• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Penelitian Yang Relevan

Pada pembahasan awal yang penulis lakukan, penulis belum menemukan yang mengkaji tentang Problematika Nikah Saparuik Pada Bingkai Fikih Munakahat, sehingga penulis merujuk kepada penelitian Hendra Cipta, Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN) Batusangkar, tahun 2003, BP. 298 116 dengan judul : “Larangan Perkawinan Sesuku Di Salimpaung Ditinjau Dari Hukum Islam”, yang mana di dalam skripsi yang penulis telaah tersebut penegasannya lebih kepada Larangan Perkawinan Sesuku dan bagaimana status perkawinan bagi yang melakukan perkawinan

sesuku. Dalam penelitian ini digambarkan bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mendeskripsikan implementasikan “Larangan Perkawinan Sesuku Di Salimpaung Ditinjau Dari Hukum Islam”.

Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan jenis studi kasus dan sama-sama terfokus terhadap perkawinan sasuku, sedangkan yang menjadi perbedaan dari penelitian ini adalah penelitian Hendra Cipta, yang membahas tentang, “Larangan Perkawinan Sesuku Di Salimpaung Ditinjau Dari Hukum Islam”, sedangkan penulis membahas tentang problematika perkawinan saparuik di nagari lawang mandahiling kecamatan salimpaung pada bingkai fikih munakahat yang difokuskan pada pandangan Fikih Munakahat terhadap problematika perkawinan saparuik di nagari lawang mandahiling kecamatan salimpaung pada bingkai fikih munakahat ( Hendra Cipta, Skripsi,2003).

Penelitian Destuliadi, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat ( UMSB), tahun 2000, NPM.964430: Perkawinan Sesuku Dalam Masyarakat Islam Minangkabau (Studi Kasus Di Kenagarian Salimpaung Tanah Datar). Dalam penelitian ini digambarkan bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mendeskripsikan implementasikan, Perkawinan Sesuku Dalam Masyarakat Islam Minangkabau (Studi Kasus Di Kenagarian Salimpaung Tanah Datar).

Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan jenis studi kasus dan sama-sama terfokus terhadap Perkawinan Sasuku, sedangkan yang menjadi perbedaan dari penelitian ini adalah penelitian Destuliadi yang membahas tentang, Perkawinan Sesuku Dalam Masyarakat Islam Minangkabau (Studi Kasus Di Kenagarian Salimpaung Tanah Datar). sedangkan penulis membahas tentang Problematika Perkawinan Saparuik Di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung Pada Bingkai Fikih

Munakahat yang difokuskan pada pandangan Fikih Munakahat terhadap Problematika Perkawinan Saparuik Di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung Pada Bingkai Fikih Munakahat.

( Destuliadi, Skripsi, 2000).

Penelitian Helma Suryani, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2019, Nim. 11 150 4400 000 01 : Perkawinan Sesuku Dalam Budaya Minangkabau Di Nagari Batipuh Ateh (Pendekatan Antropologi Hukum).

Dalam penelitian ini digambarkan bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan Antropologi Hukum, Perkawinan Sesuku Dalam Budaya Minangkabau Di Nagari Batipuh Ateh (Pendekatan Antropologi Hukum).

Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan jenis studi kasus dan sama-sama terfokus terhadap perkawinan sasuku, sedangkan yang menjadi perbedaan dari penelitian ini adalah penelitian Helma Suryani yang membahas tentang, Perkawinan Sesuku Dalam Budaya Minangkabau Di Nagari Batipuh Ateh (Pendekatan Antropologi Hukum). sedangkan penulis membahas tentang Problematika Perkawinan Saparuik Di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung Pada Bingkai Fikih Munakahat yang difokuskan pada pandangan hukum Islam terhadap Problematika Perkawinan Saparuik Di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung Pada Bingkai Fikih Munakahat

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Dalam Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif (kualitatif research). Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) yaitu suatu penelitian yang mengungkapkan dan menggambarkan kejadian-kejadian “Problematika Perkawinan Saparuik di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung dalam Bingkai Fikih Munakahat”, fenomena dari data-data Perkawinan Saparuik yang terjadi di Nagari Lawang Mandahiling. Maka pendekatan deskriptif kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data-data bersifat deskriptif dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati ( Suharsimi Arikunto , 2007, hal.300 ).

B. Latar dan Waktu Penelitian 1. Latar Penelitian

Penelitian ini bertempat di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar.

2. Waktu Penelitian

Rencana waktu penelitian penulis dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel:1.1

No Kegiatan

Bulan

Mar Apr Mei JunS/d Okt Nov Des Jan Feb

1. Menyiapkan bahan-bahan untuk data awal

2. Penyusunan proposal

  

52

3. Bimbingan proposal pra seminar

  

4. Seminar proposal

5. Penelitian ke lapangan

 

6. Membuat laporan penelitian

7. Bimbingan skripsi dan penyempurnaan laporan

 

8. Ujian skripsi

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif ini instrument kunci penelitian adalah penulis sendiri dan disamping itu instrument pendukungnya adalah daftar wawancara, field notes, dan dokumentasi, hp, buku, pulpen dan yang dirasa perlu.

D. Sumber Data

Sumber data adalah orang atau objek yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. ( Sedarmayanti dan syarifudin Hidayat, 2002, hal.23 ). Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu :

1. Sumber data primer atau sumber data utama

Sumber data primer atau sumber data utama yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah : Niniak Mamak yang menyelesaikan Perkawinan

Saparuik Di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung, kemudian orang tua pelaku dan masyarakat sekitar yang mengetahui Perkawinan Saparuik tersebut.

2. Data sekunder atau sumber data tambahan

Yaitu segala sesuatu yang dapat dijadikan sumber data tambahan atau pelengkap dalam mengungkapkan masalah penelitian ini seperti buku-buku islam yang mengkaji tentang perkawinan dan UU yang berkaitan dengan perkawinan dan juga buku-buku adat yang lama ataupun yang sudah diperbaharui.

E. Teknik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulam data yang penulis lakukan selama penelitian ini untuk mendapatkan data-data yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara yang penulis lakukan di dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan komunikasi langsung dan secara semi terstruktur terhadap mamak yang melakukan Perkawinan Saparuik, salah satu anggota keluarga dari pihak mamak yang melakukan Perkawinan Saparuik untuk mengetahui kebenarannya, masyarakat sekitar ( tetangga) tempat kediaman mamak yang melakukan Perkawinan Saparuik dan Niniak Mamak yang menangani kasus mamak yang melakukan Perkawinan Saparuik Di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar.

2. Dokumentasi

Studi dokumen yang penulis lakukan yaitu dengan merujuk kepada tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek kajian dan penelitian, seperti buku-buku atau literature yang berkaitan dan berhubungan dengan larangan dan ketentuan yang mengatur tentang Perkawainan Saparuik dan sebagainya.

F. Teknik Analisis Data

1. Tekhnik Pengolahan Data

Penulis menggunakan tekhnik pengolahan data secara editing terhadap data-data yang telah terkumpul dari wawancara di lapangan.

Editing ini mengharuskan editor jeli dan teliti dalam mengolah data tersebut.

2. Analisis Data

Setelah data terkumpul melalui metode pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dengan memberikan penafsiran data yang diperoleh melalui metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, kejadian atau peristiwa yang terjadi saat sekarang yang sangat erat hubungannya dengan objek ataupun tema penelitian.

Dalam hal ini, setelah penulis mendapatkan data dari sumber dari lapangan. Maka penulis melakukan pengolahan data dengan menggunakan tekhnik editing. Terakhir, penulis atau editing menganalisis data tersebut dengan menggunakan tekhnik analisis deskriptif. Sehingga kesimpulan yang penulis dapat dari analisis ini adalah bersifat generalis ( umum).

G. Teknik Penjamin Keabsahan Data

Tekhnik penjamin keabsahan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah uji kredibilitas data melalui triangulasi data ( pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dalam berbagai waktu ). Trigualisi data yang penulis maksud adalah membandingkan data yang didapatkan dari Nagari Lawang Mandahiling Kabupaten Tanah Datar, yaitu melalui sumber data primer (Mamak kandung yang melakukan Perkawinan Saparuik) dan sumber data skunder (Ibu Kandung dari perempuan yang melakukan Perkawinan Saparuik, Salah satu anggota keluarga dari pihak mamak yang melakukan Perkawinan Saparuik, Masyarakat sekitar ( tetangga) tempat kediaman mamak yang melakukan

Perkawinan Saparuik, Niniak Mamak yang menangani kasus mamak yang melakukan Perkawinan Saparuik).

57 BAB IV

HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Nagari Lawang Mandahiling

1. Sejarah Nagari Lawang Mandahiling

Nagari Lawang Mandahiling merupakan daerah dataran tinggi yang yang berada dilereng gunung merapi dengan tingkat kesuburan tanahnya yang cukup tinggi sehingga menjadikan Nagari Lawang Mandahiling daerah sebagai penghasil sayuran di Kecamatan Salimpaung.

Nagari Lawang Mandahiling berasal dari dua suku kata,yaitu Lawang dan Mandahiling, kata Lawang berasal dari kata sansekerta yang berarti pintu gerbang dan kata Mandahiling berasal dari sejarah dimana nenek moyang dahulu pergi merantau Kelima Puluh Kota kemudia salah seorang ( kaum ibu) tercecer dari rombongannya, setelah dicari-cari maka ketemulah didaerah Mandahiling ( dalam bahasa Minangnya mande hilang), maka dengan itu digabunglah dua kata tersebut maka kesepakatan pada saat itu nama Lawang Mandahiling. ( Pernag Lawang Mandahiling No. 3 Tahun 2015 tentang (RPJM) Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Kenagarian Lawang Mandahling 201-2020)

2. Visi dan Misi Nagari Lawang Mandahiling

Nagari Lawang Mandahiling mempunyai visi dan misi sebagai berikut:

“ Menjadikan masyarakat Nagari Lawang Mandahiling Makmur dan Sejahtera melalui bidang pertanian dan industrial”

Misi Nagari Lawang Mandahiling :

Melaksanakan pembangunan menuju Lawang Mandahiling makmur dan sejahtera dan memperkuat dimensi keadilan disemua bidang.

Nagari Lawang Mandahiling mempunyai empat jorong yang masing-masing jorong diberi nama:

a. Jorong Lawang b. Jorong Mandahiling c. Jorong Malintang, dan d. Jorong Kandang Melabung 3. Keadaan Geografis

a. Jorong Kandang Melabung mempunyai penduduk:

1) Penduduk Laki-laki: 686 Jiwa 2) Penduduk Perempuan: 620 Jiwa b. Jorong Lawang mempunyai penduduk:

1) Penduduk Laki-laki: 779 Jiwa 2) Penduduk Perempuan: 802 Jiwa c. Jorong Mandahiling mempunyai penduduk:

1) Penduduk Laki-laki: 924 Jiwa 2) Penduduk Perempuan: 1089 Jiwa d. Jorong Malintang mempunyai penduduk:

1) Penduduk Laki-laki: 763 Jiwa 2) Penduduk Perempuan: 797 Jiwa 4. Sosial Kemasyarakatan

Pada Bidang Sosial Kemasyarakatan Nagari Lawang Mandahiling terdiri dari Bidang Perekonomian, Percepatan pemulihan ekonomi merupaka prioritas yang utama dalam rancangan strategis Pembangunan Daerah Nagari Lawang Mandahiling. Sampai saat ini kondisi perekonomian Lawang Mandahiling masih bergerak pada pertanian dan perdagangan hasil perkebunan.

Secara Geografis Nagari Lawang Mandahiling memiliki potensi alam yang potensial untuk dikembangkan sebagai

pengenbangan yang sesuai dan strategis dengan kondisi alam yang Nagari yang notabene pencarian penduduk merupakan Petani, Pedagang dan Industrial Rumah Tangga. ( Pernag Lawang Mandahiling No. 3 Tahun 2015 tentang (RPJM) Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Kenagarian Lawang Mandahling 201-2020)

a. Bidang Perdagangan.

Krisis gobal dan laju inflansi yang sangat tinggi pada saat ini mengakibatkan laju perekonomian masyarakat Lawang Mandahiling mengalami keerosotan hamper pada semua sector, hal ini terlihat dari turunnya produksi dan kegiatan transaksi dan rendahnya daya beli masyarakat pada beberapa sector ekonomi terutama sector pertanian, industry rumah tangga, perdagangan dan jasa.

b. Bidang Pendidikan.

1) Tidak Tamat SD: 319 Jiwa 2) Tamat SD: 896 Jiwa 3) Tamat SMP: 974 Jiwa 4) Tamat SMA: 710 Jiwa 5) Sarjana: 202 Jiwa Jumlah tempat Pendidikan:

1) Paud: 3 2) Tk: 3 3) SD: 3

4) SMP atau MTSN: 2 5) SMA:1

Jumlah tempat Kesehatan:

1) Polindes:5 2) Posyandu:2 3) Praktek Dokter:-

4) Praktek Bidan:3 ( Pernag Lawang Mandahiling No. 3 Tahun 2015 tentang (RPJM) Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Kenagarian Lawang Mandahling 201-2020)

c. Bidang Kemiskinan.

Angka kemiskinan di Nagari Lawang Mandahiling masih ada diperkirakan 23% yang di akibatkan oleh rendahnya sumberdaya manusia, angka kemiskinan setiap tahunnya bertambah yang dibuktikan dengan makin banyaknya yang menerima raskin dan penerimaan KPS untuk masyarakat miskin dari pemerintahan sebanyak 456 kepala keluarga.

d. Bidang Keagamaan.

Tempat Ibadah:

1) Masjid: 5

2) Mushalla atau Surau: 13 e. Bidang Pencarian.

Penduduk menurut pekerjaan:

1) Petani: 1280 Orang 2) PNS: 127 Orang 3) Buruh Tani: 189 Orang 4) Pensiunan: 79 Orang 5) Buruh Industri: 194 Orang

6) Pedagang: 312 Orang ( Pernag Lawang Mandahiling No. 3 Tahun 2015 tentang (RPJM) Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Kenagarian Lawang Mandahling 201-2020)

B. Pelaksanaan Perkawinan Saparuik di Nagari Lawang Mandahiling Kecamatan Salimpaung pada Bingkai Fikih Munakahat

Pelaksanaan perkawinan saparuik yang terjadi antara mamak dengan kemanakan adalah suatu perbuatan yang terlarang atau di dalam adat adalah pantangan yang memang tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berniat untuk melaksanakan perkawinan, karena

memang adat bukan hanya mempertimbangkan masalah aturan adatnya saja namun memang sesuai falsafah adat, bahwa adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Jadi pemuka adat atau nenek moyang terdahulu memang berpegang teguh kepada ajaran hukum Islam, yang mana di dalam aturan hukum Islam ada ketentuan yang mengatur batasan-batasan di dalam perkawinan. Dan batasan-batasan yang sudah ada di dalam hukum Islam juga diterapkan di dalam adat dan perbedaannya hanya di dalam pemberian nama, namun mempunyai makna yang sama. (Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan bapak Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo selaku Datuak Suku Pasukuan Kutianyir di Nagari Lawang Mandahing, perkawinan saparuik ini sudah terjadi semenjak tahun 2002 dan bahkan masih terjadi hingga tahun 2018 dan sesuai dengan yang diketahui ada enam pasangan yang melakukan perkawinan saparuik.(Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

Pada umunya salah satu penyebab terjadinya perkawinan saparuik tersebut dikarenakan para pelaku berada di perantauan, seperti yang dilakukan oleh S dan T yang pergi keperantauan, S selaku mamak dari T pada saat itu memang sedang jaya-jayanya diperantauan dan suatu masa S itu pulang kekampung halaman dalam rangka menjenguk keluarga yang berada dikampung sekaligus silaturahmi dan selama beberapa waktu dikampung halaman, maka S tersebut harus kembali keparantauan karena tuntutan pekerjaan namun sebelum kembali keperantauan maka keluarga atau sanak family S tersebut berkunjung dan menyampaikan kendala yang dialami oleh keluarganya tersebut yaitu kemanakan dari mamak tersebut telah menyelesaikan pendidikannya namun sampai sekarang masih belum mendapatkan pekerjaan, sehingga pihak keluarga tersebut meminta solusi kepada S selaku mamak tersebut.

Maka mamak tersebut memberikan solusi akan membawa kemanakan keperantauan dengan tujuan akan merubah hidup( nasib)

dengan bekerja bersama mamaknya tersebut. Maka mamak tersebut membawa kemanakan keperantauan, setelah beberapa waktu berlalu mamak tersebut yang masih bujangan tentu ada tuntutan untuk berumah tangga sehingga karena kurang pengetahuan adat dan agama, maka mamak tersebut merasa tertarik kepada kemanakannya sehingga terjadilah hubungan yang istimewa antara mamak dengan kemanakan tersebut, pacaran bahasa anak remaja sekarang. Filosofi minang menjelaskan (abih gali dek galitik, abih miang dek bagesoh ) . Artinya karena pergaulan tidak ada batasan norma-norma agama antara laki-laki dan perempuan sehingga terjadilah sesuatu yang tidak dibolehkan oleh agama, sehingga mereka melakukan perkawinan tanpa mengkaji asal usul dan tidak melibatkan mamak dalam proses perkawinan dan pernikahan tersebut, ketika pulang kampung baru disadari kalau sebenarnya mereka tidak bisa saling mengikat janji. Disitulah disadari kalau sebenarnya terjadinya suatu perkawinan yang seperti itu dikarenakan kurangnya pemahaman adat dan pemahaman agama diantara kedua orang yang melakukan perkawinan tersebut. (Martunius Pegawai Nagari Suku Payobadar, wawancara, 13 Desember 2019).

Maksudnya adalah para pelaku yang melakukan perkawinan saparuik tersebut disaat mereka dirantau karena dasar ekonomi, pengetahuan agama yang sangat kurang, pengetahuan adat dan juga pemahaman tentang silsilah keturunan tidak mereka ketahui sehingga hidup sudah tidak berdasarkan ajaran Islam dan juga tidak mengikuti adat namun hanya mengikuti kata hati saja, asalkan hidup bahagia, sehingga menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka terjadilah perkawinan saparuik ( pantangan).

Perkawinan antara pelaku yang melakukan tersebut:

1. D dan S perkawinan dilakukan diperantauan, sehingga disaat pulang kekampung niniak mamak mengetahui dan memberikan sanksi kepada anak kemanakannya yaitu dibuang sepanjang adat diberikan denda 10.000.000 dan dipisahkan perkawinan antara keduanya, namun setelah

memberikan denda dan pemisahan perkawinan anak kemanakan tersebut mereka tetap melakukan perkawinan tersebut sehingga niniak mamak membuangnya dari ranji kaum. (Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

2. SH dan R Melakukan perkawinan diperantauan diparawang selama 5 tahun dan setelah itu ada kemalangan dikampung, sehingga mereka pulang kampung secara bergantian, tapi karena diketahui oleh keluarga setelah mereka pulang kampung kalau mamak dengan kemanakan itu melakukan perkawinan. Maka niniak mamak mengumpulkan keluarga dari satu rumah gadang untuk mengkaji perkawinan antara mamak dengan kemanakan tersebut. Sehingga secara mufakat niniak mamak maka perkawinan tersebut dibatalkan dan didenda 50 sak semen dan kedua belah pihak menerimanya sehingga perkawinan tersebut sudah dibatalkan oleh niniak mamak. (Iryanda Idris Dt. Pangka Maharajo Lelo, wawancara, 13 Desember 2019).

3. A dan S adalah melakukan perkawinan dipekanbaru karena mereka sama-sama bertujuan untuk melakukan perniakahan diperantauan dan setelah dua tahun perkawinan itu berjalan pihak keluarga pergi kesana.

Disaat pihak keluarga disanalah baru diketahui kalau sudah terjadinya perkawinan antara mamak dengan kemanakan tersebut, sehingga dari pihak ibu perempuan mambawa anaknya pulang kampung dan membahas perkawinan yang terjadi tersebut dengan niniak mamak dikampung, sehingga pihak niniak mamak lansung secara tegas membuang mamak yang melakukan perkawinan dari ranjinya dikarenakan yang melakukan tersebut merupakan orang yang faham akan adat. Maka sanksinya lansung dibuang dari ranji kaum dan denda diberikan kepada pihak perempauan sesuai mufakat niniak mamak ampek suku sebesar 20.000.000 dan dikucilkan di dalam masyarakat hingga dari pihak keluarga tersebut meminta maaf kepada niniak mamak ampek suku. (Bujang Malin Palito Pegawai Pasukuan Kutianyir, wawancara, 29 Desember 2019)

4. M dan E Melakukan perkawinan dibawah tangan tanpa sepengetahuan keluarga di kampung, setelah 3 bulan perkawinan pihak E mengetahui anaknya tersebut sudah melakukan perkawinan dengan mamaknya sehingga pihak kelua raga dan niniak mamak sangat geram terhadap perbuatan yang dilakukan oleh mamak dengan kemanakan tersebut sehingga perkawinan tersebut lansung dibatalkan oleh pemangku adat kaumnya dan diberiksn sanksi tegas dibuang dari ranji kaum dan tidak dibenarkan tinggal dinagari Lawang Mandahiling untuk selama-lamanya. (M. Kasim Monti Pasukuan Parikcancang, wawancara, 27 Desember 2019).

5. M dan S perkawinan tersebut dilakukan diluar Nagari Lawang Mandahiling oleh M selaku mamak dengan membawa S selaku kemenakannya kepadang dan membawa temannya sebagai saksi dengan cara dibayar sehingga perkawinan tersebut terjadi dan berlansung selama 6 bulan. Karena pihak keluarga mengetahui berita kalau sudah terjadi perkawinan tersebut, maka niniak mamak secara cepat mengambil masalah tersebut sebelum diketahui oleh masyarakat banyak dan memanggil keluarga dan niniak mamak lainnya untuk menyelesaikan kasusu tersebut, setalah semua keterangan didapatkan oleh niniak mamak, maka niniak mamak lansung memberikan aturan tegas bahwasanya perkawinan diantara M dan S tersebut sangat dilarang dan dilaknat dan mamak lansung memberikan ganjaran denda 100 sak semen kepada masing-masing antara M dan S dan lansung membuang dari ranji kaumnya dan tidak dianggap anak kemanakan lagi dan disumpah serapahkan untuk tinggal kembali di dalam Nagari Lawang Mandahiling kecuali mereka sama-sama mengakui kesalahan dan berpisah dari hubungan suami isti dan meminta tobat yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT. (Martunius Pegawai Nagari Suku Payobadar, wawancara, 13 Desember 2019).

Berdasarkan data para pelaku di atas bahwasanya pelaksanaan perkawinan saparuik dinagari Lawang Mandahiling bertahap sebagai berikut:

1. Peminangan

Dalam peminangan perkawinan saparuik dilakukan tanpa diketahui dari pihak keluarga kedua belah pihak dan dilakukan diperantauan sehingga cara pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh pelaku tersebut memang diluar kontek anjuran islam di dalam pelaksanaan peminangan yang seharusnya.

2. Akad Perkawinannya

Dalam pelaksanaan akad perkawinannya tidak dilakukan secara tercatat atau diluar KUA tempat seharusnya kedua belah pihak melakukan perkawinan sehingga perkawinan tersebut adalah perkawinan dibawah tangan (nikah siri) dan tidak memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan, pertama rukun perkawinannya cacat karena tidak atau tanpa wali sahnya dari pihak perempuan, kedua melanggar daripada syarat perkawinan karena perkawinan saparuik yang terjadi tersebut adalah perkawinan sedarah ( senasab), sehingga perkawinan yang terjadi adalah batal dan secara fikih muanakahat maka perkawinan tersebut adalah di fasakh.

3. Pelaksanaan Sanksinya

Setelah diketahui cacatnya perkawinan saparuik dinagari Lawang Mandahiling tersebut maka perkawinan tersebut bukan hanya di fasakh namun kedua belah pihak dan keluarga dikumpul atau dipanggil oleh niniak mamak Nagari Lawang Mandahiling dan menetapan sanksi yang seharusnya dijatuhkan terhadap kedua belah pihak, maka kedua belah pihak keluarga pelaku dikumpulkan dibalai-balai adat dan diadili oleh Majelis Kerapatan Adat Nagari Lawang Mandahiling dan menimbang seberapa besar kesalahan yang dilakukan dan sanksi yang dilakukan tersebut memang sangat membuat tersiksanya kedua belak pihak dan sesuai dengan kesepakatan niniak mamak dalam menjatuhkan sanksi

yang bertujuan untuk keadilan, kemaslahatan dan memberikan efek jera agar para pelaku tidak mengulangi perbuatannya dimasa yang akan datang.

Menurut pendapat bapak M. Kasim bahwa faktor yang membuat terjadinya perkawinan tersebut:

Karano kurangnyo pendidikan nan diajakan kapado anak kamanakan, baik indak diaja dek keluarganyo,dunsanaknyo ataupun mamaknyo mako ndak tau mano nan buliah mano nan pantangan, jadi indak tabedaan antaro sawah jo pamatang lai.

Maksudnya salah satu faktor bisa terjadinya perkawinan saparuik tersebut dikarenakan kurangnya pengajaran atau pendidikan yang diberikan baik oleh keluarga, karib kerabat maupun mamaknya sehingga tidak bisa lagi membedakan antara hak dan bathil. (M. Kasim Monti Pasukuan Parikcancang, wawancara, 27 Desember 2019).

Sependapat dengan M.Kasim Monti Pasukuan Parikcancang, Menurut Muazli Dt. Monti Nan Tuo selaku Alim Ulama Nagari Lawang Mandahiling mengatakan:

Nan paliang bapangaruah di dalam maaja anak kamanakan tu tantu partamo sakali adalah keluarga tampek inyo basiang bamalam

Nan paliang bapangaruah di dalam maaja anak kamanakan tu tantu partamo sakali adalah keluarga tampek inyo basiang bamalam

Dokumen terkait