• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah :

a. Menambah ilmu di bidang ilmu kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang manajemen

rumah sakit dan manajemen SDM dalam implementasi sistem keselamatan pasien.

b. Sebagai dasar bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang budaya keselamatan pasien di

rumah sakit lain.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :

a. Sebagai evaluasi dan masukan terhadap kegiatan program keselamatan pasien yang selama ini

sudah diterapkan oleh RSU Bangli.

b. Menambah masukan serta informasi mengenai perkembangan budaya keselamatan pasien

kepada staf di rumah sakit, khususnya di RSU Bangli.

c. Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan komitmen tenaga kesehatan secara pribadi

dalam keberhasilan program keselamatan pasien.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang mencari gambaran pengetahuan, motivasi dan supervisi oleh atasan langsung dalam penerapan budaya keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan pelaksana di instalasi rawat inap di RSU Bangli.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak mencederai dan merugikan pasien ataupun sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Depkes RI, 2008).

Adapun tujuan program keselamatan pasien adalah untuk terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatnya akuntabilitas rumah sakit, menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC) dan kejadian nyaris cedera (KNC) dan terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadipengulangan kejadian tidak diharapkan (Depkes RI, 2008). 1.1.1 Sasaran keselamatan pasien

Terdapat enam sasaran keselamatan pasien yang meliputi: melakukan identifikasi pasien secara tepat, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan penggunaan obat yang membutuhkan perhatian atau yang perlu diwaspadai, mengurangi risiko salah lokasi, salah pasien, dan prosedur tindakan operasi, mengurangi risiko infeksi nosokomial, mengurangi risiko pasien cedera karena jatuh (Permenkes No 1961 Tahun 2011, BAB IV Pasal 8 ayat 2).

1.1.2 Standar keselamatan pasien rumah sakit

Standar keselamatan pasien yag disusun ini mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organization tahun 2002 yang telah disesuaikan dengan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar keselamatan pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannya dilakukan dengan instrumen akreditasi rumah sakit. Adapun standar keselamatan pasien terdiri dari tujuh standar (Depkes RI, 2008) yaitu :

a. Hak pasien

b. Mendidik pasien dan keluarga

c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

g. Komunikasi sebagai kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien 1.1.3 Langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit

Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Adapun tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit dalam Permenkes No 1961 Tahun 2011, BAB V Pasal 9 ayat 2 antara lain :

a. Membangun budaya keselamatan pasien b. Pimpinan dan dukungan terhadap staf

d. Membangun sistem pelaporan

e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien dan publik f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien g. Implementasi solusi untuk mencegah kerugian

1.1.4 Sembilan solusi live saving keselamatan pasien rumah sakit

Pada tanggal 2 Mei 2007 WHO Colaborating Centre for Patient Safety resmi menerbitkan panduan “Nine Life-Saving Patient Safety Solutions” (Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2008):

a. Perhatikan Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM)/ Look-Alike,

Sound-Alike Medication Names (LASA) b. Pastikan identifikasi pasien

c. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated)

f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan g. Hindari salah kateter dan salah sambung selang (tube) h. Gunakan alat injeksi sekali pakai

i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial

1.1.5 Jenis Insiden keselamatan pasien

Macam kejadian yang terkait dalam keselamatan pasien meliputi beberapa istilah menurut (Permenkes No 1961, BAB I Pasal 1 ayat 3-7) yaitu:

a. Kejadian potensial cedera (KPC)

KPC atau reportable circumstances adalah suatu kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, akan tetapi belum terjadi insiden.

b. Kejadian nyaris cidera (KNC)

KNC atau near miss didefinisikan sebagai kesalahan yang nyaris terjadi/ terpapar pada pasien.

c. Kejadian tidak cedera (KTC)

KTC atau no harm incident adalah suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien akan tetapi tidak timbul cedera.

d. Kejadian tidak diharapkan (KTD)

Kejadian tidak diharapkan atau adverse event dapat diartikan sebagai cedera atau komplikasi yang tidak diinginkan, yang dapat mengakibatkan timbulnya cedera pada pasien dan atau perawatan yang lebih lama yang disebabkan oleh manajemen medis dan bukan karena penyakit yang diderita.

e. Kejadian sentinel

Kejadian sentinel didefinisikan sebagai suatu KTD yang mengakibatkan cedera serius bahkan kematian terhadap pasien.

1.2 Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien merupakan kesadaran konstan dan potensi aktif oleh staf sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak bermasalah. Staf dan organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau mengambil tindakan untuk mengadakan perbaikan dikatakan sudah melaksanakan budaya keselamatan (National Patient Safety Agency (NPSA), 2004).

untuk meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari proses perawatan (Fleming 2012). Organisasi dengan budaya keselamatan positif memiliki karakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk dengan rasa saling percaya tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning) (NSPA, 2004).

Budaya keselamatan pasien mencakup banyak elemen dalam pelayanan kesehatan dimana elemen budaya keselamatan pasien mengacu pada perilaku dan kepercayaan staf yang meningkat dalam mengidentifikasi dan belajar dari kesalahan (Jones et.al, 2007 dalam Putra, 2015).

1.2.1 Dimensi budaya keselamatan pasien

James Reason dalam NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti:

a. Budaya keterbukaan (open culture)

Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi terbuka dapat diwujudkan dalam kegiatan supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam konteks keselamatan pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang

telah terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko terjadinya kesalahan. Perawat memiliki motivasi untuk memberikan setiap informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien.

b. Budaya pelaporan (reporting culture)

Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman yang dimaksud apabila membuat laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan. Menciptakan program evaluasi atau sistem pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata dalam membangun dimensi budaya ini.

c. Budaya keadilan (just culture)

Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan. Perawat dan organisasi bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang terjadi. Lingkungan terbuka dan adil akan

keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya keadilan dengan memberikan motivasi dan keterbukaannya terhadap perawat untuk memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien. d. Budaya pembelajaran (learning culture)

Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya, serta pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya kesalahan.

1.2.2 Manfaat penerapan budaya keselamatan pasien

Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason, 2000 dalam Cahyono, 2008). Fleming (2006) juga mengatakan bahwa fokus keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap programnya saja.

a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi.

b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien.

c. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan.

d. Berkurangnya staf yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat.

e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami insiden, pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.

f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi. g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien. 1.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien

Menurut Chooper (2000) dalam Putra (2004), tentang Total Safety Culture, menyebutkan bahwa terdapat tiga kelompok faktor yang mempengaruhi budaya keselamatan pasien, yaitu :

a. Faktor Personal

Tenaga kesehatan sebagai seorang manusia, merupakan komponen utama yang menjadi pelaksana budaya keselamatan pasien. Pelaksana ini dalam menerapkan budaya keselamatan pasien dipengaruhi oleh aspek-aspek personal seperti pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi dan kepribadian.

Dalam menyusupkan budaya keselamatan pasien kedalam setiap diri dari staf rumah sakit, maka organisasi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung budaya keselamatan pasien tersebut. Untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, organisasi harus mampu mengontrol faktor-faktor baik yang mendukung ataupun yang melemahkan. Adapun faktor perilaku organisasi yang perlu dikontol agar menciptakan kondisi lingkungan budaya keselamatan pasien antara lain : kepemimpinan (direction, supervision, coordination), kewaspadaan situasi, komunikasi, kerja tim, stress, kelelahan, kepemimpinan tim dan pengambilan keputusan.

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik rumah sakit yaitu ukuran rumah sakit merupakan faktor yang mempengaruhi penerapan budaya keselamatan pasien. Ketersediaan dan kualitas perlengkapan yang menunjang terciptanya budaya keselamatan pasien seperti peralatan, mesin, standar prosedur operasional (SPO), kebersihan dan kondisi bangunan yang baik, merupakan pendukung dalam proses pelaksanaan pelayanan kesehatan. Dengan ketersediaan peralatan yang memadai dan berkualitas maka rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar dan tentunya berdampak positif terhadap keselamatan pasien.

1.2.4 Mengukur penerapan budaya keselamatan pasien

Salah satu alat untuk mengukur penerapan budaya keselamatan pasien adalah dengan instrumen kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ) yang merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin

dikembangkan untuk mengukur budaya keselamatan pasien dari perspektif staf. Berikut penjelasan terkait instrumen budaya keselamatan pasien (Putra, 2015) :

a. Responden

Responden yang dapat mengisi instrumen budaya keselamatan pasien adalah seluruh jenis staf yang berada di pelayanan rumah sakit. Survey ini sangat cocok dilakukan pada staf yang langsung bersentuhan dengan pasien (perawat, dokter, bidan, radiologi dll), staf yang tidak langsung bersentuhan langsung dengan pasien namun pelayanannya dapat mempengaruhi pasien (farmasi, analis laboratorium dll), pemimpin, manajer dan petugas manajeman rumah sakit.

b. Dimensi pertanyaan

Survey budaya keselamatan pasien terdiri dari 12 elemen yang dibagi menjadi 2 kelompok yang dituangkan dalam 9 bagian dalam kuesioner. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1) Kelompok outcome (hasil) yang terdiri dari 2 dimensi pertanyaan :

a) Keseluruhan persepsi tentang keselamatan pasien yang merupakan pendapat subyektif kondisi keseluruhan budaya keselamatan pasien yang dirasakan ditempat kerjanya. Pendapat ini dituangkan dari angka 1-5, semakin besar angka yang dipilih semakin baik persepsi tentang keselamatan pasien.

b) Frekuensi pelaporan kejadian/ insiden, merupakan jumlah pelaporan insiden yang sudah pernah dilakukan yang diketahui oleh staf, dituangkan dalam angka 0 sampai tak terhingga dengan skoring 0 untuk 0 insiden, 1 untuk 1 insiden, 2 untuk 2 insiden dan seterusnya. Hal ini membuktikan kesadaran akan insiden dan pelaporannya dalam unit

2) Kelompok budaya keselamatan, terdiri dari 10 dimensi pertanyaan yaitu : a) Kerjasama tim dalam unit

b) Ekspektasi dan aksi pimpinan dalam mempromosikan keselamatan pasien

c) Proses belajar organisasi, perbaikan berkelanjtan

d) Dukungan manajemen rumah sakit dalam keselamatan pasien e) Umpan balik dan komunikasi kejadian kesalahan

f) Keterbukaan organisasi

g) Kerjasama tim antar unit di rumah sakit h) Staffing

i) Serah terima dan transisi

j) Respon tidak menyalahkan terhadap kejadian kesalahan 1.3 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo,2010). Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu begitu juga sebaliknya. Menurut teori WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh seseorang melalui pengenalan sumber informasi, ide yang diperoleh

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Notoatmodjo (2010) terdapat 6 tingkatan pengetahuan, yaitu : a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat, mengingat kembali (recall) seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami adalah tahap seseorang mampu untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket (kuesioner) yang menanyakan tentang materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

a. Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

b. Pekerjaan

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan banyak tantangan. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak pengetahuan yang diperoleh.

c. Umur

Umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin bertambah umur seseorang semakin banyak pengetahuan yang di dapat.

d. Sumber informasi

Data yang merupakan kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan nyata apa air, apa alam, apa manusia dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

1.4 Motivasi

Motivasi berasal dari Bahasa latin yang berarti to move, yang secara umum mengacu pada

adanya dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu dan dalam mempelajari motivasi kita akan berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan (Quinn, 1995 dalam Notoatmojo 2010). Dalam buku John Elder et,al(1998) yang berjudul bagaimana memotivasi perilaku sehat, motivasi didefinisikan sebagai interaksi antara pelaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku (Notoatmodjo, 2010). Apabila kita berbicara tentang motivasi maka kita secara tidak langsung membicarakan tentang prilaku yang memiliki tiga ciri khusus sebagai berikut:

a. Motivasi yang dimotivasi berkelanjutan yang tetap ada dalam jangka waktu yang lama.

b. Perilaku yang dimotivasi diarahkan kearah pencapaian tujuan.

c. Prilaku yang muncul akibat motivasi diri sendiri untuk mendapatkan hal yang dibutuhkan.

Beberapa istilah yang dikemukakan para ahli tentang kekuatan yang memotivasi seseorang

melakukan/ berprilaku adalan kebutuhan (need), aspirasi (aspiration) dan keinginan (desire),

dalam prosesnya keinginan seorang individu menghasilkan ketidakseimbangan sehingga timbul aktifitas yamg bertujuan untuk mengurangi ketegangan tersebut (Winardi, 2012).

Kompensasi dalam hal ini uang tidak pernah lepas kaitannya dengan motivasi. Namun uang bukanlah satu-satunya hal yang mempengaruhi motivasi, tapi keberadaannya tetap penting terkait dalam pemenuhan kebutuhan/ keinginan seorang individu. Dalam teori motivasi yang menekankan

dua faktor yang merupakan hasil riset Frederick Herzberg cs pada Psychological Service of

Pittsburgh, uang adalah faktor higienik dan bukanlah sebuah motivator. Dalam hasil penelitiannya motivasi dipengaruhi oleh (Gillies, 1994):

a. Kebutuhan akan pekerjaan (faktor motivasi) yang berkaitan dengan sikap positif individual

terhadap pekerjaannya yang bertujuan untuk perbaikan diri, prestasi, keinginan untuk diterima dan menerima tanggung jawab lebih besar. Faktor ini bersifat jangka panjang dan dapat meningkatkan produktivitas.

b. Faktor lingkungan kerja yang berkaitan dengan kondisi pekerjaan itu sendiri (factor higienik),

meliputi upah, kondisi kerja (suhu, ruangan), kebijaksanaan perusahaan dan kualitas supervisi. Faktor-faktor tersebut tidak dapat maksimal meningkatkan motivasi dan peningkatan produktivitas, namun ini bila tidak tersedia akan menimbulkan ketidakpuasan karyawan (Winardi, 2012).

Tokoh lain yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

dalam suatu pekerjaan adalah M. Scott Mayers bekas manajer Personal Research for Texas

Instrumens Incorporated, dimana dalam memotivasi individu melakukan pekerjaan dipengaruhi oleh faktor :

a. Kebutuhan akan motivasi

1. Pendelegasian

2. Kebutuhan akan keterlibatan dalam pekerjaan

3. Tanggung jawab dan penghargaan

4. Pencapaian prestasi

b. Kebutuhan pelaksanaan pemeliharaan

1. Kebutuhan ekonomi (upah, jagi, bonus, cuti, dll)

2. Kebutuhan fiskal (tuntutan kerja, fasilitas, peraturan, dll)

3. Kebutuhan social (hubungan antar karyawan dan antara karyawan dengan atasan)

4. Kebutuhan kepastian (penilaian yang objektif dari atasan, kekonsistenan, jaminan, dll)

5. Kebutuhan status (jabatan)

6. Kebutuhan orientasi (tugas, pertemuan, sosialisasi, rapat, dll)

1.5 Supervisi Pelayanan Keperawatan

Supervisi adalah salah satu bagian dari kegiatan kepemimpinan (Gillies, 1996) dimana

kegiatan supervisi keperawatan tidak akan lepas dari supervisor, penerima supervisi (supervisee)

dan komponen dari supervisi tersebut (Halpern & McKimm, 2009). Dimana kegiatan supervisi

dilaksanakan untuk pemantauan (monitoring), bimbingan, dan umpan balik (feedback) tentang

masalah-masalah pribadi, profesional, dan perkembangan pendidikan dalam konteks pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien (Kilminster, 2000).

Supervisi pelayanan keperawatan merupakan kegiatan dinamis yang bertujuan untuk

meningkatkan motivasi dan kepuasan antara dua komponen yang terlibat yaitu supervisor atau

pimpinan, orang yang disupervisi sebagai mitra kerja dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan

keperawatan. Dalam kegiatannya interaksi dan komunikasi professional antara supervisor

keperawatan dan perawat pelaksana mencakup bimbingan, dukungan, bantuan dan kepercayaan, sehingga perawat pelaksana dapat memberikan asuhan yang aman kepada pasien (Halpern & McKimm ,2009 dan Gillies, 1994).

Menurut Suyanto (2008) supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian yang bertanggung jawab antara lain:

a. Kepala ruangan

Kepala ruangan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien diruang perawatan yang dipimpinnya.

b. Pengawas keperawatan

Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana fungsional mempunyai pengawas keperawatan yang bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan keperawatan.

c. Kepala bidang keperawatan

Sebagai top manajer dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung jawab untuk melakukan supervisi melalui para pengawas keperawatan. Kepala bidang keperawatan memiliki tanggung jawab dalam mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang aman

dan nyaman, efektif, dan efisien. Pada intinya, tugas dari supervisor keperawatan yang terdiri

pelaksanaan tugas. Tujuan memberikan pelayanan bimbingan dalam memberikan asuhan keperawatan dan juga hal terkait keselamatan pasien agar perawat yang disupervisi menyadari, mengerti terhadap peran dan fungsi sebagai pelaksana asuhan keperawatan yang

Dokumen terkait