• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : - Pembagian wilayah ulayat kelompok adat.

- Pengelolaan sumber daya laut meliputi bentuk pengelolaan, kelembagaan dan sanksi adat.

- Adat penggunaan alat tangkap meliputi jenis alat, penggunaan alat, wilayah penggunaan alat dan tradisi yang menyertai penggunaan alat.

- Kepercayaan-kepercayaan yang ada terhadap lokasi-lokasi yang disakralkan.

Pengelolaan zonasi TNW.

Tabel 1 : Pelaksanaan Wawancara

Informan

Frekwensi Materi

Nama Kadie

Umur (tahu n)

Status Informan

La Wia Kapota 65 Kepala Kampung/tokoh

masyarakat pertama Tradisi kabo'a atau menangkap ikan dengan membuat pagar betis, alat tombak

La Bante Kapota 60 Tokoh masyarakat pertama Kasus hutan sara (adat)

kedua Pengelolaan laut oleh sara, lokasi keramat

La Ndoke Kapota 80 lebih

Tokoh adat/mantan kepala desa pertama di Kapota

pertama Kasus hutan sara (adat), peran sara dalam mengatur hutan, wilayah adat

La Ode Rasidi Liya 70 lebih

Tokoh adat/mantan

parika pertama

Wilayah adat Liya dibagian barat dan pulau Kapota, tanda batas, adat dalam penggunaan alat tangkap ompo, polo, nelayan luar kadie, huma, sanksi-sanksi adat, lembaga sara

kedua ikan nu sara, sanksi adat

La Kubo Liya 70

lebih Mantan parika pertama Wilayah adat Liya dipantai timur, tanda batas, adat penggunaan alat tangkap ompo, ikan nu sara, kelembagaan sara

La Ope

Liya

70 lebih (alm)

Mantan balikaka (sara

satapi kampung) pertama Peranan sara mbalikaka, lembaga sara

La Ole Liya

80 lebih (alm)

Mantan kepala

kampung Woru pertama Sejarah Talo-talo dan masyarakat Liya La Ode Adimu Liya 60 Kepala Kampung Woru pertama tentang parika, alat tangkap buani, wehai La Ode Abdul

Gafar Liya 40 Nelayan pertama Wehai

La Maihadi Liya 45 Tokoh adat pertama Susunan sara Liya

Wa Dae Liya 65

Ibu rumah

tangga/penutur carita lokal

pertama Wilayah adat Liya di pulau Kapota, tradisi mencari ikan

La Madi Mandati 38 Nelayan pertama Bentuk pengelolaan : moanea'a nu sara La

Hambe-Hambe Mandati 60 Tokoh adat pertama Adat istiadat engelolaan laut, wilayah adat

La Tasima Mandati 55 Nelayan pertama Jenis alat tangkap, wilayah penggunaan alat tangkap kedua sistem huma

La Haditu Mandati 65 Kepala Kampung pertama Bentuk pengelolaan adat, batas wilayah

H. La Ode Wanse 60 Tokoh adat pertama Adat istiadat Wanse, wilayah adat, pengelolaan laut

Rusdi Sadik kedua batas wilayah adat, pihak yang menegakan aturan sara La Isnafi Wanse 55 Kepala Kampung pertama Kepercayaan-kepercayaan

La Ode Hisani Wanse 60 Kepala kampung pertama Adat dan Kepercayaan-kepercayaan La Marafa Wanse 45 Mantan sekdes Longa pertama Pengelolaan laut, monea’a nusara

Ali Basaru Wanse 38 Guru, tim kecil penelitian

Tugas : perantara, memediasi wawancara dengan nara sumber terutama di kadie Wanse, Mandati

Armin Sahari Waha

Tomia 40 Nelayan, tim kecil penelitian

Tugas mengkonfirmasi adat pengelolaan huma yang dibahas dalam wawancara dengan responden lokasi penelitian

La Beloro Kaledup

a 40

Ketua Forum Nelayan Pulau, tim kecil penelitian

Tugas : Mengumpulkan informasi tentang pengelolaan laut dalam Barata Kaledupa

Muh. Kasim Binong

ko 35 Guru, tim kecil penelitian

Tugas : mengkonfirmasi pembagian wilayah adat dipulau Binongko

La Wawa Kapota 50

Guru, ketua BPD Kapota, tim kecil penelitian

Tugas : perantara, mencari nara sumber adat pengelolaan laut

Syaifudin Liya 29 Sekdes, tim kecil

penelitian Tugas : perantara dengan nara sumber

Tabel 2 : Pelaksanaan FGD

Isu Pokok bahasan Peserta Jumlah Lokasi

Bentuk-bentuk pengelolaan dengan pendekatan ruang

Batas wilayah adat kadie dan tanda-tanda yang

dapat dikenali umum Tokoh adat, nelayan,

Jenis alat tangkap dan

lokasi penggunaanya Nelayan, kepala

Penelitian ini dilakukan pada kelompok masyarakat adat yang difokuskan di Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Kapota di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara pada kelompok adat kadie Liya, Mandati, Wanci dan Kapota dengan pertimbangan :

- Dalam wilayah kelompok adat ini terjadi aktifitas perusakan sumberdaya laut melalui penambangan karang, penangkapan ikan dengan bius dan bom yang dilakukan sekelompok masyarakat luar.

- Pada kelompok adat Liya pernah terjadi penangkapan penambang karang di wilayahnya tetapi kemudian dilepaskan oleh DPRD Wakatobi dengan alasan masyarakat tidak memiliki dasar hukum.

- Meskipun Wakatobi terdiri dari 18 kadie (9 kadie masuk dalam Barata Kaedupa sebagaimana dijelaskan sebelumnya) tetapi memiliki pokok adat bersumber pada undang-undang Murtabat Tujuh Kesultanan Buton, perbedaan hanya terjadi pada beberapa kebiasaan sehari-hari yang tidak dipengaruhi pulau tempat domisili. Contohnya jarak sosial dari kultur orang Liya dengan orang Mandati yang berada satu pulau sama dekatnya dengan orang Usuku yang berada di pulau Tomia.

- Wilayah dan masyarakat yang menjadi lokasi penelitian memiliki sistem adat dalam pengelolaan sumberdaya laut.

4.4.3 Penentuan Informan

Informan dipilih dengan pertimbangan tertentu yang ditentukan sebelumnya oleh peneliti yaitu :

- Mewarisi tradisi keluarga sebagai nelayan.

- Parika atau pimpinan tradisional nelayan.

- Kakek/orang tua responden dikenal sebagai anggota masyarakat yang memiliki keahlian-keahlian khusus di laut atau dikenal spesial pada jenis alat tangkap tertentu seperti secara khusus hanya mengerjakan para ompo (memasang sero) sehingga anak-turunannya dikenal sebagai turunan para ompo misalnya.

- Pewaris wilayah-wilayah sumberdaya tertentu misalnya kakek/orang tua responden diserahi tanggung jawab oleh sara untuk menjaga dan mengelola lokasi tertentu.

- Tokoh masyarakat.

4.4.4 Metode Pengumpulan Data

Informasi awal yang dikumpulkan mencakup referensi, wilayah dan informan.

Pengumpulan informasi bertujuan membantu peneliti mengenali substansi penelitian, ruang lingkup keilmuan dari materi penelitian, gambaran keanekaragaman hayati kawasan, mengenali peta sosial lokasi penelitian, mengetahui saluran komunikasi awal seperti membutuhkan peran perantara atau tidak dan teknik yang diperlukan untuk bediskusi dengan informan. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari BTNW Joint Program TNC-WWF Wakatobi, BAPPEDA Kabupaten Wakatobi, sedangkan data primer diperoleh melalui survey dan Rapid Rural Apraisal (RRA) yakni wawancara dan FGD dengan masyarakat dan pengamatan langsung di lapangan.

Data wawancara merupakan informasi kunci yang dibahas dalam workshop perwakilan (partisipan) kelompok adat untuk mengkonfirmasi data antar kelompok adat dan mengetahui wilayah berlakunya sistem (yurisdiksi). Penajaman informasi dilakukan melalui FGD yang diarahkan untuk fokus pada parameter penelitian. FGD berlangsung sebagai bagian dalam workshop dan berlangsung non formal ditengah kelompok nelayan, tanpa pembuatn agenda dari awal dengan peserta. Tahapan implementasi penelitian berlangsung 5 bulan. Parameter dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada tabel 3.

4.4.5 Analisis Data

Data yang dukumpulkan dianalisis menggunakan deskriptif kwalitatif untuk menjelaskan pengertian, manfaat dan penerapannya kemudian mendeskripsikan perbandingan traditional value dengan formal value.

Tabel 3 : Metode Pengumpulan Data.

Parameter Variabel Metode Sumber

Pembagian wilayah ulayat kelompok adat

Nama batas-batas wilayah adat Wawancara/FGD Tetua adat

Tanda batas secara tradisional Observasi Tetua adat/nelayan

Pengelolaan sumber daya laut

Bentuk-bentuk pengelolaan Wawancara/FGD Tetua adat/tokoh masyarakat Pihak yang menetapkan dan

menegakkan Wawancara/FGD Tetua adat/tokoh masyarakat

Sanksi-sanksi adat Wawancara/FGD Tetua adat/tokoh masyarakat

Adat penggunaan peralatan tangkap

Bentuk-bentuk pemanfaatan Wawancara/FGD Tokoh

masyarakat/nelayan

Jenis alat tangkap Wawancara/FGD /Observasi

Etika atau tradisi penggunaan Wawancara/FGD Tokoh

masyarakat/nelayan

Kepercayaan-kepercayaan

Petuah-petuah Wawancara Tokoh masyarakat

Kawasan-kawasan pemali Wawancara/FGD

/Observasi Tokoh masyarakat Pantangan-pantangan di laut Wawancara Tokoh masyarakat

Pengelolaan Zonasi TNW

Tata batas zonasi Studi literature TNW Bappeda Wakatobi

Bentuk dan peruntukan zonasi Studi literature TNW Bappeda Wakatobi Kesepakatan Pemda Wakatobi

dan TNW Studi literature TNW Bappeda Wakatobi

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hak Ulayat Laut 5.1.1 Dasar Hak Ulayat

Murtabat Tujuh adalah Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yang menjadi sumber adat istiadat di semua kadie dan barata. Keseultanan Buton memiliki 72 kadie (daerah otonom) dan 4 barata (kerajaan bagian). Murtabat Tujuh berarti tujuh perwujudan sebagai pancaran Tuhan melalui ciptaanya di muka bumi disusun dengan empat pertimbangan dasar yang harus menjadi sifat manusia Buton atau sara pata anguna (adab yang empat) yakni; saling menyayangani atau menghormati (pomae-maeaka), saling peduli (popia-piara), saling menyayangi (pomaa-maasiaka), saling memuliakan dan memuji (poangka-angkataka) (Schoorl 2003).

Ideologi tersebut dipakai untuk mendorong golongan masyarakat kaomu dan walaka (dua golongan yang memperoleh kedudukan atau pangka dalam sara kesultanan, kadie dan barata) untuk mengabdi demi kepentingan kerajaan dan penduduk (golongan papara). Sebagaimana diuraikan sebelumnya masyarakat Buton mengenal tiga golongan masyarakat yakni kaomu, walaka dan papara. Rakyat juga dianjurkan untuk patuh pada sara (Schoorl 2003) yang artinya patuh pada adat sebagai hukum dan nilai kehidupan. Stimulus kepatuhan itu adalah nilai perlindungan, kemakmuran dan kemuliaan hidup yang diterima jika seseorang berkelakuan baik (hoto sara) sebaliknya berperilaku tidak baik akan dianggap tidak memiliki adat (tapa sara).

Murtabat Tujuh dibuat pada masa Sultan Dayanu Iksanuddin (1578 – 1615) diundangkan tahun 1610 dan untuk pertama kali disampaikan kepada publik oleh Sapati La Singga atas nama sara langsung di depan rakyat banyak di halaman Masjid Keraton Buton (Saidi 2000). Selain undang-undang dasar, juga diundangkan Pitu Pulu Rua Kadiena (Tujuh Puluh Dua Kadie) yang mengatur pembagian wilayah kadie dan keagrariaan. Tiap kadie memiliki harta bersama (communal property)

berupa kebun, hutan tutupan (kaombo) yang tidak bisa diganggu kecuali untuk kebutuhan kampung seperti untuk pembangunan masjid. Kadie juga memiliki kolam ikan (namo atau laguna dan disebut monea’a nu sara). Luas wilayah dan jumlah penduduk menjadi pertimbangan sara kesultanan dalam penentuan, pengesahan jumlah keanggotaan dan bentuk jabatan dalam sara kadie. Perwujudan Murtabat Tujuh dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah. :

a. Konsep pemilikan bersama (communal property right) sumberdaya alam dalam wilayah hukum adat kadie.

b. Pelembagaan pemilikan bersama sebagai milik sara kadie.

Hukum kepemilikan sumberdaya alam memuat sifat-sifat yang wajib dimiliki (atau ketentuan yang tidak boleh dilanggar) setiap penduduk kadie dalam konstitusi Murtabat Tujuh adalah adalah :

a. Limpagi atau melewati batas, mengambil milik orang.

b. Sabaragau atau berbuat sembarang, merusak, tidak mengikuti adat.

Konsep sumberdaya milik bersama masyarakat kadie yang secara formal dimiliki sara kadie merupakan dasar hak ulayat laut, tanah dan hutan. Sara kadie adalah dewan rakyat, merupakan kesatuan fungsi eksekutif, legislasi dan penegakan hukum. Anggotanya adalah representasi rakyat dalam kadie dari golongan kaomu dan walaka dengan masing-masing jabatan dan fungsi yang tidak bisa dipertukarkan.

Artinya ada jabatan anggota sara khusus untuk golongan kaomu dan ada yang khusus untuk golongan walaka. Anggota sara juga bisa berasal dari golongan papara (rakyat biasa) untuk posisi dan peran yang tidak bisa diganti kaomu atau walaka. Jika seseorang melanggar hukum, etika atau berperilaku tidak santun dalam kehidupan sehari-hari maka akan disebut dengan istilah tapa sara dan tapa adati yang artinya bahwa yang bersangkutan tidak beradab dan tidak beretika atau tidak tahu aturan.

Mengacu pada definisi masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, serta kekayaan berupa benda yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, maka hak ulayat laut masyarakat kadie di kepulauan Wakatobi memenuhi tiga unsur pokok hak ulayat yakni : (1) masyarakat

hukum sebagai subyek hak ulayat, (2) institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat, dan (3) wilayah sebagai obyek hak ulayat baik tanah, perairan dan sumberdaya alam di dalamnya (Saad 2009).

Hak ulayat laut sebagaimana ditulis oleh Solihin et al (2005), adalah bentuk desentralisasi pengelolaan untuk menanggulangi kerusakan sumberdaya pesisir dan kelautan. sara kadie oleh sara kesultanan diberi kebebasan membuat turunan aturan untuk mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan kebutuan dan kondisi lokal sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan desentralistik pada kadie.

Saat ini contoh pengelolaan berbasis sistem lokal adalah penerapan awig-awig pada komunitas lokal suku Sasak di Lombok Barat, membuktikan sistem lokal mampu mengurangi konflik internal nelayan karena pelanggaran wilayah larang tangkap dan konflik nelayan lokal dengan nelayan luar (Satria et al 2003). Dua sampai tiga tahun pertama pengelolaan TNW sejak ditetapkan tahun 1996, aksi konservasi keanekaragaman hayati seperti tindakan swieping biota kima yang diperjual-belikan di pasar tradisional Waha Kecamatan Tomia menjadi justifikasi konservasi dan taman nasional yang membekas pada pengetahuan masyarakat.

Contoh kasus tersebut menunjukkan adanya jarak antara kebudayaan dan pengetahuan masyarakat dengan pengelolaan TNW. Kesenjangan yang tidak terkelola dengan baik selalu menjadi awal timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam.

5.1.2 Pembagian Wilayah Adat Kadie

Kelompok masyarakat adat pemilik hak ulayat laut di Kepulauan Wakatobi adalah Kadie Liya, Mandati, Wanci, Kapota di Wangi-Wangi. Barata Kaedupa mencakup wilayah yurisdiksi Pulau Kaledupa, Hoga, Lente’a, Darawa dengan wilayah yang terbagi dalam sembilan Limbo (Kadie) yakni Limbo Langge, Tampara, Tapa’a, Kiwolu, Tomboloruha, La Olu’a, Liwuto, Ollo, Watole. Di Pulau Tomia terdapat Kawati (Kadie) Timu, Tongano, Waha. Sedangkan di Pulau Binongko terdapat Kadie Wali (Binongko Cia-Cia) dan Kaluku (Binongko Kaumbeda) (La

Beloro ketua Forum Kaledupa Toudani, La Arabu tokoh adat Wali, La Ode Abdul Hamid tokoh adat Wakatobi, komunikasi pribadi Desember 2009).

Berdasarkan zonasi TNW, wilayah adat wilayah-wilayah kadie mayoritas masuk dalam ZPL, ZPB dan ZPr. Sebanyak 100 % wilayah Kadie Liya, Kapota dan Wanci menjadi ZPL. Pada wilayah adat Kadie Mandati yakni 2,29 % Karang Matahora menjadi ZPB dan 3,44 % Karang Sousu menjadi ZPr. Pengelolaan ZPL ditujukan untuk kegiatan mata pencaharian masyarakat lokal. Nelayan luar kawasan tidak diperkenankan masuk dalam ZPL. Namun demikian baik TNW maupun pemerintah Kabupaten Wakatobi belum memiliki pengertian baku tentang batasan istilah lokal (apakah kriterianya desa, pulau atau Wakatobi). Karena itu penegakan peraturan zonasi di lapangan oleh TNW baru mengacu pada administrasi kependudukan nelayan dan asal kampung secara tradisional (pribumi). Definisi lokal dalam sistem kadie adalah komunal yakni masyarakat kadie. Posisi wilayah kadie dan zonasi di Pulau Wangi-Wangi ditunjukkan dengan gambar 3.

Gambar 3 : Posisi wilayah adat kadie dalam zonasi TNW

Sumber : Dioleh dari Peta Zonasi TNW

5.1.3 Tanda Batas Wilayah Adat

Batas-batas wilayah adat kadie biasanya ditandai dengan kampung (kampo), nama pantai (oa), tumbuhan (kau), tanjung (untu), teluk (kolo), nama karang (watu rumbu), nama batu (watu) atau ciri tertentu di tengah kampung yang memungkinkan klaim bahwa laut depan kampung tersebut masuk dalam wilayah adat. Petunjuk arah yang merupakan titik proyeksi batas menggunakan arah mata angin. Penggunaan tanda dan mata angin dapat dilihat pada batas wilayah adat Wanci dan Mandati di pantai timur pulau Wangi-Wangi yakni di kampung Longa yang masyarakatnya campuran kelompok adat Mandati dan Wanci. Tanda batas ditentukan melalui penamaan ayam dalam masyarakat kampung. Belahan kampung yang masyarakatnya menyebut ayam dengan nama manu adalah Longa Mandati menjadi wilayah adat Mandati sedangkan yang menyebut ayam dengan nama kadola adalah Longa Wanse menjadi wilayah adat Wanci. Batas laut depan kampung berpatokan pada arah mata angin. Titik batas wilayah di pantai lurus ke arah mata angin timur di laut adalah tapal batas. Arah mata angin ke tenggara adalah wilayah Mandati dan ke arah timur laut adalah milik Wanci.

Batas wilayah kelompok adat Liya dan Mandati di sebelah timur Pulau Wangi-Wangi adalah batu yang disebut Watu Wakara di Teluk Ponta sebelah selatan desa Matahora. Batas pada perairan sebelah barat Pulau Wangi-Wangi adalah ollo (laut dalam) La Kapala sampai batas pantai Numana (Mandati) dan Patinggu (Liya) yang dikenal dengan nama Oa (pantai) La Hudu. Konon di oa inilah pendaratan Sara Wolio (sara pemerintah pusat Kesultanan Buton) untuk menentukan tapal batas Kadie Liya dan Mandati. Selain di Pulau Wangi-Wangi, wilayah ulayat kelompok adat Liya juga berada di Pulau dan Perairan Pulau Kapota. Batas Liya dan Kapota sebelah timur adalah Pantai Wa Toruntoru. Laut depan Pantai Wa Toruntoru milik Sara Mandati sampai ou (laguna) didepan kampung Kolo. Ou masih berada di dalam wilayah adat Liya sedangkan wilayah Mandati berada di timur ou kampung Kolo yakni nokoi (gosong pasir) Melanga sampai Oa La Hudu diperbatasan Patinggu dan Numana. Disebelah tenggara ou yaitu daerah pasang surut masuk wilayah Mandati

sampai pantai Kaluku Ina Wa Turi (kaluku berarti pohon kelapa, ina berarti seorang ibu, Wa Turi adalah nama orang). Laut di pesisir pantai dari kaluku Ina Waturi kearah selatan sampai pantai barat yakni Pantai Ondaria tepatnya disalah satu bagian pantai yakni Uju Melanga adalah milik Sara Liya.

Selepas Uju Melanga ke arah utara adalah milik Sara Kapota. Sebelumnya, diantara kaluku Ina Waturi dengan pantai Ondaria terdapat Nokoi Koyambako yang bersambung dengan daratan. Nokoi Koyambako yang tidak kering pada saat pasang surut adalah laut Mandati sedangkan bagian yang kering, ekosistem mangrove sampai daratan adalah wilayah Liya. Batas hak ulayat laut kelompok adat Kapota dengan kelompok adat Mandati dan Wanci adalah laut dalam (ollo) yang terletak di antara Pulau Kapota dan Pulau Wangi-Wangi.

Penggunaan nama dan tanda batas dengan nama kampung, pantai, pohon, batu dan lain-lain yang berada di alam serta petunjuk arah proyeksi batas di laut menggunakan mata angin memudahkan masyarakat mengenali batas wilayah, karena merupakan istilah, nama, ataupun benda yang melekat dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu penggunaan tanda-tanda pada alam akan membuat manusia tidak dengan mudah melakukan perubahan bentang alam seperti menimbun dan menggerus pantai atau merambah pepohonan. Secara tidak langsung kearifan tersebut merupakan aksi konservasi sumberdaya alam. Tanda batas dalam kearifan masyarakat juga tidak sesulit memahami tanda batas zona dalam TNW.

Penggunaan titik koordinat untuk menandai batas zonasi menyulitkan masyarakat untuk mengetahuinya karena harus membutuhkan alat dan pengetahuan baru tentang alat ukur titik koordinat (GPS), selain itu tanda secara fisik tidak dapat dikenali karena laut tidak bisa diberi tanda garis seperti halnya daratan. Sebenarnya setiap bagian karang baik karang atol yang jauh dari pulau maupun wilayah pesisir memiliki nama-nama lokal. Karang Atol Kaledupa misalnya memiliki lebih dari 10 bagian (titik) dengan nama-nama yang diberikan masyarakat dari dulu. Demikian juga dengan atol lainnya. Penggunaan nama-nama lokal sebagai titik batas zonasi dapat menjadi acuan diikuti titik koordinat dari lokasi yang memiliki nama lokal.

Batas lokasi ke laut dalam yang tidak memiliki nama lokal khusus dapat dilakukan dengan menyebut arah mata angin dari lokasi titik acuan yang memiliki nama lokal.

5.1.4 Kelembagaan dan Sanksi

Sara merupakan lembaga representasi dari masyarakat hukum adat, kewenangannya menyusun, menetapkan dan menegakkan hukum adat. Jumlah dan struktur sara di keempat kadie penelitian ini beragam, pada Kadie Liya sara beranggota laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama, disebut sara mo ane (laki-laki) dan sara wowine (perempuan). Anggota sara yang menjalankan fungsi sara mengawasi pengelolaan sumberdaya laut adalah pangalasa untuk kelompok adat Liya, serta jurubasa untuk kelompok adat Mandati, Kapota dan Wanci. Bobato dan bonto yang memimpin kadie disebut meantu’u. Disamping memimpin kadie, bobato dan bonto kadie merupakan anggota sara kesultanan. Kedudukannya dalam kadie adalah tunggu-tunggu yang mewakili sara kesultanan serta memutuskan perkara (urusan) yang tidak dapat diputuskan anggota sara kadie. Namun demikian bobato atau bonto kadie tidak dapat ikut campur dalam musyawarah sara kadie kecuali diminta pendapatnya. Kewajiban bobato dan bonto kadie adalah menjalankan hasil musyawarah sara kadie dan mengkonsultasikan perkara yang tidak dapat diputuskan sara kadie kepada sara kesultanan dan (Saidi 2000).

Pelanggaran atas hukum-hukum adat merupakan pelanggaran terhadap sara karena seluruh sumberdaya alam adalah milik sara. Pelanggaran yang terjadi dapat berupa pengambilan hasil perikanan pada lokasi yang telah ditetapkan oleh sara sebagai wilayah larang tangkap seperti lokasi wehai, tampora atau pelanggaran dalam penggunaan alat tangkap sanksinya disebut hoko da o ke te sara (pengertian harfiahnya pelaku dirusakkan oleh sara). Tidak dirinci apa saja bentuk sanksi yang dimaksud dengan hoko da o tersebut tetapi, tetapi merujuk pada Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh maka setiap pelanggaran dapat menimbulkan konsekuensi tadosa ake (yang membuat berutang), ta mate akea (yang membuat mati) dan ta sala akea (yang membuat kita salah). Konsekuensi hukumnya adalah sanksi sosial seperti

penurunan status yang menjadi seseorang sebagai budak. Dengan demikian masyarakat takut dan tidak punya pilihan kecuali patuh. Bentuk-bentuk sanksi lainnya dari sara dapat berupa hukuman fisik seperti siasa (siksa), denda materi (berhubungan dengan patudu’a ketika seseorang tidak mampu membayar denda), ampo ako’e te togo (dikucilkan dalam bentuk tidak didatangi warga jika melaksanakan kegiatan hajatan (hidup) maupun duka (kematian). Sanksi paling ringan adalah ndou-ndou atau a-dari (ditegur dan dinasehati) sara dalam sebuah majelis yang dibuat untuk tujuan tersebut.

Kepatuhan pada sesuatu yang disebut no angka e te sara (dilarang oleh sara) tersebut juga distimulus oleh ketakutan masyarakat atas sebutan tapa sara yang berarti tidak beradat atau tidak bermoral ketika melakukan perbuatan yang melanggar norma bersama, sebab vonis tapa sara tidak hanya berimplikasi individual (hanya untuk pelaku) tetapi memiliki arti yang lebih luas dengan subjek mencakup satu lingkaran keluarga individu pelaku. Seseorang yang dikatakan tapa sara dimaknai bahwa pelaku adalah turunan keluarga yang tidak memiliki pengetahuan po’adati

Kepatuhan pada sesuatu yang disebut no angka e te sara (dilarang oleh sara) tersebut juga distimulus oleh ketakutan masyarakat atas sebutan tapa sara yang berarti tidak beradat atau tidak bermoral ketika melakukan perbuatan yang melanggar norma bersama, sebab vonis tapa sara tidak hanya berimplikasi individual (hanya untuk pelaku) tetapi memiliki arti yang lebih luas dengan subjek mencakup satu lingkaran keluarga individu pelaku. Seseorang yang dikatakan tapa sara dimaknai bahwa pelaku adalah turunan keluarga yang tidak memiliki pengetahuan po’adati