Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmiah dan sumbangan bagi pengembangan teori-teori dalam Ilmu Administrasi Publik khususnya dalam kaitannya dengan responsibilitas.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi pemerintah, khususnya dalam pemberian pelayanan publik di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal.
3. Secara Akademis
Diharapkan mampu menambah kemampuan berpikir secara ilmiah dan memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Publik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1Good Governance
2.1.1 Definisi Good Governance
Arti good dalam good governance mengandung dua pengertian sebagai berikut.
Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut (Sedarmayanti, 2003:125). Berdasarkan pengertian ini, good governance berorientasi pada:
1. Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara denga elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pemerintah) dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights, autonomy and devolution of power, dan assurance of civilian control.
2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson (dalam Bambang, 2011:89) mengatakan bahwa “Good Governance” bermakna tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan dan
kebijakan yang senyata dilaksanakan, khususnya dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan rakyat.
Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabilitas transparansi, partisipasi dan keterbukaan.
Adapun pengertian “Good Governance” menurut OECD dan World Bank (dalam Istianto, 2011:90) mensinonimkangood governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP (dalam Bambang, 2011:90-93) mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan definisi tersebut, UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut:
1. Participation. Sebagai warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
5. Consensus orientation.Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara ketiga domain; negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good
governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Good governance memiliki sejumlah ciri sebagai berikut (Hardiansyah, 2011:110): (1) akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai pertanggungjawabannya; (2) transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan;
(3) responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu melayani semua stakeholder; (4) setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan; (5) efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya –sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik; (6) mengikuti aturan hukum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan; (7) partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak aktor; (8) berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat.
2.1.2 Prinsip-Prinsip Good Governance
Dalam pembahasan mengenai “good governance” yang diawali dengan menjelaskan tentang “prinsip-prinsip” dalam melaksanakan “tata kelola”
kepemerintahan yang baik menurut ”Tamim” (dalam Istianto, 2011:90),yaitu terdapat
enam hal yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan memenuhi kriteria Good Governance, sebagai berikut:
1. Competence,artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi birokrasi.
Untuk itu, setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk memenuhi suatu jabatan pemerintahan daerah harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi dilihat dari semua aspek penilaian, baik dari segi pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun aspek-aspek lainnya.
2. Transparency, artinya setiap proses pengambilan kebijakan publik dan pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan mengacu pada prinsip keterbukaan. Kemudahan akses terhadap informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan pemerintahan oleh birokrasi daerah merupakan hak yang harus dijunjung tinggi.
3. Accountability, artinya bahwa setiap tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan cara yang terbaik dengan pemanfaatan sumber daya yang efisien demi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena setiap kebijakan dan tindakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan ke hadapan publik maupun dari kacamata hukum.
Prinsip akuntabilitas pemerintahan merupakan bentuk keseriusan para aparatur pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bertujuan menyediakan dan memberikan pelayanan publik yang murah, nyaman dan bermutu. Prinsip ini sesungguhnya memiliki makna yang mendalam dan tidak sekedar
‘pertanggung-jawaban’ bersifat administrastif belaka seperti dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP), akan tetapi dalam akuntabilitas juga menyangkut aspek “moral”. Oleh sebeb itu jika prinsip tersebut dikembangkan menjadi prinsip “the accountability just not simpel”. Artinya bahwa akuntabilitas yang dijalankan oleh para pejabat publik tidak sesederhana dalam bentuk laporan pertanggung-jawaban dalam bentuk tertulis seperti “LAKIP”, akan tetapi sampai pada “pengunduran diri” dari jabatan publik jika gagal melaksanakan kebijakan yang dibuatnya sendiri.
4. Participation, artinya dengan Otonomi Daerah, maka magnitude dan intensitas kegiatan pada masing-masing daerah menjadi sedemikian besar. Apabila hal tersebut dihadapkan pada kemampuan sumber daya masing-masing daerah, maka mau tidak mau harus ada perpaduan antara upaya pemerintah daerah dengan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah daerah harus mampu mendorong prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan daerah.
5. Rule of Law, artinya dalam penyelenggaraan pemerintah daerah harus disandarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang jelas. Untuk itu perlu adanya kepastian dan penegakan hukum yang merupakan prasyarat keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
6. Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi
setiap anggota masyarakat. Tanpa adanya hal tersebut, masyarakat tidak akan turut mendukung kebijakan dan program pemerintah daerah.
2.2 Pelayanan Publik
2.2.1 Definisi Pelayanan Publik
Menurut Kotler (Sinambela, dkk,2010:4) pelayanan adalah “setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.” Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara.
Menurut Sinambela, dkk (2010:5) pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Selanjutnya Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Sedangkan Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, sebagai berikut:
“Pelayanan Publik” adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggaraan pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.2.2 Asas pelayanan publik
Asas-asas pelayanan publik menurut Keputusan Menpan Nomor 63/2003 sebagai berikut:
a. Transparansi, bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas, dapat dipertanggunjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Kondisional, sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayananan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
d. Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat dalam penyeleggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
e. Kesamaan hak, tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.
f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban, pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
2.2.3 Prinsip-prinsip Pelayanan Publik
Dalam keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Kesederhanaan; Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan; Kejelasan ini menyangkut kejelasan dalam hal : 1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik. 2) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian persoalan
dalam pelaksanaan pelayanan. 3) Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran.
3. Kepastian Hukum; Pelaksanaan pelayanan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
4. Akurasi; Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
5. Keamanan; Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
6. Tanggung jawab; Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam melaksanakan pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana; Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana dan prasarana teknologi komunikasi dan informatika (telematika)
8. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan; Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun serta memberikan pelayanan dengan baik.
9. Kenyamanan; Lingkungan pelayanan harus tertib dan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai.
Dari penjelasan tentang prinsip-prinsip pelayanan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelanggan pada umumnya dengan mengerti bagaimana memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan yang ada. Dengan kata lain, prinsip-prinsip pelayanan digunakan sebagai acuan bagi pegawai dalam memberikan pelayanan kepada publik. Selain itu prinsip-prinsip pelayanan dapat
memudahkan masyarakat dalam menilai kinerja para aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada mereka.
Pasal 34 UU No. 25/2009 disebutkan bahwa pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
a. Adil dan tidak diskriminatif;
b. Cermat;
c. Santun dan ramah;
d. Tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
e. Profesional;
f. Tidak mempersulit;
g. Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h. Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
i. Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j. Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k. Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
l. Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
m. Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
n. Sesuai dengan kepantasan; dan o. Tidak menyimpang dari prosedur.
2.2.4 Standar Pelayanan Publik
Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Standar pelayanan dalam Kep MenPAN No. 63 Tahun 2003 sekurang-kurangnya meliputi:
1. Prosedur pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
2. Waktu penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
3. Biaya Pelayanan
Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
4. Produk pelayanan
Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
5. Sarana dan prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.
6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.
Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari (Lijan, 2010:6) :
1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;
2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisien dan efektivitas;
4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi kebutuhan dan harapan masyarakat;
5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain;
6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Selanjutnya, untuk dapat memberikan pelayanan secara cepat dan tepat, Macaulay dan Cook (dalam Monang Sitorus, 2009:78) menyarankan sebaiknya
menggunakan pendekatan smart. Secara ringkas konsep smart dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Specific, yaitu sasaran itu perlu menyatakan dengan tepat apa yang harus dilakukan dan dicapai, sehingga tiap-tiap orang dapat menilai sendiri apakah mereka telah mencapainya atau belum. Rumusan umum seperti meningkatkan kepuasan pelanggan atau meningkatkan kualitas pelayanan, bukanlah sasaran, melainkan tujuan. Tujuan merupakan sarana yang berguna untuk menetapkan suatu arah umum, tapi bukanlah dasar yang produktif untuk menilai kemajuan.
Sasaran yang spesifik misalnya mengurangi jumlah keluhan para klien yang diterima setiap tahun.
2. Measurable (dapat diukur), yaitu sasaran tidak dapat dijawab dengan sekadar
”ya” atau “tidak” harus dapat diukur dengan suatu cara. Misalnya sasaran yang menyangkut target finansial seperti mejual barang senilai satu miliar rupiah, mengurangi jumlah keluhan pelanggan yang diterima tahun ini menjadi kurang 10% daripada tahun lalu.
3. Achievable (dapat dicapai), yaitu sasaran itu memang dapat dicapai. Tak ada hal yang lebih memerosotkan semangat individu atau kelompok daripada sasaran yang tak mungkin dicapai. Tidak ada, kecuali sasaran yang terlalu mudah dicapai.
Ini merupakan satu alasan untuk melibatkan staf dalam menetapkan sasaran. Staf mungkin mempunyai gagasan yang lebih realistis tentang yang dapat dicapai.
4. Relevant (relevan), yaitu sasaran yang tidak relevan dengan kebutuhan organisasi atau individu adalah percuma serta memboroskan waktu dan sumberdaya.
5. Timed (jelas batas waktunya), yaitu sasaran yang paling konstruktif adalah sasaran mempunyai batas waktu yang jelas. Memberikan pelayanan publik dengan batas waktu selama 7 hari dengan tepat, penentuan batas waktu yang jelas untuk di capai, tetapi juga mengandung mekanisme pengawasan yang melekat.
Selanjutnya, Fitzsimmons dan Fitzsimmons (dalam Lijan, 2010:7) berpendapat terdapat lima indikator pelayanan publik, yaitu realibity (kehandalan),yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar; tangibles (berwujud),yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya;
responsiveness (ketanggapan), yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat; assurance (jaminan), yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, dan empathy (empati), yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.
2.3 Akuntabilitas dan Responsibilitas
Istilah akuntabilitas dan responsibilitas (responsibility) sering didefinisikan sama yaitu pertanggungjawaban. Dalam rangka memahami konsep akuntabilitas sangat dibutuhkan suatu analisis yang jelas dan mendalam sehingga tidak tumpang tindih dengan pengertian responsibilitas.
Akuntabilitas dan responsibilitas saling berhubungan sebagai bagian dari sistem yang menyeluruh. Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan. Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang diawasi dengan pengawasnya, agen dengan prinsipal, yang mewakili dengan yang diwakili, dan sebagainya. Selain itu, kedua konsep tersebut sebetulnya juga mempunyai perbedaan fokus dan cakupannya.
Responsibilitas mempunyai sejumlah konotasi termasuk di dalamnya kebebasan untuk bertindak, kewajiban untuk memuji dan menyalahkan, dan perilaku baik yang merupakan bagian dari tanggung jawab seseorang. Responsiblitas lebih bersifat internal sebagai pertanggungjawaban bawahan kepada atasan yang telah memberikan tugas dan wewenang, sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal sebagai tuntutan pertanggungjawaban dari masyarakat terhadap apa saja yang telah dilakukan oleh para pejabat atau aparat. (http://mohmasun.blogspot.co.id/akuntabilitas-kinerja) 2.3.1 Akuntabilitas
Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, administrasi, politik, perilaku, dan budaya.
Selain itu akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam rangka menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance). Aspek-aspek/unsur-unsur utama lainnya terkandung dalam good governance paling tidak adalah:
a. Transparansi yaitu keterbukaan dalam pengelolaan pemerintahan dan pengelolaan lingkungan ekonomi,
b. Partisipasi masyarakat yang bermakna penerapan pengambilan keputusan yang demokratis dan pengakuan atas hak dan kebebasan manusia/ hak azasi manusia (HAM), kebebasan pers, dan kebebasan ekspresi aspirasi masyarakat.
Dari unsur-unsur di atas, akuntabilitas merupakan sufficient condition, sedangkan dua lainnya merupakan necessary condition saja. Artinya aspek/unsur akuntabilitas akan dapat diterapkan apabila aspek transparansi pemerintahan dan
partisipasi masyarakat terselenggara dengan baik dalam pemerintahan. Atau dengan kata lain, akuntabailitas akan dapat terwujud bila transparansi pemerintahan dan partisipasi masyarakat dilaksanakan dengan baik.
Y. Warella (dalam Mohammad, dkk, 2004:26) mengungkapkan bahwa “Dalam suatu masyarakat yang demokratis, para administrator publik harus bekerja dalam suatu sistem akuntabilitas administrasi, tanggap terhadap formula checks and balances, bersedia diperiksa secara lugas oleh auditor resmi dan oleh media massa serta aktivis-aktivis kemasyarakatan serta oleh whistelblowers. Namun, pada instansi terakhir, mereka secara individual bertanggungjawab terhadap kode etik dan perilaku terpuji yang mengikat mereka secara profesional”. Oleh karena itu, pemerintah harus betul-betul menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang mengacu pada penerapaan good governance, harus berlandaskan pada prinsip negara hukum dan demokratis; serta penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari akuntabilitas publik.
Deklarasi Tokyo (1985) mengenai petunjuk akuntabilitas publik (Mohammad, dkk, 2004: 31-32) menetapkan pengertian akuntabilitas sebagai berikut;
Akuntabilitas merupakan kewajiban-kewajiban dariindividu-individu atau penguasa yang dipercaya untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial,dan program.
The Oxford Advance Learner’s Dictionary (dalam Sedarmayanti, 2003:68) menyatakan bahwa akuntabilitas required or expected to give an explanation for one’s action. Artinya adalah, dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk
menyajikan dan melaporkan segala tindak-tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya.
Pertanggungjawaban menurut Kumorotomo (dalam Napitupulu, 2007:74) sebagai proses antar pribadi yang menyangkut tindakan, atau keputusan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain sehingga ia dapat menerima hak dan kewajiban tertentu berikut sanksi yang menjadi konsekuensinya.
Dalam Keputusan MenPAN No. 26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik menyebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban pelayanan publik meliputi : 1. Akuntabilitas Kinerja Pelayanan Publik
a. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik dapat dilihat berdasarkan proses yang antara lain meliputi : tingkat ketelitian (akurasi), profesionalitas petugas, kelengkapan sarana dan prasarana, kejelasan aturan (termasuk kejelasan kebijakan atau peraturan perundang-undangan) dan kedisiplinan;
b. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik harus sesuai dengan standar atau Akta/Janji Pelayanan Publik yang telah ditetapkan;
b. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik harus sesuai dengan standar atau Akta/Janji Pelayanan Publik yang telah ditetapkan;