• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Untuk Memperoleh Gelar. Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Untuk Memperoleh Gelar. Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH :"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : ELVIRA HARDI

150200198

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM KEPERDATAAN BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

NIM : 150200198

Departemen : Hukum Keperdataan

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Terhadap Dampak Keterlambatan Pencatatan Akta Kelahiran (Studi Kasus Di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Pemerintahan Kota Medan)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar dan tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggungjawab saya .

Demikian penyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun.

Medan, Juli 2019

Elvira Hardi NIM. 150200198

(4)

kemampuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga skripsi ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul : Tinjauan Yuridis Terhadap Dampak Keterlambatan Pencatatan Akta Kelahiran (Studi Kasus Di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Pemerintahan Kota Medan).

Penulis juga manusia biasa yang tidak lepas dari kekurangan maka dari itu penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis akan sangat berterimakasih jika ada kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini dengan segala hormat penulis ingin untuk mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menolong penulis dan telah banyak meluangkan waktunya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah merahmati beliau.

7. Bapak Syamsul Rizal, SH.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Prof. Dr.Tan Kamelo, SH.,M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah merahmati beliau.

9. Bapak Eko Yudhistira, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah merahmati beliau.

10. Ibu Dr. Idha Apriliana Sembiring, SH,M.Hum., selaku Dosen PA penulis dari semester I sampai semester akhir.

11. Seluruh Dosen Pengajar yang mengabdikan diri mengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala perkuliahan penulis selama menjalani urusan perkuliahan.

(6)

Hartiani, Fitri Arianty, Nuradila Margolang), Kakak Wahyu Agustina dan Annisa Hafizah, Akhwatifillah Rahimahullahu ta’ala (The Ghurobah), sahabat-sahabat penulis di perkuliahan Alviami Ghina Asyraf, Nazli Pratiwi Dalimunthe, Kurratul Akyun, Aprilia Sari D. Nst, Ayu Anisa, Siti Hanna Zahro, Siti Alawiyah, Retno Noviyanti, Siti Rokhimah, Rahmi Khairina, Melisa Lanniari Lubis, Siti Rahmadhani Hutasuhut, Juwita Antasari, Susi Tinambunan, Wella Erizal, Avinda, Sarah Pratiwi P. Siregar, Somaya Permata Hati, Benedicta, Keluarga Besar BTM Aladdinsyah SH, Kelompok Klinis (Rezki Uli Arafah, Nurul Qoedatul, Khairunnisa, Rahmat Anshar, Ichsan Aulia, Rally Aditya, Fajar Ramadhan) dan juga Grup F Ang. 2015 dan semua Sahabat Penulis lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis.

14. Adik-adik Penulis (Elravi Hardi dan Elvahri Syah Hardi) dan seluruh keluarga penulis yang selalu mendoakan, memotivasi dan juga memberi bantuan dalam bentuk materi dan moral

15. Tidak lupa penulis ucapkan Penghargaan tertinggi dan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Orang Tua Saya Tercinta, Ayahanda Erik Darius Hardi dan Ibunda Sundari Syahman, yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang yang tak terbatas kepada saya, selalu setia mendoakan saya dan memberikan motivasi kepada saya, serta dengan penuh kerelaan hati

(7)

perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata.

Medan, Juli 2019

Elvira Hardi

(8)

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.LATAR BELAKANG ... 1

B.RUMUSAN MASALAH ... 10

C.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 10

D.METODE PENELITIAN ... 11

E.TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 15

F. KEASLIAN PENULISAN ... 34

G.SISTEMATIKA PENULISAN ... 37

BAB II URGENSI DAN KAITANNYA KETERLAMBATAN PENDAFTARAN AKTA KELAHIRAN DI DINAS CATATAN SIPIL DENGAN STATUS HUKUM ANAK MENURUT HUKUM DI INDONESIA ... 39

A. TINJAUAN UMUM PENCATATAN AKTA KELAHIRAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 24TAHUN 2013TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN ... 39

1. Pengertian Pencatatan Akta Kelahiran... 39

2. Jenis Akta Kelahiran ... 44

(9)

1. Pengertian Status Hukum Anak ... 54

2. Hubungan Antara Orang Tua dan Anak ... 58

C. URGENSI DAN KETERKAITAN PENCATATAN AKTA KELAHIRAN TERHADAP STATUS HUKUM ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23TAHUN 2006TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN ... 67

1. Tinjauan Umum Atas Pentingnya Pendaftaran Akta Kelahiran Terhadap Status Hukum Anak ... 67

2. Akta Kelahiran Sebagai Bentuk Perlindungan Dan Kepastian Hukum Si Anak ... 72

BAB III PROSES PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN YANG TERLAMBAT DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN PECATATAN SIPIL PEMERINTAH KOTA MEDAN ... 77

A. PROSEDUR PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN... 77

1. Syarat-Syarat Administrasi Pembuatan Akta Kelahiran ... 77

2. Tahapan-Tahapan Dalam Pembuatan Akta Kelahiran ... 85

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KETERLAMBATAN MENDAFTARKAN AKTA KELAHIRAN ANAK DI KOTA MEDAN. ... 90

1. Faktor Internal ... 90

2. Faktor Eksternal ... 97

(10)

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PERDATA ... 99

1. Sanksi Administratif Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan ... 99

2. Konsekuensi Yuridis Terhadap Orang Tua Yang Terlambat Mendaftarkan Akta Kelahiran ... 101

B. SOLUSI DALAM MENCEGAH DAN MENYELESAIKAN MASALAH KETERLAMBATAN PENCATATAN AKTA KELAHIRAN ... 102

BAB V PENUTUP ... 109

A. KESIMPULAN... 109

B. SARAN ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 114 LAMPIRAN

(11)

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya keterlambatan pencatatan akta kelahiran di kota Medan yang menimbulkan dampak yuridis bagi anak maupun orang tua. Berdasarkan hal tersebut yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah urgensi dan kaitannya keterlambatan pendaftaran akta kelahiran di dinas catatan sipil dengan status hukum anak menurut hukum di Indonesia, proses pembuatan akta kelahiran yang terlambat di dinas kependudukan dan pecatatan sipil pemerintah kota Medan, dan dampak yuridis dari keterlambatan pencatatan akta kelahiran.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Penelitian hukum ini didasarkan fakta yuridis yang berlaku di dalam masyarakat, relevan bagi kehidupan hukum dan berdasarkan pengetahuan dari sumber data sekunder yang sebelumnya telah diteliti dan telah ada. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis dan eksplanatif yaitu memaparkan dan menjelaskan akibat hukum dari keterlambatan pencatatan akta kelahiran berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, serta menemukan kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai akibat hukum keterlambatan pencatatan akta kelahiran.

Pembahasan dalam skripsi ini yaitu membahas pentingnya akta kelahiran dan kaitannya keterlambatan akta kelahiran terhadap status hukum anak , proses dalam pendaftaran akta kelahiran yang terlambat, dampak yuridis keterlambatan akta kelahiran. Kesimpulan pokok yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah bahwa akta kelahiran memiliki hubungan yang erat terhadap status hukum anak, tidak ada perbedaan proses pembuatan akta kelahiran yang terlambat, keterlambatan pencatatan akta kelahiran berdampak sanksi administratif dan memberikan konsekuensi yuridis terhadap orang tua. Adapun yang menjadi saran dari skripsi ini adalah bahwasanya permerintah harus lebih meningkatkan lagi pelayanan publik dan memberikan penyuluhan yang lebih rutin kepada masyarakat kota Medan mengenai pentingnya akta kelahiran.

Kata Kunci : anak, akta, akta kelahiran

*) Mahasiswa Dept. Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(12)

Aristoteles (384-322 sebelum M.), seorang ahli fikir Yunani-Kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial. Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat.4

Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya dan melanjutkan keturunan, hal tersebut tidak dapat dilakukan manusia seorang diri melainkan harus bersama pasangannya (lawan jenisnya) untuk hidup bersuami- istri menciptakan keluarga yang bahagia.

Secara sosiologis, keluarga diartikan sebagai unit kehidupan terkecil dari suatu masyarakat karena suatu perkawinan. Keluarga merupakan awal dai pembentukan kebudayaan kolektif, yang dibawa oleh kebudayaan individual dari pasangan suami-istri. Melalui ikatan perkawinan yang sah terbentuk suatu keluarga. Dalam suatu keluarga, dapat saja terdiri dari suami dan istri, suami, istri,

4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, 2013, Jakarta, Balai Pustaka, hlm. 29.

(13)

anak-anak. Dikatakan demikian, karena secara realistis hukum empiris, tidak semua perkawinan membuahkan anak keturunan. Pentingnya keluarga sebagai bentuk pergaulan hidup manusia dapat dilihat dari relegius, sosial-budaya, ekonomi, hukum, politik, dan administrasi pemerintahan.5

Keluarga yang terdiri dari suami istri telah memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya, terlebih lagi jika suami istri tersebut mendapatkan amanah terbesar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu seorang anak. Anak adalah dambaan suatu keluarga dalam sebuah perkawinan yang sah, baik itu sebagai generasi penerus ayah dan ibunya, sebagai orang yang kelak mengurus orang tuanya. Anak adalah harta dunia dan akhirat bagi orang tuanya. Selain itu anak merupakan aset bangsa yang akan meneruskan cita-cita bangsa yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, oleh karena itu anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh berkembang secara normal baik jasmani, rohani maupun lingkungan sosial mereka.

Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Jelas bahwa fungsi konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi menjadi dasar legitimiasi dari semua perbuatan perundang-undangan dan sekaligus perbuatan hukum yang dilakukan oleh negara, aparat pemerintahan, dan anggota masyarakat.6

Pemerintah wajib meningkatkan seluruh bentuk dari kepentingan masyarakatnya, dan untuk itu pemerintah diharuskan untuk aktif berperan penting

5 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, 1981, Bandung, Alumni, hlm. 4.

6 M. Dimyati Hartono, Lima Langkah Membangun Pemerintahan Yang Baik, 1997, Jakarta Selatan, Ind.Hill-co, hlm. 4

(14)

mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat, untuk melaksanakan hal tersebut, maka dari itu pemerintah dilimpahkan suatu pelayanan publik atau public service.7

Salah satu jenis pelayanan publik yang mendasar yakni dibidang administrasi kependudukan, karena berhubungan dengan keberadaan individu sebagai warga Negara Indonesia. Hal ini menyangkut Pelayanan dalam bidang administrasi kependudukan merupakan salah satu pelayanan yang memiliki banyak pekerjaan seperti melayani kartu tanda penduduk, akta nikah, kartu keluarga, akta kelahiran, akta kematian, yang kemudian dikhususkan pada akta kelahiran.

Umumnya kedudukan hukum seseorang dimulai pada saat ia dilahirkan dan akan berakhir pada ia meninggal dunia. Sedangkan peristiwa kelahiran sampai dengan peristiwa kematian tersebut akan menimbulkan akibat-akibat hukum yang sangat penting tidak saja yang bersangkutan dengan diri sendiri tetapi dapat menyangkut orang-orang yang ada di sekitarnya. Sebuah surat tanda bukti diri adalah hal yang penting demi kedudukannya dalam hukum dan kepastian hukum.

Dalam menentukan status seseorang maka 5 buah kejadian, yaitu : 1. Kelahiran,

2. Pengakuan (terhadap kelahiran) 3. Perkawinan,

4. Perceraian dan 5. Kematian.

7 S.F. Marbun. Dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, 2000, Yogyakarta, UII-Press, hlm. 73.

(15)

Merupakan hal yang penting dan perlu karena dengan demikian orang dapat dengan mudah memperoleh kepastian akan kejadian-kejadian tersebut. 8

Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Administrasi Kependudukan, menyatakan peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Segala bentuk peristiwa penting tersebut harus masuk ke dalam pencatatan sipil dalam administrasi kependudukan. Berdasarkan pengertian mengenai peristiwa penting kependudukan tersebut terlihat jelas bahwa kelahiran merupakan suatu peristiwa yang merupakan bagian dari administrasi kependudukan.

Kelahiran merupakan peristiwa hukum yang memerlukan adanya suatu peraturan yang tegas, jelas dan tertulis sehingga tercipta kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya adalah peraturan mengenai kelahiran. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan menyatakan :

Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.

8 R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, 1986, Bandung, Alumni, hlm. 5

(16)

Peristiwa kelahiran itu perlu mempunyai bukti yang autentik, karena untuk membuktikan identitas seseorang yang pasti dan sah adalah dapat kita lihat dri akta kelahiran yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang berwenang mengeluarkan akta tersebut.9 Instansi yang berwenang mengeluarkan akta kelahiran adalah kantor catatan sipil yang berada di bawah pemerintah daerah setingkat kabupaten atau kota.10

Lembaga pencatatan sipil yang ada sekarang adalah berkelanjutan dari negeri Belanda yang dinamakan Burgerlyke Stand. Yang dimaksud dengan Burgerlyke Stand adalah sebuah lembaga yang diadakan oleh pemerintah Belanda yang bermaksud membukukan selengkap mungkin dan memberikan kepastian hukum tentang semua peristiwa penting seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan anak dan kematian. Lembaga pencatatan sipil di negeri Belanda berasal dari Perancis. Lembaga ini telah ada sejak revolusi Perancis. Catatan sipil di Perancis pada waktu itu diselenggarakan oleh pendeta yang dalam hal ini pendeta di Perancis sebelum abad ke 18 telah menyediakan daftar untuk perkawinan, kelahiran, kematian, dan lainnya. 11

Pencatatan sipil di Perancis kemudian diambil alih oleh pemerintah yang kemudian di berlakukan di negeri Belanda dan wilayah penjajahan Belanda termasuk Hindia Belanda. di Batavia (Jakarta) catatan sipil telah ada sejak tahun 1820, meskipun secara de jure tahun 1850 yang disesuaikan dengan kedudukan

9 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Catatan Sipil Di Indonesia, Ed.1, Cet.2, 1996, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 40.

10 Henry S. Siswosoediro, Mengurus Surat-surat Kependudukan (Identitas Diri), 2008, Jakarta, Visimedia, hlm. 20.

11 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., 1996, hal. 15.

(17)

kota Jakarta itu sendiri. Namun dalam pelaksanaannya hanya diperuntukkan kepada beberapa golongan penduduk saja.12

Pemberlakuan catatan sipil oleh pemerintah Belanda tersebut sesuai dengan politik hukum pemerintah dan penggolongan penduduk di Hindia Belanda sesuai dengan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staats Regeling. Menurut ketentuan tersebut penduduk di Hindia Belanda dibagi kedalam tiga golongan penduduk dengan pemberlakuan aturan hukum yang berbeda kepada masing-masing golongan itu. Sebagai akibat dari politik pemerintah Hindia Belanda, maka aturan pencatatan sipil di Indonesia yang berlaku bagi penduduk tidak seragam aturan hukumnya, yaitu:

1. Reglemen Catatan Sipil Stb.1849-25 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa.

2. Reglemen Catatan Sipil Stb.1917-130 jo.Stb.1919-81 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian bagi warga Negara Indonesia keturunan Cina.

3. Reglemen Catatan Sipil Stb.1933-75 jo. Stb. 1936-607 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian bagi warga Negara Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura, Minahasa, Ambon, dan sebagainya.

4. Reglemen Catatan Sipil Stb.1904-279 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian bagi warga Negara Indonesia perkawinan campuran.

5. Reglemen Catatan Sipil Stb.1920-751 jo. Stb.1927-564 tentang Pencatatan Kelahiran dan Kematian bagi warga Negara Indonesia asli di Jawa dan Madura.13

12 H. Soekarno, Mengenal Administrasi dan Prosedur Catatan Sipi, 1985, Jakarta, Coriena, hlm.

19.

(18)

Sesuai dengan ketentuan tersebut diatas, pencatatan sipil di Indonesia masih bersifat pluralisme hukum. Hal ini membawa akibat terjadi kesimpangsiuran pemahaman dan pelaksanaan pencatatan sipil itu sendiri. Untuk keseragaman pencatatan sipil, maka Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 Tentang Penataan Dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil, mengintruksikan agar penyelenggara pencatatan sipil diseragamkan dalam pelaksanaannya. Keputusan presiden ini ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota Di Indonesia. Dalam Pasal 4 ayat (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut diterapkan 3 tipe organisasi kantor pencatatan sipil yaitu:

1. Organisasi Kantor Catatan Sipil Tipe A 2. Organisasi Kantor Catatan Sipil Tipe B 3. Organisasi Kantor Catatan Sipil Tipe C

Selanjutnya dalam rangka keseragaman pencatatan sipil di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Dalam hal ini pemerintah menganggap bahwa masalah pencatatan sipil merupakan bagian dari tertib administrasi kependudukan, sehingga diatur bersama-sama dengan permasalahan yang menyangkut pendaftaran penduduk.

Untuk melaksanakan undang-undang tersebut pemerintah juga telah

13 M. Jafar, Analisis Pencatatan Sipil Ditinjau Dari Hukum Perdata, diunduh dari http://www.academia.edu/17537433/Hukum_perdata-pencatatan_sipil, pada tanggal 09 Februari 2019 Pukul 10.10

(19)

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, serta Peraturan Presiden Republik Indonesia. 14

Sebuah akta kelahiran dapat merubah kehidupan seseorang, akta kelahiran menjadi sebuah bukti bahwa benar anak tersebut adalah anak dari si fulan dan fulanah, saat di dunia pendidikan akta kelahiran menjadi syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendaftarkan anak ke lembaga pendidikan, dan saat melamar pekerjaan maka biasanya akta kelahiran adalah dokumen yang wajib untuk disertakan dalam surat lamaran, banyak sekali manfaat dari sebuah akta kelahiran terlebih lagi pada program-program pemerintah seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dimana akta kelahiran anak merupakan dokumen yang dilampirkan untuk bisa mendaftarkan diri. Selain hal-hal yang penulis sebut diatas masih banyak peristiwa-peristiwa yang membutuhkan akta kelahiran.

Namun masih banyak masyarakat yang enggan untuk mengurus akta kelahiran dengan tepat waktu maksudnya tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran anak, anggapan masyarakat proses pembuatan akta kelahiran atau pun surat-surat penting tersebut sangat berbelit dan panjang, pemikiran tersebut juga penulis akui adalah sebuah kebenaran dan menjadi rahasia umum. Ibu Adisty sebagai Kepala Sub Bagian Penyusunan Program di Dinas Kependudukan dan

14 Ibid.

(20)

Pencatatan Sipil Pemerintahan Kota Medan mengatakan dalam wawancaranya

“Biasanya baru ngurus akta kelahiran kalau sudah terdesak atau ada kepentingan kayak mau pendaftaran akpol, cpns nah baru ngurus, itulah orang. Sistem kita udah online jadi kita kehubung ke pusat kalau udah banyak kali yang daftar servernya down, pasti lama jadinya”15. Dari wawancara tersebut penulis menangkap banyak masyarakat kita yang kurang peduli tentang akta kelahiran maupun akta lainnya, saat mereka butuh mereka mengambil jasa calo yang bisa dikatakan mahal.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jabarkan seperti yang diatas, penulis akan melakukan penelitian yang bersangkutan terhadap dampak yang timbul apabila sebuah kelahiran terlambat dicatatkan yang penulis tuangkan dalam skripsi penulis dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DAMPAK KETERLAMBATAN PENCATATAN AKTA KELAHIRAN (STUDI KASUS DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL PEMERINTAHAN KOTA MEDAN).

15 Wawancara dengan Ibu Adisty selaku Kepala Sub Bagian Penyusunan Program Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintahan Kota Medan Tanggal 08 Februari 2019.

(21)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apa urgensi dan kaitannya keterlambatan pendaftaran akta kelahiran di dinas catatan sipil dengan status hukum anak menurut hukum di Indonesia?

2. Bagaimana proses pembuatan akta kelahiran yang terlambat di dinas kependudukan dan pencatatan sipil pemerintah kota Medan?

3. Apa dampak yuridis dari keterlambatan pencatatan akta kelahiran?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab masalah-masalah yang diangkat yakni sebagai berikut :

a. Untuk menjelaskan urgensi dan kaitannya keterlambatan pendaftaran akta kelahiran di dinas catatan sipil dengan status hukum anak menurut hukum di Indonesia

b. Untuk menjelaskan proses pembuatan akta kelahiran yang terlambat di dinas kependudukan dan pecatatan sipil pemerintah kota Medan

c. Untuk menjelaskan dampak yuridis dari keterlambatan pencatatan akta kelahiran.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan berguna untuk menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak, yaitu diantaranya sebagai berikut :

(22)

a. Manfaat secara teoritis

Hasil penelitian akan menguatkan teori bahwa suatu norma hukum wajib ditaati karena norma hukum itu akan menjadi bermanfaat apabila benar-benar diterapkan dan dilaksanakan, khususnya mengenai pelaksanaan pencatatan akta kelahiran yang terlambat. Selain itu hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan referensi dan pengkajian lebih lajut di dunia ilmu hukum.

b. Manfaat secara praktis

Secara praktis diharapkan penelitian ini menjadi sebuah masukan baik untuk masyarakat dan juga membantu dalam meyelesaikan permasalahan terkait keterlambatan akta kelahiran bagi pemerintah yang dalam hal ini adalah dinas kependudukan dan pencatatan sipil pemerintahan kota Medan.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisa hukum yang tertulis di dalam buku ( law as it written in the book )16 atau menurut Soerjono Soekanto penelitian normatif adalah metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang- undangan17.

16 Taufik H. Simatupang, Pemihakan Dan Pemilihan Atas Penelitian Hukum Doktrinal Dan Non Doktrinal, diunduh dari ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Formil/article/viewFile/764/697, pada tanggal 09 Februari 2019 Pukul 10.23.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, 2008, Jakarta, Raja Grafindo Perdasa, hlm. 14.

(23)

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan hukum yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang diteliti.18 Sifat penelitian ini juga bersifat eksplanatif yang menjelaskan kaidah-kaidah hukum yang ada untuk memberikan jawaban atas pemasalahan yang diteliti.

3. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah pendekatan yuridis, yaitu suatu pendekatan yang terhadap hubungan antara faktor- faktor yuridis (hukum positif).

Penelitian dengan pendekatan yuridis dilaksanakan dengan melalui tahapan sebagai berikut :

1. Inventarisasi terhadap peraturan yang mencerminkan kebijaksanaan pemerintah di bidang peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan tentang administrasi kependudukan yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

18 Ibid hlm. 23.

(24)

2. Menganalisis perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang telah diinventarisir tersebut untuk mengetahui sejauhmana peraturan perundang- undangan tersebut di atas, sinkron baik secara vertikal dan horizontal.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian lapangan ( Field Reasearch)19 yang dilakukan dengan cara : Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung dan terstruktur dengan narasumber/ instansi terkait ( Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemerintahan Kota Medan ).

b. Penelitian kepustakaan ( library research)20, yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.

1. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan administrasi kependudukan, yaitu:

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

c. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil.

19 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, 2010, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 21.

20 Abdurrahman Fathoni, Metodelogi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, 2006, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 95-96.

(25)

d. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2012 Tentang Pedoman Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak.

e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran.

f. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Adminstrasi Kependudukan.

2. Yurisprudensi.

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.21

5. Analisis Data

Analisis dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan interpretasi secara logis, sistematis dan konsisten sesuai dengan teknik yang dipakai dalam pengumpulan data dan sifat data yang diperoleh. Setelah semua data yang berkaitan dengan penelitian ini dikumpulkan, kemudian dilakukan abstraksi dan rekonstruksi terhadap data tersebut, selanjutnya disusun secara sistematis sehingga akan diperoleh gambaran yang komprehensif mengenai cara penyelesaian permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, 2018, Jakarta, Raja Grafindo Perdasa, hlm. 13.

(26)

E. Tinjauan Kepustakaan 3. Tinjauan Umum Anak

Haditono berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya.

Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.22 Selain itu, Anak- anak adalah ahli waris bagi kedua orang tuanya, oleh karenanya pendidikan, dan berbuat baik pada mereka, serta mengarahkan mereka ke arah yang baik merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh orang tua terhadap anaknya.23 Beberapa peraturan yang ada di Indonesia juga memberikan definisi-definisi anak sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pengertian anak diatur di dalam Pasal 42, yaitu anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) memberikan definisi anak yaitu “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

22 Admin, Pengertian Anak Sebagai Makhluk Sosial, 2012, diakses melalui http://www.duniapsikologi.com/pengertian-anak-sebagai-makhluk-sosial/, pada tanggal 09 Februari 2019 Pukul 14.56.

23 Ahmad Isa Asyur, Kewajiban dan Hak Ibu, Ayah, dan Anak Pengugah Setiap Insan Selaku Anak, 1993, Bandung, CV Diponegoro, hlm. 12.

(27)

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Memberikan batasan pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Seperti yang terdapat dalam Pasal 330 yang berbunyi “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.”

e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Dalam Pasal 1 ayat (5) didefenisikan bahwa Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

f. Pengertian anak menurut Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Right of The Child)

Anak menurut konvensi hak anak adalah sebagai berikut:

“Anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut Undang-Undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.

Berdasarkan beberapa pengertian yang terdapat diatas, definisi seorang anak dalam tiap-tiap hukum yang berlaku adalah berbeda-beda. Namun dalam pengertian secara umum yang dimaksud dengan anak adalah sesuatu yang baru

(28)

tumbuh yang belum mencapai usia tertentu, dimana masih memerlukan perlindungan serta pembinaan dari mereka yang telah dewasa dan berakal.24 1. Anak Sah dan Anak Luar Kawin

a. Anak Sah

Seorang anak dapat dikatakan anak sah, jika anak yang dilahirkan dari kedua orang tuanya yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Anak sah sama dengan anak kandung yang mendapatkan posisi yang istimewa terhadap kedua orang tuanya bila dibandingkan dengan anak luar kawin atau anak tidak sah.25

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenal istilah anak yang dilahirkan dalam perkawinan, anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan, dan anak yang dilahirkan di luar perkawinan.26 Pasal 42 undang-undang ini memberikan pengertian tentang anak sah yang bunyinya sebagai berikut :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Maka dari ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa anak yang sah adalah:

1) Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan 2) Kelahirannya harus dari perkawinan yang sah

3) Bapak dan ibunya telah resmi terikat dalam suatu perkawinan yang sah

24 D. Y. Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, 2012, Jakarta, Prestasi Putra Karya, hlm. 20.

25 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Jakarta, Rajawali Pers, 2014, hlm. 8.

26 Tan Kamello dan Syarifah Liza Andriati, Hukum Orang Tua dan Keluarga, 2011, Medan, USU Press, hlm. 67-68.

(29)

Menurut Hilman Hadikusuma, yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.27

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo seorang anak adalah sah jika lahir dalam suatu perkawinan yang sah atau karena adanya perkawinan yang sah.

Seorang anak yang dilahirkan selama perkawinan makaa wanita yang melahirkan adalah ibunya dan pria yang mengawini yang membenihkan anak tersebut adalah ayahnya.28

Ketentuan tentang asal-usul anak diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Disebutkan dalam ketentuan itu, bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

b. Anak Luar Kawin

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak terikat dengan ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama yang dianutnya.29

2. Hak Anak

27 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 95.

28 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, 1986, Jakarta, Airlangga University Press, hlm. 28-29.

29 Skripsi Indri Hafni Paramita Harahap, Pelimpahan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Kepada Bapak Akibat Perceraian, FH USU, 2010, Medan, hlm. 45.

(30)

Menurut Bernhard Winscheid hak adalah suatu kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan dan yang diberikan oleh tertib hukum dan sistem hukum yang bersangkutan.30

Dalam Pasal 1 butir ke 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hak anak meliputi:31

1. Hak hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi

2. Hak atas nama dan identitas kewarganegaraan 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya 4. Hak mengetahui orangtuanya

5. Hak memperoleh kesehatan jasmani, rohani, mental dan spritual 6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran

7. Hak untuk didengar pendapatnya 8. Hak berkreasi

9. Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri dan bnyak lainnya

30 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak , 2009, Bandung, Mandar Maju, hlm. 29.

31 Ibid., hlm. 16-17.

(31)

Melalui Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa identitas setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya dan pada ayat (2) mengatakan bahwa identitas yang dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

Hak-hak anak dalam bidang hukum perdata diatur secara garis besar : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak.

4. Peraturan Pemenntah Nomor 27 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Pra Sekolah.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Sekolah.

6. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Pertama Tentang Orang.

7. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.32 4. Tinjauan Umum Akta

Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.33

32 Skripsi Christian Mikhael Parsaoran Damanik, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dan Wanita Sebagai Penumpang Angkutan Umum (Studi : Perum Damri Cabang Medan), FH USU, 2014, Medan, hlm. 26.

33 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, 1979, Yogyakarta, Liberty, hal.

106.

(32)

Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat.34

A. Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut : “surat-surat yang ditandatangani dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat”.35

Akta memiliki arti selain “surat” yang sengaja dibuat dan dijadikan sebuah alat bukti seperti yang para sarjana definisikan. Contohnya pada pasal 108 KUH Perdata, yang berbunyi:

Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam

“akta” atau dengan izin tertulis dari suaminya.

Menurut R. Subekti, kata akta dalam pasal 108 KUH Perdata tersebut di atas bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.36 Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata “acta”

merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan.37

Kesimpulan yang dapat kita tarik bahwasanya yang dimaksud dengan akta adalah:

34 S. J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, 1951, Jakarta, N. V. Gronogen, hlm. 9.

35 M. Isa Arif, Pembuktian dan Daluwarsa, 1978, Jakarta, Intermasa, hlm. 52.

36 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, 1980 , Jakarta, Intermasa, hlm. 29.

37 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, 1980, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 9.

(33)

a. Perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/ digunakan sebagai bukti

perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.38

Dari definisi tersebut di atas, jelas bahwa tidaklah semua surat dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru dapat disebut akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat dapat disebut akta adalah:39

1. Surat itu harus ditandatangani.

Keharusan ditandatangani sesuatu surat untuk dapat disebut akta ditentukan dalam pasal 1869 KUH Perdata, yang berbunyi:

Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak”

Dari pasal tersebut, jelas bahwa suatu surat untuk dapat disebut akta, harus ditandatangani dan jika tidak ditandatangani oleh yang membuatnya, maka surat itu adalah surat bukan akta. Dengan demikian, jelas bahwa tulisan-tulisan yang tidak ditandatangani kendatipun diperuntukkan untuk pembuktian, seperti karcis kereta api, recu, dan lain-lain tidak dapat disebut akta. Tujuan dari keharusan ditandatangani surat untuk dapat disebut akta adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta, sebab tandatangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang tidak mungkin sama dengan tandatangan orang lain.

38 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit., 1996, hlm. 50.

39 Ibid., hlm. 26-28.

(34)

2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan.

Sesuai dengan peruntukkan sesuatu akta sebagai alat pembuktian demi kepentingan siapa surat itu dibuat, maka jelas bahwa surat itu harus berisikan suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan. Peristiwa hukum yang dapat disebut dalam surat itu dan yang dibutuhkan sebagai alat pembuktian haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan. Jika suatu peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu dapat menjadi dasar suatu hak atau perikatan, atau jika surat itu sama sekali tidak memuat suatu peristiwa hukum yang dapat menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, maka surat itu bukanlah akta, sebab tidaklah mungkin surat itu dapat dipakai sebagai alat bukti.

5. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti

Syarat ketiga agar suatu surat dapat disebut akta adalah surat itu harus diperuntukkan sebagai alat bukti. Apakah suatu bukti surat dibuat untuk menjadi bukti tidak selalu dapat dipastikan, demikian halnya mengenai sehelai surat, dapat menimbulkan keraguan. Surat yang ditulis oleh seorang pedagang untuk menegaskan suatu perstujuan yang telah dibuat secara lisan, adalah suatu akta, karena ia dibuat untuk pembuktian.

Akta dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yakni akta autentik dan akta di bawah tangan, hal ini dapat dilihat pada pasal 1867 KUH Perdata dengan bunyi:

“pembuktian dengan tulisan ilakukan dengan tulisan-tulisan autentik maupun dengan tulisan di bawah tangan”

(35)

a. Akta Autentik

Mengenai akta autentik diatur dalam pasal 165 HIR, yang bersamaan bunyinya dengan pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu”.40

Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg memuat pengertian dan kekuatan pembuktian akta autentik sekaligus. Pengertian akta autentik dijumpai pula dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi: “suatu akta autentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris yang berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang- Undang Jabatan Notaris41, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta autentik, yaitu:42

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku) 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum.

40 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, 1996, Jakarta, Erlangga, hlm. 42.

41 M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, 2005, Jakarta, Swa Justitia, hlm. 152.

42 Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Autentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hlm. 3

(36)

Dikemukakan pula oleh Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta autentik, yaitu:43

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang 2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum

3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

Menurut C. A. Kraan, akta autentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:44 1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

3. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut.

43 Irawan Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, 2003, Surabaya, Arkola, hlm. 148.

44 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, 2007, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 3-4.

(37)

4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

5. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

b. Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta.45

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam pasal 1869 KUH Perdata.46

Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi di dalam Rbg ada diatur dalam pasal 286 sampai dengan pasal 305 dan dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 1874 sampai dengan pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 Nomor 29.

45 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit, 1996, hlm. 36.

46 Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.”

(38)

Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta autentik dengan akta di bawah tangan adalah:47

a. Akta autentik mempunyai tanggal yang pasti;

b. Grosse dari akta autentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial

c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta autentik.

Di samping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta autentik dan akta di bawah tangan, seperti:48

a. Akta autentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian.

b. Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas

“acta publica probant seseipsa”, sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir.

Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu:49

a. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth)

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa

47 G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit, 1996, hlm. 46-47.

48 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit, 1996, hlm. 37-38.

49 Ibid, hlm. 109.

(39)

suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya.

Akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas

“acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta autentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

b. Kekuatan pembuktian formil (Formil Bewijskracth)

Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta autentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.50

c. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth)

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.51

3. Tinjauan Akta Kelahiran

Lembaga catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, serta pembuktian yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya

50 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.Cit, 1996, hlm. 111.

51 Ibid, hlm. 113.

(40)

serta memberi kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan kematian.52

Akta Catatan Sipil ialah alat bukti yang kuat atas peristiwa (kejadian) untuk memperoleh kepastian hukum dari status keperdataan seseorang yang mengalami peristiwa hukum tersebut dan membantu/memperlancar aktivitas pemerintah dibidang kependudukan dan pencatatan tersebut dilakukan oleh lembaga catatan sipil.53

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1983 Pasal 5 ayat (2) lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan akta adalah lembaga catatan sipil, dijelaskan dalam ayat (2) pasal ini Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan :

a. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran.

b. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan.

c. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian.

d. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan/pengesahan anak.

e. Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendefinisikan akta kelahiran sebagai berikut :54

Akta kelahiran adalah bentuk identitas setiap anak yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Hak atas identitas

52 I Nyoman Budijaya, Catatan Sipil Di Indoensia Suatu Tinjauan Yuridis, 1987, Surabaya, Bina Indra Karya, hlm. 9.

53 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, 2012, Bandung, hlm. 46.

54 Tim KPAI, Akta Kelahiran Adalah Hak Setiap Anak Indonesia, Batalkan UU Yang Persulit Pembuatan Akta Kelahiran, 2013, diakses melalui http://www.kpai.go.id/tinjauan/akta-kelahiran- adalah-hak-setiap-anak-indonesia-batalkan-uu-yang-persulit-pembuatan-akta-kelahiran/, pada tanggal 12 Februari 2019 Pukul 20.19

(41)

merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan seseorang di depan hukum.

Negara Indonesia adalah sebuah negara hukum yang harus menjamin segala bentuk hak masyarkatnya dilindungi dan memberikan kepatian hukum yang jelas terhadap peristiwa hukum yng dialami oleh masyarakat negara ini.

Demikianlah beberapa pengaturan tentang akta kelahiran, sebagai berikut :

1. Berdasarkan U ndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Bagian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur tentang akta kelahiran mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Dasar hukum bagi pelaksanaan HAM di negara ini pun sudah cukup jelas dicantumkan dalam setiap hukum positif yang berlaku, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ( Pasal 28D ), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, dan berbagai ratifikasai penegakan HAM yang sudah diundangkan. Hal itu berarti, dalam undang-undang tersebut secara eksplisit juga menerapkan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk anak sebagai warga negara (masyarakat). Hak ini kemudian dijabarkan lagi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 5, 27 dan 28, Undang-Undang Nomor 23

(42)

Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 27, serta Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Pasal 5.55

2. Berdasarkan Convention on the Rights of the Child ( Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia ada tahun 1990).56

Pasal 9 konvensi PBB mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan.

Dalam kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 15 huruf a menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Kemudian kovenan hak-hak sipil dan politik, hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat (3). Karena setiap anak yang lahir harus didaftarkan sebagai bukti awal kewarganegaraannya, maka Convention on the Rights of the Child (CRC) yang secara spesifik mengatur kebutuhan anak menjadi acuan yuridis untuk menganalisis persoalan ini. Pasal 7 huruf c menyatakan anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak memperoleh kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 8 menegaskan bahwa negara menghormati hak anak atas

55 Davit Setyawan, Pemenuhan Hak Anak Atas Akta Kelahiran Merupakan Bagian Dari Hak Sipil Yang Harus Dilindungi Konstitusi, 2014, diakses melalui http://www.kpai.go.id/artikel/pemenuhan-hak-anak-atas-akta-kelahiran-merupakan-bagian-dari- hak-sipil-yang-harus-dilindungi-konstitusi/, pada tanggal 12 Februari 2019 Pukul 20.21

56 Ibid.

(43)

kewarganegaraannya. Konvensi ini menghimbau agar dilaksanakan pendaftaran kelahiran gratis bagi semua anak dan merupakan tujuan yang dapat dicapai oleh semua negara.

3. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pencatatan kelahiran adalah akta atau catatan autentik yang dibuat oleh pegawai catatan sipil berupa catatan resmi tentang tempat dan waktu kelahiran anak, nama anak, dan nama orang tua anak secara lengkap dan jelas, serta status kewarganegaraan anak.

4. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam undang-undang ini pengertian akta kelahiran tidak diatur secara berbeda dengan pengaturan lain namun undang-undang tersebut mengatur secara spesifiik tentang penulisan akta serta syarat penulisan akta jika terjadi anak luar kawin dan anak hasil pernikahan sah bedasarkan agama bukan negara . Pengaturan akta dalam kasus tersebut ialah :57

Perkawinan yang dilangsungkan di depan pemuka agama berdasarkan ketentuan hukum tanpa dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan (dalam hal ini Kantor Urusan Agama), maka perkawinan tersebut adalah termasuk perkawinan siri (di bawah tangan). Meski secara agama perkawinan tersebut sah, namun menurut hukum Indonesia perkawinan tersebut tidak sah karena tidak dicatatkan. Akibatnya, anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah siri status

57 Diana Kusuma Sari, Akta Kelahiran untuk Anak Kawin Siri, 2011, diakses melalui https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4576/mendapatkan-akta-kelahiran-tanpa-surat- kawin, pada tanggal 12 Februari 2019 Pukul 20.23

(44)

hukumnya sama dengan anak luar kawin yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya ( Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.). Jadi, anak yang lahir dari kawin siri secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak.

Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan siri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak).

5. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam undang-undang tersebut tidak menjelaskan apa yang di maksud dengan akta kelahiran namun dari beberapa pasal ( pasal 1 butir 8,17,15,dan 24 ) bisa di simpulkan bahwa undang-undang administrasi kependudukan mengartikan akta kelahiran adalah dokumen resmi yang berisi peristiwa kelahiran yang dialami oleh seseorang.dan di terbitkan oleh instansi pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

6. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

(45)

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam undang-undang perlindungan anak pengaturan tentang akta kelahiran di jelaskan dalam Pasal 27 sampai Pasal 28 dijelaskan bahwa identitas pada anak harus dituangkan dalam bentuk akta kelahiran yang di berikan sejak lahir. Dalam pembuatan akta kelahiran harus berdasarkan surat keterangan dari orang yang membantu proses kelahiran anak tersebut , apabila anak tersebut tidak diketahui siapa dan dimana keberadaan orang tuanya maka pembuatan akta kelahiran dibuat berdasarkan surat keterangan orang yang menemukan anak tersebut. Selanjutnya Dalam pasal 28 menjelaskan pemerintah yang bertanggung jawab dalam pembuatan akta kelahiran tersebut, serta menjelaskan bahwa pembuatan akta kelahiran tidak di kenakan biaya.

F. Keaslian Penulisan

Keaslian suatu penulisan dalam proses pembuatan suatu karya ilmiah berbentuk skripsi merupakan salah satu bagian terpenting yang tidak terpisahkan dari kesempurnaan sehingga sebelumnya perlu dipastikan pernah tidaknya penelitian mengenai judul skripsi ini dilakukan oleh pihak lain. Berdasarkan penelusuran yang sudah dilakukan, adapun judul skripsi yang memiliki beberapa kemiripan namun judul dan juga permasalahan yang diangkat berbeda antara lain :

1. Nama : EKA SUBRATA GANTARA HUTABARAT

NIM : 090200189

(46)

Judul : Studi Tentang Penerbitan Akta Catatan Sipil Oleh Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Medan Berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Rumusan Masalah :

1. Bagaimana penerbitan akta catatan sipil menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan ?

2. Bagaimana prosedur penerbitan akta catatan sipil oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan ?

3. Akibat hukum apa yang timbul bagi pemegang akta yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ?

2. Nama : HARI SETIAWAN SEMBIRING

NIM : 100200302

Judul : Analisis Yuridis Tentang Akta Kelahiran Bagi Anak Yang Belum Terdaftar Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Studi Kecamatan Medan Denai) Rumusan Masalah :

1. Bagaimana pengaturan pencatatan kelahiran bagi anak ditinjau dari administrasi kependudukan ?

2. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran akta kelahiran di Kecamatan Medan Denai ?

3. Bagaimana analisa terhadap akta kelahiran bagi anak yang belum terdaftar studi kecamatan medan denai menurut undang-undang Nomor23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan ?

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun kebebasan beragama secara jelas telah diatur, namun pada kenyataannya sekarang ini masih banyak masyarakat dunia yang tidak mengamalkan dan

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

Meskipun hak ulayat diatur dalam UUPA, pihak Keraton tidak memilih status hak ulayat sebab melalui hak ulayat Keraton hanya bisa memberikan tanah dalam jangka waktu tertentu

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah)”, dan hukuman bagi para pelaku yang merupakan orang terdekat korban juga diatur dalam Undang-Undang ini yang terdapat pada ayat (3) Pasal

Angkutan Udara (Pesawat) memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh penumpang untuk menyimpan barang bawaan mereka yaitu bagasi. Namun