• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat dijadikan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam penanggulangan penyakit IMN serta peningkatan produktifitas udang vaname.

1.5 Hipotesis

Pemberian sinbiotik dari bakteri SKT-b dan oligosakarida melalui pakan dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi penyakit IMN dan performa pertumbuhan udang vaname.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik

Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang ketika diberikan dalam jumlah cukup dapat memberikan manfaat kesehatan pada inang (FAO/WHO 2001). Menurut Lisal (2005), kriteria dalam pemilihan probiotik yaitu sebaiknya merupakan mikroflora normal usus, bersifat nonpatogenik dan nontoksik bagi inang, toleran terhadap asam lambung dan garam empedu, mampu menempel dan berkoloniasi dalam usus, bersifat antagonistik terhadap patogen, memiliki pengaruh yang menguntungkan bagi inang, dan memiliki jumlah serta viabilitas yang tinggi. Dalam akuakultur, jenis probiotik yang dievaluasi dan digunakan lebih luas dibandingkan hewan terestrial, baik dalam bentuk monospesies maupun multispesies. Jenis-jenis probiotik tersebut memiliki mekanisme aksi yang berbeda diantaranya mampu meningkatkan efisiensi pakan dan bobot tubuh, memberi proteksi dalam melawan patogen melalui kompetisi ruang, produksi asam organik (asam formik, asam asetat dan asam laktat), produksi hidrogen peroksida dan beberapa bahan lainnya seperti antibiotik, bakteriosin, siderophores, lisozim serta memodulasi respons fisiologis dan imunologis ikan. Beberapa genus bakteri yang telah diteliti sebagai probiotik yaitu Bacillus, Lactobacillus, Lactococcus, Aeromonas, Shewanella, Vibrio, Carnobacterium, dan Clostridium (Nayak 2010).

Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna yang bermanfaat untuk menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri tertentu (bakteri menguntungkan) di dalam usus. Studi mengenai prebiotik pada hewan akuatik berkaitan dengan efek terhadap pertumbuhan, konversi pakan, mikrobiota usus, resistensi terhadap patogen dan parameter imunitas. Prebiotik umumnya merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan inang. Karbohidrat dikelompokkan berdasarkan berat molekul atau tingkat polimerasinya (jumlah unit monosakarida), menjadi monosakarida, oligosakarida dan polisakarida (Tabel 1). Oligosakarida tidak dapat dicerna (non-digestible oligosaccharide) memiliki konfigurasi atom C dalam unit monosakarida yang membuat ikatan glikosidiknya tidak dapat dicerna oleh aktivitas hidrolisis dari enzim pencernaan manusia atau hewan. Prebiotik yang umum digunakan di akuakutur sampai sekarang meliputi inulin, fructooligosaccarides (FOS), short-cain fructooligosaccharides (scFOS), mannanoligosaccharides (MOS), galactooligosaccharides (GOS), xylooligosaccharides (XOS), arabinoxylooligosaccharides (AXOS), isomaltooligosaccharides (IMO) dan GroBiotic –A (Ringo et al. 2010).

Sinbiotik merupakan kombinasi yang seimbang dari probiotik dan prebiotik. Aplikasi sinbiotik memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian probiotik dan prebiotik secara terpisah. Efek sinergis dari Bacillus OJ dan IMO mampu meningkatkan populasi mikrobial, respons imunitas dan resistensi terhadap penyakit pada L. vanammei, lebih baik dibandingkan dengan aplikasi terpisah dari Bacillus OJ dan IMO (Li et al. 2009). Hasil serupa juga dilaporkan oleh Rodriguez- Estrada et al. (2009) yang menyebutkan bahwa aplikasi Enterococcus faecalis dan MOS pada ikan salmon mampu meningkatkan respons imun dan sintasan ikan terhadap infeksi V. (L.) anguillarum.

5 Tabel 1 Klasifikasi karbohidrat (Subandiyono dan Hastuti 2009)

No. Kelompok Jenis Contoh

1 Monosakarida a. Triosa (C3H6O3) Gliseraldehida; Dihidroksiaseton

(1 unit b. Tetrosa (C4H8O4) Eritrosa

glukosa) c. Pentosa (C5H10O5) Rribosa; Arabinosa; Xilosa; Xilulosa

d. Heksosa (C6H12O6) Glukosa; Galaktosa; Mannosa; Fruktosa

2 Oligosakarida a. Disakarida (C12H22O11) Sukrosa; Laktosa; Maltosa; Selobiosa

(2-10 unit b. Trisakarida (C18H32O16) Rafinosa

glukosa) c. Tetrasakarida (C24H42O16) Stasilosa

d. Pentasakarida (C30H52O26) Verbaskosa

3 Polisakarida a. Homo-polisakarida 1. Pentosan (Araban; Xilan) ( >10 unit

glukosa) (glukosa dengan jenis yang sama) 2. Heksosan (Glukan [Starch, Dekstrin, Glikogen, Selulosa]; Fruktan [Inulin, Levan]; Galaktan; Manan)

b. Hetero-polisakarida

(glukosa dengan jenis Pektin; Hemiselulosa; Gum; Mukopolisakarida Mucilage; yang berbeda)

4 Persenyawaan a. Khitin khusus b. Lignin

2.2 Sistem Imunitas Krustasea

Mekanisme pertahanan tubuh krustasea kurang berkembang dibandingkan ikan bersirip (finfish) dan vertebrata lainnya. Krustasea tidak memiliki memori adaptif dan hanya bergantung pada sistem pertahanan nonspesifik (Roch 1999). Sistem pertahanan tersebut meliputi pertahanan seluler berupa aktivitas sel-sel hemosit (fagositosis, enkapsulasi, dan pembentukkan nodul), serta pertahanan humoral berupa aktivasi dan pelepasan molekul-molekul penting yang tersimpan dalam hemosit (protein antikoagulan, aglutinin, enzim phenoloxidase [PO], peptida antimikrobial, protease inhibitor, dan sebagainya) (Jiravanichpaisal et al. 2006; Holmblad dan Soderhall 1999). Mekanisme pertahanan tubuh krustasea dijelaskan pada Gambar 1 (Smith et al. 2003).

Berdasarkan keberadaan granular pada sitoplasma, terdapat tiga tipe hemosit pada krustasea yaitu sel hialin (nongranular), semi granular dan sel granular (Gambar 2). Fungsi dari masing-masing hemosit seperti pada Tabel 2 (Soderhall dan Cerenius 1992). Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan sel yang paling umum dengan cara menelan dan menghancurkan patogen dan partikel asing yang masuk ke dalam tubuh. Penghancuran material yang difagosit melibatkan produksi intraseluler berupa radikal bebas. Selama proses kontak dan pengenalan dengan patogen, enzim inang seperti NADPH-oksidase menjadi aktif yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi oksigen dan menghasilkan radikal bebas diantaranya anion superoksida (O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Munoz et al. 2000; Rodriguez

dan Le Moullac 2000). Radikal bebas ini dapat langsung membunuh organisme yang menyerang, berkombinasi dengan senyawa-senyawa nitrogen (nitric oxide) atau bersinergi dengan lisozim (Roch 1999). Enkapsulasi dan pembentukan nodul

6

merupakan kumpulan hemosit yang saling bekerja sama untuk menangani partikel asing. Enkapsulasi terjadi bila inang diserang oleh partikel yang berukuran besar, sedangkan nodul terbentuk bila inang diserang oleh partikel kecil dalam jumlah banyak (Gambar 3) (Soderhall dan Cerenius 1992).

Gambar 1 Mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik pada krustasea

Gambar 2 Klasifikasi sel hemosit: a) hialin, b) semigranular, c) granular (Giulianini et al. 2007) -1,3-glucan Peptidoglican Live bacteria Bacterial antigen Phenolic

compounds Quinones Melanin

Cell adhesion Release of reactive O2 Opsonization Encapsulation Phenoloxidase (PO) Prophenoloxidase (proPO) Active serine proteinase (ppA) Antibacterial peptides Peroxinectin Phagocytosis Inactive serine proteinase (proppA) Granular

Semi granular hyaline

-1,3-glucan binding protein

( GBP)

Degranulation

Degranulation

7 Tabel 2 Fungsi berbagai tipe sel hemosit pada sistem imunitas krustasea

Tipe hemosit Fagositosis Enkapsulasi Fungsi Sitotoksisitas Sistem aktivasi ProPO Hialin Semigranular Granular Ya Terbatas Tidak Tidak Ya Sangat terbatas -* Ya Ya Tidak Ya Ya

*Belum ada informasi

Gambar 3 Mekanisme pertahanan seluler: a) fagositosis, b) enkapsulasi, c) pembentukan nodul

Sistem prophenoloxidase (proPO) merupakan bagian yang dominan dari mekanisme pertahanan tubuh krustasea, disimpan dan diproduksi oleh sel semigranular dan granular yang diaktifkan oleh kehadiran sejumlah kecil mikroba. Komponen awal dari sistem proPO adalah PO yang ketika aktif akan mengoksidasi senyawa fenol menjadi kuinolon dan secara spontan membentuk melanin sebagai produk akhir. Melanin beserta produk antaranya merupakan senyawa yang sangat reaktif yang berperan diantaranya dalam inaktivasi dan mencegah penyebaran partikel asing dalam tubuh melalui penghambatan produk ekstraseluler mikroorganisme (proteinase dan khitinase). Sistem proPO berpengaruh terhadap tingkah laku sel, perbanyakan dan atau aktivasi molekul-molekul penting yang fungsional serta netralisasi agen penginfeksi (Smith et al. 2003).

2.3 Infectious Myonecrosis (IMN)

Wabah IMN pertama kali teridentifikasi pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vanammei) di timur laut Brazil pada tahun 2004 dan ditemukan di Indonesia pada awal tahun 2006. Hasil analisis subsekuen membuktikan bahwa virus IMN (IMNV) yang menginfeksi udang vaname di Indonesia memiliki kemiripan sekuen asam nukleat 99,6% dengan IMNV yang menginfeksi di Brazil (Senapin et al. 2007). IMNV menginfeksi postlarva, juvenil dan subadult pada pembesaran udang vaname. Mewabahnya penyakit ini diduga berkaitan dengan stress fisik dan lingkungan seperti salinitas dan suhu ekstrim, penanganan udang,

8

serta penggunaan pakan kualitas rendah. Infeksi IMNV memperlihatkan gejala nekrosis dari mulai ringan sampai berat terutama di bagian abdomen dan ekor yang dapat berkembang menjadi kemerahan (Gambar 4) (Lightner et al. 2004).

Gambar 4 Gejala klinis udang vaname yang terinfeksi IMNV: a) Lightner et al. 2004, b) Poulos et al. 2006

Hasil histopatologi, udang yang terinfeksi IMNV memperlihatkan lesi di otot skeletal meliputi multifocal necrosis, kongesi hemosit, inflamasi fibrosis, fagositosis dan munculnya badan inklusi sitoplasmik. Hasil in situ hybridisation (ISH) pada L. vannamei menunjukkan bahwa otot skeletal merupakan organ target utama dari infeksi IMNV. Hal ini yang menyebabkan penyakit IMN bersifat kronis dan kematian terjadi secara perlahan. Selain otot skeletal, IMNV juga ditemukan di organ limfoid, usus bagian belakang, insang serta sel fagositik dalam hepatopankreas dan hati. L vanammei merupakan inang utama dari IMNV, meskipun mampu menginfeksi L. stylirostris dan Penaeus monodon, namun tidak menyebabkan kematian sampai dengan empat minggu pengamatan setelah infeksi (Tang et al. 2005).

Berdasarkan analisis imunologi, perubahan parameter imunologis yang signifikan hanya terjadi pada udang di tahap akhir infeksi IMNV, ketika pemulihan diri tidak dimungkinkan lagi. Infeksi IMNV menyebabkan peningkatan apoptosis pada hemosit (8 kali), titer aglutinasi (16 kali), produksi anion superoksida dari hemosit (50%), dan aktivitas antimikrobial dari hemolimph (21 kali melawan Micrococcus luteus). Infeksi IMNV juga menyebabkan penurunan total hemosit (30%) dan persentase granulosit sirkular (7%) (Costa et al. 2009).

Agen penyebab penyakit IMN adalah virus berbentuk ikosahedral dengan diameter 40 nm, memiliki genom tunggal, double-stranded (dsRNA) dengan panjang molekul 7560 bp (Gambar 5). Hasil analisis filogenetik IMNV berdasarkan RDA-dependent dari gen RNA polimerase (RdRp), IMNV memiliki kemiripan dengan virus Giardia lamblia, yang merupakan anggota dari family Totiviridae. Berdasarkan hal ini, IMNV mungkin merupakan anggota unik dari Totiviridae atau mungkin merepresentasikan family virus dsRNA baru yang menginfeksi inang invertebrata (Poulos et al. 2006).

9

Gambar 5 Bentuk ikosahedral dari IMNV: a) transmisi elektron mikrograf, fraksi gradien calsium chloride, diwarnai dengan phosphotungstic acid 2%, garis menunjukkan 100 nm (Poulos et al. 2006), b) Rekonstruksi 3- dimensi virion IMNV dengan resolusi 8.0-Å (Tang et al. 2008)

2.4 Ubi Jalar (Ipomoea batatas)

Ubi jalar merupakan tanaman asli dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman ini mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropis, pada abad ke 16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang dan Indonesia. Data tahun 2009 menunjukkan produksi ubi jalar Indonesia menempati urutan ke 4 setelah China, Uganda dan Nigeria. Ubi jalar termasuk dalam ordo Solanaceae, family Convolvulaceae, genus Ipomoea dan spesies Ipomoea batatas serta memiliki nama binomial Ipomoea batatas (L) Lam. Tanaman ini memiliki warna kulit yang bervariasi antara kuning, oranye, merah, coklat, ungu dan abu-abu kecoklatan. Warna daging juga bervariasi mulai dari abu-abu kecoklatan, putih, merah, merah muda, ungu, kuning, sampai oranye, tergantung jenis dan banyaknya pigmen yang terdapat di dalamnya. Varietas umbi warna putih dan kuning pucat memiliki rasa manis dan kadar air lebih rendah dibandingkan dengan varietas berwarna merah, merah muda dan oranye (Wikipedia 2012). Menurut North Carolina Sweet Potato Commission (2013), terdapat ratusan varietas ubi jalar (Gambar 6), kebanyakan di produksi dalam jumlah kecil serta hanya dijual oleh petani lokal. Secara umum, ubi jalar mengandung karbohidrat yang tinggi (20,1%), terdiri dari pati (12,7%), gula (4,2%), dan serat (3,0%). Ubi jalar juga mengandung protein (1,6%) dan lemak (0,1%) yang rendah (Wikipedia 2012).

Komposisi kimia ubi jalar bervariasi tergantung pada waktu panen, varietas dan proses pengolahan. Kandungan gula yang terdapat pada ubi jalar varietas sukuh terdiri dari fruktosa, glukosa, sukrosa, maltose dan maltotriosa (Marlis 2008). Roxas et al. (1985) menyebutkan bahwa ubi jalar varietas Kinabakab, Tinipay, BNAS 51 dan G113-2b hanya tediri dari monosakarida dan sukrosa. Pengukusan dapat meningkatkan konsentrasi gula dalam ubi jalar dibandingkan dengan kondisi mentahnya. Hal ini disebabkan oleh pemecahan struktur pati karena pengaruh panas dan air, menjadi molekul glukosa yang lebih sederhana (Marlis 2008).

10

Gambar 6 Varietas ubi jalar yang banyak diminati di North Carolina Sweet Potato Commission

11

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama 16 minggu, pada bulan MeiSeptember 2012. Bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Program Diploma, Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.2 Metode

3.2.1 Preparasi, Ekstraksi, dan Analisis Oligosakarida

Ubi jalar (Ipomoea batatas) berumbi putih didapatkan dari penjual ubi di pasar Ciampea. Proses preparasi dan ekstraksi dimulai dengan mengukus ubi selama 30 menit, kemudian diiris tipis-tipis, dikeringkan dalam oven suhu 50 oC

selama dua hari (sampai kering), dan selanjutnya ditepungkan menggunakan blender. Tepung kukus ubi jalar diekstraksi dalam etanol 70% dengan perbandingan 1:10 dan digoyang dalam shaker (kecepatan 120 rpm suhu 30 oC) selama 15 jam (Muchtadi 1989). Setelah disaring, filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator vakum pada suhu 40 oC, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer

untuk memisahkan filtrat dari pelarutnya. Sebanyak 50 gram ekstrak diencerkan dengan 100 ml akuades hingga didapatkan larutan stok 50% (Gambar 7).

Gambar 7 Ubi jalar (Ipomoea batatas) berumbi putih yang digunakan sebagai sumber oligosakarida: a) mentah, b) setelah dikukus, diiris tipis dan dikeringkan, c) tepung, d) larutan stok ekstrak ubi jalar

a b

12

Ekstrak oligosakarida hasil freeze dry kemudian dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC), untuk mengetahui jenis dan konsentrasi oligosakarida yang terkandung dalam ekstrak. Analisis oligosakarida dengan HPLC menggunakan kolom Aminex HPX-87H pada suhu 35 oC dengan

refractive indeks detector, laju alir 1 ml menit-1, fase gerak H2SO4 0,008N dan

volume injeksi 20 µl. Analisis HPLC dilakukan di Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong.

3.2.2 Pertumbuhan Bakteri Probiotik SKT-b

Bakteri SKT-b yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Bakteri SKT-b memiliki ciri koloni berbentuk bulat, elevasi cembung, tepian rata, berwarna kuning pada media Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose (TCBS) agar dan agak berlendir (Gambar 8). Karakteristik fisiologis dan biokimia bakteri SKT-b disajikan pada Tabel 3 (Widanarni et al. 2003). Bakteri SKT-b dikultur pada media Seawater Complete (SWC) cair dan diinkubasi dalam waterbath shaker (kecepatan 140 rpm, suhu 29 oC) selama 22 jam. Setiap dua jam, kultur bakteri diambil

sebanyak 1 ml dan kemudian dihitung konsentrasinya dengan metode total plate count (TPC) pada media TCBS agar (Cappuccino dan Sherman 2008) (Lampiran 1). Selanjutnya dibuat kurva pertumbuhan bakteri SKT-b terhadap waktu. Pembuatan media bakteri dijelaskan pada Lampiran 2.

13 Tabel 3 Karakteristik sifat biokimia dan fisiologis bakteri probiotik SKT-b

Parameter Keterangan

Gram Negatif

Bentuk sel Batang pendek

Motilitas + Protease + Amilase + Kitinase - Sumber karbon:  Glukosa +  Sukrosa +  Laktosa -

3.2.3 Uji Kombinasi Sinbiotik Optimal

Pengujian kombinasi prebiotik-probiotik (sinbiotik) yang optimal dilakukan secara in vitro. Pengujian ini mencari kombinasi prebiotik-probiotik yang memperlihatkan kecepatan pertumbuhan bakteri probiotik paling baik. Biakan cair bakteri SKT-b konsentrasi 107, 108, 109, dan 1010 cfu ml-1, masing-masing sebanyak

1 ml ditumbuhkan dalam 9 ml air laut steril yang telah dicampur dengan prebiotik konsentrasi 0, 1, 2 dan 3% v/v. Sterilisasi prebiotik dilakukan dengan filtrasi mess size 0,20 µm. Biakan bakteri selanjutnya diinkubasi dalam waterbath shaker (kecepatan 140 rpm, suhu 29 oC) selama 12 jam. Pertumbuhan bakteri SKT-b

diketahui dengan mengukur nilai absorbansi biakan setiap perlakuan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm.

3.2.4 Uji In Vivo

3.2.4.1 Preparasi Probiotik

Bakteri probiotik yang akan diberikan ke udang, sehari sebelumnya dikultur di media SWC cair dan diinkubasi dalam waterbath shaker (kecepatan 140 rpm, suhu 29 oC) selama 16 jam. Pelet bakteri dipisahkan dengan supernatan

menggunakan sentrifus kecepatan 10.000 rpm selama lima menit. Pelet bakteri dicampurkan ke pakan sebanyak 1010 cfu g pakan-1.

3.2.4.2 Preparasi Pakan

Bakteri SKT-b dan prebiotik sesuai dosis perlakuan ditambahkan ke pakan komersil menggunakan pengikat berupa gelatin sebanyak 3% dari bobot pakan. Pakan untuk udang kontrol juga ditambahkan gelatin 3% tanpa sinbiotik. Pelet dikeringanginkan selama 30 menit dan segera diberikan ke udang sebanyak satu kali setiap hari selama 30 hari. Pembuatan pakan perlakuan dilakukan setiap hari untuk menjaga kesegaran bahan.

14

3.2.4.3 Persiapan Wadah dan Media

Wadah perlakuan berupa akuarium kaca berukuran 60x30x40 cm3. Sebelum

digunakan, wadah didesinfeksi dengan klorin 100 ppm selama satu jam. Wadah dibilas air sampai bersih dan dijemur di bawah sinar matahari untuk menghilangkan residu klorin. Akuarium kemudian ditutup dengan plastik hitam untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Masing-masing akuarium dilengkapi dengan shelter (pipa paralon ½ inci) dan “anco” (tutup toples plastik diameter 18 cm). Air yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pantai Ancol. Air laut ditampung dalam tandon dan didesinfeksi dengan klorin 30 ppm. Residu klorin dihilangkan dengan menambahkan Na-Thiosulfat 15 ppm (setengah dosis klorin). Setiap akuarium perlakuan diisi air laut setinggi 30 cm (54 liter). Akuarium dengan perlakuan yang sama digabung dalam satu sistem resirkulasi untuk mempertahankan kualitas air media pemeliharaan udang (Lampiran 3).

3.2.4.4 Kondisi Hewan Uji

Udang vaname diperoleh dari PT. Global Gen Indonesia, Labuan, Banten. Sebelum digunakan, udang vaname (PL 41; bobot rataan 0,6 g) diadaptasikan selama dua minggu dalam wadah fiber volume 1 ton. Udang diberi pakan sekenyangnya sebanyak lima kali sehari pada pukul 06.00, 10.00, 14.00, 18.00 dan 22.00 WIB. Setelah proses adaptasi, udang uji (PL 55; bobot rataan 1,9 g) kemudian dipindahkan ke dalam akuarium perlakuan sebanyak 40 ekor per akuarium. Udang diberi pakan perlakuan selama 30 hari dengan metode dan frekuensi pemberian pakan yang sama seperti saat adaptasi. Selain dengan menggunakan sistem resirkulasi, kualitas air media dipertahankan dengan aerasi terus menerus dan penyifonan setiap dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Penyifonan juga dilakukan untuk mengambil sisa pakan untuk pengukuran parameter jumlah konsumsi pakan.

Uji in vivo dikelompokkan menjadi dua yaitu uji resistensi udang vaname terhadap infeksi IMNV dan uji performa pertumbuhan. Setelah pemberian pakan perlakuan selama 30 hari, dilakukan analisis dan perhitungan parameter pertumbuhan untuk uji performa pertumbuhan serta pengukuran populasi bakteri usus. Setelah itu, sebanyak 18 ekor udang tiap akuarium dipelihara kembali untuk dilakukan uji resistensi terhadap IMNV. Infeksi IMNV dilakukan dengan menginjeksikan hasil ekstraksi tubuh udang yang positif terinfeksi berdasarkan pengamatan gejala klinis dan hasil analisis PCR. Sampel udang yang positif terinfeksi IMNV didapatkan dari Balai Pengembangan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo, Jawa Timur dan diekstrak berdasarkan Escobedo et al. (2006) (Lampiran 4). Udang yang diinfeksi IMNV pada masing-masing akuarium, sebanyak 15 ekor digunakan untuk pengukuran parameter sintasan dan gejala klinis serta 3 ekor untuk pengukuran parameter imunitas. Selama waktu pengamatan, udang diberi pakan kontrol dengan metode dan frekuensi yang sama seperti saat perlakuan. Resirkulasi air, aerasi dan penyifonan tetap dilakukan untuk mempertahankan kualitas air.

15

3.2.4.5 Pengujian Resistensi Udang Vaname terhadap Infeksi IMNV

Uji ini dilakukan untuk mengevaluasi kinerja sinbiotik dalam meningkatkan resistensi udang vaname yang diinfeksi IMNV. Pengujian terdiri dari lima perlakuan dengan tiga ulangan, sebagai berikut:

Kontrol (-) : Udang vaname diberi pakan komersil dan diinjeksi PBS. Kontrol (+) : Udang vaname diberi pakan komersil dan diinfeksi IMNV.

Pro+Pre 1% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 1% serta diinfeksi IMNV.

Pro+Pre 2% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 2% serta diinfeksi IMNV.

Pro+Pre 3% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 3% serta diinfeksi IMNV.

Udang diberi pakan perlakuan setiap hari selama 30 hari. Infeksi IMNV dilakukan melalui injeksi sebanyak 0,1 ml per ekor udang. Pengamatan dilakukan selama 10 hari setelah infeksi. Parameter yang diamati meliputi sintasan (SR) dan gejala klinis yang diukur pada akhir pengamatan, serta parameter imunitas (total hemosit dan aktivitas phenoloxidase) pada awal (hari ke 0 sebelum infeksi), tengah dan akhir pengamatan (hari ke 5 dan ke 10 setelah infeksi). Tahapan dan waktu kegiatan uji resistensi udang vaname terhadap IMNV dijelaskan pada Lampiran 5. a. Pengambilan Sampel Hemolimph

Hemolimph diambil dari ventral sinus pada pangkal kaki renang pertama dengan menggunakan syringe 1 ml yang telah dibilas dan diisi antikoagulan sebanyak 200 µl. Hemolimph yang terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam eppendorf 2 ml dan dicatat volumenya sebagai faktor pengencer pada perhitungan nilai total hemosit dan aktivitas phenoloxidase. Untuk mengawetkan sampel hemolimph selama pengukuran parameter imunitas, sampel disimpan di dalam cool box yang telah diisi dengan batu es.

b. Sintasan (SR)

Sintasan udang dihitung dengan menggunakan rumus berikut: SR = (Nt / No) x 100 %

Keterangan :

Nt : Jumlah udang yang hidup pada akhir pengamatan (ekor) No : Jumlah udang pada awal pengamatan (ekor)

c. Gejala Klinis

Gejala klinis yang timbul pada udang dapat menunjukkan tingkat infeksi dari IMNV tersebut. Data gejala klinis yang dihasilkan berupa kualitatif (deskriptif) dan kemudian dibuat semi kuantitatif dengan cara skoring.

16

Pengelompokan gejala klinis ditentukan berdasarkan Hasan (2011) dengan sedikit modifikasi (Tabel 4 dan Gambar 9)

Tabel 4 Pengelompokan tingkat infeksi IMNV terhadap udang vaname berdasarkan gejala klinis yang muncul

Level Gejala Klinis Tingkat

Infeksi

1 Terinfeksi tanpa gejala klinis Ringan

2 Sedikit warna putih lebam di dalam jaringan di beberapa segmen abdomen

Sedang 3 Sebagian besar jaringan abdomen berwarna

putih lebam Berat

4 Bagian abdomen dari arah ekor berwarna merah (jaringan mati)

Sangat berat

Gambar 9 Gejala klinis udang yang terinfeksi IMNV. Angka menunjukkan tingkat infeksi ringan (1), sedang (2), berat (3), dan sangat berat (4)

d. Total Hemosit

Pengukuran total hemosit (THC) dilakukan berdasarkan metode Blaxhall dan Daishley (1973). Hemolimph sebanyak 0,1 ml yang sudah ditambahkan antikoagulan, dihitung dengan menggunakan hemasitometer pada mikroskop perbesaran 400 kali. Perhitungan nilai THC dijelaskan di Lampiran 6.

4 3

2 1

17 e. Aktivitas Phenoloxidase (PO)

Pengukuran PO dilakukan berdasarkan Liu dan Chen (2004). Aktivitas PO diukur berdasarkan formasi dopachrome yang dihasilkan oleh L-DOPA. Hemolimph yang sudah dicampur dengan antikoagulan sebanyak 1 ml disentrifus (1.500 rpm; suhu 4 oC) selama 10 menit. Supernatan dibuang dan

pelet disuspensikan kembali secara perlahan ke dalam 1 ml larutan cacodylate- citrate buffer, selanjutnya disentrifus kembali. Pelet diambil dan disuspensikan

dalam β00 μl cacodylate-citrate buffer. Suspensi sel sebanyak 100 μl diinkubasi

dengan 50 μl trypsin (1 mg ml-1cacodylate-citrate buffer) selama 10 menit pada

suhu 25-26 oC. Selanjutnya ditambahkan 50 μl L-DOPA (3 mg ml-1cacodylate-

citrate buffer) setelah 5 menit, dan ditambahkan 800 μl cacodylate-citrate buffer. Densitas optikal (optical density) diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Larutan standar

mengandung 100 μl suspensi hemosit, 50 μl cacodylate-citrate buffer

(pengganti tripsin) dan 50 μl L-DOPA yang digunakan untuk mengukur background aktivitas PO pada semua larutan uji. Aktivitas PO dihitung berdasarkan rumus berikut:

� � � = � − �

µ ℎ µ ℎ ℎ+µ � ℎ

3.2.4.6 Pengujian Performa Pertumbuhan

Penelitian ini dilakukan untuk menguji kinerja sinbiotik dengan berbagai dosis oligosakarida terhadap performa pertumbuhan udang vaname. Pengujian terdiri dari empat perlakuan dengan tiga ulangan sebagai berikut:

Kontrol : Udang vaname diberi pakan komersil.

Pro+Pre 1% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 1%.

Pro+Pre 2% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 2%.

Pro+Pre 3% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 3%.

Udang diberi pakan perlakuan setiap hari selama 30 hari. Parameter yang diukur berupa penambahan bobot tubuh, jumlah konsumsi pakan, laju pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan, retensi nutrien (protein dan lemak) serta aktivitas enzim pencernaan (protease dan amilase). Parameter uji dihitung dengan menggunakan rumus seperti pada Tabel 5. Tahapan dan waktu kegiatan uji performa pertumbuhan dijelaskan pada Lampiran 5. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi, FPIK IPB dan analisis enzim di Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Antar

Dokumen terkait