebagai (1) kesulitan mengidentifikasi perasaan dan membedakan antara perasaan dan sensasi tubuh akan gairah (arousal) emosi; (2) kesulitan menjelaskan perasaan kepada orang lain; (3) keterbatasan dalam proses imajinasi, yang terwujud dalam kurangnya fantasi; dan (4) gaya kognisi yang berorientasi pada stimulus eksternal.

Dari beberapa dampak kecerdasan emosi yang disebutkan di atas, peneliti memilih empat dampak positif dan tiga dampak negatif yang relevan dengan penelitian ini. Dampak positif pertama adalah kualitas yang baik dalam interaksi sosial, adaptasi sosial yang baik, memiliki empati, dan kepercayaan diri yang baik.

Sedangkan dampak negatifnya adalah ketidakstabilan emosi

Gambar

Diagram 1. Kerangka Konseptual Awal ............................................................
Tabel 1  Panduan Wawancara  Tujuan  Pertanyaan  1.  Mendapatkan  gambaran  pengalaman  partisipan  bersosialisasi  dengan  penggemar

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sehubungan hal tersebut, diminta Saudara membawa Dokumen kualifikasi dan salinannya (Data Administrasi, Akte Pendirian, Ijin Usaha, NPWP, Bukti Pelunasan Pajak SPT

“Masyarakat yang Berdaya Saing” menunjukkan visi Pemerintah Kabupaten Landak yang bercita-cita mewujudkan masyarakat Kabupaten Landak yang memiliki keunggulan

DAF"TAR RINCIAN NILAI PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA KE DALAM MODAL SAHAM PERSEROAN TERBATAS (PT). PERKEBUNAN SUMATERA UTARA YANG

Namun subkultur dari eksplan yang berasal dari media yang mengandung TDZ 3,0 mg/1 ke media yang mengandung konsentrasi TDZ yang sama menunjukkan jumlah tunas yang

Serta hubungan antara gambar atau tampilan dalam iklan sebagai (1) Gambar berupa alat fasilitas yang digunakan dalam pelayanan jasa (2) Gambar berupa hasil jasa dari

Sistem instalasi pemipaan yang terpasang pada area Refinery ini, dapat dipilih pompa guna mensuplai CPO dari Tank Farm menuju ke tangki Vacuum Dryer.. Maka dengan melihat