BAB 1 PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data valid mengenai distribusi penyakit dan tingkat keparahan periodontitis berdasarkan usia, jenis kelamin, dan penyakit sistemik pada penderita periodontitis di Instalasi Periodonsia RSGM USU yang dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu Kedokteran Gigi khususnya di bidang Periodonsia.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai distribusi usia, jenis kelamin, dan penyakit sistemik pada penderita periodontitis serta distribusi tingkat keparahan periodontitis di Instalasi Periodonsia RSGM USU.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada pasien tentang faktor risiko terjadinya periodontitis yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, dan penyakit sistemik.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai distribusi usia, jenis kelamin, dan penyakit sistemik pada penderita periodontitis di Instalasi Periodonsia RSGM USU.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Periodontal
Istilah penyakit periodontal mencakup berbagai macam kondisi inflamasi kronis pada gingiva, sementum, tulang alveolar, dan ligamen periodontal. Penyakit periodontal diawali dari gingivitis, suatu peradangan lokal pada gingiva akibat invasi bakteri pada plak gigi yang merupakan dental biofilm mikrobial. Keadaan gingivitis yang tidak terawat menyebabkan kerusakan gingiva, tulang, dan ligamen periodontal sehingga menciptakan poket periodontal yang dalam dan pada akhirnya mengakibatkan kehilangan gigi.13
2.1.1 Gingivitis
Gingivitis umumnya dianggap sebagai kondisi site-specific inflammatory yang diawali dengan akumulasi dental biofilm dan ditandai dengan keadaan gingiva yang bengkak, kemerahan, serta tidak adanya kehilangan perlekatan periodontal.
Gingivitis tidak sakit, namun, kadang mengakibatkan perdarahan spontan dan perubahan klinis yang minim, sehingga kebanyakan pasien tidak menyadari dan mengenali penyakit tersebut.14
Gingivitis dapat terjadi sejak masa kanak-kanak dan menjadi semakin parah seiring bertambahnya usia. Gambaran klinis yang tampak pada gingiva yang mengalami gingivitis sebagai berikut: eritema dan konsistensi kenyal, perubahan kontur, perdarahan saat probing, dan adanya plak atau kalkulus tanpa terjadinya kehilangan perlekatan.14,15 Tingkat keparahan dan gejala inflamasi pada gingiva dapat diungkapkan dengan menggunakan indeks gingiva Löe dan Silness. Berdasarkan indeks tersebut, inflamasi gingiva dikategorikan menjadi inflamasi ringan, sedang, dan parah. Keadaan inflamasi ini dianggap sebagai tahap awal dari periodontitis yang bersifat irreversible.15
Secara luas, ada dua kategori penyakit gingiva, yaitu gingivitis yang diinduksi oleh dental biofilm (dental plaque biofilm-induced gingivitis) dan penyakit gingiva yang tidak diinduksi oleh dental biofilm (non-dental plaque-induced gingival disease).16 Gingivitis yang diinduksi oleh dental biofilm didefinisikan sebagai lesi inflamasi akibat interaksi antara dental biofilm dan respons imun-inflamasi dari host, dimana plak tersebut tetap berada dalam gingiva dan tidak meluas ke perlekatan periodontal. Inflamasi tersebut terbatas pada gingiva dan tidak meluas melewati batas mukogingiva serta bersifat reversible dengan mengurangi level plak gigi pada margin gingiva. Hubungan sebab akibat antara plak mikrobial dan gingivitis telah ditunjukkan melalui suatu penelitian, yaitu dengan menghentikan kebiasaan menjaga kebersihan mulut secara konsisten pada orang dewasa sehat selama 2-3 minggu, dapat memunculkan manifestasi gingivitis.3,16
Gingivitis yang tidak diinduksi oleh dental biofilm jarang terjadi. Lesi ini biasanya merupakan manifestasi penyakit sistemik dan juga dapat mewakili perubahan patologis yang terbatas pada jaringan gingiva. Lesi ini biasanya tidak hilang setelah penyingkiran plak, bahkan ketika tingkat keparahan manifestasi klinisnya tergantung pada interaksi plak bakteri tersebut. Kelompok penyakit ini mencakup berbagai kelainan yang memengaruhi gingiva, termasuk penyakit gingiva yang berasal dari bakteri (seperti Neisseria gonorrhea), virus dan jamur tertentu, genetik, lesi traumatik (khemis, termal, mekanis), maupun reaksi benda asing.3,17,18
Gambar 1. Gingivitis yang diinduksi oleh plak menggambarkan inflamasi pada daerah margin dan papila.3
2.1.2 Periodontitis
Periodontitis adalah suatu inflamasi kronis yang terjadi pada jaringan pendukung gigi. Kerusakan secara progresif mengakibatkan kerusakan pada ligamen periodontal dan kehilangan tulang alveolar. Pada periodontitis, terdapat gambaran klinis yang membedakannya dengan gingivitis yaitu adanya kehilangan perlekatan klinis. Kehilangan perlekatan klinis ini diikuti dengan pembentukan poket periodontal dan perubahan kepadatan serta ketinggian tulang alveolar.3,19
2.2 Klasifikasi Periodontitis
Pada tahun 2014, American Academy of Periodontology Board of Trustees menugaskan satuan tugas (satgas) untuk mengembangkan intepretasi klinis dari A Classification of Periodontal Disease and Conditions tahun 1999 dalam mengatasi masalah yang diungkapkan oleh American Board of Periodontology mengenai tantangan bagi pendidikan mahasiswa kedokteran gigi dan implementasi dalam praktik klinis.20 Pada tahun 2017, American Academy of Periodontology (AAP) bersama dengan European Federation of Periodontology (EFP) melaksanakan konferensi di Chicago, Amerika Serikat untuk menentukan klasifikasi penyakit dan kondisi periodontal dan peri-implan yang baru. Ruang lingkup konferensi ini adalah untuk menyelaraskan dan memperbarui skema klasifikasi sesuai dengan pemahaman terkini tentang penyakit serta kondisi periodontal dan peri-implan.21
Gambar 2. Inflamasi gingiva parah pada penderita infeksi herpes primer 3
2.2.1 Klasifikasi Periodontitis berdasarkan AAP 1999
Klasifikasi ini menyederhanakan periodontitis ke dalam tiga bentuk umum yaitu periodontitis kronis, periodontitis agresif, dan periodontitis sebagai manifestasi dari penyakit sistemik.3
A. Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis merupakan penyakit infeksi multifaktorial yang terjadi akibat hubungan respons host dan patogen periodontal spesifik. Penyakit ini ditandai dengan manifestasi kerusakan permanen yang bersifat irreversible pada jaringan periodontal dalam jangka waktu tertentu.22 Pada periodontitis kronis, kalkulus subgingiva sering dijumpai. Periodontitis kronis dikaitkan dengan kondisi sistemik seperti diabetes melitus dan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).20 Selain itu, periodontitis kronis dapat juga dimodifikasi oleh kebiasaan merokok atau kondisi stress. Skema perbedaan klasifikasi menetapkan rentang usia 35 tahun ke atas untuk membedakan antara periodontitis kronis dan agresif.3 Periodontitis kronis dapat dikategorikan menjadi periodontitis kronis lokalisata dimana <30% gigi menunjukkan kehilangan tulang dan perlekatan klinis, sedangkan periodontitis kronis generalisata yaitu ketika >30% gigi menunjukkan kehilangan tulang dan perlekatan klinis.3,22 Periodontits kronis dikategorikan sebagai periodontitis ringan apabila terjadi kehilangan perlekatan klinis sebesar 1-2 mm, sedang apabila terjadi kehilangan perlekatan klinis sebesar 3-4 mm, dan parah apabila terjadi kehilangan perlekatan klinis ≥ 5 mm.3
Gambar 3. Periodontitis Kronis Parah 21
B. Periodontitis Agresif
Periodontitis agresif berbeda dengan periodontitis kronis, utamanya karena tingkat progresivitas penyakit yang cepat. Sifat genetik dapat ditunjukkan oleh tidak adanya akumulasi plak dan kalkulus dalam jumlah besar, serta adanya riwayat keluarga terhadap penyakit tersebut. Pada periodontitis agresif, usia yang digunakan sebagai pedoman dalam membedakan pasien yaitu di bawah 25 tahun saat onset penyakit bersamaan dengan tanda atau kriteria lain untuk mendukung diagnosis periodontitis agresif.20 Periodontitis agresif selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi periodontitis agresif lokalisata apabila onset penyakit pada masa pubertas dan kerusakan periodontalnya mengikuti pola karakteristik gigi yang terkena (terutama gigi molar pertama dan gigi insisivus pertama).
Apabila kehilangan perlekatan proksimal paling sedikit pada tiga gigi selain molar pertama dan insisivus pertama, maka diklasifikasikan ke dalam periodontitis agresif generalisata. Secara umum, periodontitis agresif terjadi pada pasien berusia di bawah 30 tahun.3,20
C. Periodontitis sebagai manifestasi dari penyakit sistemik.
Periodontitis sebagai manifestasi dari penyakit sistemik adalah diagnosis yang digunakan apabila kondisi sistemik merupakan faktor predisposisi utama dan ketika faktor lokal (misalnya, sejumlah besar plak dan kalkulus) tidak terlihat jelas atau keberadaannya tidak memberikan pengaruh terhadap keparahan atau perkembangan penyakit.3 Penyingkiran faktor iritan lokal sebagai bagian dari terapi periodontal konvensional dalam kasus seperti ini seringkali tidak cukup
Gambar 4. Periodontitis Agresif 3
untuk menghentikan kerusakan periodontal. Beberapa penyakit dapat memengaruhi jaringan periodontal baik karena pengaruhnya terhadap perjalanan periodontitis atau dengan memengaruhi jaringan periodontal secara independen.
Penyakit sistemik seperti diabetes melitus memengaruhi perjalanan periodontitis.
Besarnya efek penyakit dan kondisi ini bervariasi, tetapi menyebabkan peningkatan kejadian dan keparahan periodontitis.23 Gambaran klinis dari kelainan ini muncul pada usia muda dan sulit membedakannya dengan periodontitis agresif yang menunjukkan kehilangan perletakan yang cepat dan kemungkinan kehilangan gigi dini.3
2.2.2 Klasifikasi Periodontitis berdasarkan International Workshop 2017 Klasifikasi periodontitis terus menerus mengalami perubahan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini untuk menyeleraskan dengan bukti-bukti ilmiah baru yang muncul. Berdasarkan workshop yang dilakukan pada tahun 2017, para ahli sependapat bahwa sesuai dengan pengetahuan terkini mengenai patofisiologi penyakit, ada tiga bentuk periodontitis yang dapat diidentifikasi: periodontitis nekrotik, periodontitis sebagai manifestasi dari penyakit sistemik, dan bentuk periodontitis yang sebelumnya dikenal sebagai “kronis” dan “agresif”, sekarang dikelompokkan ke dalam kategori tunggal yaitu “periodontitis”. Perubahan sistem klasifikasi dikarakteristikkan ke dalam sistem staging dan grading serta dapat disesuaikan seiring ditemukannya bukti ilmiah terbaru.21
Tujuan penggunaan sistem staging pada pasien penderita periodontitis adalah untuk menentukan tingkat keparahan dan perluasan penyakit berdasarkan luas kerusakan jaringan yang terukur. Sistem staging dapat digunakan untuk menilai faktor-faktor spesifik yang dapat menentukan kompleksitas pengendalian penyakit.
Sistem staging dikategorikan ke dalam empat kategori dan ditentukan setelah mempertimbangkan berbagai variabel, termasuk Clinical Attachment Loss (CAL), jumlah dan persentase kehilangan tulang, probing depth (PD), perluasan defek tulang angular, keterlibatan furkasi, mobiliti, dan kehilangan gigi akibat periodontitis.21,24
2.2.2.1 Stage I (Periodontitis Awal)
Periodontitis stage I adalah area perbatasan (borderline) antara gingivitis dan periodontitis, dan merupakan tahap awal hilangnya perlekatan. Pasien dengan periodontitis stage I mengalami perkembangan periodontitis sebagai respons terhadap inflamasi gingiva dan disbiosis biofilm yang persisten.24
2.2.2.2 Stage II (Periodontitis Sedang)
Periodontitis stage II adalah established periodontitis, dimana pemeriksaan klinis jaringan periodontal yang secara hati-hati dilakukan menunjukkan adanya kerusakan-kerusakan pada jaringan pendukung gigi. Perawatan pada penyakit ini berupa penyingkiran bakteri dan plak, serta pengawasan yang dilakukan untuk menghentikan progresivitas penyakit.24
2.2.2.3 Stage III (Periodontitis Parah dengan Kemungkinan Kehilangan Gigi Tambahan)
Pada tahap ini, periodontitis telah menyebabkan kerusakan signifikan pada perlekatan apparatus, dan apabila perawatan lanjutan tidak dilakukan, kehilangan gigi dapat terjadi. Tahap ini ditandai dengan keberadaan lesi periodontal yang dalam dan meluas ke setengah akar, defek intrabony yang dalam, keterlibatan furkasi, riwayat kehilangan gigi akibat penyakit periodontal, serta keberadaan defek pada ridge sehingga menyulitkan dalam pemasangan implan gigi.24
2.2.2.4 Stage IV (Periodontitis Lanjut)
Pada tahap yang lebih parah, stage IV, periodontitis menyebabkan kerusakan yang cukup besar pada jaringan periodontal dan dapat mengakibatkan kehilangan gigi secara signifikan sehingga dapat terjadi hilangnya fungsi pengunyahan. Tahap ini ditandai dengan keberadaan lesi periodontal dalam yang meluas ke ujung akar;
umumnya disertai dengan keluhan gigi goyang akibat traumatik oklusi sekunder dan gejala dari kehilangan gigi yaitu gigitan posterior terbalik dan drifting. Biasanya, perawatan pada tahap ini membutuhkan stabilisasi/restorasi fungsi pengunyahan.24
Tabel 1. Stage periodontitis24
Pada setiap stage, perluasan dibagi kedalam:
- Lokalisata ( < 30% gigi terlibat) - Generalisata ( >30% gigi terlibat) - Pola Molar/Insisal
Sistem grading bertujuan untuk memperkirakan progresivitas dan respons risiko periodontitis di masa mendatang terhadap prinsip-prinsip standar perawatan.
Selain itu, sistem grading memungkinkan dokter untuk memasukkan faktor individual pasien ke dalam diagnosis yang sangat penting dalam manajemen kasus yang komprehensif. Sistem grading dikategorikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu grade A untuk risiko rendah, grade B untuk risiko sedang, dan grade C untuk risiko tinggi.24
Tabel 2. Grade Periodontitis24
Faktor Risiko Merokok Bukan Perokok < 10 Rokok/
hari
Prevalensi periodontitis yang cukup tinggi pada remaja, dewasa, dan lansia menjadikannya masalah di dalam kesehatan masyarakat. Prevalensi penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti merokok, oral higiene yang buruk, diabetes, obat-obatan, usia, dan keadaan psikosial.6
Berdasarkan variasi wilayah negara, prevalensi periodontitis terendah berada di wilayah Oceania (4,2%) dengan 253 kasus periodontitis per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan prevalensi tertinggi berada di wilayah Amerika Latin Selatan (20,4%) dengan 1427 kasus periodontitis per 100.000 penduduk per tahun.25 Penelitian epidemiologi penyakit periodontal yang dilakukan Opperman dkk. di Porto Allegre, Brazil, menunjukkan prevalensi periodontitis sebesar 31,4% (CAL ≥ 5mm).
Pada penelitian ini, laki-laki lebih rentan terkena periodontitis akibat status sosio-ekonomi yang rendah serta kebiasaan merokok berat, dengan prevalensi sebesar
59,9%.26 Penelitian Serrano dkk. terhadap populasi dewasa di Kolumbia menunjukkan prevalensi periodontitis parah sebesar 10,6% dan periodontitis sedang sebesar 43,6%.27 Penelitian cross-sectional yang dilakukan Holde dkk. berdasarkan klasifikasi CDC/AAP di Norwegia, menunjukkan prevalensi periodontitis parah sebesar 9,1% dan meningkat seiring bertambahnya usia.28
Penelitian Tadjoedin dkk. dalam kurun waktu 2004-2014 di Jakarta, menunjukkan bahwa kejadian periodontitis kronis paling sering ditemukan pada kelompok usia 46-55 tahun yaitu sebesar 23%, sedangkan periodontitis agresif paling sering terjadi pada kelompok usia 36-45 tahun yaitu sebesar 33%. Pada kelompok usia 56-65 tahun, periodontitis sebagai manifestasi penyakit sistemik paling sering dijumpai yaitu sebesar 32%.29 Penelitian Wulandari dkk. terhadap perempuan berusia 45-59 tahun dengan periodontitis kronis menunjukkan bahwa perempuan perimenopause dan pascamenopause berdasarkan kehilangan perlekatannya (2.65 ± 0.74 mm) memiliki tingkat keparahan periodontitis sedang.30
2.4 Etiologi Periodontitis
Penyebab utama penyakit periodontal, termasuk periodontitis, adalah plak gigi.31 Plak gigi merupakan kelompok mikrobial yang berkembang pada permukaan gigi kemudian melekat dalam matriks polimer dari bakteri dan saliva. Plak gigi terbentuk melalui kejadian berurutan, membentuk biofilm mikrobial yang mengandung berbagai jenis spesies.32
Pada penyakit periodontal, respons inflamasi terhadap akumulasi biofilm mengakibatkan peningkatan laju alir cairan sulkus gingiva, terkadang disertai perdarahan dan meningkatnya suhu sekitar jaringan. Peningkatan laju alir cairan sulkus gingiva membantu substrat memanfaatkan glikoprotein untuk pertumbuhan co-factor, yaitu anaerobik obligat dan spesies proteolitik pada biofilm subgingiva.32 Selain itu, cairan sulkus gingiva memineralisasi plak yang terus menumpuk, mengakibatkan pembentukan kalkulus subgingiva. Kalkulus berperan penting dalam memperparah penyakit periodontal dengan cara menjaga agar plak tetap melekat pada jaringan gingiva dan menciptakan area dimana pengangkatan plak sulit dilakukan.3
Pada penelitian yang dilakukan oleh Benachinmardi dkk. menunjukkan bahwa bakteri yang lebih dominan pada kasus periodontitis kronis adalah bakteri gram-negatif anaerobik (78,4%) dibandingkan dengan bakteri gram-positif (21,6%). Bakteri paling umum dijumpai pada penelitian ini adalah Fusobacterium spp (27,60%), Porphyromonas spp (24,48%), Bacteroides fragilis (21,84%), Prevotella intermedia (9,20%), Prevotella spp (9,20%), dan Fusobacterium nucleatum (4,60%).33
2.5 Patogenesis Periodontitis
Ada dua kategori molekul yang berperan dalam patogenesis periodontitis:
yang berasal dari faktor virulensi mikroba dan yang terjadi akibat respons inflamasi host. Biofilm subgingiva memulai respons inflamasi pada jaringan gingiva dan periodontal. Biofilm ini dapat berkontribusi secara langsung terhadap kerusakan jaringan dengan melepaskan materi berbahaya, tetapi yang paling penting adalah respons inflamasi berupa aktivasi imun yang menyediakan nutrisi bagi bakteri pada poket periodontal.3
Plak bakteri memproduksi produk metabolisme sisa yang dapat berkontribusi langsung terhadap kerusakan jaringan seperti amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) juga asam karboksilat rantai pendek seperti asam butirat dan asam propionat.
Asam lemak rantai pendek berpengaruh terhadap sekresi sitokin. Sitokin memegang peranan penting terhadap terjadinya inflamasi jaringan dengan mengirim sinyal dari satu sel ke sel lain. Produksi sitokin yang berlebihan dan berkelanjutan akibat inflamasi kronis mengakibatkan kerusakan jaringan yang dicirikan oleh kehilangan perlekatan klinis, mobiliti gigi, dan kehilangan gigi. Sitokin tidak bekerja sendiri, melainkan terlibat pada efek pro-inflamatori dan anti-inflamatori innate dan adaptive immunity.3
Ketika plak bakteri dan produk hasilnya berpenetrasi ke jaringan periodontal,
“sel penjaga” sistem imun mengirim sinyal kepada respons imun. Sel ini termasuk diantaranya makrofag dan sel dendrit, yang mengekspresikan pattern recognition receptors (PRR) akan berinteraksi dengan microbe-associated molecular patterns
(MAMPs). Aktivasi PRRs mengaktifkan respons innate immune untuk menyiapkan perlindungan langsung, dan mengaktifkan respons adaptive immune dengan tujuan membangun pertahanan spesifik antigen yang berkelanjutan. Respons imun yang berlebihan dan tidak tepat atau tidak teratur menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan jaringan yang terkait dengan penyakit periodontal.3
Siklus inflamasi kronis terbentuk dimana keberadaan bakteri subgingiva mendorong terjadinya respons inflamasi di jaringan periodontal; ini ditandai oleh infiltrasi leukosit, pelepasan mediator inflamasi dan enzim perusak, kerusakan jaringan ikat, dan kerusakan serta proliferasi epitelium di apikal. Epitel junctional dan epitel poket menjadi tipis dan serta mudah mengalami ulserasi dan pendarahan, akibatnya terjadi bleeding on probing (BoP). Bakteri di poket ini tidak pernah dieliminasi sepenuhnya dan keberadaannya secara terus menerus mendorong terjadinya respons inflamasi yang merusak jaringan periodontal.3
2.6 Faktor Risiko Periodontitis
Secara umum telah disepakati bahwa hampir seluruh bentuk penyakit periodontal terjadi sebagai akibat dari infeksi mikrobial campuran dimana kelompok bakteri patogen hidup berdampingan. Sejumlah bukti ditinjau berkaitan dengan peran faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi terkait dengan penyakit periodontal. Pemahaman tentang faktor-faktor risiko tersebut sangat penting untuk keperluan klinis, seperti tindakan pencegahan dan perawatan. Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi, diantaranya plak bakteri, kebiasaan merokok, dan penyakit sistemik seperti DM tipe 2, sedangkan faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi, diantaranya adalah usia dan jenis kelamin.7
2.6.1 Usia
Perubahan degeneratif pada proses penuaan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap penyakit periodontal. Hal ini berkaitan dengan lamanya seorang individu terpapar faktor-faktor risiko lain seperti penggunaan obat-obatan, kebiasaan merokok, dan perubahan status nutrisi.34 Teori yang dikaitkan untuk menjelaskan
hubungan penuaan terhadap peningkatan prevalensi dan keparahan periodontitis adalah: (i) efek kumulatif dari kehilangan jaringan periodontal sejalan dengan waktu;
(ii) perubahan pada innate immunity dan status inflamasi; (iii) perubahan pada komposisi mikrobiota subgingiva. Sebagai tambahan, penururan fungsi sistem imun akibat peningkatan usia yang biasa disebut “immunosenescence”, juga berkontribusi terhadap kerentanan orang tua terhadap infeksi mikrobial.35
Perubahan pada innate immunity memengaruhi pertahanan langsung terhadap infeksi maupun aktivasi adaptive immunity dan mengakibatkan inflamasi semakin parah. Penurunan fagositosis dan aktivitas mikrobisidal akibat usia pada neutrofil dan makrofag mengakibatkan pertumbuhan bakteri periodontal yang tidak terkontrol pada kelompok disbiosis. Perubahan yang terjadi pada proses penuaan, mulai dari kemampuan innate immunity dan adaptive immunity dalam mengenal transisi mikrobial biofilm, sampai dengan proses yang menghasilkan perubahan pada tingkat seluler dan humoral sel, dimana inflamasi parah pada periodonsium dapat memiliki efek sekunder mengakibatkan defisiensi imun yang mengarah kepada kerusakan kronis yang persisten.36,37
Berdasarkan National Health Oral Survey pertama di Uruguay, penelitian Lorenzo dkk. menunjukkan bahwa prevalensi periodontitis sedang/parah pada kelompok usia 65-74 tahun sebesar 34,7%, dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia 35-44 tahun yaitu sebesar 16,5%.38 Penelitian yang dilakukan Bokhari dkk. dengan menggunakan community periodontal index (CPI) mengungkapkan bahwa individu yang berusia 40 tahun ke atas berisiko empat kali lebih besar mengalami periodontitis.39 Penelitian Yaacob dkk. di Kuantan, Malaysia, melaporkan bahwa prevalensi periodontitis parah paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 50-64 tahun dibandingkan dengan kelompok usia lain (p=0.532).40 Suatu penelitian observasional pada pasien yang dirujuk ke bagian periodontologi di Portugal melaporkan prevalensi periodontitis kronis tertinggi ditemukan pada kelompok usia 45-65 tahun.41
2.6.2 Jenis Kelamin
Pada patogenesis periodontitis, dimorfisme seks dapat terlibat dalam etiologi penyakit mikrobial serta dapat memodifikasi respons imun host. Kromosom seks berperan penting dalam memediasi perbedaan respons imun, dengan gen terpaut X mengatur produksi sitokin dan pengenalan reseptor.42
Keadaan signifikan kromosom X dalam sistem imun ditunjukkan pada penyakit bawaan (seperti: sindrom Klinefelter), dimana kromosom X ekstra pada laki-laki menghasilkan respons imun yang sama dengan perempuan (CD4 yang tinggi, rasio CD4/CD8 yang tinggi dan level immunoglobulin yang lebih tinggi) dibandingkan dengan kelompok kontrol XY laki-laki. Pada penelitian terhadap perempuan dengan sindrom Turner (X monosomi) menunjukkan sel T dan sel B yang lebih rendah serta level IgG dan IgM yang rendah, kemotaksis polymorphonuclear (PMN) yang lemah, dan rasio CD4/CD8 yang rendah dibandingkan perempuan dengan kromosom XX.42
Penelitian Eke dkk. menunjukkan kecenderungan terjadinya periodontitis dua kali lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, dengan kejadian terbesar yang diamati yaitu periodontitis parah. Bila dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, periodontitis parah lebih mungkin terjadi pada perempuan usia 65 tahun ke atas. Hal ini dikaitkan dengan perempuan yang lebih menjaga gigi dan juga pada perempuan usia 65 tahun ke atas, produksi hormon estrogen telah menurun akibat menopause. Kadar estrogen yang rendah dikaitkan dengan kejadian periodontitis.43 Hal ini sejalan dengan penelitian Puspitadewi dkk. yang melaporkan adannya hubungan signifikan antara kadar estrogen dan densitas tulang (p=0.02).
Pada perempuan pascamenopause, resorpsi tulang meningkat dan ER-β (estrogen receptor- β) dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktur tulang pada perempuan lansia.44
Suatu penelitian meta-analisis dilakukan oleh Yang dkk. pada populasi lansia usia 60 tahun atau lebih di China dalam kurun waktu 1987-2015. Pemeriksaan dilakukan menggunakan indikator BOP (+), CAL ≥4mm, PD ≥4mm. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada BOP (+) antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan CAL ≥4mm dan PD ≥4mm secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi terkena periodontitis. Kebiasaan merokok dapat menjadi salah satu kemungkinan penyebab meningkatnya prevalensi periodontitis karena jumlah perokok laki-laki di China jauh lebih banyak dibandingkan perempuan.45 Hal ini sejalan dengan penelitian Albandar dkk. yang melaporkan
perempuan, sedangkan CAL ≥4mm dan PD ≥4mm secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi terkena periodontitis. Kebiasaan merokok dapat menjadi salah satu kemungkinan penyebab meningkatnya prevalensi periodontitis karena jumlah perokok laki-laki di China jauh lebih banyak dibandingkan perempuan.45 Hal ini sejalan dengan penelitian Albandar dkk. yang melaporkan