• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ada dua bentuk yaitu : 1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual, menambah wawasan baik bagi penulis, masyarakat, akademis, organisasi dan pengkaji hukum Islam khususnya tentang pelaksanaan nikah saparuik dan cara penyelesaiannya.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemangku adat dalam pencegahan dan penyelesaian perkawinan saparuik khususnya bagi pemangku adat dan masyarakat di Nagari Lawang Mandahiling.

F. Defenisi Operasional

Judul Skripsi ini adalah “ Problematika Perkawinan Saparuik di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung dalam Bingkai Fikih Munakahat“. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami penelitian ini, maka penulis mencoba menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini sebagai berikut:

Problematika adalah berbagai persoalan yang sulit dihadapi dan belum dapat dipecahkan. (Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua,1995, hal.456). Yang penulis maksud disini adalah persoalan perkawinan saparuik yang terjadi dinagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung.

Perkawinan Saparuik adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan sepersukuan dan bertali darah lansung yang berasal dari satu nenek, buyut dan seterusnya keatas. Yang penulis maksud disini adalah perkawinan yang terjadi antara mamak dengan kemenakan kandung ( anak

perempuan dari saudari perempuannya) dinagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung.

Bingkai adalah bilah yang dipasang dikeliling suatu benda supaya kuat (Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua,1995, hal.218). yang penulis maksud di sini adalah khusus di dalam perkawinan yang dilarang di dalam fikih munakahat yaitu perkawinan saparuik dinagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung

Fikih Munakahat adalah ilmu yang membahas tentang hukum atau perundang-undangan Islam yang khusus membahas masalah pernikahan dan yang berhubungan dengannya ( Tihami, 2010: 6). Yang penulis maksud disini adalah tentang perkawinan yang dilarang di dalam fikih munakahat yaitu perkawinan saparuik dinagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung

Dari keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Problematika Perkawinan Saparuik di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung dalam Bingkai Fikih Munakahat adalah permasalahan perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudari perempuannya ( mamak kandung dengan kemanakan kandung)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam literature fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah ( ََحَكَن ) dan zawaj ( ََجَوَز ). Kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat di dalam Al-Quran dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-quran dengan arti kawin, seperti: (Amir Syarifuddin, 2010: 73). Dalam surat An-Nisa‟(3) : 3) (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Demikian pula terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Quran yang berarti kawin, seperti surat Al-Ahzab (33) : 37)



Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”

yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga

“pernikahan”, berasal dari kata nikah ) حاكً ( yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). ( Abdul Rahman Ghazali, 2008: 7)

Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah. Sedangkan menurut syara‟ nikah adalah:

َ دْقَع اَمُهَاَنْعَمَْوَأَِجْيِوَْظَتلاَِوَأَِحَاَكَّنلاَِظْفَلِبٍَءىْطَوََةَحَاَبِإَ ُنَّمَضَتَي

َ

Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya . (Tihami, 2010: 8)

Para Ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. (Jawad Mughniyah, 2008:309).

Pengertian-pengertian di atas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan.

Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat

ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, seperti terjadinya perceraian, kurang adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.

Undang-undang Perkawinan dan KHI juga menyatakan pengertian dari perkawinan adalah:

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Adapun Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu aqad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. ( Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2: 19)

2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yangberkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. (Amir Syarifuddin,2009:59)

a. Rukun Perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang harus ada untuk menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, aqad perkawinan, wali yang melansungkan aqad, saksi yang telah menyaksikan lansung aqad perkawinan dan juga mahar. Adapun rukun dalam sebuah pernikahan, jumhur ulama sepakat ada empat, yaitu:

1) Akad Nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlansung antara dua pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.

Untuk lebih jelas mengenai akad di dalam kajian ini maka sesuai dengan ketentuan yang penulis kutip dari buku Amir Syarifuddin bahwa syarat-syarat akad harus dikaji terlebih dahulu agar akad tersebut benar-benar bisa difahami bukan hanya sekedar pengucapan, maka akad tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.

Yang melakukan ijab boleh dari pihak laki-laki dan boleh juga dari pihak wali perempuan. Bentuk ijab dari suami umpamanya ucapan suami: Saya nikahkan anak bapak yang bernama si A dengan mahar satu kitab al-quran. Qobul dari wali yang berbunyi: Saya terima engkau menikahi anak saya bernama si A dengan mahar satu kitab al-quran.

b) Materi dari ijab dan qobul tidak boleh berbeda, seperti nama siperempuan dengan lengan beserta mahar.

c) Ijab dan qobul harus dilansungkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. (Amir Syarifuddin, 2009:62)

d) Ijab dan qobul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Dalam lafaz arab ialah na-ka-ha atau za-wa-ja atau terjemahannya yang dapat difahami oleh orang yang beraqad, seperti lafaz kawin bagi orang Melayu.

e) Ijab dan qobul tidak boleh menggunakan lafaz yang mengandung maksud membatasi perkawinan untuk masa tertentu. (Thihami, 2014: 12)

2) Laki-laki dan Perempuan yang akan kawin

Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang disebut di dalam al-quran.

Adapun syarat-syarat mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut:

a) Keduanya jelas keberadaannya dan jelas identitasnya.

b) Keduanya sama-sama beragama Islam.

c) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.

d) Keduanya telah mencapai usia untuk layak melakukan perkawinan. Adapun firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa (4) : 6) untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (Amir Syarifuddin,2009:64)

3) Wali

a) Keberadaan Wali.

Yang dimaksud dengan wali di dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam

suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dan pihak perempuan yang dilakukan oleh wali perempuan.

Sebagaimana dalam hadis nabi bahwasanya pernikahan itu haruslah adanya wali sebagai orang yang bertindak atas pernikahan seorang perempuan:

Dari Abu Musa sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda:

“Tidak sah nikah tanpa wali.” ( H.R. Ahmad, Abu Daud, Termidzi, Ibnu Hibban dan Hakim serta disahihkan oleh keduanya)

Beranjak dari hadis tersebut, maka sudah jelas bahwasanya sebuah pernikahan yang tanpa adanya wali yang menyaksikan maka sesungguhnya pernihakan itu tidaklah sah. Namun disamping itu terdapat pula ayat Al-Quran yang memberikan pengertian perempuan itu kawin sendiri tanpa mesti memakai wali, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2: 232).



Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf ( Honey Miftahuljannah, 2014: 74).

b) Macam-macam wali.

Dalam mengkaji masalah wali beranjak dari beberapa sumber dan rujukan maka penulis mendapatkan pemahaman bahwasanya wali di dalam perkawinan ada empat macam yaitu:

1) Wali Nasab

Wali nasab adalah wali nikah karena hubungan nasab dengan wanita yang akan melansungkan pernikahan.tentang masalah wali nasab ini maka dibagi kedalam dua bahagian:

(a) Wali dekat atau Wali Qarib (بيَرقلاَىلَولا))ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anak perempuannya di usia muda tanpa harus ada persetujuan dari anak perempuannya tersebut.

Wali dalam keadaan seperti ini disebut dengan wali mujbir. Ketidak harusannya meminta pendapat dari anaknya yang masih muda itu karena orang yang masih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberikan persetujuan.

(b) Wali jauh atau Wali Ab’ad ) دعبلااَىلولا). Yang menjadi wali jauh ini secara berurutan adalah:

(1) Saudara laki-laki kandung.

(2) Saudara laki-laki seayah.

(3) Anak saudara laki-laki kandung.

(4) Anak saudara laki-laki seayah.

(5) Paman kandung.

(6) Paman seayah.

(7) Anak paman kandung.

(8) Anak paman seayah

(9) Ahli waris kerabat lainnya kalau ada.

(10) Sultan atau wali hakim yang memegang wilayah umum. (Amir Syarifuddin,2009:75-76)

2) Wali Hakim.

Wali hakim sesuai namanya, hakim, wali ini berasal dari hakim atau qadhi. Adapun yang termasuk wali hakim antara lain, kepala pemerintahan, khalifah ( pemimpin), penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang oleh kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. Bila orang-orang itu tidak ada, maka wali hakimbisa berasal dari

orang-orang yang terkemuka di suatu masyarakat. Namun, wali hakim ini hanya boleh digunakan dalam pernikahan apabila:

(a) Tidak ada wali nasab.

(b) Tidak cukup syarat-syarat wali dekat maupun wali jauh.

(c) Wali dekat ghaib atau dalam perjalanan dalam jangka waktu dua hari perjalanan.

(d) Wali dekat dalam penjara atau tidak bisa ditemui.

(e) Wali dekatnya batil.

(f) Wali dekatnya berbelit-belit atau mempersulit.

(g) Wali dekatnya ihram.

(h) Wali dekatnya sendiri yang akan menikah; dan

(i) Wanita yang akan dinikahi gila, tetapi sudah dewasa dan wali jauh tidak ada.( Rizem Aizid, 2018: 103-104)

3) Wali Tahkim

Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan calon istri. Adapun cara pengangkatannya ( cara tahkim) adalah dengan calon suami mengucapkan tahkim kepada seorang dengan kalimat,” Saya angkat bapak atau saudara untuk menikahkan saya dengan calon istri saya dengan mahar dan putusan bapak saya terima dengan senang, kemudian calon istri juga mengucapkan yang demikian.

Kemudian calon hakim itu menjawab, Saya terima tahkim ini.

4) Wali Maula

Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya.

Artinya, majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannyabilamana perempuan itu rela menerimanya. Yaitu perempuan dimaksud adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya.

(Thihami,2014: 98-99)

c) Syarat-syarat Wali.

Orang-orang yang disebutkan diatas baru berhak menjadi wali bila memenuhi syarat sebgai berikut:

(a) Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali. Karena ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan akad.

(b) Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.

(c) Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Berdasarkan firman Allah dalam surat Ali Imran (3: 28).

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.

(d) Orang merdeka.

(e) Tidak berada di dalam pengampuan atau Mahjur Alaih.

(f) Berfikiran baik. Orang yang terganggu pemikirannya tidak boleh menjadi wali.

(g) Adil. Dalam artian tidak pernah terlibat dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.

(h) Tidak sedang melakukan ihram.(Amir Syarifuddin,2009:

76-78) 4) Saksi.

a) Keberadaan saksi.

Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad dibelakang hari.

Dasar hukum keharusan saksi dalam akad pernikahan dalam surat Al -Thalaq ( 65: 2).

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.

b) Syarat-syarat saksi.

Saksi di dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(a) Saksi itu berkumlah paling kurang dua orang.

(b) Kedua saksi itu adalah beragama Islam.

(c) Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.

(d) Kedua saksi itu adalah laki-laki.

(e) Kedua saksi itu bersifat Adil. Dalam artian tidak pernah terlibat dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.

(f) Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.( Amir Syarifuddin, 2010: 87).

Rukun perkawinan juga disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Rukun Perkawinan diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan harus ada :

1) Calon suami.

2) Calon isteri.

3) Wali nikah.

4) Dua saksi.

5) Ijab dan qabul

b. Syarat Perkawinan

Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Adapun syarat sah dalam pernikahan sebagai berikut:

1) Calon suami Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Bukan mahram dari calon istri.

b) Tidak terpaksa (atas kemauan sendiri).

c) Jelas orangnya (bukan banci).

d) Tidak sedang ihram haji

2) Calon istri Bagi calon istri yang akan menikah juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Tidak bersuami.

b) Bukan mahram.

c) Tidak dalam masa iddah.

d) Merdeka (atas kemauan sendiri).

e) Jelas orangnya.

f) Tidak sedang ihram haji

3) Wali Untuk menjadi seorang wali dalam sebuah pernikahan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Laki-laki.

b) Dewasa.

c) Waras akalnya.

d) Tidak dipaksa.

e) Adil.

f) Tidak sedang ihram haji

4) Ijab kabul Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan kabul ialah sesuatu yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.

5) Mahar Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik dalam bentuk barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.(Abdurrahman, 1992:113).

Fuqaha‟ sependapat bahwa maskawin itu termasuk syarat sahnya nikah dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya ( Ibnu Rusyd, 2002:432)

Adapun syarat-syarat perkawinan diatur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 :

a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menguraikan bahwasanya syarat perkawinan didalm pasal 6 ada (7) syarat:

b) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

c) Untuk melansungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 ( dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

d) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

e) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyampaikan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

f) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini,atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melansungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini.

g) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanyadan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Adapun pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khususnya bagi orang Islam sesuai syarat yang sudah disebutkan diatas adalah sebagai berikut:

a) Dengan melakukan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan huidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan ha lal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai amhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk tuhan lainnya.

b) Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga di mana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tenteram serta kekal dengan disertai rasa kasih saying antara suami istri.

c) Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam rumah tangga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.

d) Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya suatu kehidupan masyarakat yangteratur dan berada dalam suasana damai.

e) Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al- Qur‟an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi orang Islam.(Soemiyati,1997: 4).

3. Hukum Perkawinan

Islam mengatur tentang hukum perkawinan yang tujuannya untuk penstabil tatanan kehidupan manusia dan menentukan kedudukan bagi para calon suami yang akan melansungkan perkawinan sebagaimana yang penulis dikutip di dalam buku Sayyid Sabiq yang mengkaji sebagai berikut:

a. Wajib

Bagi yang sudah siap untuk melakukan perkawinan dan dia khawatir ma nakala tidakk menikah, dia akan terjebak pada perzinaan, maka pernikahan baginya adalah wajib. Sebab, menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan (zina, red) hukumnya adalah wajib, sementara mencegah perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan jalan menikah. Karena itu, hukum menikah adalah wajib.

Imam Qurthubi berkata. Tidak ada perbedaan pendapat ulama atas kewajiban menikah bagi orang yang mampu dan dia tidak takut jika hidup membujang ( tidak menikah), hal itu akan membahayakan pada dirinya dan agamanya. Tapi, jika dia tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya, Allah swt. Memberi keluasan kepadanya.

Allah swt, berfirman:

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. An-Nur ( 24: 33)

Di samping itu, bagi yang belum siap dan mampu menikah, hendaknya memperbanyak puasa. Imam Muslim, Abu Daud, Termizi, Nasa‟I dan Baihaki meriwayatkan hadis yang bersumber dari Ibnu Mas‟ud ra., bahwasanya Rosulullah saw. Bersabda:

ِرَصَبلِل ُّضَغَأ ُهًَِّ ِإَف ْجَّوَزَتَيْلَف َةَء اَبْلا ُنُكٌِْه َع اَطَتْسا ِيَه ِب اَبَّشلا َرَشْعَه اَي ُءاَجِو ُهَل ُهًَّ ِإَف ِمْوَّصلاِب ِهْيَلَعَف ْعِطَتْسَي ْنَل ْيَهَو ِجْرَفْلِل ُيَصْحَاَو

Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu, hendaknya menikah, karena sesungguhnya menikah dapat menundukan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan bagi yang belum mampu, hendaklah berpuasa karena berpuasa baginya adalah sebagai tameng.

b. Sunnah

Bagi seseorang yang memungkinkan dan mampu untuk melansungkan pernikahan, tapi dia mampu untuk nmenjaga dirinya

dari hal-hal yang diharamkan jika tidak menikah, mak nikah baginya hukumnya sunnah. Meskipun demikian, menikah tetap dianjurkan dan mungkin lebih utama daripada melakukan berbagai macam ibadah.

Pada pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwahidup melajang

Pada pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwahidup melajang

Dokumen terkait