• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

2

1. Bidang Penelitian:

Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai referensi untuk penelitian lain yang lebih besar mengenai kualitas tidur maupun mengenai nyeri kepala.

2. Bidang Pendidikan:

Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir secara logis dan sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar.

3. Bidang Pelayanan Masyarakat:

Diharapkan dengan dipublikasikannya penelitian ini, penatalaksanaan nyeri kepala di masyarakat khususnya pada kelompok mahasiswa dapat dilaksanakan dengan lebih baik, terutama dengan mempertimbangkan aspek kualitas tidur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TIDUR

2.1.1 Definisi

Tidur didefinisikan sebagai keadaan diri yang tidak sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan apabila diberi stimulasi. Ini membedakannya dengan keadaan koma, dimana pada keadaan tersebut seseorang yang mengalaminya tidak dapat terbangun apabila diberi stimulasi (Guyton dan Hall, 2006). Tidur adalah suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga. Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama tahap-tahap tertentu tidur penyerapan oksigen oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat normal sewaktu terjaga (Sherwood, 2011).

Berdasarkan gelombangnya, terdapat dua jenis tidur, yang ditandai oleh pola Electroencephalogram (EEG) yang berbeda dan perilaku yang berlainan yaitu tidur gelombang lambat atau Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tidur paradoksal atau Rapid Eye Movement (REM) (Sherwood, 2011).

2.1.2 Pola EEG Sewaktu Tidur

Tidur gelombang lambat terjadi dalam empat tahap, yang masing-masing memperlihatkan gelombang EEG yang semakin pelan dengan amplitudo lebih besar (karenanya dinamai tidur "gelombang lambat"). Pada permulaan tidur, anda berpindah dari tidur ringan (tidur ayam) stadium 1 menjadi tidur dalam stadium 4 (tidur gelombang lambat) dalam waktu 30 sampai 45 menit, kemudian anda berbalik melalui stadium-stadium yang sama dalam periode waktu yang sama. Pada akhir masing-masing siklus tidur gelombang lambat terdapat episode tidur paradoksal selama 10 sampai 15 menit. Secara paradoks, pola EEG anda selama periode ini mendadak berubah seperti dalam keadaan terjaga, meskipun anda masih tidur lelap (karena itu dinamai tidur "paradoksal"). Setelah episode paradoks tersebut, stadium-stadium tidur gelombang lambat kembali berulang (Sherwood, 2011).

Sepanjang malam, seseorang secara siklik bergantian mengalami kedua jenis tidur tersebut. Dalam siklus tidur normal, anda selalu melewati tidur gelombang lambat sebelum masuk ke tidur paradoksal. Secara rerata, tidur paradoksal menempati 20% dari waktu tidur total pada masa remaja dan sebagian besar masa dewasa. Bayi menghabiskan waktu jauh lebih banyak pada tidur paradoksal.

Sebaliknya, pada usia lanjut tidur paradoksal dan tidur gelombang lambat stadium 4 berkurang. Orang yang memerlukan waktu tidur total lebih singkat daripada normal lebih banyak menghabiskan waktu tidurnya dalam tidur paradoksal dan tidur gelombang lambat stadium 4 serta lebih sedikit dalam tidur gelombang lambat stadium-stadium awal (Sherwood, 2011).

2.1.3 Kualitas Tidur

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Bussye et al., 1989). Kualitas tidur seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu kondisi lingkungan, fisik, aktivitas, dan gaya hidup. Kebiasaan olahraga merupakan bentuk aktivitas fisik yang dapat mempengaruhi tidur seseorang. Keletihan yang terjadi setelah melakukan aktivitas olahraga akan menyebabkan seseorang cepat tertidur.

Hal ini juga disebabkan oleh siklus tidur tahap gelombang lambatnya diperpendek, sehingga akan lebih cepat masuk fase tidur paradoksal dan mengalami tidur yang nyenyak (Sulistiyani, 2012).

Gangguan tidur merupakan masalah yang umum terjadi pada kalangan mahasiswa (Azad et al., 2015). Pada sebuah penelitian di tahun 2013 yang melibatkan 6044 mahasiswa Inner Mongolia Medical University di China, didapatkan hasil yaitu sekitar 1694 orang mahasiswa memiliki kualitas tidur yang buruk, dan mereka yang mengalami resiko ini juga memiliki masalah dalam hal akademik mereka (Wang et al., 2016). Penelitian yang dilakukan di University of Alabama dengan melibatkan 185 mahasiswa yang berusia 18-25 tahun, melaporkan bahwa terdapat sekitar 88% responden menyatakan bahwa mereka memiliki keluhan terhadap tidurnya, dan sekitar 36% responden memiliki indikasi yang kuat

untuk mengalami gangguan tidur (Thomas et al., 2014). Penelitian yang dilakukan di Arab Saudi melaporkan bahwa sekitar 67,2% mahasiswa yang menjadi responden penelitian memiliki kualitas tidur yang buruk (Afandi et al., 2012).

2.1.4 Kuesioner Kualitas Tidur

Beberapa instrumen pengukuran telah digunakan untuk menilai kualitas tidur pada berbagai kelompok populasi. Salah satu yang lazim digunakan adalah Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) dengan pemeriksaan 7 komponen tidur yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari. Instrumen ini mengukur kualitas tidur secara subjektif dan memberikan hasil dalam bentuk kategori yaitu kualitas tidur baik dan buruk (Bussye et al., 1989).

2.2 NYERI KEPALA 2.2.1 Definisi dan Etiologi

Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area oksipital dan sebagian daerah tengkuk) (Medical Definition of Headache, 2017).

Nyeri kepala dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut (Price dan Wilson, 2014):

1. Genetik

Nyeri kepala dapat disebabkan oleh faktor genetik, dimana sekitar 75%

sampai 80% pengidap nyeri kepala memiliki anggota keluarga yang mengidap nyeri kepala pula.

2. Bau yang tajam 3. Alkohol

Alkohol telah banyak dilaporkan sebagai salah satu faktor terjadinya nyeri kepala (Panconesi, 2016).

4. Kafein 5. Nikotin 6. Tumor

6

7. Stres dan depresi

Stres dan depresi dilaporkan dapat memperparah intensitas serta frekuensi nyeri kepala (Schramm et al., 2015)

8. Infeksi dan penyakit metabolisme 9. Kualitas tidur yang buruk

2.2.2 Klasifikasi

The International Classification of Headache Disorders 3rd edition mengklasifikasikan nyeri kepala menjadi 3 yaitu nyeri kepala primer, nyeri kepala sekunder, dan Peripheral neuropathic pain (International Classification of Headache Disorders (3rd edition - beta version), 2017).

1. Nyeri Kepala Primer

Nyeri kepala primer terbagi atas migren, Tension type headache, Trigeminal autonomic cephalalgias,dan Other primary headache disorder. Migren merupakan nyeri kepala primer yang paling sering terjadi. Studi epidemiologi telah mendokumentasikan prevalensi yang tinggi pada kejadian migren. Pada survei Global Burden of Disease 2010, migren menempati posisi ketiga sebagai penyakit kepala tersering (International Classification of Headache Disorders (3rd edition - beta version), 2017).

Migren terdiri atas 2 jenis, yaitu migren tanpa aura dan migren dengan aura.

Migren tanpa aura merupakan migren yang ditandai dengan nyeri kepala yang memiliki tanda spesifik. Sedangkan migren dengan aura merupakan nyeri kepala terutama ditandai dengan gejala neurologis fokal sementara yang biasanya mendahului atau terkadang menyertai sakit kepala. Beberapa pasien juga mengalami fase premonitory (terjadinya gejala yang mendahului), yang terjadi berjam-jam atau berhari-hari sebelum sakit kepala, dan fase resolusi sakit kepala.

Gejala premonitory dan resolusi meliputi hiperaktif, hipoaktivitas, depresi, hasrat yang meningkat untuk makanan tertentu, menguap berulang, kelelahan dan kekakuan dan / atau rasa sakit di leher (International Classification of Headache Disorders (3rd edition - beta version), 2017).

Tension type headache merupakan nyeri kepala yang sangat umum terjadi, dengan lifetime prevalence pada populasi umum berkisar antara 30% dan 78% pada penelitian yang berbeda, dan memiliki dampak yang sangat tinggi terhadap aspek sosial dan ekonomi. Tension type headache menimbulkan nyeri akibat kontraksi menetap otot-otot kulit kepala, dahi, dan leher yang disertai dengan vasokonstriksi ekstrakranium. Nyeri ditandai dengan rasa mengikat seperti pita di sekitar kepala dan nyeri tekan di daerah oksipitoservikalis. Nyeri kepala tipe ini sangat sering terjadi. Nyeri kepala tipe ini berkaitan dengan keadaan-keadaan stres temporer, rasa cemas, atau kelelahan yang umumnya berlangsung selama 1 atau 2 hari. Tension type headache yang kronik lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki dan bersifat bilateral, terus menerus (terjadi baik siang maupun malam dan berlangsung beberapa bulan sampai tahun), tumpul, tidak berdenyut, dan sering disertai oleh rasa cemas, depresi, dan perasaan tertekan (Price dan Wilson, 2014).

Trigeminal autonomic cephalalgias memiliki gambaran klinis nyeri kepala yang biasanya letaknya lateral, dan sering menonjolkan gejala otonom parasimpatis kranial, yang letaknya ipsilateral untuk sakit kepala. Pencitraan fungsional eksperimental menunjukkan bahwa sindrom ini mengaktifkan refleks trigeminal-parasimpatis normal manusia, dengan tanda klinis disfungsi simpati kranial sekunder (International Classification of Headache Disorders (3rd edition - beta version), 2017).

Other primary headache disorder merupakan nyeri kepala yang disebabkan oleh berbagai macam hal seperti nyeri kepala akibat batuk, nyeri kepala akibat latihan fisik, nyeri kepala akibat aktivitas seksual, nyeri kepala akibat lingkungan dingin, dsb (International Classification of Headache Disorders (3rd edition - beta version), 2017).

2. Nyeri Kepala Sekunder

Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disebabkan oleh penyakit yang lain seperti pada orang yang mengalami meningitis, trauma, ataupun penggunaan obat. Nyeri kepala sekunder terbagi atas nyeri kepala yang berhubungan dengan trauma, nyeri kepala yang berhubungan dengan gangguan 8

vaskular kepala ataupun leher, nyeri kepala yang berhubungan dengan substansi tertentu, nyeri kepala yang berhubungan dengan gangguan homeostasis, nyeri kepala yang berhubungan dengan masalah psikologis, serta nyeri kepala yang berhubungan dengan gangguan pada daerah-daerah sekitar wajah (International Classification of Headache Disorders (3rd edition - beta version), 2017).

3. Peripheral Neuropathic Pain

Peripheral Neuropathic Pain merupakan nyeri kepala yang disebabkan karena terjadinya lesi ataupun gangguan dari sistem syaraf somatosensori perifer (International Classification of Headache Disorders (3rd edition - beta version), 2017).

2.2.3 Pengukuran Derajat Nyeri Kepala

Numeric Pain Rating Scale merupakan pengukuran subjektif dari suatu perasaan nyeri. Terdiri dari 1 garis lurus dengan dimulai dari angka 0 hingga angka 10. Responden biasanya diminta untuk memperkirakan nyeri yang dirasakan dengan memilih salah satu nomor yang ada di sepanjang garis berdasarkan perasaan nyeri yang mereka rasakan (Hjermstad et al., 2011).

Tipe-tipe cara pengukuran nyeri:

1. Numeric Pain Rating Scale

Gambar 2.1. Numeric Pain Rating Scale (Huskisson, 2000)

2. Visual Analog Scale

Gambar 2.2 Visual Analog Scale (Huskisson, 2000)

3. Wong Baker Face Scale

Gambar 2.3 Wong Baker Face Scale (Huskisson, 2000)

2.3 KUALITAS TIDUR DAN NYERI KEPALA

Konvergensi antara gangguan tidur dan nyeri kepala secara umum memiliki dasar struktur neuroanatomi dan mekanisme neurofisiologi yang sama, meliputi hipothalamus, serotonin, dan melatonin. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat mekanisme tertentu pada otak yang menyebabkan adanya pengaruh tidur terhadap kejadian nyeri kepala. Aktivasi ascending reticularis activating system (ARAS) di batang otak menyebabkan kita terjaga dan adanya pengaruh neurotransmiter kortikal seperti epinefrin, dopamin dan asetilkolin mempertahankan kewaspadaan selama terjaga. Tidur fase non rapid eye movement (NREM) dikontrol oleh pengaruh neuron-neuron gamma-aminobutyric acid GABA di basal forebrain. Generator fase rapid eye movement (REM) terletak di daerah tegmentum pontin dorsolateral. Fase Rapid eye movement diinisiasi oleh pelepasan asetilkolin yang diaktivasi oleh neuron pontin tersebut. Serotonin yang berasal dari nukleus di daerah rafe dorsalis telah diketahui memegang peranan pada migren (Caballero et al., 2013).

Kadar melatonin menurun pada beberapa jenis nyeri kepala primer, migren dan nyeri kepala klaster. Melatonin memiliki efek terapeutik terhadap nyeri kepala primer melalui efek anti-oksidan, anti-inflamasi, dan anti-nosiseptiknya.

Mekanisme yang mendasari efek protektif melatonin terhadap nyeri kepala belum sepenuhnya jelas. Beberapa mekanisme yang diajukan misalnya efek beta endorfin yang mungkin dimiliki oleh melatonin selain mekanisme oksida nitrit dan jalur GABA, glutamat dan opiat endogen. Efek protektif tersebut memungkinkan

10

melatonin digunakan sebagai terapi farmakologi preventif migren (Caballero et al., 2013).

Nukleus suprachiasmatic yang terletak di bagian posterior hipothalamus berhubungan dengan aktivitas korteks oksipital dan nukleus raphe di batang otak sebagai penghasil serotonin. Aktivitas serotonin memiliki ritme sirkadian dibawah kontrol nukleus suprachiasmatic sebagai pacemaker. Jalur serotonergik seperti ascending forebrain serotonergic tract bermula pada nukleus rafe dan berakhir pada area otak yang berbeda termasuk pada nukleus suprachiasmatik di hipothalamus. Stimulasi nukleus raphe akan menginduksi pengeluaran serotonin (5-HT) pada nukleus suprachiasmatic dan memulai ritme aktivitas sirkadian.

Adanya eksistensi komunikasi anatomi antara nukleus suprachiasmatic dengan nukleus raphe dengan neurotransmisi serotonin mungkin dapat menerangkan hubungan antara tidur dengan nyeri kepala. Tidur dan nyeri kepala memiliki hubungan substansial secara anatomi, klinik, biokimia, dan fisiologi. Migren dan Tension type headache merupakan tipe nyeri kepala primer yang seringkali dihubungkan dengan adanya gangguan tidur yang bermacam macam. Insomnia, Obstructive Sleep Apnoe dan parasomnia merupakan gangguan tidur yang sering dikaitkan dengan timbulnya nyeri kepala primer. Pemanjangan waktu tidur fase REM mungkin menjadi pemicu timbulnya serangan nyeri kepala tersebut.

Patomekanisme yang menjelaskan hubungan antara keduanya masih belum jelas namun demikian disfungsi melatonin serta gangguan ritme sirkadian oleh disfungsi nukleus suprachiasmatic hipothalamus diduga kuat mendasari patofisiologi kedua fenomena yang saling mempengaruhi ini (Caballero et al., 2013). Gangguan tidur yang diatasi dengan baik merupakan terapi non-farmakologi yang potensial untuk penderita nyeri kepala (Kamelia et al., 2013).

Sebuah penelitian di Korea yang melibatkan responden berusia 19-69 tahun melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara nyeri kepala dan kualitas tidur yang buruk (Kim et al., 2017). Penelitian di Afrika pada tahun 2015 juga melaporkan bahwa nyeri kepala erat kaitanya dengan kualitas tidur yang buruk (Morgan et al., 2015). Engstrom yang pada tahun 2014 telah meneliti tentang kualitas tidur dan ambang nyeri pada penderita nyeri kepala Tension type

headache, melaporkan bahwa para penderita nyeri kepala tipe tegang mengaku lebih sering mengalami insomnia, lebih mudah lelah, serta memiliki kualitas tidur yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yang sehat (Engstrom et al., 2014). Lina Kamelia pada tahun 2013 menyatakan bahwa tidur dan nyeri kepala primer memiliki hubungan substansial secara anatomi, klinik, biokimia, dan fisiologi (Kamelia et al., 2013). Sebuah penelitian yang dilakukan di Bali pada tahun 2015 menunjukkan bahwa sebanyak 95,65% subjek penelitian dengan kualitas tidur buruk lebih sering mengalami nyeri kepala. Jumlah yang tinggi tersebut memperlihatkan kemungkinan bahwa kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan timbulnya nyeri kepala pada remaja (Antara, 2015).

2.4 NYERI KEPALA DAN ROKOK

Merokok dapat menyebabkan nyeri kepala. Dimana nikotin, sebagai salah satu kandungan tembakau dapat memicu terjadinya vasokonstriksi yang menyebabkan menurunnya aliran darah ke otak. Menurunnya aliran darah ke otak dapat menyebabkan turunnya aktivitas otak, yang mengakibatkan terjadinya nyeri kepala.

Kemudian menurunnya aliran darah ke meninges juga dapat menyebabkan terjadinya rasa nyeri pada daerah wajah dan bagian belakang kepala (Wadie et al, 2008).

Pada tahun 2013, Ferrari melalui penelitiannya menemukan bahwa orang-orang yang merokok memiliki derajat nyeri kepala yang lebih parah serta mengalami nyeri kepala yang lebih sering dibandingkan dengan yang tidak merokok (Ferrari et al, 2011). Rozen juga menemukan bahwa nyeri kepala bagian depan dan belakang dapat disebabkan oleh kebiasaan merokok (Rozen et al, 2013). Untuk mengukur tingkat frekuensi merokok seseorang, dapat digunakan indeks Brinkman yang membagi tingkat frekuensi merokok dengan tiga klasifikasi, yaitu perokok ringan,perokok sedang, dan perokok berat. Pengukuran dilakukan berdasarkan jumlah rokok yang dihisap per hari dikali sudah berapa tahun menghisap rokok (Brinkman, 1963).

12

Tabel 2.1 Indeks Brinkman

2.5 KERANGKA TEORI Indeks Brinkman Klasifikasi

0 ‒ 199 Perokok ringan

200 ‒ 599 Perokok sedang

≥ 600 Perokok berat

Intensitas dan Frekuensi Nyeri Kepala

Kualitas Tidur Bau yang tajam

Genetik

Kafein dan nikotin Stres dan Depresi Infeksi dan

Penyakit Tumor

Alkohol

Gambar 2.4. Kerangka teori.

2.6 KERANGKA KONSEP

Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

2.7 HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan intensitas dan frekuensi nyeri kepala pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2014.

Gambar 2.5 Kerangka konsep.

Kualitas Tidur Intensitas dan

frekuensi nyeri kepala

14

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional study (studi potong lintang), dimana penelitian akan mencari hubungan antara kualitas tidur dengan intensitas dan frekuensi nyeri kepala pada mahasiswa Fakultas Kedokteran USU angkatan 2014.

3.2 LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan September 2017.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2014.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan diambil.

Besar sampel yang digunakan ialah dengan metode total sampling yang berjumlah 255 orang, dimana sampel yang diambil adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2014. Adapun kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini adalah:

1. Kriteria Inklusi

a) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2014 yang aktif secara akademis

b) Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent)

2. Kriteria Eksklusi

a) Subjek dengan riwayat gangguan psikiatri

b) Subjek merupakan perokok berat (berdasarkan Indeks Brinkman)

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

Data yang diambil adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner. Didalam kuesioner yang digunakan terdapat instrumen penelitian berupa kuesioner PSQI untuk pengukuran kualitas tidur, instrumen Numeric Pain Rating Scale untuk pengukuran intensitas nyeri kepala, serta sebuah pertanyaan mengenai frekuensi nyeri kepala yang dialami dalam waktu sebulan terakhir. Penelitian ini akan mulai dikerjakan setelah etichal clearance dikeluarkan oleh Komisi Etik USU. Pengambilan dan pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik angket, dimana responden akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner yang digunakan.

3.5. METODE ANALISA DATA

Pengolahan dan analisa data dibagi dalam beberapa tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data, analisis/interpretasi data dan pengambilan kesimpulan. Data yang diperoleh dideskripsikan menggunakan program peranti lunak pengolah data. Untuk menilai hubungan antara kualitas tidur dengan intensitas serta frekuensi nyeri kepala akan digunakan uji korelasi.

3.6. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Kualitas

hari, efisiensi

Kuesioner Angket Skor Rasio

Kebiasaan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Dr.T. Mansur No.5, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

Sampel dari penelitian ini adalah mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2014 yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Jumlah mahasiswa yang menjadi sampel adalah seluruh mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2014 yang masih aktif secara akademis.

Tabel 4.1 Data demografis responden penelitian

Frekuensi

Berdasarkan data yang berhasil didapat pada pengambilan data yang telah dilaksanakan, terdapat 91 orang (35,7%) responden laki-laki. Kemudian, usia rata-rata responden seluruhnya adalah 21,05 ± 1,03 tahun. Usia rata-rata-rata-rata responden berjenis kelamin laki-laki adalah 20,99 ± 0,93 tahun, sedangkan usia rata-rata responden berjenis kelamin perempuan adalah 21,08 ± 1,09 tahun. Dari tabel diatas didapati bahwa suku Batak adalah suku yang memiliki populasi terbanyak pada responden penelitian ini yaitu sekitar 96 orang (37,6 %). Sedangkan suku Nias adalah suku yang memiliki populasi yang paling sedikit, yaitu 1 orang (0,004%).

Nilai rata-rata kualitas tidur responden penelitian ini adalah 4,79 ± 2,88. Jumlah responden yang memiliki kualitas tidur yang baik adalah sebanyak 128 orang (50,2%), sedangkan jumlah responden yang memiliki kualitas tidur yang buruk adalah sebanyak 127 orang (49,8%). Nilai rata-rata frekuensi nyeri kepala responden adalah 3,42 ± 3,007, sedangkan nilai rata-rata intensitas nyeri kepala responden adalah 3,58 ± 2,14.

Tabel 4.2 Nilai p hubungan Kualitas tidur dengan Intensitas dan Frekuensi nyeri kepala

Kualitas Tidur hubungan signifikan antara kualitas tidur dengan frekuensi dan intensitas nyeri kepala pada responden. Kemudian didapati nilai r pada variabel frekuensi yaitu 0,581, yang menunjukkan bahwa terdapat kekuatan hubungan yang kuat antara kualitas tidur dengan frekuensi nyeri kepala. Sedangkan pada variabel intensitas nyeri kepala dengan kualitas tidur, didapat nilai r yaitu 0,469 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sedang antara variabel kualitas tidur dengan intensitas nyeri kepala.

Tabel 4.3 Distribusi perbedaan frekuensi dan intensitas nyeri kepala berdasarkan kebiasaan merokok

Pada tabel diatas, didapati responden yang merokok memiliki frekuensi serta intensitas nyeri kepala yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Namun pada uji Mann Whitney didapat nilai p sebesar 0,392 untuk frekuensi nyeri kepala dan nilai p sebesar 0,441 untuk intensitas nyeri kepala terhadap kebiasaan merokok, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan nilai frekuensi dan intensitas nyeri kepala.

Dari hasil penelitian, didapati hasil yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan intensitas dan frekuensi nyeri kepala pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan nilai p 0,001 (p<0,05).

Hal ini sesuai dengan penelitian Song di Korea yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kualitas tidur yang buruk dengan peningkatan frekuensi nyeri kepala (p = 0,009) (Song et al, 2017). Stavem melalui penelitiannya juga mendapatkan hasil yang menyatakan bahwa penurunan kualitas tidur juga mempengaruhi terjadinya peningkatan frekuensi nyeri kepala (p=0,001) (Stavem et al., 2017). Walters pada penelitiannya menyatakan bahwa responden yang memiliki kejadian nyeri kepala lebih sering dan lebih kuat intensitasnya secara bermakna memiliki kualitas tidur yang lebih buruk (p=0,001)(Walters et al, 2013).

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Caballero, yaitu disfungsi melatonin serta gangguan ritme sirkadian oleh disfungsi nukleus suprachiasmatic hipothalamus diduga kuat mendasari patofisiologi kedua fenomena yang saling mempengaruhi nyeri kepala dengan kualitas tidur (Caballero, et al., 2013). Nyeri kepala terjadi akibat vasodilatasi pembuluh darah otot-otot kepala yang disebabkan oleh stimulasi zat-zat seperti alcohol, nikotin dan kafein. Melatonin berperan

Rokok (+)

sebagai analgetik, karena sifatnya sebagai agonis opioid yang dapat berikatan dengan reseptor opioid. Melatonin memiliki peranan dalam regulasi

sebagai analgetik, karena sifatnya sebagai agonis opioid yang dapat berikatan dengan reseptor opioid. Melatonin memiliki peranan dalam regulasi

Dokumen terkait