• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan mampu mempresentasikan nilai sosialkepada pembaca sebagai berikut:

1. Dapat meningkatkan daya apresiasi terhadap karya-karya para sastrawan atau insan seni di Indonesia terutama bagi pembaca maupun penulis sendiri,

2. Memberikan kontribusi berharga terhadap perkembangan sastra di Indonesia sebagai bentuk penghargaan kepada para insan seni,

3. Memberikan pemahaman kepada pembaca dan penikmat sastra bahwa melalui sudut pandang sosial sastra dapat diselami untuk mengetahui gambaran suatu masyarakat dalam karya sastra tersebut,

4. Memberikan tafsiran kepada masyarakat terhadap nilai sosial sebagai pendidikan moralitas dan pergulatan wacana,

5. Memberikan gambaran nilai sosial dalam karya sastra yang dapat di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

6. Sebagai salah satu upaya untuk membantu pembaca untuk memahami peran sosial dalam perkembangan sastra di Indonesia.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Teori sesungguhnya merupakan landasan suatu penelitian. Oleh karena itu keberhasilan sebuah penelitian bergantung pada teori yang mendasarinya.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini tersebar di berbagai pustaka yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. Usaha yang dilakukan dalam proses penggarapan penelitian ini sekiranya perlu mempelajari pustaka yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

Seni merupakan sebuah usaha mengekspresikan keterampilan teknik menjadi sebuah pencarian terhadap makna kehidupan. Untuk melahirkan sebuah karya seni dibutuhkan prasyarat keterampilan teknik. Karya seni tak mungkin lahir tanpa adanya keterampilan khusus dan proses imajinasi yang kreatif.

1. Apresiasi Seni dan Sastra

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti

“mengindahkan”. Dalam konteks yang lebih luas istilah apresiasi menurut Gove (dalam Aminuddin, 1987 : 34 ) mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba (dalam Aminuddin, 1987 : 35) berkesimpulan bahwa suatu proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti yaitu (1) aspek kognitif,

7

berkaitan dengan keterlibatan unsur pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur yang bersifat objektif (2) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pendengar dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks (3) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan pemberian penilaian baik dan buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai serta jumlah ragam penelitian lain yang tidak hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pendengar.

Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi di atas, Effendi (1997: 33) mengungkapkan bahwa apresiasi seni adalah kegiatan menggali karya seni secara bersungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan pikiran yang baik terhadap karya seni.

Sebuah karya seni syair lagu yang dapat di dengarkan sekaligus dapat dibaca liriknya dapat digolongkan dalam sebuah karya mempunyai hubungan dengan karya sastra seperti halnya puisi, sajak, dan syair lagu.

Sehubungan dengan masalah di atas, Djunadie (1992: 2-4) menyebutkan tingkat penerimaan seseorang terhadap karya dalam bentuk teks/tulisan ada empat yaitu: (1) Tingkat reseptif adalah tahap penerimaan karya menurut apa adanya, (2) Tingkat reaktif adalah tahap pemberian reaksi terhadap kehadiran sebuah karya, (3) Tingkat produktif, adalah tahapan pemberian reaksi terhadap karya yang dinikmati sekaligus dapat memproduksi dan menelaah karya tersebut, (4) Tingkat implementatif, adalah tahap memahami, mengevaluasi, dan memproduksi serta dapat

mewujudkan kebenaran yang diperolehnya dari tulisan sang penulis dalam kehidupan sehari-hari.

Apresiasi sastra merupakan interpretasi yang benar terhadap karya sastra. Apabila pernyataan-pernyataan tentang makna sebuah karya sastra merupakan pernyataan-pernyataan yang obyektif, apabila interpretasi karya sastra harus menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu dan bukan sekadar arena bagi gagasan, khayalan, pilihan pribadi, yang tonggaknya bukanlah pengetahuan, tetapi apa yang disebut dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi sehingga diperlukan standar penilaian yang memperkenankan, sedikit-sedikitnya secara prinsip, satu dan hanya satu interpretasi sebuah karya untuk dinilai betul atau benar.

2. Ragam dan Hakikat Sastra

Pengertian ragam disini memacu kepada konteks keanekaragaman perwujudan suatu karya sastra yang tertulis. Novel, puisi, cerpen, lagu adalah ragam sastra yang banyak kita jumpai di kalangan masyarakat.

Sebagai karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai alatnya, maka ragam sastra yang ada dalam suatu masyarakat hadir dengan jati dirinya yang unik. Dengan demikian tiap ragam sastra sepenuhnya terlempar ke dalam wewenang anggota masyarakat untuk dihargai atau tidak, untuk dinilai atau ditelantarkan begitu saja. Untuk menjilmakan segala yang dirasakan, yang dipikirkan, yang dikhayalkan sastrawan, maka sastrawan menggunakan bahasa yang berisi kemungkinan banyak tafsir, penuh hominim, kategori yang arbitrer dan irrasional; bahasa yang digunakan

sastrawan dirasapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan, dan asosiasi.

Dengan kata lain sastrawan menggunakan bahasa yang konotatif, disebabkan asosiasi, kenangan, dan pembayangan. Dengan demikian bahasa sastra tidak hanya bersifat menunduk satu hal, atau hanya berhubungan dengan satu hal yang ditunjuk, atau bahasa yang denotatif.

Hakikat sebuah seni tulis adalah dikotomi: menghadirkan dua kutub yang berlawanan, namun berada dalam satu tegangan dinamis. Penggerak utama dinamikanya adalah nilai yang terkandung dalam sebuah karya. Secara umum dapat dikatakan bahwa tema suatu karya dalam bentuk syair lagu mencakup tiga segi hakiki kehidupan manusia, yaitu yang bersifat agama, sosial politik, dan personal, keterpaduan dan keeratan hubungan unsur-unsur makro yang melandasi eksistensi tulisan, yaitu pengarang, karya, dan pembaca atau pendengar. Setiap unsur tersebut memiliki kekhasannya, kekhasan pengarang tercermin dalam karyanya, sehingga karya itu juga menunjukkan keunikan tersendiri, disebabkan kekhasan dalam kemampuan mengapresiasi karya tersebut. Kondisi ideal untuk mengapresiasi karya secara matang adalah keserasian antara keunikan setiap komponen yang memungkinkan terwujudnya jalinan yang dinamis dengan karya sastra sebagai titik temunya. Menelaah ataupun menikmati syair lagu hanyalah mungkin bilamana ketiga unsur tersebut dipertimbangkan sebagai suatu kesatuan yang padu.

3. Musisi dan Masyarakat

Karya yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat. Hubungan seni dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena salah satu fungsi seni adalah sebagai kontrol sosial. Selain itu, karya seni yang berbentuk syair lagu berisi ungkapan kenyataan sosial beserta problematika kehidupan masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh Jabrohim (1994: 221), bahwa sebuah karya yang menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antara masyarakat dan masyarakat dengan seseorang termasuk penulisnya, antara manusia dan antara peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi subjek sebuah karya, adalah refleksi hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Pendekatan terhadap karya-karya sastra dengan melihat segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra oleh beberapa penulis, yang pada dasarnya, pengertiannya tidak berbeda dengan pengertian sosio sastra, pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan masing-masing didasarkan pada sikap pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan itu menunjukkan satu kesamaan yaitu mempunyai perhatian terhadap karya sebagai intuisi sosial yang diciptakan oleh penulis lagu sebagai anggota masyarakat. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin masyarakat. Karenanya,

asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu merefleksikan zamannya. Ilmu sosiologi sebagai objek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar masyarakat. Dengan demikian, meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Dalam kaitan ini sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam karya sastra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya, baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial atau periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra dilihat sebagai sebuah pantulan zaman, karena itu ia menjadi saksi zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun tidak terabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra.

Hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat secara keseluruhan merupakan bagian sebagai berikut:

a. Konteks Sosial Pengarang

Ini ada hubungannya dengan posisi sosial penulis lagu dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pendengar. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi karyanya. Terutama yang harus diteliti adalah (a) Bagaimana Si pengarang memperoleh mata pencahariannya; sejauh apakah menerima bantuan dari pengayom, atau dari masyarakat secara langsung atau dari kerja-kerja rangkap, (b) Profesionalisme dalam menulis syair; sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai sebuah profesi, dan (c) Masyarakat dalam hal ini sangat penting sebab sering didapati

Sastrawan menulis karya sastra, antara lain adalah untuk menyampaikan model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan karya sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata ( Nurgiyantoro, 1998: 321)

Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk membayangkan,

mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa.

Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya suatu karya sastra. Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup. Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai sebuah karya seni (Nurgiyantoro, 1998: 3)

b. Fungsi Sosial Seni

Di sini seni dalam bentuk kaset terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan seperti “sampai berapa jauh seni berkaitan dengan nilai politik?” dan “sampai berapa jauh nilai seni dipengaruhi nilai sosial?”.

Dalam hubungan ini sudut pandang bahwa sebuah karya dalam bentuk lagu berfungsi sebagai penghibur di tengah-tengah masyarakat juga tercakup juga sendirian bahwa karya seni dalam bentuk lagu berfungsi sebagai penghibur belaka; (a) Dalam hal ini, gagasan seni untuk seni tak

ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai hasil penjualan, dan (b) Semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam sebuah slogan klasik; karya seni itu harus mengajarkan sesuatu cara dengan cara menghibur.

c. Musik sebagai Seni dan Ilmu

Sampai detik ini, pemahaman akan musik sebagai kebutuhan hiburan belaka masih tetap berlaku di kalangan masyarakat luas. Dari belahan bumi mana pun, sebagian orang memanfaatkan musik hanya sebagai kebutuhan sesaat. Ini merupakan suatu fenomena yang diterima secara turun-temurun. Keterbatasan apresiasi musik pada masyarakatlah yang menyebabkan pemanfaatan musik yang sia-sia. Namun, dibalik itu, hal yang perlu diperhatikan adalah pendidikan musik yang sebagian besar kurang konsisten (terutama di negara berkembang). Pemanfaatan musik untuk hal-hal yang bersifat keilmuan masih sangat kurang, sekalipun untuk hal ini dapat bermanfaat bagi daya perkembangan cara berfikir otak.

Musik masih dalam kungkungan pemanfaatan unsur estetisnya untuk penghibur belaka dengan tujuan sesaat.

Sebagai satu kesatuan dengan eksistensi manusia, musik merupakan alat pengungkapan ekspresi ataupun maksud dari penciptanya.

Namun, apakah musik mampu mengembangkan dirinya guna kepentingan-kepentingan lain dari yang selama disandangnya? Dapatkah musik menjadi wakil zamannya sebagai salah satu bidang yang ikut meramaikan kancah ilmu pengetahuan dan teknologi ?

Berbicara mengenai musik sebagai seni kita dapat pahami bahwa musik merupakan bagian dari seni dikarenakan dengan bermusik orang dapat memainkan beberapa alat ataupun instrumen yang dapat membantu menghibur para penikmat lagu dengan iringan musik. Musik merupakan kaidah-kaidah estetis yang dapat diapresiasikan, bersangkutpaut dengan ras. Sedangkan musik sebagai ilmu, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa dengan bermusik dapat memberikan keseimbangan dari deretan-deretan nada, interval, dan juga akustiknya. Dilihat dari sejarah, hubungan musik dengan bidang ilmu terutama angka-angka (matematika) yang telah dibahas oleh filusuf Cina dan Yunani tidak bisa dilepaskan dengan konsep kelahiran musik. Phytagoras adalah tokoh utama yang mengembangkan penerapan teori matematika ke dalam musik yang ia cetuskan menjadi embrio bagi kelahiran musik. Ungkapan sejarah yang pada realitasnya mampu mencerminkan keterkaitan pengaruh antara bidang satu dengan bidang yang lainnya. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di muka bumi membentuk rajutan yang menghiasi peradaban, musik bukanlah bidang yang berdiri sendiri tetapi dalam waktu gerak langkah sejarah berbagai kaitan telah membentuk rohnya sekalipun diterima secara turun-temurun namun setiap zamannya mempunyai musiknya sendiri. Seperti halnya perkembangan bahasa, kekhasan dari tiap-tiap zaman merupakan kedinamisan sejarah manusia. Tiap saat kita bisa selalu mendengar lagu yang diiringi musik dalam tiap waktu melalui perantara radio, televisi ataupun pertunjukan secara langsung. Jangkauan jelajah musik begitu luas,

dan dapat menembus lapisan-lapisan budaya manusia. Namun, terkadang manusia tidak menyadari realitas yang terjadi, sebagian orang menikmati lagu yang diiringi musik dijadikannya hanya sebagai hiburan belaka tanpa memperhatikan fenomena-fenomena yang ditimbulkan oleh lagu yang diiringi musik terhadap jiwa dan otak manusia. Musik telah menjadi budaya dan telah menjadi akar yang kuat pada pribadi-pribadi penikmat dan pelestarinya. Namun, disisi lain musik kurang dimanfaatkan secara optimal guna kepentingan dimensi kemanusiaan. Sampai detik ini, pemahaman akan musik hanya sebagai kebutuhan hiburan belaka masih tetap berlaku di kalangan masyarakat luas, dari belahan bumi manapun.

Sebagian besar orang memanfaatkan musik hanya sebatas kebutuhan sesaat. Sebagai satu kesatuan eksistensi manusia itu sendiri, bermusik yang diiringi lagu yang dilantunkan merupakan alat pengungkapan ekspresi ataupun maksud dari penciptanya.

d. Pengertian Nilai

Nilai adalah hakikat suatu hal itu pantas dikerjakan oleh manusia.

Nilai berkaitan erat dengan kebaikan yang ada dalam inti suatu hal. Ada nilai yang dikejar sebagai sarana (nilai medial) dan adapun final yang itu dikejar karena harga itu sendiri. Selanjutnya, adapun hierarki nilai yang ada perbedaan tingkat nilai antara lain nilai sosial, kesusilaan dan agama.

Juga terdapat nilai universal dan nilai partikuler disebut juga” norma” ( Berry, 1974: 22 ). Dengan demikian yang dimaksud nilai dalam penelitian

adalah nilai yang menunjukkan pada suatui kriteria atau standar untuk menilai atau mengevaluasi sesuatu dalam ini nilai sosial.

Sesuatu yang sangat dihargai serta diyakini kebenarannya, dan sebagai akibatnya tentu sangat diharapkan pula perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari, melebihi hal yang lainnya. Ia menyangkut masalah seleksi dan preferensi diantara banyak pilihan yang ada. Nilai adalah hal-hal yang dianggap benar dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, serta secara sadar ataupun tidak sadar dijadikan pedoman, tolak ukur dan orientasi oleh anggota-anggota masyarakat dalam bersikap dan berperilaku.

e. Nilai Sosial

Nilai adalah gambaran mengenai apapun yang diinginkan, yang pantas yang berharga yang mempengaruhi perilaku sosial dari pengarang yang memiliki nilai itu. Menurut Purwandarminta (1992: 65) nilai adalah banyak sedikitnya mutu atau sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.

Nilai erat hubungannya dengan kebudayaan dan masyarakat.

Setiap masyarakat atau setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai tertentu.

Antara kebudayaan dan masyarakat itu sendiri merupakan nilai yang tidak terhingga bagi orang yang memilikinya. Sementara sosial dapat diartikan sebagai masyarakat atau yang berkenaan dengan masyarakat. Ilmu sosial sebagai suatu bidang ilmu yang menelaah masalah-masalah sosial dengan beraneka ragam tingkah laku masyarakatnya yang masing-masing

mempunyai kepentingan kebutuhan serta pola-pola pemikiran. Pada dasarnya ilmu sosial inilah menjadi titik perhatian untuk menelaah fenomena sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai sosial adalah ukuran atau tata nilai (norma) yang mempunyai konsepsi-konsepsi hidup dalam alam pikiran masyarakat, mengenai hal-hal yang harus dianggap amat bernilai dalam hidup.

Alwi (1994: 885) mengemukakan bahwa sosial atau berkenaan dengan masyarakat serta adanya komunukasi dalam menunjang pembangunan ini, suka memperhatikan kepentingan umum, suka menolong, menerima dan sebagainya.

Al Ghazali (dalam Zainuddin, 1991: 122) menguraikan bahwa manusia itu dijadikan Allah swt dalam bentuk yang tidak sendirian, karena tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya baik untuk memperoleh dengan bertani, berladang, memperoleh roti, nasi, dan memperoleh pakaian. Dengan demikian, manusia memerlukan pergaulan dan saling membantu.

4. Perspektif Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah penelitian yang berfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depan berdasarkan dengan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini tampak bahwa dalam perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra. Perjuangan memiliki tiga ciri dasar yaitu: (1) Kecenderungan manusia untuk mangadaptasikan

dirinya terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam kolerasi dengan lingkungan, (2) Kecenderungan pada korelasinya dengan lingkungan dalam proses perstrukturan global, dan (3) Dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk mengubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.

5. Pengertian Sosial

Istilah sosial berasal dari akar bahasa latin Socius, yang artinya berkawan atau masyarakat. Sosial memiliki arti umum yaitu kemasyarakatan dalam arti sempit mendahulukan kepentingan bersama atau masyarakat.

Menurut Lewis sosial adalah sesuatu yang dicapai,dihasilkan dan ditetapkan dalam interakasi sehari-hari antara warga negara dan pemerintahannya.

6. Budaya Sosial

Istilah sosial budaya menunjuk kepada dua segi kehidupan bersama manusia, yaitu segi kemasyarakatan dan segi kebudayaan.

Kemasyarakatan dalam usaha beradaptasi dengan lingkungannya, manusia bekerja sama dengan sesamanya. Akan tetapi kerjasama itu hanya akan berjalan baik di dalam tertib sosial budaya serta di dalam wadah organisasi social.

Menurut Andres Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan

struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yg menjadi ciri khas suatu masyarakat.

7. Komunikasi Sosial

Menurut Ruben dan steward( 1998: 16) bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan antara individu, kelompok organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesanuntuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Maka komuniksi sosial adalah suatu proses interaksi antara seseorang atau suatu lembanga melalui penyampaian pesan dalam rangka untuk membangun integritas atau adaptasi sosial.

8. Kekuasasan

Kekuasaan adalah konsep yang penting dalam pemikiran sosial dan politik, yang hakikat dasarnya hingga sekarang masih sangat sulit untuk difahami. Mengenai kesukaran ini, terdapat beberapa pandangan. Yang pertama adalah ambiguitas dan kompleksitas penggunaan istilah dalam artian umum, misalnya, dapat ditunjukkan dengan sejumlah konotasi yang berbeda yang dilekatkan pada dua sifat yang berkaitan dengan kekuasaan:

authoritativc dan authoritarian. Sumber kedua pengertian ganda itu adalah fakta bahwa itu menggunakan konsep kekuasaan terhadap berbagai jenis aktivitas sosial yang serba ragam: yakni terhadap bidang pengetahuan dan lapangan politik, terhadap hubungan-hubungan yang berlangsung di lingkungan keluarga dan sekolah termasuk dalam lingkungan kerja dan ketentaraan.

Berkuasa sering diartikan untuk mengacu kepada sebuah hak untuk memaksakan kesetiaan termasuk hak untuk menegakkan kepatuhan bila diperlukan. T.D. Weldon (dalam Carter 1987: 26) berpendapat bahwa pelaksanaan kekerasan atau kapasitas melaksanakan sesuatu dengan mendapat restu dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sering kali disebut sebagai “kekuasaan”

Kekuasaan menurut Carter, mempunyai dua ciri: pertama kemampuannya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat sukarela, dan kedua kemampuannya untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan.

Kedua ciri ini memainkan peranan penting. Kesetiaan sukarela menjadi ciri yang ideal bagi setiap kekuasaan sehingga tidak semua kekuasaan mampu membangkitkan kesetiaan seperti itu. Sedangkan pemaksaan kepatuhan adalah ciri lain yang tak kurang pentingnya karena tanpa adanya pemaksaan maka kekuasaan itu sendiri tidak akan bertahan lama.

Yang dilihat Carter, kekuasaan itu mampu membuat pihak lain melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu ) atas dasar kepatuhan yang datang dari dalam diri pihak yang patuh tersebut. Dalam hal ini pihak yang

Yang dilihat Carter, kekuasaan itu mampu membuat pihak lain melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu ) atas dasar kepatuhan yang datang dari dalam diri pihak yang patuh tersebut. Dalam hal ini pihak yang

Dokumen terkait