RESPONSIBILITASPELAYANAN PUBLIKDALAM PENGURUSAN KARTU TANDA PENDUDUK ELEKTRONIK (E-KTP)DAN KARTU KELUARGA
(KK)DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN MANDAILING NATAL
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Ilmu Administrasi Negara
Disusun Oleh : Putri Royan Sari
130903148
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara
Drs. Tunggul Sihombing, MA NIP. 196203011986031027 Dosen Pembimbing
Dr. Tunggul Sihombing, M.A NIP. 196203011986031027
Wakil Dekan I, FISIP USU MEDAN
Husni Thamrin, S.sos, M.SP
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh:
Nama : Putri Royan Sari Nim : 130903148
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Judul : Responsibilitas Pelayanan Publik Dalam Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal
Medan, Maret 2017
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:
Nama : Putri Royan Sari Nim : 130903148
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Judul : Responsibilitas Pelayanan Publik Dalam Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal
Yang dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal : Pukul : Tempat :
Panitia Penguji
Ketua : ( )
Anggota I : ( )
Anggota II : ( )
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para ahlul bait, yang senantiasa menjadi tauladan bagi setiap umat manusia. Semoga kita mendapat syafa’atnya di yaumil akhir kelak. Amin
Adapun skripsi ini berjudul “Responsibilitas Pelayanan Publik dalam Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal”.
Yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui implementasi responsibilitas dalam pelayanan pengurusan kartu tanda penduduk elektronik dan kartu keluarga di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta untuk mengetahui hambatan–hambatan dalam penerapannya. Skripsi ini juga dikerjakan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan strata 1 (S-1) di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan baik itu dari permasalahan penulisan redaksi maupun dari substansi penulisan skripsi itu sendiri. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.Namun demikian,
penulis tetap berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi pembaca, atau paling tidak bagi penulis sendiri.
Selama proses penyusunan skripsi ini penulis banyak dibantu olehberbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan untaian terimakasih yang tidak terhingga dari hati yang paling dalam kepada kedua orang tuapenulis yakni Almarhum Ayahanda (Sahrul Nasution) dan Ibunda (Nuraini Pulungan) yang senantiasamemberikan do’a yang tidak pernah putus disetiap langkah perjalanan hidup penulis serta motivasi yangsungguh berarti bagi penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kakak, abang dan adik penulis (Junita Sari Syahrini, Pandu Sahrial, dan Fitri Dian Sari) yang selalusetia memberi semangat kepada penulis agar bisa dan yakin dalam menyelesaikanskripsi ini.
Selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semuapihak yang telah membantu, membimbing dan mengarahkan penulis dalammenyelesaikan skripsi ini, yaitu kepada :
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.sos, M.siselaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial danIlmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosialdan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, MA selaku Ketua DepartemenIlmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama prosesperkuliahan dan yang telah bersedia meluangkan waktunya dalammengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Asima Yanti S. Siahaan, MA, PhD selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UniversitasSumatera Utara.
5. Bapak/Ibu Staf Pengajar FISIP USU yang telah berjasa dalam memberikanbanyak bekal ilmu, nasihat, bimbingan serta arahan kepada penulis selamapenulis menimba ilmu di Departemen Ilmu Administrasi Negara FakultasIlmu Sosial dan Ilmu Politik.
6. Terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh Staf Pegawai Administrasi, yang ada di Departemen Ilmu Administrasi Negara khususnya Kak Mega, Kak Dian, Bang Rudi yang telah banyak membantu segala urusan administratif sejak awal penulis memulai studi hingga saat ini.
7. Terima kasih kepada Bapak Mhd. Gitol, SP, MM selaku Sekretaris Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal, Bapak Ibrahim, SE selaku Kepala Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk, Ibu Hj.
Seri Efriani, S.Sos, MM selaku Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil, Bapak Iin Eprianto, S.Sos selaku Kasi pendataan penduduk, Bapak Henra Putra, S.Sos dan petugas lainnya yang ikut membantu memudahkan penulis dalam mengumpulkan data dan melaksanakan penelitian di kantor dinas dukcapil.
8. Bapak Hapisuddin, S.Sos selaku Camat Panyabungan dan seluruh staf kantor Camat Panyabungan yang telah banyak membantu dalam pengambilan data di kecamatan Panyabungan.
9. Terima kasih kepada seluruh informan yang telah bersedia membantu penulis mengumpulkan data dalam penulisan skripsi.
10. Terima kasih yang paling dalam untuk sahabat-sahabat penulis selama hampir 4 tahun yang telah menemani suka duka dan memberi warna-warni selama di bangku perkuliahan (Glori Simbolon, Yuli Santri Isma, Novita Sari Purba, Annysa Pratiwi, dan Kristina Anggelina Sitanggang). Kalian selalu senantiasa meluangkan waktu untuk penulis, memberi motivasi, dukungan, dan arahan serta doa. Semoga kita semua bisa sukses dan menjadi orang yang dapat di banggakan orang tua kita masing-masing. Aamiin
11. Terimah kasih yang paling dalam buat sahabat penulis di kos Hijau (Nur hasanah Nasution dan Sangkot Mardiyah Nasution) yang telah membantu saat senang maupun duka serta memberi semangat dan dukungan selama ini.
12. Terimakasih untuk teman-temankelompok PKL Desa Sukanalu,RTB, dan AN 13 yang tidak bisa disebut satu persatu, yang telah menjadi teman dan keluarga selama perkuliahan.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yangtelah membantu dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Medan, Maret 2017 Penulis
Putri Royan Sari
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Good Governance ... 11
2.1.1 Definisi Good Governance ... 11
2.1.2 Prinsip-Prinsip Good Governance ... 14
2.2 Pelayanan Publik ... 17
2.2.1 Definisi Pelayanan Publik ... 17
2.2.2 Asas pelayanan publik ... 18
2.2.3 Prinsip-prinsip Pelayanan Publik ... 18
2.2.4 Standar Pelayanan Publik ... 21
2.3 Akuntabilitas dan Responsibilitas ... 25
2.3.1 Akuntabilitas ... 27
2.3.2 Responsibilitas ... 29
2.3.2.1 Jenis Reponsibilitas ... 31
2.4 Definisi Konsep ... 37
2.5 Hipotesis Kerja ... 38
2.6 Sistematika Penulisan ... 38 BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Bentuk Penelitian... 40
3.2 Lokasi Penelitian... 40
3.3 Informan Penelitian... 41
3.4 Teknik Pengumpulan Data... 43
3.5 Teknik Analisis Data...44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum dan Geografi Wilayah ... 46
4.1.1 Administrasi dan Geografi Wilayah ... 46
4.1.2 Demografi ... 47
4.1.3 Sejarah Singkat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal ... 49
4.1.4 Visi dan Misi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal ... 50
4.1.4.1 Visi ... 51
4.1.4.2 Misi ... 51
4.1.5 Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi ... 51
4.1.6 Sumber Daya SKPD ... 53
4.2 Responsibilitas Pelayanan Publik dalam pengurusan E-Ktp dan KK ... 55
4.2.1 Objektif Responsibility ... 56
4.2.1.1Bertanggung jawab kepada pimpinan dalam hukum yang Berlaku ... 56
4.2.1.2 Bertanggung jawab terhadap atasan dan bawahan ... 78
4.2.1.3 Bertanggung jawab terhadap masyarakat ... 86
4.2.2 Subjektif Responsibility ... 95
4.2.2.1 Loyalitas ... 95
4.2.2.2 Nilai ... 97
4.2.2.3 Karakter ... 100
4.3 Wujud Responsibilitas Pelayanan Publik dalam Pengurusan e-Ktp dan KK ... 102
4.3.1 Objektif Responsibility ... 102
4.3.2 Subjektif Responsibility ... 105
4.4 Hambatan-hambatan ... 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 109
5.2 Saran ... 112 LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Responsibilitas Pelayanan Publik dalam Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal Skripsi ini disusun oleh:
Nama : Putri Royan Sari
NIM : 130903148
Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dr. Tunggul Sihombing, MA
Salah satu bentuk pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pelayanan dokumen administrasi kependudukan termasuk e-KTP dan KK.
Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemberian pelayanan administrasi kependudukan yang memuaskan masyarakat. Namun, dalam pemberian pelayanan yang dilakukan, masih terdapat permasalahan yang sering terjadi seperti pelayanan yang tidak sistematis, lamban, pegawai yang kurang disiplin dan kurangnya sarana prasarana. Oleh karena itu dibutuhkan responsibilitas dari petugas pemberi pelayanan.
Responsibilitas merupakan bukti organisasi bertanggungjawab dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis responsibilitas pelayan publik dalam pengurusan E-KTP dan KK di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Adapun pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi yang dilakukan sekitar 1 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum responsibilitas pelayanan publik dalam pengurusan E-KTP dan KK di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal sudah baik, walaupun masih ada kekurangan yang harus diperbaiki. Berdasarkan tipe responsibilitas menurut Frederick Mosher ada beberapa kekurangan yang ditemukan. Diantaranya petugas
yang masih kurang disiplin, kurang tersenyum, fasilitas pendukung yang masih kurang, waktu penyelesaian yang kadang lama, serta jauhnya jarak yang harus ditempuh masyarakat untuk menjangkau kantor dinas dukcapil.
Kata kunci: Responsibilitas, Pelayanan Publik, E-KTP dan KK
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Reformasi pelayanan publik di Indonesia sudah berjalan meskipun masih jauh dari harapan masyarakat. Reformasi merupakan perubahan di mana kedalamannya terbatas sedangkan keluasan perubahannya melibatkan seluruh masyarakat.
Reformasi memberi harapan terhadap pelayanan publik yang lebih adil dan merata.
Harapan demikian dihubungkan dengan menguatnya kontrol masyarakat dan besarnya kontribusi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peranan pemerintahan harus menjadi penanggung jawab bagi pemberian pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat sebagai kelompok pelanggan yang harus dijamin kepuasannya oleh pemerintah. Peraturan diperlukan untuk mengatur keberadaan dan prosedur pelayanan.
Daerah otonom diberikan kewenangan yang sangat luas. Perubahan demikian merupakan syarat mutlak perubahan pelayanan publik. Untuk melakukan perubahan pelayanan publik, diperlukan perubahan-perubahan, baik pengambilan keputusan maupun kelembagaan. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut tentunya akan tumbuh kekuatan sosial yang melakukan kontrol kekuasaan lebih ketat, seperti organisasi sosial dan politik serta media massa. Masyarakat melalui institusi yang ada akan menuntut pertanggungjawaban publik (public accountability) dari penyelenggara negara.
Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Selanjutnya menurut Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003, publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan. Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah untuk memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima.
Melindungi segenap bangsa Indonesia adalah salah satu fungsi hakiki pemerintah dengan cara memberikan “keteraturan” dalam pelayanan publik. Ndraha (2005: 14-15) mengemukakan layanan publik adalah hak eksistensial dan kebutuhan manusia pribadi seperti kemerdekaan, kebebasan memilih, keamanan pribadi, rasa adil, kepastian hukum, kebebasan bergerak, harkat dan martabat sebagai manusia.
Hak dan kebutuhan pribadi itu bukan pemberian negara, melainkan bawaan sebagai manusia dan harus diakui, dilindungi, dihargai, dan dipenuhi oleh negara. Seperti KTP, Akta Kelahiran, Akta perkawinan, Perizinan, dan pelayanan yang menyangkut hak-hak sipil, atau pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Dalam hal pelaksanaan pelayanan publik, untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang baik maka harus bercirikan good governance sesuai dengan Kepmenpan Nomor: KEP/26/M.PAN/7/2004 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Good Governance merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. The Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD) dan World Bank mensinonimkan good governance penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legaland political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.
Pelaksanaan pelayanan publik berdasarkan good governance memiliki prinsip- prinsip utama yaitu; akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan supremasi hukum aparat birokrasi (Sedarmayanti, 2009 :290). Akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam rangka menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance).
Akuntabilitas merupakan kewajiban dalam menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan akan pertanggungjawaban (LAN, 2003). Pelayanan yang diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Selain akuntabilitas sebagai konsep pertanggungjawaban, responsibilitas merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki adminitrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya.
Administrasi negara dinilai responsibel apabila pelakunya memiliki standard profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi.
Pemerintah telah berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik dengan melimpahkan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah melalui otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat 6 UU No. 23 Tahun 2014). Melalui otonomi daerah yang luas pemerintah daerah memiliki wewenang yang sangat luas dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan rakyat daerah. Proses kebijakan menjadi lebih partisipatif, akuntabel, dan responsif, sebab kendali dari proses kebijakan dan alokasi anggaran sepenuhnya ada di tangan pemerintah daerah. Tegasnya, pelayanan publik merupakan kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik (Good Governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik. Hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik.
Semangat pelayanan publik yang tertuang pada UU No. 23 Tahun 2014 mencerminkan fungsi pemerintah daerah, sebagai penyelenggara negara. Serangkaian pokok aturan dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemerintahan Daerah disebutkan sangat gamblang dan sangat jelas yaitu pada Pasal 14 tentang urusan wajib yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota yaitu: pemberian pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, dan penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pemerintah membentuk dinas-dinasdalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat.
Satuan kinerja perangkat daerah dibentuk dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan urusan kependudukan dan pencatatan sipil di Kabupaten/kota. Salah satunya ialah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil)Kabupaten Mandailing Natal yaitu mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang pemberian pelayanan kependudukan danpencatatan sipil kepada warganya. Karena setiap penduduk wajib memiliki identitas sebagai warga negara Indonesia yang menduduki suatu wilayah dan bertempat tinggal di Indonesia. Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memberikan identitas kepada setiap warganya, yaitu melalui pemberian Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Namun demikian harus dicatat bahwa reformasi tidak selalu berjalan mulus walaupun sudah dijalankan karena hasilnya belum seperti yang diharapkan. Masih sering terjadi masalah dalam proses pelayanan publik. Mekanisme administratif masih mengidap penyakit birokrasi seperti lamban, berbelit-belit, kurang berkualitas, belum mencerminkan suatu pertanggungjawaban yang baik, kurangnya disiplin pegawai, bahkan pengenaan biaya yang tidak wajar bagi pengurusan kepentingan publik guna percepatan penyelesaian urusan. Biasanya dalam hal kepengurusan surat menyurat seperti E-KTP dan KK sering berbelit-belit karena sulit dipahami. Banyak keluhan dari masyarakat baik dari segi waktu yang lama, biaya yang mahal, dan penyimpangan lainnya.
Berdasarkan keluhan masyarakat dan sesuai dengan pengamatan penulis, sikap pegawai di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal dalam memberikan pelayanan seperti halnya daya tanggap, kehandalan, dan tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan masyarakat dalam pemberian layanan masih kurang dan terbengkalai, disebabkan tingkat kesadaran pemberi layanan masih kurang. Aturan ataupun prosedur pemberi layanan tidak selalu berjalan sesuai dengan penerapannya di dalam proses pemberian layanan. Banyaknya keluhan masyarakat tentang tingkah laku pegawai yang arogan, alur kerja yang kurang memuaskan dan kurang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.
Selain daya tanggap dan respon pegawai kepada masyarakat yang menjadi keluhan lainnya ialah lamanya waktu dan lambatnya pelayanan dalam pembuatan E- KTP dan KK yang seharusnya hanya membutuhkan waktu 1 sampai 14 hari bisa sampai melebihi batas waktu tersebut sehingga membuat masyarakat enggan untuk mengurus Administrasi Kependudukan. Terkadang masyarakat yang menginginkan agar e-KTP dan KK cepat selesai rela memberikan biaya tambahan. Dalam pembuatan e-KTP dan KK di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan SipilKabupaten Mandailing Natal terkadang harus mengantri lama karena informasi yang kurang jelas dari aparat. Masyarakat harus bolak-balik dalam mengurus administrasi kependudukan dengan alasan kurangnya syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga biaya yang dikeluarkan menjadi lebih banyak apabila dihitung dengan ongkos dan biaya penginapan yang harus ia keluarkan. Masyarakat yang tinggal jauh terkadang merasa kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan karena harus langsung mengurus e-KTP dan KK ke kantor dinas dukcapil disebabkan
peralatan dan sumber daya yang ada di kecamatan tempat masyarakat setempat tidak memadai. Selain itu, seseorang yang seharusnya sudah berhak memiliki e-KTP karena telah berusia 17 tahun dan telah memenuhi persyaratan tetapi masih ada yang belum mempunyai e-KTP.
Salah satu sumber berita yang terbit pada September 2016 berisi wawancara langsung dengan pihak dinas dukcapil Kabupaten Mandailing Natal bahwa dari data kependudukan yang diperoleh masyarakat Kabupaten Mandailing Natal yang sudah melakukan perekaman e-KTP masih di bawah 90%, yaitu hingga bulan Juli 2016 warga yang sudah memiliki e-KTP sebanyak 64%(Sumber: metrotabagsel.com). Hal tersebut terjadi kemungkinan disebabkan oleh lambannya aparatur serta berbelit- belitnya proses yang dilalui dalam pengurusan e-KTP dan KK.
Akibat dari kurangnya tingkat responsibilitas dalam proses pelayanan, kurangnya kesigapan dan keramahan pegawai, serta urusan yang rumit membuat masyarakat merasa tidak dilayani dengan baik. Masyarakat juga kurang mengetahui informasi terkait laporan pertanggungjawaban atas kinerja yang dilaksanakan di lingkungan dinas terkait program kerja kantor dinas dukcapil dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Kurang baiknya kinerja pelayanan publik di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal disebabkan karena belum terlaksananya responsibilitas yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Patut diduga bahwa banyak birokrat tidak memahami secara pasti pelayanan yang akan diberikannya. Kurangnya tingkat responsibilitas pada pelayan publik akan mengurangi kualitas dari sebuah produk pelayanan.
Dari fenomena-fenomena administrasi publik yang telah diuraikan diatas, sangat diharapkan penerapan responsibilitas pelayanan publik yang baik kepada masyarakat terutama di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal demi terwujudnya peningkatan pelayanan publik. Adanya keluhan dan ketidakpuasan yang dirasakan oleh masyarakat atas kinerja pegawai mengenai proses pelayanan administrasi kependudukan yang cenderung sulit hendaknya diperbaiki. Pembuatan e-KTP dan KK yang seyogyanya gratis dan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat cenderung kurang terlaksana dengan baik, daya tanggap dan pemberian informasi yang kurang jelas.Disinilah perlunya ditingkatkan responsibilitas dalam pelayanan publik agar masalah-masalah tersebut bisa diminimalisir.
Dengan ditingkatkannya responsibilitas dalam pelayanan publik, diharapkan pelayanan publik yang maksimal akan terwujud dan sekaligus dapat memperbaiki tingkat kepercayaan kepada pemerintah. Masyarakat sangat mengharapkan adanya perubahan yang signifikan dalam pelayanan publik di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal terutama dalam pelayanan e-KTP dan KK.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk memilih judul skripsi
“Responsibilitas Pelayanan Publik dalam Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana responsibilitas pelayanan publik dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian adalah untuk menjawab semua permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah tersebut di atas. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis sejauhmana penerapan responsibilitas dalam pelayanan publik di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam menerapkan responsibilitas dalam pelayanan publik di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmiah dan sumbangan bagi pengembangan teori-teori dalam Ilmu Administrasi Publik khususnya dalam kaitannya dengan responsibilitas.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi pemerintah, khususnya dalam pemberian pelayanan publik di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal.
3. Secara Akademis
Diharapkan mampu menambah kemampuan berpikir secara ilmiah dan memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Publik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1Good Governance
2.1.1 Definisi Good Governance
Arti good dalam good governance mengandung dua pengertian sebagai berikut.
Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut (Sedarmayanti, 2003:125). Berdasarkan pengertian ini, good governance berorientasi pada:
1. Orientasi ideal, negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara denga elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pemerintah) dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights, autonomy and devolution of power, dan assurance of civilian control.
2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson (dalam Bambang, 2011:89) mengatakan bahwa “Good Governance” bermakna tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan dan
kebijakan yang senyata dilaksanakan, khususnya dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan rakyat.
Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabilitas transparansi, partisipasi dan keterbukaan.
Adapun pengertian “Good Governance” menurut OECD dan World Bank (dalam Istianto, 2011:90) mensinonimkangood governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP (dalam Bambang, 2011:90- 93) mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan definisi tersebut, UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut:
1. Participation. Sebagai warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
5. Consensus orientation.Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara ketiga domain; negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good
governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Good governance memiliki sejumlah ciri sebagai berikut (Hardiansyah, 2011:110): (1) akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai pertanggungjawabannya; (2) transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan;
(3) responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu melayani semua stakeholder; (4) setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan; (5) efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya –sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik; (6) mengikuti aturan hukum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan; (7) partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak aktor; (8) berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat.
2.1.2 Prinsip-Prinsip Good Governance
Dalam pembahasan mengenai “good governance” yang diawali dengan menjelaskan tentang “prinsip-prinsip” dalam melaksanakan “tata kelola”
kepemerintahan yang baik menurut ”Tamim” (dalam Istianto, 2011:90),yaitu terdapat
enam hal yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan memenuhi kriteria Good Governance, sebagai berikut:
1. Competence,artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi birokrasi.
Untuk itu, setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk memenuhi suatu jabatan pemerintahan daerah harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi dilihat dari semua aspek penilaian, baik dari segi pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun aspek-aspek lainnya.
2. Transparency, artinya setiap proses pengambilan kebijakan publik dan pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan mengacu pada prinsip keterbukaan. Kemudahan akses terhadap informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan pemerintahan oleh birokrasi daerah merupakan hak yang harus dijunjung tinggi.
3. Accountability, artinya bahwa setiap tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan cara yang terbaik dengan pemanfaatan sumber daya yang efisien demi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena setiap kebijakan dan tindakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan ke hadapan publik maupun dari kacamata hukum.
Prinsip akuntabilitas pemerintahan merupakan bentuk keseriusan para aparatur pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bertujuan menyediakan dan memberikan pelayanan publik yang murah, nyaman dan bermutu. Prinsip ini sesungguhnya memiliki makna yang mendalam dan tidak sekedar ‘pertanggung-
jawaban’ bersifat administrastif belaka seperti dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP), akan tetapi dalam akuntabilitas juga menyangkut aspek “moral”. Oleh sebeb itu jika prinsip tersebut dikembangkan menjadi prinsip “the accountability just not simpel”. Artinya bahwa akuntabilitas yang dijalankan oleh para pejabat publik tidak sesederhana dalam bentuk laporan pertanggung-jawaban dalam bentuk tertulis seperti “LAKIP”, akan tetapi sampai pada “pengunduran diri” dari jabatan publik jika gagal melaksanakan kebijakan yang dibuatnya sendiri.
4. Participation, artinya dengan Otonomi Daerah, maka magnitude dan intensitas kegiatan pada masing-masing daerah menjadi sedemikian besar. Apabila hal tersebut dihadapkan pada kemampuan sumber daya masing-masing daerah, maka mau tidak mau harus ada perpaduan antara upaya pemerintah daerah dengan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah daerah harus mampu mendorong prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan daerah.
5. Rule of Law, artinya dalam penyelenggaraan pemerintah daerah harus disandarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang jelas. Untuk itu perlu adanya kepastian dan penegakan hukum yang merupakan prasyarat keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
6. Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi
setiap anggota masyarakat. Tanpa adanya hal tersebut, masyarakat tidak akan turut mendukung kebijakan dan program pemerintah daerah.
2.2 Pelayanan Publik
2.2.1 Definisi Pelayanan Publik
Menurut Kotler (Sinambela, dkk,2010:4) pelayanan adalah “setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.” Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara.
Menurut Sinambela, dkk (2010:5) pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Selanjutnya Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Sedangkan Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, sebagai berikut:
“Pelayanan Publik” adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggaraan pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.2.2 Asas pelayanan publik
Asas-asas pelayanan publik menurut Keputusan Menpan Nomor 63/2003 sebagai berikut:
a. Transparansi, bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas, dapat dipertanggunjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Kondisional, sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayananan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
d. Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat dalam penyeleggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
e. Kesamaan hak, tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.
f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban, pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
2.2.3 Prinsip-prinsip Pelayanan Publik
Dalam keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Kesederhanaan; Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan; Kejelasan ini menyangkut kejelasan dalam hal : 1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik. 2) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian persoalan
dalam pelaksanaan pelayanan. 3) Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran.
3. Kepastian Hukum; Pelaksanaan pelayanan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
4. Akurasi; Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
5. Keamanan; Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
6. Tanggung jawab; Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam melaksanakan pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana; Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana dan prasarana teknologi komunikasi dan informatika (telematika)
8. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan; Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun serta memberikan pelayanan dengan baik.
9. Kenyamanan; Lingkungan pelayanan harus tertib dan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai.
Dari penjelasan tentang prinsip-prinsip pelayanan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelanggan pada umumnya dengan mengerti bagaimana memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan yang ada. Dengan kata lain, prinsip-prinsip pelayanan digunakan sebagai acuan bagi pegawai dalam memberikan pelayanan kepada publik. Selain itu prinsip-prinsip pelayanan dapat
memudahkan masyarakat dalam menilai kinerja para aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada mereka.
Pasal 34 UU No. 25/2009 disebutkan bahwa pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
a. Adil dan tidak diskriminatif;
b. Cermat;
c. Santun dan ramah;
d. Tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
e. Profesional;
f. Tidak mempersulit;
g. Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h. Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
i. Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j. Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k. Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
l. Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
m. Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
n. Sesuai dengan kepantasan; dan o. Tidak menyimpang dari prosedur.
2.2.4 Standar Pelayanan Publik
Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Standar pelayanan dalam Kep MenPAN No. 63 Tahun 2003 sekurang-kurangnya meliputi:
1. Prosedur pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
2. Waktu penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
3. Biaya Pelayanan
Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
4. Produk pelayanan
Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
5. Sarana dan prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.
6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.
Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari (Lijan, 2010:6) :
1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;
2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisien dan efektivitas;
4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi kebutuhan dan harapan masyarakat;
5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain;
6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Selanjutnya, untuk dapat memberikan pelayanan secara cepat dan tepat, Macaulay dan Cook (dalam Monang Sitorus, 2009:78) menyarankan sebaiknya
menggunakan pendekatan smart. Secara ringkas konsep smart dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Specific, yaitu sasaran itu perlu menyatakan dengan tepat apa yang harus dilakukan dan dicapai, sehingga tiap-tiap orang dapat menilai sendiri apakah mereka telah mencapainya atau belum. Rumusan umum seperti meningkatkan kepuasan pelanggan atau meningkatkan kualitas pelayanan, bukanlah sasaran, melainkan tujuan. Tujuan merupakan sarana yang berguna untuk menetapkan suatu arah umum, tapi bukanlah dasar yang produktif untuk menilai kemajuan.
Sasaran yang spesifik misalnya mengurangi jumlah keluhan para klien yang diterima setiap tahun.
2. Measurable (dapat diukur), yaitu sasaran tidak dapat dijawab dengan sekadar
”ya” atau “tidak” harus dapat diukur dengan suatu cara. Misalnya sasaran yang menyangkut target finansial seperti mejual barang senilai satu miliar rupiah, mengurangi jumlah keluhan pelanggan yang diterima tahun ini menjadi kurang 10% daripada tahun lalu.
3. Achievable (dapat dicapai), yaitu sasaran itu memang dapat dicapai. Tak ada hal yang lebih memerosotkan semangat individu atau kelompok daripada sasaran yang tak mungkin dicapai. Tidak ada, kecuali sasaran yang terlalu mudah dicapai.
Ini merupakan satu alasan untuk melibatkan staf dalam menetapkan sasaran. Staf mungkin mempunyai gagasan yang lebih realistis tentang yang dapat dicapai.
4. Relevant (relevan), yaitu sasaran yang tidak relevan dengan kebutuhan organisasi atau individu adalah percuma serta memboroskan waktu dan sumberdaya.
5. Timed (jelas batas waktunya), yaitu sasaran yang paling konstruktif adalah sasaran mempunyai batas waktu yang jelas. Memberikan pelayanan publik dengan batas waktu selama 7 hari dengan tepat, penentuan batas waktu yang jelas untuk di capai, tetapi juga mengandung mekanisme pengawasan yang melekat.
Selanjutnya, Fitzsimmons dan Fitzsimmons (dalam Lijan, 2010:7) berpendapat terdapat lima indikator pelayanan publik, yaitu realibity (kehandalan),yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar; tangibles (berwujud),yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya;
responsiveness (ketanggapan), yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat; assurance (jaminan), yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, dan empathy (empati), yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.
2.3 Akuntabilitas dan Responsibilitas
Istilah akuntabilitas dan responsibilitas (responsibility) sering didefinisikan sama yaitu pertanggungjawaban. Dalam rangka memahami konsep akuntabilitas sangat dibutuhkan suatu analisis yang jelas dan mendalam sehingga tidak tumpang tindih dengan pengertian responsibilitas.
Akuntabilitas dan responsibilitas saling berhubungan sebagai bagian dari sistem yang menyeluruh. Akuntabilitas didasarkan pada catatan/laporan tertulis sedangkan responsibilitas didasarkan atas kebijaksanaan. Akuntabilitas merupakan sifat umum dari hubungan otoritasi asimetrik misalnya yang diawasi dengan pengawasnya, agen dengan prinsipal, yang mewakili dengan yang diwakili, dan sebagainya. Selain itu, kedua konsep tersebut sebetulnya juga mempunyai perbedaan fokus dan cakupannya.
Responsibilitas mempunyai sejumlah konotasi termasuk di dalamnya kebebasan untuk bertindak, kewajiban untuk memuji dan menyalahkan, dan perilaku baik yang merupakan bagian dari tanggung jawab seseorang. Responsiblitas lebih bersifat internal sebagai pertanggungjawaban bawahan kepada atasan yang telah memberikan tugas dan wewenang, sedangkan akuntabilitas lebih bersifat eksternal sebagai tuntutan pertanggungjawaban dari masyarakat terhadap apa saja yang telah dilakukan oleh para pejabat atau aparat. (http://mohmasun.blogspot.co.id/akuntabilitas-kinerja) 2.3.1 Akuntabilitas
Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, administrasi, politik, perilaku, dan budaya.
Selain itu akuntabilitas juga sangat terkait dengan sikap dan semangat pertanggungjawaban seseorang. Akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam rangka menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance). Aspek- aspek/unsur-unsur utama lainnya terkandung dalam good governance paling tidak adalah:
a. Transparansi yaitu keterbukaan dalam pengelolaan pemerintahan dan pengelolaan lingkungan ekonomi,
b. Partisipasi masyarakat yang bermakna penerapan pengambilan keputusan yang demokratis dan pengakuan atas hak dan kebebasan manusia/ hak azasi manusia (HAM), kebebasan pers, dan kebebasan ekspresi aspirasi masyarakat.
Dari unsur-unsur di atas, akuntabilitas merupakan sufficient condition, sedangkan dua lainnya merupakan necessary condition saja. Artinya aspek/unsur akuntabilitas akan dapat diterapkan apabila aspek transparansi pemerintahan dan
partisipasi masyarakat terselenggara dengan baik dalam pemerintahan. Atau dengan kata lain, akuntabailitas akan dapat terwujud bila transparansi pemerintahan dan partisipasi masyarakat dilaksanakan dengan baik.
Y. Warella (dalam Mohammad, dkk, 2004:26) mengungkapkan bahwa “Dalam suatu masyarakat yang demokratis, para administrator publik harus bekerja dalam suatu sistem akuntabilitas administrasi, tanggap terhadap formula checks and balances, bersedia diperiksa secara lugas oleh auditor resmi dan oleh media massa serta aktivis-aktivis kemasyarakatan serta oleh whistelblowers. Namun, pada instansi terakhir, mereka secara individual bertanggungjawab terhadap kode etik dan perilaku terpuji yang mengikat mereka secara profesional”. Oleh karena itu, pemerintah harus betul-betul menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang mengacu pada penerapaan good governance, harus berlandaskan pada prinsip negara hukum dan demokratis; serta penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari akuntabilitas publik.
Deklarasi Tokyo (1985) mengenai petunjuk akuntabilitas publik (Mohammad, dkk, 2004: 31-32) menetapkan pengertian akuntabilitas sebagai berikut;
Akuntabilitas merupakan kewajiban-kewajiban dariindividu-individu atau penguasa yang dipercaya untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial,dan program.
The Oxford Advance Learner’s Dictionary (dalam Sedarmayanti, 2003:68) menyatakan bahwa akuntabilitas required or expected to give an explanation for one’s action. Artinya adalah, dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk
menyajikan dan melaporkan segala tindak-tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya.
Pertanggungjawaban menurut Kumorotomo (dalam Napitupulu, 2007:74) sebagai proses antar pribadi yang menyangkut tindakan, atau keputusan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain sehingga ia dapat menerima hak dan kewajiban tertentu berikut sanksi yang menjadi konsekuensinya.
Dalam Keputusan MenPAN No. 26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik menyebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban pelayanan publik meliputi : 1. Akuntabilitas Kinerja Pelayanan Publik
a. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik dapat dilihat berdasarkan proses yang antara lain meliputi : tingkat ketelitian (akurasi), profesionalitas petugas, kelengkapan sarana dan prasarana, kejelasan aturan (termasuk kejelasan kebijakan atau peraturan perundang-undangan) dan kedisiplinan;
b. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik harus sesuai dengan standar atau Akta/Janji Pelayanan Publik yang telah ditetapkan;
c. Standar pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, baik kepada publik maupun kepada atasan atau pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah. Apabila terjadi penyimpangan dalam hal pencapaian standar, harus dilakukan upaya perbaikan;
d. Penyimpangan yang terkait dengan akuntabilitas kinerja pelayanan publik harus diberikan kompensasi kepada penerima pelayanan;
e. Masyarakat dapat melakukan penilaian terhadap kinerja pelayanan secara berkala sesuai mekanisme yang berlaku;
f. Disediakan mekanisme pertanggungjawaban bila terjadi kerugian dalam pelayanan publik, atau jika pengaduan masyarakat tidak mendapat tanggapan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
2. Akuntabilitas Biaya Pelayanan Publik
a. Biaya pelayanan dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang telah ditetapkan;
b. Pengaduan masyarakat yang terkait dengan penyimpangan biaya pelayanan publik, harus ditangani oleh Petugas/Pejabat yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan/Surat Penugasan dari pejabat yang berwenang.
3. Akuntabilitas Produk Pelayanan Publik
a. Persyaratan teknis dan administratif harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan keabsahan produk pelayanan;
b. Prosedur dan mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
c. Produk pelayanan diterima dengan benar, tepat, dan sah.
Di samping itu, pelaksanaan akuntabilitas dilingkungan instansi pemerintah, menurut Sedarmayanti (2003: 70-71) perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Komitmen pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel.
2. Beberapa sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh.
5. Jujur, objektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah.
2.3.2 Responsibilitas
Menurut Kohler (dalam Mohammad, dkk, 2004: 34), responsibiltas dapat didefinisikansebagai penerimaan atas wewenang yang diserahkan, dan juga kewajiban untuk secara hati-hati melaksanakan wewenang yang diserahkan melekat pada fungsi seseorang atau group yang berpartisipasi pada aktivitas atau kebijakan organisasi.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut, ada beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan. Pertama, responsibilitas itu berhubungan dengan wewenang. Ini berarti orang yang memiliki responsibilitas harus memiliki wewenang, sebab wewenang itulah yang menentukan dan membatasi responsibilitasnya. Kedua, responsibilitas berkaitan dengan kewajiban (obligation) untuk melaksanakan wewenang yang diterimanya. Ketiga, kewajiban yang harus dilaksanakan akan berkaitan dengan fungsi dari orang yang memiliki wewenang di dalam organisasi. Ini berarti,
wewenang yang dimiliki harus sesuai dengan tugas dan fungsi yang harus dilaksanakannya.
Responsibilitas merupakan kemampuan organisasi untuk mengatur sejauhmana pemberian layanan telah berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang diberlakukan atau prosedur yang telah diatur. Responsibilitas mengukur tingkat pastisipasi pemberi layanan melaksanakan tugasnya. Responsibilitas adalah ukuran yang menunjukkan sejauh mana proses pemberian pelayanan publik dilakukan sesuai dengan prinsip- prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar telah ditetapkan.
Responsibilitas menurut Frederick merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator publik untuk menjalankan tugasnya. Islmay dalam bukunya mengatakan bahwa responsibilitas subyektif lebih mengedepankan nilai-nilai etis dan kemanusiaan yang terangkum dalam equity (hak menurut keadilan/kewajaran), equality (persamaan hak), fairness (kejujuran) untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan tugas administrasi lainnya.
Dalam sebuah hasil kajian tahun 2006 mengenai pengembangan ukuran penilaian Good Executive Governance (GEG) yang menghasilkan indikator dalam prinsip responsibilitas, yaitu :
1. Kejelasan tanggung jawab dan wewenang.
2. Memiliki komitmen untuk melaksanakan tanggung jawab dan wewenang.
3. Memiliki kebijakan pengelolaan SDM (sumber daya manusia).
4. Memiliki kebijakan pengelolaan keuangan.
5. Memiliki kebijakan pengelolaan sarana prasarana.
6. Memiliki kebijakan mengenai metode kerja.
Responsibilitas merupakan standar dalam pengukuran kualitas dari sebuah pelayanan publik, sebagaimana (dalam Dwiyanto, 2014:143-144) menyebutkan bahwa untuk menilai kualitas pelayanan publik itu sendiri, terdapat sejumlah indikator yang dapat digunakan. Produk pelayanan publik di dalam negara demokrasi setidaknya harus memenuhi tiga indikator yaitu responsiveness, responsibility, dan accountability.
1. Responsivitas, adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan.
2. Responsibilitas, adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan.
3. Akuntabilitas, adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma- norma yang berkembang dalam masyarakat.
Responsibilitas adalah kunci dari konsep pengembangan etika dalam peranan administrasi. Menurut pengamatan Frederick Mosher (dalam Terry L.
Cooper,1998:66) mungkin menjadi kata yang paling penting dalam semua kosakata di dalam administrasi publik dan privat. Dua aspek utama dari konsep tersebut, seperti apa yang didefinisikan oleh Mosher, adalah menggunakan responsibilitas subjektif dan responsibilitas objektif.
2.3.2.1 Jenis Reponsibilitas
Dua jenis responsibilitas yang dapat ditemukan adalah terkadang disebut sebagai responsibilitas subjektif dan responsibilitas objektif. Responsibilitas objektif harus dilakukan dengan tuntutan dari luar diri kita, sedangkan responsibilitas subjektif yaitu terfokus pada hal-hal yang membuat seseorang merasa bertanggung jawab. (Terry L.Cooper, 1998 : 66)
Mosher, 1968 dan Winter, 1966 menyebutkan bahwa terdapat dua jenis responsibilitas yaitu (dalam Terry L.Cooper, 1998 : 66) :
1. Objective responsibility
Bentuk spesifik dari responsibilitas objektif menyangkut dua dimensi yaitu akuntabilitas dan kewajiban. Semua hal mengenai responsibilitas objektif melibatkan pertanggungjawaban kepada seseorang atau badan kolektif, dan tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu, bawahan, dan terhadap pencapaian tujuan. Bermula pada akuntabilitas dan berakhir dengan kewajiban. Akuntabilitas dan kewajiban menyangkut responsibilitas kepada orang lain, hal ini adalah dimensi ganda dari responsibilitas objektif administrasi.
Dalam hal kepentingan umum kewajiban adalah hal yang lebih mendasar dan akuntabilitas adalah cara untuk memastikan pemenuhan kewajiban dalam sebuah tingkatan struktur. Akuntabilitas menyiratkan hubungan bawahan dan atasan dan kewenangan dari atas ke bawah dalam mengatur kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama. (Terry L. Cooper, 1998:67)
Dua aspek responsibilitas objektif dalam konteks organisasi dan politik pada administrasi publik, dapat ditegaskan hubungan dari responsibilitas yang diciptakan antar aktor dalam proses kebijakan. Hal ini akan memperjelas hubungan di dalam
akuntabilitas dan juga hubungan di dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar.
Dalam responsibilitas objektif terdapat dua dimensi yang terkait yakni akuntabilitas dan kewajiban akan terlihat sejauhmana pertanggungjawaban aktor dalam organisasi publik menjalankan kewajibannya.
Responsibilitas objektif dalam pemenuhan dimensi akuntabilitas dan kewajiban tersebut dapat dilihat melalui proses pertanggungjawaban sebagai berikut (Terry L.Cooper, 1998:67) :
1. Administrator publik bertanggung jawab langsung kepada atasan di dalam organisasi dalam melaksanakan arahan atau tujuan yang telah disepakati dan untuk mengarahkan bawahan.
2. Administrator publik bertanggung jawab untuk pejabat terpilih untuk melaksanakan keinginan sebagaimana yang termaktub dalam kebijakan publik yang terlaksana.
3. Administrator publik bertanggung jawab untuk warga dalam hal sikap, pemahaman, preferensi, tuntutan, dan kepentingan lainnya.
Objective responsibility, yaitu menyangkut dua dimensi responsibilitas:
akuntabilitas dan kewajiban, administrator publik harus bertanggung jawab atas kewajiban dari tugas yang dibebankan kepadanya. Beberapa indikator yang kemudian dapat dilihat sejauhmana proses pertanggungjawaban dari seorang administrator dalam menjalankan kewajibannya, yaitu dapat dilihat dari 3 macam pelaksanaan kewajiban untuk pemenuhan tanggung jawab berikut ini :
a. Bertanggung jawab atas pimpinan dalam hukum yang berlaku.
Hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada pimpinan dengan mematuhi peraturan yang berlaku sebagai salah satu masalah dalam responsibilitas objektif. Seseorang dianggap perlu untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keinginan pimpinan dalam arti pimpinan memiliki kekuasaan penuh atas diri bawahan. Responsibilitas objektif melibatkan akuntabilitas kepada orang lain dan pemenuhan kewajiban bagi standar tertentu yang berlaku dalam sebuah kategori kinerja. Hal ini disebut objektif ketika sumber dari akuntabilitas dan kewajiban terdapat di luar diri pribadi. Responsibilitas objektif bukanlah hasil dari serangkaian keputusan yang dibuat tentang apa yang seharusnya dilakukan melainkan mengalir dari keputusan orang lain tentang apa yang diinginkannya di dalam posisi yang diemban dan apa yang harus dilakukan. Responsibilitas objektif umumnya menekankan pada kewajiban yang harus dijalankan bagi semua orang yang menduduki setiap jenis jabatan atau posisi tanpa ada upaya untuk mendahulukan kebutuhan individual, keterbatasan, preferensi, atau pelaksanaan kewajiban tertentu.
Sebagai administrator publik, responsible to the law atau responsible terhadap hukum atau peraturan yang mengatur organisasi dan perilaku merupakan salah satu bentuk mewujudkan responsibilitas objektif. Hukum sebagai sumber objektif dari responsibilitas seorang administrator publik seperti halnya : aturan dan kebijakan organisasi, uraian tugas resmi, dan standar profesional. Pada akhirnya, responsible terhadap hukum menjadi kewajiban di dalam menegakkan konstitusi. Konstitusi dan beberapa pasal yang mengikat kepada warga negara yang bekerja pada pelayanan publik perlu untuk dilaksanakan. Responsibel terhadap hukum adalah pedoman dan
acuan bagi organisasi publik dan pelayanan publik bahwa mereka berada dan bekerja atas nama publik.
b. Bertanggung jawab terhadap atasan dan bawahan.
Selain hukum terdapat banyak sumber objektif dari responsibilitas seorang administrator publik seperti halnya : aturan dan kebijakan organisasi, uraian tugas resmi, dan standar profesional. Namun, di samping hukum, responsibilitas objektif yang paling menonjol dialami adalah struktur pertanggungjawaban berjenjang dari organisasi tempat bekerja, seperti tanggung jawab kepada atasan organisasi dan tanggung jawab untuk pelaksanaan kewajiban bawahan.
Hierarki atau tingkatan adalah struktur yang bersifat formal dan bagian dari responsibilitas. Rantai komando dengan perwakilan berjenjang dari sebuah responsibilitas adalah sarana dari peraturan yang diperkirakan dalam program dan pelayanan.
c. Bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Bentuk ketiga dari responsibilitas objektif adalah kewajiban untuk melayani kepentingan publik. Apakah dengan sumpah jabatan, kode etik, atau mandat, semua administrator publik bertanggung jawab untuk menilai perilaku mereka dalam hal kepentingan umum. Hasilnya adalah administrator publik dihadapkan dengan berbagai alternatif untuk mewujudkan kepentingan umum, bebas melaksanakannya dan diharapkan untuk melayani kepentingan umum meskipun jauh dari dasar dan bagian responsibilitas objektif, baik itu dalam hal kemauan dari pejabat terpilih dalam hukum yang berlaku atau komando di setiap rantai organisasi.
2. Subjective responsibility
Di luar dari berbagai kewajiban yang merupakan salah satu dimensi responsibilitas, terdapat perasaan dari dalam diri dan keyakinan tentang responsibilitas itu sendiri. Responsibilitas objektif muncul dari tuntutan hukum, organisasi, dan masyarakat dalam peran sebagai administrator publik, tetapi responsibilitas subjektif berakar pada keyakinan tentang kesetiaan, hati nurani, dan identifikasi. Responsibilitas subjektif dalam melaksanakan peran administrasi mencerminkan jenis etika profesi yang dikembangkan melalui pengalaman pribadi.
Percaya untuk mentaati hukum sehingga didorong oleh hati nurani untuk bertindak dengan cara tertentu, bukan karena diwajibkan oleh supervisor untuk melakukannya atau hukum itu sendiri tetapi karena dorongan batin yang terdiri dari keyakinan, nilai- nilai, dan karakter yang kemudian dipahami sebagai kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu. Responsibilitas subjektif menyangkut tingkat kesetiaan, nilai- nilai, dan juga karakteristik.
Perasaan dan keyakinan tentang tanggung jawab kepada seseorang atau sesuatu yang muncul dari proses sosialisasi. Hal tersebut adalah manifestasi dari nilai-nilai, sikap, dan keyakinan yang telah diperoleh dari keluarga, sekolah, masyarakat, agama, teman, pelatihan profesional, dan keterlibatan di dalam organisasi.
Tanggung jawab subjektif berakar pada keyakinan yang menentukan dasar dalam bertindak yang disebut sebagai nilai-nilai, lebih atau kurangnya dijabarkan sebagai prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip ini menghubungkan nilai-nilai di dalam melakukan sesuatu. Ketika menghadapi masalah dan isu-isu, nilai-nilai, dan prinsip- prinsip yang terkait menimbulkan perasaan dan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu, atau untuk mencari pemenuhan dari beberapa tujuan tertentu.
2.4 Definisi Konsep
Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. (Singarimbun dan Efendi,2009:17). Berdasarkan pengertian tersebut, maka peneliti mengemukakan definisi dari konsep penelitian ini adalah:
1. Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat maupun Daerah, dan di Lingkungan kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandailing Natal dalam hal pelayanan pembuatan E-KTP dan KK untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Responsibilitas merupakan kemampuan organisasi untuk mengatur sejauhmana pemberian layanan telah berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang diberlakukan atau prosedur yang telah di atur. Responsibilitas mengukur tingkat pastisipasi pemberi layanan melaksanakan tugasnya. Responsibilitas adalah ukuran yang menunjukkan sejauh mana proses pemberian pelayanan publik dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar telah ditetapkan.
Yang menjadi indikator dalam mengukur responsibilitas antara lain : 1. Objective responsibility
a. Bertanggung jawab atas pimpinan dalam hukum yang berlaku.
b. Bertanggung jawab terhadap atasan dan bawahan.
c. Bertanggung jawab terhadap masyarakat.
3. Subjective responsibility a. Loyal
b. Nilai c. Karakter 2.5 Hipotesis Kerja
Hipotesis kerja disusun berdasarkan atas teori yang dipandang handal. Oleh karena itu, berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan diatas, penulis merumuskan hipotesis kerja: “responsibilitas yang dimiliki pelayan publikdalam menjalankan kewajibannya pada pengurusan E-KTP dan KK di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mandiling Natal, meliputi; Objective responsibility dan Subjective responsibility.”
2.6 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri dari landasan teori, definisi konsep dan sistematika penulisan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis data yang digunakan dalam penelitian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan gambaran umum mengenai daerah penelitian.
Serta berisikan data-data yang diperoleh selama penelitian di lapangan dan dokumen-dokumen yang akan dianalisis kemudian memberikan interpretasi atas permasalahan yang diteliti.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan dan saran-saran yang dianggap perlu sebagai rekomendasi kebijakan.