• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Pelaksanaan Perkawinan Saparuikdi Nagari Lawang Mandahiling

Pelaksanaan perkawinan saparuik yang terjadi antara mamak dengan kemanakan adalah suatu perbuatan yang terlarang atau di dalam adat adalah pantangan yang memang tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berniat untuk melaksanakan perkawinan, karena

memang adat bukan hanya mempertimbangkan masalah aturan adatnya saja namun memang sesuai falsafah adat, bahwa adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Jadi pemuka adat atau nenek moyang terdahulu memang berpegang teguh kepada ajaran hukum Islam, yang mana di dalam aturan hukum Islam ada ketentuan yang mengatur batasan-batasan di dalam perkawinan. Dan batasan-batasan yang sudah ada di dalam hukum Islam juga diterapkan di dalam adat dan perbedaannya hanya di dalam pemberian nama, namun mempunyai makna yang sama. (Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan bapak Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo selaku Datuak Suku Pasukuan Kutianyir di Nagari Lawang Mandahing, perkawinan saparuik ini sudah terjadi semenjak tahun 2002 dan bahkan masih terjadi hingga tahun 2018 dan sesuai dengan yang diketahui ada enam pasangan yang melakukan perkawinan saparuik.(Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

Pada umunya salah satu penyebab terjadinya perkawinan saparuik tersebut dikarenakan para pelaku berada di perantauan, seperti yang dilakukan oleh S dan T yang pergi keperantauan, S selaku mamak dari T pada saat itu memang sedang jaya-jayanya diperantauan dan suatu masa S itu pulang kekampung halaman dalam rangka menjenguk keluarga yang berada dikampung sekaligus silaturahmi dan selama beberapa waktu dikampung halaman, maka S tersebut harus kembali keparantauan karena tuntutan pekerjaan namun sebelum kembali keperantauan maka keluarga atau sanak family S tersebut berkunjung dan menyampaikan kendala yang dialami oleh keluarganya tersebut yaitu kemanakan dari mamak tersebut telah menyelesaikan pendidikannya namun sampai sekarang masih belum mendapatkan pekerjaan, sehingga pihak keluarga tersebut meminta solusi kepada S selaku mamak tersebut.

Maka mamak tersebut memberikan solusi akan membawa kemanakan keperantauan dengan tujuan akan merubah hidup( nasib)

dengan bekerja bersama mamaknya tersebut. Maka mamak tersebut membawa kemanakan keperantauan, setelah beberapa waktu berlalu mamak tersebut yang masih bujangan tentu ada tuntutan untuk berumah tangga sehingga karena kurang pengetahuan adat dan agama, maka mamak tersebut merasa tertarik kepada kemanakannya sehingga terjadilah hubungan yang istimewa antara mamak dengan kemanakan tersebut, pacaran bahasa anak remaja sekarang. Filosofi minang menjelaskan (abih gali dek galitik, abih miang dek bagesoh ) . Artinya karena pergaulan tidak ada batasan norma-norma agama antara laki-laki dan perempuan sehingga terjadilah sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama, sehingga mereka melakukan perkawinan tanpa mengkaji asal usul dan tidak melibatkan mamak dalam proses perkawinan dan pernikahan tersebut, ketika pulang kampung baru disadari kalau sebenarnya mereka tidak bisa saling mengikat janji. Disitulah disadari kalau sebenarnya terjadinya suatu perkawinan yang seperti itu dikarenakan kurangnya pemahaman adat dan pemahaman agama diantara kedua orang yang melakukan perkawinan tersebut. (Martunius Pegawai Nagari Suku Payobadar, wawancara, 13 Desember 2019).

Maksudnya adalah para pelaku yang melakukan perkawinan saparuik tersebut disaat mereka dirantau karena dasar ekonomi, pengetahuan agama yang sangat kurang, pengetahuan adat dan juga pemahaman tentang silsilah keturunan tidak mereka ketahui sehingga hidup sudah tidak berdasarkan ajaran Islam dan juga tidak mengikuti adat namun hanya mengikuti kata hati saja, asalkan hidup bahagia, sehingga menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka terjadilah perkawinan saparuik ( pantangan).

Perkawinan antara pelaku yang melakukan tersebut:

1. D dan S perkawinan dilakukan diperantauan, sehingga disaat pulang kekampung niniak mamak mengetahui dan memberikan sanksi kepada anak kemanakannya yaitu dibuang sepanjang adat diberikan denda 10.000.000 dan dipisahkan perkawinan antara keduanya, namun setelah

memberikan denda dan pemisahan perkawinan anak kemanakan tersebut mereka tetap melakukan perkawinan tersebut sehingga niniak mamak membuangnya dari ranji kaum. (Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

2. SH dan R Melakukan perkawinan diperantauan diparawang selama 5 tahun dan setelah itu ada kemalangan dikampung, sehingga mereka pulang kampung secara bergantian, tapi karena diketahui oleh keluarga setelah mereka pulang kampung kalau mamak dengan kemanakan itu melakukan perkawinan. Maka niniak mamak mengumpulkan keluarga dari satu rumah gadang untuk mengkaji perkawinan antara mamak dengan kemanakan tersebut. Sehingga secara mufakat niniak mamak maka perkawinan tersebut dibatalkan dan didenda 50 sak semen dan kedua belah pihak menerimanya sehingga perkawinan tersebut sudah dibatalkan oleh niniak mamak. (Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

3. A dan S adalah melakukan perkawinan dipekanbaru karena mereka sama-sama bertujuan untuk melakukan perniakahan diperantauan dan setelah dua tahun perkawinan itu berjalan pihak keluarga pergi kesana.

Disaat pihak keluarga disanalah baru diketahui kalau sudah terjadinya perkawinan antara mamak dengan kemanakan tersebut, sehingga dari pihak ibu perempuan mambawa anaknya pulang kampung dan membahas perkawinan yang terjadi tersebut dengan niniak mamak dikampung, sehingga pihak niniak mamak lansung secara tegas membuang mamak yang melakukan perkawinan dari ranjinya dikarenakan yang melakukan tersebut merupakan orang yang faham akan adat. Maka sanksinya lansung dibuang dari ranji kaum dan denda diberikan kepada pihak perempauan sesuai mufakat niniak mamak ampek suku sebesar 20.000.000 dan dikucilkan di dalam masyarakat hingga dari pihak keluarga tersebut meminta maaf kepada niniak mamak ampek suku. (Bujang Malin Palito Pegawai Pasukuan Kutianyir, wawancara, 29 Desember 2019)

4. M dan E Melakukan perkawinan dibawah tangan tanpa sepengetahuan keluarga di kampung, setelah 3 bulan perkawinan pihak E mengetahui anaknya tersebut sudah melakukan perkawinan dengan mamaknya sehingga pihak kelua raga dan niniak mamak sangat geram terhadap perbuatan yang dilakukan oleh mamak dengan kemanakan tersebut sehingga perkawinan tersebut lansung dibatalkan oleh pemangku adat kaumnya dan diberiksn sanksi tegas dibuang dari ranji kaum dan tidak dibenarkan tinggal dinagari Lawang Mandahiling untuk selama-lamanya. (M. Kasim Monti Pasukuan Parikcancang, wawancara, 27 Desember 2019).

5. M dan S perkawinan tersebut dilakukan diluar Nagari Lawang Mandahiling oleh M selaku mamak dengan membawa S selaku kemenakannya kepadang dan membawa temannya sebagai saksi dengan cara dibayar sehingga perkawinan tersebut terjadi dan berlansung selama 6 bulan. Karena pihak keluarga mengetahui berita kalau sudah terjadi perkawinan tersebut, maka niniak mamak secara cepat mengambil masalah tersebut sebelum diketahui oleh masyarakat banyak dan memanggil keluarga dan niniak mamak lainnya untuk menyelesaikan kasusu tersebut, setalah semua keterangan didapatkan oleh niniak mamak, maka niniak mamak lansung memberikan aturan tegas bahwasanya perkawinan diantara M dan S tersebut sangat dilarang dan dilaknat dan mamak lansung memberikan ganjaran denda 100 sak semen kepada masing-masing antara M dan S dan lansung membuang dari ranji kaumnya dan tidak dianggap anak kemanakan lagi dan disumpah serapahkan untuk tinggal kembali di dalam Nagari Lawang Mandahiling kecuali mereka sama-sama mengakui kesalahan dan berpisah dari hubungan suami isti dan meminta tobat yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT. (Martunius Pegawai Nagari Suku Payobadar, wawancara, 13 Desember 2019).

Berdasarkan data para pelaku di atas bahwasanya pelaksanaan perkawinan saparuik dinagari Lawang Mandahiling bertahap sebagai berikut:

1. Peminangan

Dalam peminangan perkawinan saparuik dilakukan tanpa diketahui dari pihak keluarga kedua belah pihak dan dilakukan diperantauan sehingga cara pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh pelaku tersebut memang diluar kontek anjuran islam di dalam pelaksanaan peminangan yang seharusnya.

2. Akad Perkawinannya

Dalam pelaksanaan akad perkawinannya tidak dilakukan secara tercatat atau diluar KUA tempat seharusnya kedua belah pihak melakukan perkawinan sehingga perkawinan tersebut adalah perkawinan dibawah tangan (nikah siri) dan tidak memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan, pertama rukun perkawinannya cacat karena tidak atau tanpa wali sahnya dari pihak perempuan, kedua melanggar daripada syarat perkawinan karena perkawinan saparuik yang terjadi tersebut adalah perkawinan sedarah ( senasab), sehingga perkawinan yang terjadi adalah batal dan secara fikih muanakahat maka perkawinan tersebut adalah di fasakh.

3. Pelaksanaan Sanksinya

Setelah diketahui cacatnya perkawinan saparuik dinagari Lawang Mandahiling tersebut maka perkawinan tersebut bukan hanya di fasakh namun kedua belah pihak dan keluarga dikumpul atau dipanggil oleh niniak mamak Nagari Lawang Mandahiling dan menetapan sanksi yang seharusnya dijatuhkan terhadap kedua belah pihak, maka kedua belah pihak keluarga pelaku dikumpulkan dibalai-balai adat dan diadili oleh Majelis Kerapatan Adat Nagari Lawang Mandahiling dan menimbang seberapa besar kesalahan yang dilakukan dan sanksi yang dilakukan tersebut memang sangat membuat tersiksanya kedua belak pihak dan sesuai dengan kesepakatan niniak mamak dalam menjatuhkan sanksi

yang bertujuan untuk keadilan, kemaslahatan dan memberikan efek jera agar para pelaku tidak mengulangi perbuatannya dimasa yang akan datang.

Menurut pendapat bapak M. Kasim bahwa faktor yang membuat terjadinya perkawinan tersebut:

Karano kurangnyo pendidikan nan diajakan kapado anak kamanakan, baik indak diaja dek keluarganyo,dunsanaknyo ataupun mamaknyo mako ndak tau mano nan buliah mano nan pantangan, jadi indak tabedaan antaro sawah jo pamatang lai.

Maksudnya salah satu faktor bisa terjadinya perkawinan saparuik tersebut dikarenakan kurangnya pengajaran atau pendidikan yang diberikan baik oleh keluarga, karib kerabat maupun mamaknya sehingga tidak bisa lagi membedakan antara hak dan bathil. (M. Kasim Monti Pasukuan Parikcancang, wawancara, 27 Desember 2019).

Sependapat dengan M.Kasim Monti Pasukuan Parikcancang, Menurut Muazli Dt. Monti Nan Tuo selaku Alim Ulama Nagari Lawang Mandahiling mengatakan:

Nan paliang bapangaruah di dalam maaja anak kamanakan tu tantu partamo sakali adalah keluarga tampek inyo basiang bamalam tampek asalnyo pangajaran nan didapek dek anak, nan kini dirumah tu bana nan indak diagihan dasar baa cara bagaua di dalam baadaik bamasyarakat sahinggo nan putiah lah dikatokan hitam nan hitam alah dipalaluan takakok lah karajo sumbang salah.

Maksudnya bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya sumbang salah atau perkawinan saparuik itu dikarenakan kurangnya pendidikan dari keluarga sehingga anak tidak mengetahui dasar pergaulan yang mengakibatkan anak melakukan perbuatan yang dilarang adat bahkan agama. (Muazli Dt. Monti Nan Tuo pasukuan Payobadar, wawancara, 18 Desember 2019).

Dan kalau dicaliak dari kasus nan alah-alah, kito ndak pulo bisa manyalahkan sabalah pihak sajo, baik dirinyo atau keluarganyo tapi kito caliak pulo tampuak pimpinannyo nan kadang indak manjalankan pulo fungsinyo sebagai mama, jadi kesalahan mamak karano kelalaian, sadangkan mamak ko harus adia kapado kamanakan, sebagai tugas mamak ko mancoliakan katiko patang mangaluaan katiko pagi, itu nan sabananyo mamak, sabananyo mamak ko taradok kamanakan jan

mambeda-bedakan mangato bana mahukum adia, jan bak mambalah batuang, ciek dipijak ciek ditatiang.

Maksudnya bahwa kesalahan perkawinan saparuik tersebut tidak bisa kita menyalahkan hanya pihak anak kemanakan dan keluarganya saja, kadang sebahagian ada juga kesalahan dari mamak, yaitu lalai di dalam menunjuk ajari anak kemanakannya, dan membeda-bedakan anak kemanakan, padahal sebenarnya mamak itu harus adil di dalam memelihara dan memperhatikan anak kemanakannya. (Martunius Pegawai Nagari Suku Payobadar, wawancara, 13 Desember 2019).

Berdasarkan penjelasan dari Bujang Malin Palito selaku pegawai adat pasukuan Kutianyir sekaligus niniak mamak di dalam pasukuan bahwa suatu aturan yang sudah disepakati niniak pasukuan kutianyir terdahulu maka itu harus ditaati oleh seluruh niniak mamak pasukuan kutianyir dan sebagai pedoman di dalam menjalankan suatu aturan adatterkhusus untuk 15 orang Datuak dan anak kemanakan yang berada di dalam pasukuan kutianyir di Nagari Lawang Mandahiling.

Jadi nan partamo sakali nan harus awak ketahui, bahwasonya nan sanksi adat ko ndak sekedar dibaco-baco sajo do, memang yobana dijalankan dan diterapkan di dalam baadaik bakampuang jo bamasyarakaik, jadi nan sanksi adaik ko ndak sekedar mancaliak aturan nan alah dicetuskan sajo do, tapi labiah mancaliak daripado apo kasalahan nan alah dipabuek baik itu kasalahan dari nan tuo maupun dari nan mudo, kan alah kito caliak lo patang dan itu alah tajadi lo dari pihak Datuak Pangka jo pihak Pangulu Bosa, patangko kan alah dilakuan ka Pangulu Bosa, patang ko kan Pangulu Bosa ko ndk amuah maurus-urus masalah kamanakan nyo ko do alah sampai tigo kali baimbau ntuak manyalasaian masalah ko nan Pangulu Bosa ko lengah-lengah jonyo, jadi tajadilah kamatian dari pihak Pangulu Bosa ko dibalai kociak jadi saluruh niniak mamak kutianyia ko ndak ado nan naiak surang alahnyo kaateh rumah tu do, tantu inyo jo bamanuang manuang j anggota ny nan barampek tu di ateh rumah lai nyo, aa jadi baitu caro nyo, inyo jo pagawai nyo jo bamanuang-manuang baduo lai nyo.

Maksudnya adalah pertama sekali yang harus diketahui bahwa sanksi adat tersebut bukan hanya sekedar dibaca dan dituliskan, namun memang aturan adat tersebut dijalankan baik dalam kehidupan beradat,

berkampung dan bermasyarakat, dan sanksi yang ada tersebut bukan hanya berpatokan dari aturan yang dituliskan saja namun memang niniak mamak melihat terlebih dahulu kadar dari suatu kesalahan yang dilakukan, seperti kejadian yang terjadi antara anak kemanakan Datuak Pangka Maharajo Lelo dan Pangulu Basa yang melakukan perkawinan saparuik, dari pihak Datuak Pangka sudah berusaha untuk menyelesaikan perkara tersebut namun dari pihak Pangulu Basa hanya lepas tangan saja sehingga terjadi suatu kemalangan ( kematian) dari pihak Pangulu Basa, namun semua niniak mamak pasukuan kutianyir tidak satu orangpun yang mau masuk keatas rumah yang terjadi kemalangan tersebut. (Bujang Malin Palito Pegawai Pasukuan Kutianyir, wawancara, 29 Desember 2019)

Mako disitu bagu taraso dek inyo memang yo dipakaiannyo dek mamak sanksi adek ko mah, o kok manjanguak ndak tiboh kok kamatian dirumah tu ndak datang, aa disitulah tobik kasadaran mamak ko kok nan sakik tantu diubek kok nan kumuah tantu dibasuah lai karano kami ( pihak pangulu bosa ) tantu iyo ndak dibao sailia samudiak baliak, aa tantu kok adek di isi limbago dituang, kok salah k mamak mintak minta maaf salah katuhan tantu mintak tobek, kok taragak ndak barosiah baliak tantu disosah baju tu lai, yo tantu kok yo nan kumuah kadibarosiahan baliak tantu harus diketahui sado niniak mamak kutianyia, jadi nan ateh namo sanksi ko taguntuang dari mamak masiang-masiang suku, kok dari pihak Datuak Pangka patangko anak kamanakan nan malakuan pantangan nikah nan gaya itu didando sabanyak 20 karuang simin atau 5.000.000 jadi caro mamak malakuan dando ko tagantuang kesepakatan mamak nan manyalasaian masalah, kok gaya di Niliang patang ko ado anak kamanakan pasukuan Mandahiliang nan malakuan sarupo itu lo di dando sabanyak 25.000.000 sudah itu ndak buliah pulang kampuang dek niniak mamak nyo tu lai do, jadi nan ateh namo dando ko memang alah dicantumkan nyo dek KAN, tapi nan ateh namo kebijakan niniak mamak masiang-masing di dalam pasukuan tu lainyo, tantu ndak bisa lo wak mancampui pariyuak ugang lain lai do. Jadi samo jo boban barapo nan katabao nan kadiagiah dek niniak mamak tu dando atau sanksinyo lainyo.

Maksudnya adalah karena dari pihak Pangulu Basa tersebut tidak mau menyelesaikan masalah antara anak kemanakan tersebut, maka dari pihak niniak mamak akan meninggalkan sepanjang adat tidak dibawa tentang apupun yang berhubungan dengan adat, hingga pihak Pangulu Basa menyelesaikan masalah anak kemanakannya dan meminta maaf

kepada nagari ataupun pasukuan, kalau dari pihak Datuak Pangka sudah menjalankan sanksi kepada anak kemanakannya sebesar 5.000.000 dan itu adalah hasil kesepakatan dan keputusan bersama niniak mamak. Seperti yang terjadi di Mandahiling anak kemanakan yang melanggar suku Mandahiling yang dikenakan sanksi atau denda sebanyak 25.000.000 dan diusir dari kampung atau nagarinya dan masing-masing suku ( persukuan) mempunyai kebijakan masing-masing di dalam menjalankan aturannya.

(Bujang Malin Palito Pegawai Pasukuan Kutianyir, wawancara, 29 Desember 2019)

Pangulu suku Payobadar M. Nasir Dt. Gindo Simarajo selaku Datuak Pasukuan Payobadar Nagari Lawang Mandahiling mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Bujang Malin Palito selaku Pegawai Pasukuan Kutianyir tentang pelaksanaan pemberian sanksi terhadap orang yang melakukan pelanggaran adat Kawin Saparuik ini:

Gadiang lah bapiyuah ( Gading sudah berpiyuh) tanduak lah tabasuang ( Tandung sudah lepas)

Dulu di anjuang tinggi-tinggi ( dahulu disanjung tinggi-tinggi)

kini jatuah ndak dipatenggang ( sekarang jatuh tidak mempunyai arti) Jadi sesuai pituah nan ado mako urang nan alah salamoko awak sanjuang-sanjuang nan dimuliakan selaku keluarga di dalam pasukuan ataupun kaum mako habihlah pandangan kaum kainyo dikaranoan perbuatan terlarang nan dilakuan. Mako kalau di dalam pasukuan Payobadar apobolo tajadi perbuatan yang terlarang tu mako niniak mamak maagiah sanksi dibuang sapanjang adaik, tapi kalo kababaliak kakaum dan iyo kadiakui sebagai bahagian kaum baliak mako harus bacarai dan diisi aia dikambang lapiak dan didando sebagai bahan jera untuak kamuko sabanyak 6.000.000 atau labiah kurang 100 sak simin.

Maksudnya adalah selama ini kita selaku bahagian dari kaum sebagai orang yang dimuliakan dan disanjung-sanjung akan jatuh martabat sejatuh-jatuhnya karena melakukan suatu pantangan di dalam adat sehingga dibuang sepanjang adat dan tidak dibawa dalam kegiatan apapun yang ada hubungannya dalam hubungan adat bermasyarakat dan bernagari, maka jika ingin kembali dituntut agar bercerai dan didenda dengan uang

sejumlah 6.000.000 atau setara dengan 100 sak semen sebagai penegasan kepada anak kemanakan yang melakukan pantangan adat apalagi larangan agama tersebut sebagai efek jera. ( M. Nasir Dt. Gindo Simarajo , wawancara, 29 Desember 2019)

Beranjak dari sanksi adat di atas, maka sebelumnya ada proses yang dilakukan niniak mamak di dalam memutuskan sanksi dari perkawinan saparuik tersebut,” bajanjang naiak batanggo turun” ( berjenjang naik bertangga turun) yang diberlakukan di dalam adat selingkar nagari (adat yang teradat), niniak mamak selaku pimpinan di dalam kaum saparuiknya akan menyelesaikan perkara ini hanya dengan keluarga saparuiknya atau sekaum serumah gadangnya, dipanggilah semua niniak mamak dan perangkat di dalam rumah gadang tersebut dan diselesaikan dirumah gadangnya hingga mendapatkan suatu keputusan, namun jika niniak mamak tersebut tidak bisa menyelesaikan di dalam rumah gadangnya maka akan diangkat kasus ini kepada niniak mamak suku atau kaum, maka yang menangani perkara ini bukan hanya niniak mamak yang di dalam satu rumah gadang namun sudah keseluruhan niniak mamak satu suku sekaum yang ada di dalam Nagari Lawang Mandahiling, seperti suku payobadar. Maka bukan hanya satu penghulu saja yang menyelesaikan, namun semua niniak mamak pasukuan payobadar yang berjumlah enam belas penghulu tersebut yang menyelesaikan bersama dengan datuak suku ( mamak yang dituakan) di dalam suatu kaum dinagari Lawang Mandahiling dengan cara memanggil orang yang melakukan perkawinan tersebut juga beserta dengan keluarganya. Maka semua niniak mamak beserta perangkat akan bermufakat dirumah gadang ataupun surau pasukuan nagari di dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi diantara anak kemanankannya hingga mendapatkan suatu hasil dan diberlakukan terhadap kemanakan tersebut. Jika masalah yang sudah ditangani oleh niniak mamak suatu kaum itu masih belum mendapatkan hasil, maka perkara tersebut akan diangkat lagi ketahap yang lebih tinggi, yaitu diserahkan kepada Majelis Peradilan Adat Kenagarian Lawang

Mandahiling sebagai tahapan tertinggi di dalam adat salingka nagari.

Maka perkara itu sudah ditangani oleh seluruh niniak mamak ampek suku, kepala suku dan pegawai suku dalam nagari yang ada dikenagarian Lawang Mandahiling. Maka perkara tersebut akan diadili sebagaimana Pengadilan pada umumnya di dalam memutuskan suatu perkara.

(Martunius Pegawai Nagari Suku Payobadar, wawancara, 13 Desember 2019).

Maksudnya di dalam menangani suatu perkara yang terjadi di dalam Nagari Lawang Mandahiling. Maka harus sesuatu ketentuan

“Bajanjang Naiak Batanggo Turun”(Berjenjang Naik Bertangga Turun), yaitu harus bertahap-tahap: pertama, ditangani oleh keluarga bersama niniak mamak atau mamak dalam satu rumah gadang. Kedua, jika tidak selesai maka diselesaikan oleh niniak mamak kaum beserta mamak kepala kaum disurau atau dirumah gadang kaum. Ketiga, jika kaum juga tidak bisa menyelesaikan maka barulah diserahkan dan diselesaikan kepada Majelis Peradilan Adat Nagari Lawang Mandahiling.

Menurut Pendapat Jamhur Dt. Bilang Sakoto Kapalo Suku Pasukuan Parikcancang bahwa dampaknya berakibat kepada beberapa orang:

1. Orang yang melakukan.

Bagi orang yang melakukan perkawinan saparuik tersebut maka akan dibuang sepanjang adat dan disisihkan di dalam kampung, diberikan denda dan jika masih menentang adat maka akan dikeluarkan dari ranji dan dibuang dari dalam Nagari tempatnya tinggal.

2. Keluarga

Bagi keluarga akan berdampak dibuang sapanjang adat dikucilkan dan tidak dibawa di dalam beradat bermasyarakat dan bernagari.

3. Mamak

Mamak selaku pemimpin di dalam rumah gadang kaum dan nagari tidak akan dibawa (sehilir samudiak) dan sampai kepada

dibukaknya sako mamak dari badan mamak selaku orang yang dituakan sampai:

Kok buguak makanan buruang

Kok buguak makanan buruang

Dokumen terkait