• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAKAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) BAGI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL TEHADAP ANAK

MENURUT PERSEPSI APARAT PENEGAK HUKUM (STUDI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI

MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

NURLIZA FITRIYANI BR. ANGKAT 130200397

Departemen: HukumPidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

ABSTRAK

Dr. Muhammad Hamdan, S.H.,M.H1 Dr. Mohammad Ekaputra, S.H.,M.Hum

2

Nurliza Fitriyani Br. Angkat3

1 Dosen Pembimbing I

2 Dosen Pembimbing II

3 Penulis/Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia.

Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak memaksa pemerintah berfikir keras untuk menemukan solusinya. Hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menerapkan tindakan kebiri kimia yang kini telah disahkan menjadi Undang-undang. Terkait hal ini, aparat penegak hukum selaku pihak yang memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum turut mendapat sorotan dan harapan dari masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah pandangan aparatur penegak hukum terhadap tindakan kebiri bagi pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak?, Apakah kesulitan yang akan di hadapi aparatur penegak hukum jika tindakan kebiri bagi pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak diterapkan?, Bagaimanakah penjatuhan tindakan kebiri bagi pelaku tindak pidana seksual terhadap anak menurut persepsi hukum islam?. Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Serta menggunakan beberapa alat bantu untuk penelitian ini berupa kuesioner dan wawancara.

Adapun hasil penelitian dari permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah aparat penegak hukum menyatakan bahwa tindakkan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dipandang tepat untuk dijadikan sebagai hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan. Beberapa kesulitan yang ditemukan dalam proses penegakan hukuman ini adalah sulit untuk mencari eksekutor tindakan ini, sulit untuk bekerjasama dengan masyarakat serta sinergitas antar sesama aparat penegak hukum. Sementara itu, berbeda dengan hukum positif Indonesia hukum islam dengan tegas menyatakan bahwa segala bentuk kebiri yang dilaksanakan kepada manusia adalah haram hukumnya. Karena islam juga sudah memiliki pengaturan dan hukuman yang jelas atas segala kejahatan kesusilaan yang

Kata Kunci: Kebiri Kimia, Kejahatan Seksual terhadap Anak, Aparat Penegak Hukum

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil a’lamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat-NYA kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada baginda alam, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah berjuang dengan segala keikhlasannya untuk membawa ummatnya dari jaman kegelapan menuju jaman yang terang benderang dengan dipenuhi oleh iman dan islam.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapaun judul yang penulis angkat sebagai judul skripsi penulis adalah “TINDAKAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) BAGI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL

TERHADAP ANAK MENURUT PERSEPSI APARAT PENEGAK HUKUM (STUDI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI MEDAN)”.

Sesungguhnya dalam proses penyelesaian skripsi ini, cukup banyak tantangan dan hambatan yang penulis temukan dan rasakan. Namun semua hambatan dan kesulitan tersebut Alhamdulillah dapat penulis atasi berkat dukungan, nasihat serta motivasi dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, insya Allah.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis baik secara

(4)

moril maupun materil selama proses penyelesaian hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai. Kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf-staf pembantu Dekan.

2. Bapak Dr. OK Saidin, S.H,M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum universitas Sumatera Utara. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H.,M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Liza Erwina, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing I yang telah sangat banyak memberikan bimbingan, masukan, dan arahan, dan nasehat kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah sangat banyak memberikan bimbingan, masukan, arahan, motivasi dan nasehat kepada penulis serta selalu bersedia direpotkan oleh penulis selama proses penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen/staff Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terkhusus para dosen yang telah mengajar

(5)

penulis pada semester I dan telah mencurahkan ilmunya serta membantu penulis selama masa perkuliahan.

8. Ucapan terimakasih yang teristimewa kepada ayah dan ibu penulis, Bapak Drs. H. Tekki Angkat dan Ibu Nurhamidah Harahap, S.Pd yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh keikhlasan dan tanpa rasa pamrih. Ayah, ibu terimakasih yang mendalam kakak ucapkan atas ketulusan dan kasih sayang yang ayah dan ibu telah berikan serta seluruh dukungan moril maupun materil yang juga telah ayah dan ibu berikan selama ini kepada kakak. You both know how much i love you mom and dad, thanks a lot for everything.

9. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada adik-adik penulis, Ainul Mardhiyah Angkat, Nurul Hilmi Angkat dan Rizqi Zam-zami Angkat yang telah berusaha menjadi adik-adik yang baik dan memahami serta memberikan semangat kepada penulis selama ini terkhusus selama proses penulisan skripsi ini berlangsung, serta kepada seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

10. Kepada teman-teman seperjuangan Stambuk 2013 terkhusus Grup B yang selama hampir 2 tahun selalu hadir dalam hari-hari penulis, rekan-rekan seperjuangan penulis dalam departemen Hukum Pidana, terkhusus Pengurus dan BPH Imadana, terimakasih atas semua proses yang telah dan akan kita lalui demi IMADANA yang lebih baik lagi.

11. Kepada seluruh rekan-rekan, adinda-adinda dan kakanda-kakanda penulis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan KOHATI HMI Komisariat Fakultas Hukum USU yang selama ini telah banyak memberikan ilmu dan

(6)

pengetahuan yang tidak akan pernah penulis dapatkan di dalam bangku perkuliahan, terkhusus kepada seluruh rekan-rekan kepengurusan Periode 2015-2016 serta 2016-2017 semoga apa yang telah kita kerjakan selama ini menjadi nilai ibadah untuk kita semua. Yakin Usaha Sampai teman- teman!

12. Terimakasih kepada rekan-rekan serta seluruh keluarga besar Badan Ta’mirul Mushollah (BTM) Aladdinsyah S.H, keluarga besar Komunitas Peradilan Semu (KPS) FH USU terkhusus kepengurusan perode 2015- 2016, serta keluarga besar Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah (IKRH) atas doa dan dukungan serta semangat yang telah kalian berikan.

Akhir kata penulis memohon maaf apabila ada kesalahan baik melalui perkataan maupun perbuatan. Semoga kiranya apa yang telah penulis tuliskan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

Medan, Desember 2016

NURLIZA FITRIYANI BR. ANGKAT

(7)

DAFTAR ISI

Abstrak………...……… i

Kata Pengantar ………. ii

Daftar isi………....………... vi

Daftar Tabel... viii

BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang ……….………... 1

B. Rumusan Masalah.………... 10

C. Tujuan Penulisan ………...………. 10

D. Manfaat Penulisan……….. 11

E. Keaslian Penulisan………...…………... 11

F. Tinjauan Kepustakaan ………... 12

G. Metode Penelitian ………....……….. 44

BAB II :

PANDANGAN APARAT PENEGAK HUKUM TERHADAP TINDAKAN KEBIRI KIMIA BAGI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

A. Sejarah Kebiri Dan Penerapannya Dibeberapa Negara ………... 53

B. Metode Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia ... 63

C. Pandangan Aparat Penegak Hukum Terhadap Tindakan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak…… 73 BAB III :

KESULITAN YANG AKAN DI HADAPI APARAT

PENEGAK HUKUM JIKA TINDAKAN KEBIRI

KIMIA BAGI PELAKU KEJAHATAN

KESUSILAAN TERHADAP ANAK DITERAPKAN

(8)

A. Dampak Tindakan Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak……… 90 B. Kesulitan Aparat Penegak Hukum dalam Penerapan Tindakan

Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak………... 98

BAB IV :

TINDAKAN KEBIRI KIMIA BAGI PELAKU

KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK MENURUT PERSEPSI HUKUM ISLAM

A. Kejahatan Seksual Menurut Hukum Islam... 107 B. Kejahatan Seksual Terhadap Anak Menurut Persepsi Hukum

Islam... 130 C. Tindakan Kebiri menurut Hukum Islam………... 134

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan... 140 B. Saran... 141 DAFTAR PUSTAKA ... 143

(9)

DAFTAR TABEL

NO TABEL JUDUL TABEL HALAMAN

Tabel 1 Daftar negara-negara yang telah memberlakukan hukuman kebiri

59

Tabel 2 Metode eksekusi tindakan kebiri kimia menurut Aparat Penegak Hukum

66

Tabel 3 Pandangan aparat penegak hukum terhadap tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak

75

Tabel 4 Alasan tindakan kebiri dipandang tepat diberikan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak

76

Tabel 5 Pandangan aparat penegak hukum terhadap adanya rasa keadilan bagi korban atas tindakan kebiri kimia bagi pelaku

78

Tabel 6 Tindakan kebiri kimia sebagai suatu pelanggaran HAM menurut aparat penegak hukum

80

Tabel 7 Perlindungan bagi anak sebagai korban terhadap tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak menurut aparat penegak hukum

84

Tabel 8 Pandangan aparat penegak hukum terkait tindakan kebiri kimia sebagai suatu cara untuk mengurangi angka kejahatan seksual terhadap anak

87

Tabel 9 Pandangan aparat penegak hukum mengenai efek buruk tindakan kebiri kimia terhadap kesehatan pelaku

kejahatan seksual terhadap anak

94

Tabel 10 Pandangan aparat penegak hukum mengenai efek buruk terhadap psikologi atas tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak

95

Tabel 11 Pandangan aparat penegak hukum mengenai dampak tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak

96

Tabel 12 Kesulitan aparatur penegak hukum dalam penerapan tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak

99

Tabel 13 Komunikasi atau upaya memahamkan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu faktor kesulitan

102

(10)

menurut aparat penegak hukum

Tabel 14 Hubungan kerjasama antar aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor kesulitan menurut aparat penegak hukum

104

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara dimasa mendatang.

Agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk kekerasan pada anak perlu dicegah dan di atasi.4

Anak sebagai generasi penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhannya secara memadai. Mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindak kekerasan dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka tumbuh serta berkembang secara sehat dan wajar. Hal ini tentu saja perlu dilakukan agar dikemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang (The Lost Generation).5

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia.Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi

4Abu Huraerah, Child Abuse (kekerasan terhadap anak), (Bandung ,Penerbit NUANSA : 2007), hal. 11

5Ibid, Hal. 30

(12)

potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.6

Menurut hukum pidana,pengertian anak lebih diutamakan pada pemahaman terahadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang sebjek hukum yang normal. Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.7

Perlindungan terhadap anak, merupakan hak asasi yang harus diperoleh anak.

Sehubungan dengan hal ini, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945), menentukan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pernyataan dari Pasal tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa dan anak-anak dalam mendapat perlindungan

6Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1.

7http://www.kompasiana.com/alesmana/definisianak_55107a56813311573bbc6520 diakses pada : sabtu, 05 november 2016 pukul 20.32 WIB

(13)

hukum. Masalah perlindungan hukum terhadap anak, bukan saja menjadi masalah hak asasi manusia, tetapi lebih luas lagi adalah masalah penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan.8

Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang sayang anak, ternyata hal ini cuma mitos. Banyak kasus pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak yang tidak ditangani dengan serius oleh penegak hukum. Bahkan aktivis anti- kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak pun terkesan pilih-pilih kasus.

Anak laki-laki yang menjadi korban sodomi pun cenderung diabaikan.

Realita yang terjadi dewasa ini justru sangat bertentangan dari kehidupan ideal seorang anak. Anak yang seharusnya merupakan harahapan hidup suatu bangsa dan membutuhkan perlindungan dari orang dewasa dikarenakan alasan fisik dan mental anak yang belum dewasa dan matang justru menjadi objek kejahatan yang didalangi oleh orang-orang dewasa yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak. Fakta yang banyak terjadi adalah anak dijadikan budak, diperjual belikan, dijadikan sebagai pekerja kasar, objek seksual orang dewasa, dijadikan sebagai pekerja seks komersial, ditelantarkan dijalanan sehingga ia hidup dari jalanan yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan karakter seorang anak sebagai penjahat, preman, pengemis, pengamen dan sebagainya. Di usia mereka yang masih sangat dini dan membutuhkan kasih sayang dan perhatian serta bimbingan penuh, sebagian dari mereka justru sudah merasakan kelamnya kehidupan.

9

Berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan disamping KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),

8 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung, PT Refika Aditama: 2014) Hal. 13

9Abu Huraerah, Op.Cit, hal: 13

(14)

juga ada UU Nomor 17 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang- Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perangkat hukum ini mengatur bahwa terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak terdapat sanksi yang berat, sehingga pelaku jera dan orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama. Namun, harapan tersebut sampai sekarang masih sebatas “harapan dalam mimpi” dan persoalan-persoalan tentang tindakan-tindakan kekerasan terhadap anak Indonesia khususnya di Sumatera Utara, masih terus berlanjut dan menunjukkan skala yang meningkat pada setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena terhadap para pelaku tindak kekerasan, tidak dipidana berat. Ada pelaku tindak kekerasan terhadap anak hanya dijatuhi pidana penjara dibawah 1 (satu) tahun, bahkan lebih ringan dari 1 (satu) tahun.10

Dewasa ini, berdasarkan dampak arus globalisasi yang kian berkembang pesat, kasus kekerasan terhadap anak tidak lagi hanya sebatas hal-hal yang telah disebutkan di atas, lebih dari itu kasus eksploitasi seksual terhadap anak oleh orang dewasa justru kian memanas dan merebak menjadi suatu penyakit dalam masyarakat yang obatnya belum bisa ditemukan. Salah satu bentuk kejahatan kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan pedofilia. Pedofilia adalah manusia dewasa yang memiliki perilaku seksual menyimpang dengan anak-anak.

Kata itu berasal dari bahasa Yunani, paedo (anak) dan philia (cinta).11

10Maidin Gultom, Op.Cit, hal. 12

11Evy Rachmawati, Sisi Kelam Pariwisata di PulauDewata,http://www.kompas.com/

kompascetak/0509/28/humaniora/2083218.htm. diakes pada : sabtu, 05 november 2016 pukul 22.12 WIB

Belakangan sering kita mendengar kasus-kasus terkait eksploitasi seksual

(15)

terhadap anak yang juga disertai dengan kekerasan semakin menjadi-jadi seakan para pelaku sudah benar-benar tidak takut terhadap hukum yang ada dan memandang anak hanya sebagai pemuas nafsu seksual dengan melupakan hakikat seorang anak yang sebenarnya.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di salah satu sekolah swasta di jakarta yang dilakukan oleh dua orang guru disekolah tersebut kepada anak didiknya tentu masih segar untuk diingat, sangat miris sekali ketika mengetahui bahwa hal keji ini terjadi dilingkungan sekolah yang notabene adalah tempat untuk menimba ilmu. Pemberitaan kasus pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS) Jakarta belum usai, kasus baru kembali terungkap di Sukabumi. Anak di bawah umur (berkisar 6-11) tahun kembali menjadi korban pelecehan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh AS alias emon. Hingga saat ini sudah 110 orangtua korban, melaporkan ke Polres Sukabumi untuk meminta pertanggungjawaban emon si predator anak itu. Jumlah itu diperkiran dapat terus meningkat mengingat aksi si pelaku sudah dilakukan sejak 2006 silam. Modus (cara melakukan) aksi dari kejahatannya cukup tidak mencurigakan, karena pelaku ada disekitar korban. Hal ini berarti bahwa pelaku bukanlah orang asing bagi korban, namun bisa jadi sebagai teman bermain, teman bercanda, bertukar cerita. Anak (calon korban) sengaja dibuai oleh pelaku dengan iming-iming uang jajan, permen, dan ditemani bermain. Namun niat jahat di predator tetap ada.

Ketika ada waktu yang tepat, pelaku menjalankan aksinya untuk memuaskan nafsu birahinya (kelainan seksnya) pada korban.12

12

Saat ini emon tengah menjalani masa hukuman akibat perbuatannya setelah mendapatkan vonis 17 tahun penjara

http://www.kompasiana.com/beniharmoni/waspadaipredatoranak_54f764aea333111 8368b47cc, diakses pada : Minggu, 06 November 2016 pukul 23.40 WIB

(16)

oleh Majelis Hakim atas kasus tersebut. Tidak hanya berhenti pada kasus kekerasan seksual terhadap anak pada JIS dan Emon, kedua kasus tersebut justru merupakan pintu merebaknya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang semakin sering terjadi seakan para pelaku tidak takut dengan payung hukum yang telah ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa kejadian ini sangat meresahkan dan mengancam pertumbuhan serta perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.

Di Indonesia jumlah anak-anak yang menjadi korban tindak pidana kejahatan seksual menurut catatan resmi ILO (International Labour Organization) dan diperkuat oleh UNICEF (United Nation Children’s Fund) mencapai 70.000 orang anak setiap tahunnya.13 Sumatera Utara, khususnya kota Medan termasuk dalam kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Sepanjang tahun 2013 Kelompok Kerja (Pokja) Perlindungan Anak Sumut dan Kota Medan mencatat terdapat 12.679 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 23 kabupaten/kota.14

13

Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut mencatat kasus pelecehan seksual menjadi kasus tertinggi kedua yang ditangani.

Jenis kasus anak yang diadukan ke KPAID sepanjang tahun 2012 meliputi hak kuasa asuh (55 kasus). Kekerasan seksual (52 kasus), anak berhadapan dengan hukum (24 kasus), serta Penelantaran (22 kasus). Tahun 2013 hak kuasa asuh sebanyak 62 kasus, kekerasan seksual 54 kasus. Anak berhadapan dengan hukum

http://mappifhui.org/2016/03/01/menguji-euforia-kebiri-catatan-kritis-atas-rencana- kebijakan-kebiri-chemical-castration-bagi-pelaku-kejahatan-seksual-anak-di-indonesi. diakses pada : selasa, 8 November 2016 pukul 22.40 WIB

14http://sumutpos.co/medan-darurat-kejahatan-seksual-terhadap-anak/. Diakses pada : selasa, 8 November 2016 pukul 23.50

(17)

25 kasus dan pelantaran sebanyak 18 kasus.15 Laporan kekerasan terhadap anak yang dilaporkan pada tahun 2015 dari 70 kasus yang dilaporkan sebanyak 51,4 persen (36 kasus) adalah kekerasan seksual.16 Sedangkan Selama Januari hingga Maret 2016 sebanyak 28 kasus pengaduan kekerasan seksual telah diterima.

Pengaduan kekerasan seksual yang diterima berasal dari Medan, Deliserdang, Serdang bedagai dan lainnya. Dari jumlah itu didominasi laporan Kota Medan.

Hampir 50 persen pengaduan kekerasan seksual dari Kota Medan disuusul kemudian pada urutan kedua Deliserdang.17

Pandangan terhadap lemahnya hukum dan penegakannya dapat menjadi salah satu faktor yang dijadikan celah bagi para predator anak tersebut untuk terus bergrilya menjadikan anak-anak sebagai objek pemuas nafsu seksualnya. Padahal

Peningkatan angka kejahatan seksual terhadap anak saat ini menjadi suatu polemik yang membutuhkan perhatian khusus dari masyarakat dan aparat penegak hukum khususnya. Hukuman yang telah ada seakan tidak dipandang oleh para pelaku kejahatan seksual terhadap anak tersebut. Penegakan hukuman yang telah tersedia juga masih terbilang belum maksimal. Banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang di putus oleh hakim tidak sesuai dengan yang seharusnya dan tentu berdampak pada kekecewaan dari pihak korban dan masyarakat, selain itu pelaku merasa tidak takut sama sekali dan tidak terbebani untuk mengulangi kejahatannya disebabkan oleh hukuman yang tertulis tidak sesuai realita yang ia terima.

15http://harian.analisadaily.com/jentera/news/pemerintah-keluarkan-jurus-hukuman- kebiri/241611/2016/06/05 diakses pada : selasa, 8 November 2016 pukul 23.55 WIB

16http://www.sumut24.co/kekerasan-seksual-tinggi-di-medan-dan-sumut/. Diakses pada : selasa, 8 November 2016 pukul 24.00 WIB

17http://sumutpos.co/medan-darurat-kejahatan-seksual-terhadap-anak, Op.Cit, Diakses pada : selasa, 8 November 2016 pukul 23.55 WIB

(18)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah mengatur sanksi yang cukup berat terhadap pelaku Kejahatan seksual terhadap anak. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 81 ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah)”, dan hukuman bagi para pelaku yang merupakan orang terdekat korban juga diatur dalam Undang-Undang ini yang terdapat pada ayat (3) Pasal ini yakni “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” namun Pasal tersebut nyatanya belum dapat membuat para pelaku merasa takut untuk melakukan kejahatan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya angka kejahatan seksual terhadap anak khususnya dikota Medan.

Oleh sebab itu, maka mayoritas masyarakat berpandangan dibutuhkan suatu hukuman lain yang dapat memberikan efek jera kepada pelaku serta dapat memberikan efek pencegahan kepada masyarakat umum untuk tidak melakukan hal yang sama.

Berdasarkan fakta-fakta terkait kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terus meningkat ini Menteri Sosial Indonesia, Khofifah Indar Parawansa memberikan usulan untuk diberikan hukuman tambahan yaitu kebiri kima (chemical castration) pada pelaku pedophilia. Hal ini dikarenakan ancaman pidana yang tertera dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35

(19)

Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu penjara selama 15 (lima belas) tahun dianggap tidak memberikan efek jera bagi pelaku pedophilia, karena setelah selesai menjalani masa hukumannya dan keluar dari lembaga pemasyarakatan pelaku bisa saja kembali mengulangi tindakannya karena sudah mengetahui gambaran hukuman yang akan kembali ia terima dan merasa sanggup menjalaninya.

Dengan diberikannya hukuman tambahan berupa hukum kebiri diharapkan agar pelaku kekerasan seksual anak kehilangan hasrat untuk melakukan kembali perbuatannya. Hal tersebut memang mendapatkan dukungan masyarakat, namun sebagian masyarakat menolak hukum kebiri tersebut. Saat ini penambahan hukuman tersebut telah disahkan mejadi Undang-Undang, perdebatan dalam masyarakat tetap ada dan terus berlanjut. Keefektifan hukuman ini jika diterapkan dan kemungkinan dapat menekan angka kejahatan seksual terhadap anak terus diperdebatkan. Kinerja dan andil aparat penegak hukum untuk menuntaskan kejahatan ini dengan menerapkan Undang-Undang yang telah ada pun turut menjadi sorotan publik, sebab hukum yang telah ada selama ini nyatanya masih bisa memberikan pergerakan yang bebas bagi para pelaku untuk menjalankan aksinya, aparat penegak hukum pun kian mendapat sorotan dan harapan dari masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti terkait kejahatan seksual terhadap anak dan hukuman tambahan yang akan dijatuhkan yang salah satunya merupakan penjatuhan tindakan kebiri kimia bagi pelaku, dengan memperkecil cakupan pembahasan masalah ini yakni ditinjau dari sudut pandangan aparat penegak hukum. Penelitian ini dirangkup dalam skripsi

(20)

dengan judul “TINDAKAN KEBIRI KIMIA (CHEMICAL CASTRATION) BAGI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK MENURUT PERSEPSI APARAT PENEGAK HUKUM (STUDI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI MEDAN)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan aparatur penegak hukum terhadap tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak?

2. Apakah kesulitan yang akan di hadapi aparatur penegak hukum jika tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak diterapkan?

3. Bagaimanakah tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak menurut persepsi hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui pandangan aparatur penegak hukum terhadap tindakan kebiri kimia bagi pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak

2. Untuk mengetahui kesulitan yang akan di hadapi aparatur penegak hukum jika tindakan kebiri kimia bagi pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap anak diterapkan

3. Untuk mengetahui penjatuhan tindakan kebiri kimia bagi pelaku tindak pidana seksual terhadap anak menurut persepsi hukum Islam

(21)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana pada khususnya.

2. Manfaat praktis

Memberikan sumbangan pemikiran yang moderat, sekaligus memberikan informasi kepada praktisi, akademisi, aparat penegak hukum, legislator, dan seluruh lapisan masyarakat terkait dengan tindakan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari penulis sendiri yang berasal dari isu-isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini serta berdasarkan masukan dari berbagai pihak guna membantu penulisan dimaksud.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang Tindakan Kebiri Bagi Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan Terhadap Anak Menurut Presepsi Aparatur Penegak Hukum (Studi Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Medan) adalah bersih. Dalam arti kata bahwa tulisan skripsi terkait judul di atas belum pernah ditulis oleh penulis lain sebelumnya.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah

(22)

yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Kesusilaan

a. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu “ Stafbaar Feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan srafbaar feit itu. Karena itu banyak para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu, sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.18

Secara literlijk kata “starf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata sudah diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti starf dengan recht sama padahal yang sebenarnya tidak demikian halnya.19

Tindak Pidana (Strafbaar Feit) adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.20

18 Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta, PT. Raja Garfindo Persada : 2002), Hal. 67

19 Ibid, hal. 69

20Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama: 2003), hal. 61

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridisnormatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis

(23)

atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana.

Kajahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkret.21

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya harus dipidana. Tindak pidana juga dirumuskan didalam Undang- Undang antara lain didalam KUHPid. Sebagai contoh, Pasal 338 KUHPid menentukan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.22

Moeljatno, seorang yang merupakan ahli hukum pidana memiliki pandangan yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentang defenisi suatu tindak pidana.

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja. Sebagai mana dikatakannya bahwa, “ perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”.23

21Tri Adrisman,Hukum Pidana Asas-Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Unila: 2009),hal. 69

22Tim Penerjemah badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Harapan: 1983), Hal. 135

23Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta, Bina Aksara: 1984), cetakan ke-2, Hal. 56

Dari sudut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang berkenaan dengannya seperti kesalahan, dan mampu bertanggung jawab tidak boleh dimasukkan kedalam defenisi perbuatan pidana melainkan merupakan bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.

(24)

Dengan demikian, ada dua macam konsep dasar tentang struktur tindak pidana, yaitu :

1. Konsep penyatuan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) yang membentuk tindak pidana.

2. Konsep pemisahan anara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) yang keduanya merupakan syarat-syarat unruk dapat dipidananya pelaku.24

Sedangkan menurut Simons, Strafbaar Feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.25

1. Perbuatan;

dalam merumuskan suatu pidana, atau suatu pidana dapat dinyatakan suatu perbuatan pidana, syaratnya adalah harus memenuhi unsur-unsur pidana, unsur-unsur tindak pidana menurut Moelijatno, adalah:

2. Yang dilarang (Oleh aturan Hukum);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Dalam Jan Remmelink, tindak pidana (Delict) memiliki 12 kategorisasi, diantaranya yaitu:26

24 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 2012), Hal.59

25Adam Chazawi, Op.Cit, Hal. 75

26Jan Remmelink, Op.Cit, Hal. 75

(25)

1. Delik yang bersifat menyakiti/merugikan (krenkingsdekicten) dan Delik yang menimbulkan Ancaman atau Keadaan Bahaya (Gevaarzettingsdelicten)

Dalam aturan hukum baik Indonesia maupun Belanda, rumusan tindak pidana dapat kita bedakan antara tindak pidana yang terfokus pada sifat menyakiti. Disini kerugian harus lebih dulu muncul sebelum hukum pidana member reaksi, misal dalam delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP), Pencurian (Pasal 362 KUHP), Penipuan (Pasal 378 KUHP), Perusakan (Pasal 406 KUHP) dan dengan tindak pidana yang difokuskan pada ancaman bahaya yang mungkin timbul dari suatu delik.

2. Delik yang menimbulkan bahaya konkret dan bahaya abstrak

Delik yang menimbulkan bahaya abstrak hanya melarang satu perilaku dan delik yang menimbulkan bahaya konkrit melarang suatu tindakan dan munculnya akibat yang menimbulkan bahaya bagi kepentingan-kepentngan hukum tertentu.

3. Delik persiapan

Satu bentuk khusus delik yang menimbulkan bahaya abstrak adalah delik persiapan (Voorbereidingsdelicten). Ini mencakup perumusan tindak pidana oleh pembuat Undang-Undang atas suatu perbuatan yang memang ditujukan untuk melaksanakan delik menyakiti/merugikan atau delik yang menimbulkan bahaya konkret, namun perbuatan itu sendiri tidak cukup untuk dikatakan memenuhi unsure percobaan

4. Delik Materiil dan Delik Formil

Delik formil adalah tindak pidana yang di dalam perundang-undangan cukup disebut merujuk pada perbuatan tertentu atau kelalaian; sedangkan delik

(26)

materiil adalah perbuatan yang menyebabkan konsekuensi tertentu, dimana perbuatan tersebut kadang tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam perumusan tindak pidana.

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat di antara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana para pakar hukum terbagi dalam 2 (dua) pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu:

1. Pandangan/Aliran Monistis, yaitu:

Pandangan/aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertangungjawaban pidana.

2. Pandangan/Aliran Dualisme, yaitu:

Pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus retus) dan dapat dipertanggujawabkan si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).

Dengan kata lain pandangan dualistis memisahkan pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Dalam praktiknya, pandangan dualistislah yang sering diikuti dalam mengungkap suatu perkara pidana (tindak pidana), karena lebih memudahkan penegak hukum dalam menyusun suatu pembuktian perkara pidana.27

27http://digilib.unila.ac.id/9461/13/BAB%20II.pdf, diakses pada : Selasa, 15 November 2016 pukul 09.53 WIB

(27)

b. Kesusilaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesusilaan adalah : kesusilaan: ke.su.si.la.an [n] (1) perihal susila; yg berkaitan dng adab dan sopan santun; (2) norma yg baik; kelakuan yg baik; tata krama yg luhur;28

Kesusilaan dalam arti luas, bukan hanya menyangkut soal kebirahian atau sex saja, akan tetapi meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dalam suatu kelompok masyarakat (tertentu) yang sesuai dengan sifat-sifat dari masyarakat yang bersangkutan. Norma kesusilaan dalam masyarakat tidak hanya mengatur tingkah laku manusia saja, tetapi terdapat sanksi apabila melanggar ketentuan yang ada. Perbuatan yang tergolong melanggar norma kesusilaan dalam KUHPdisebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau delik kesusilaan.29

Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada : “Behaviour as to right or wrong, esp in relation toseksual matter”. Namun jika diamati dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) nampaknya kurang tepat, karena dalam KUHP mengemis, penyiksaan binatang, dan minuman keras serta judi termasuk dalam BAB XIV tentang kejahatan kesusilaan. Dalam rencana KUHP, hal-hal tersebut masih sama. Dengan demikian, makna dari “kesusilaan” adalah berkenaan dengan moral, etika yang telah diatur dalam perundang-undangan.30

Roeslan Saleh mengatakan pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal Kesusilaan dalam perspektif masyarakat adalah kelakuan yang benar atau salah.

28http://kbbi.kata.web.id/kesusilaan/, diakses pada : Kamis, 10 November 2016, pukul:

09.55

29https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1103005108-3-BAB%20II.pdf, diakses pada Selasa, 15 November 2016 pukul : 10.10 WIB

30Ibid, Hal : 3

(28)

yang termasuk dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat. Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Sedangkan pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat, berbeda-beda menurut pandangan dengan nila-nilai yang berlaku dimasyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu sendirimerupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das rechtist das ethischeminimum).31

c. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan

Delik kesusilaan terdapat dalam bab XIV buku II KUHP dengan judul

“kejahatan terhadap kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP.

Delik asusila berarti tindak pidana berupa pelanggaran asusila.Pelanggaran asusila dalam pengertian disini adalah suatu tindakan yang melanggar kesusilaan yang jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-Ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontruchtehandelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang keputusan-keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun

31http://digilib.unila.ac.id/9461/13/BAB%20II.pdf, diakses pada : Selasa, 15 November 2016 pukul 09.53 WIB

(29)

ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.32

Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.

33 Kata susila dalam bahasa inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral dterjemahkan dengan moril, kesopanan sedang ethics diterjemahkan dengan kesusilaan dan decent dengan kepatutan. Yang rumit dan selalu dicampurbaurkan adalah “moral”

dan “etchics”. Kedua kata tersebut mengandung “decent”. Namun jika diamati dengan cermat, ternyata ethics lebih semput dari pada moral tetap ethics ada dalam kata moral.34

Istilah “Anak” dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Child” yang menurut Henry Campbell Black diartikannya sebagai : “progeny; offspring of parentage. Unborn or recently born human being”

2. Anak dan Perlindungan Terhadap Anak

35

32Bambang Poenomo,Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta, Ghalia Indonesia: 1992), hal.

130

Pengertian anak menunjukkan adanya bapak dan ibu anak itu dalam arti, bahwa selaku hasil perbuatan bersetubuh dari seorang laki-laki dan seorang perempuan lahirlah dari tubuh si perempuan seorang manusia lain, bahwa seorang laki-laki tadi adalah

33http://digilib.uinsuka.ac.id/9347/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.

pdf. Diakses pada : kamis, 10 November 2016 pukul 10.12

34Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta, Sinar Grafika: 2004), hal. 2

35Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionari, St. Paul-Minn, West Publishing Co., 1979, hal. 217

(30)

bapaknya dan seorang perempuan tadi adalah ibunya, sedangkan ia adalah anak dari kedua orang tua itu.36

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “Anak” di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij)). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.37

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

Adapun pengertian tentang anak menurut beberapa peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia antara lain :

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

36 Wirjono Prodjodikoro , Hukum Perkawinan di Indonesia, (Sumur Bandung, 1981), hal. 72.

37Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan Permasalahannya), (Bandung, Mandar Maju: 2005), hal. 3

(31)

3. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah.

4. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun.

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan: Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (0-18 tahun).

Defenisi anak yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan berbeda dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum Islam, dan hukum Adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan berdasarkan usia anak, karena masing masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak dilhat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang tersebut sudah dewasa atau belum. Artinya, seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam. Ter Haar, seorang tokoh Adat mengatakan bahwa hukum Adat memberikan dasar utuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi oleh seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua/mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.38

38Marlina,Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama)

(32)

Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalam kehidupannya kelak. Setiap komponen bangsa baik pemerintah maupun non- pemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.39

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapatkan perlindungan agar tidak mengalami kerugian baik mental, fisik maupun sosial.

Berdasarkan berbagai macam defenisi di atas, dapat diartikan bahwa anak adalah seseorang yang berdasarkan Undang-Undang masih dibawah umur, berdasarkan hukum Islam belum aqil baligh atau belum menampakkan ciri-ciri kedewasaannya serta menurut hukum Adat belum memenuhi tiga syarat untuk diketegorikan sebagai seseorang yang sudah dewasa. Anak merupakan sosok rentan yang membutuhkan bimbingan, kasih sayang serta perlindungan dari orang dewasa bahkan negara dimana anak itu bertempat tinggal.

40

39Maidin Gultom, Op.Cit, hal: 68-69

40Ibid, hal. 69

(33)

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kodisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.41

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agara dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.42

Mengingat pentingnya pengaturan hukum tentang perlindungan terhadap anak, ada beberapa hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan perlindungan anak yaitu :43

a. Dasar Filosofis

Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

b. Dasar Etis

Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan eika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan

41Ibid, hal. 40

42Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

43 Maidin Gultom, Op.Cit, hal : 70-71

(34)

kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

c. Dasar Yuridis

Pelaksanaan perlindungan anak harus ddasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perUndang-Undangan lainnya yang berlaku.

Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perUndang-Undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.44 Dengan demikian, kegiatan perlindungan anak setidaknya harus memiliki dua aspek.

Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.45

Pada dasarnya perhatian terhadap anak didalam perundang-undangan sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita, kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946. Dilanjutkan pada Tahun 1948 lahir Undang-Undang Pokok Perburuhan Nomor 12 Tahun 1948 yang melarang anak

44Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan,(Jakarta, Akademika Pressindo: 1993), hal: 22

45Nashriana, Op.Cit, hal: 75

(35)

melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak.46

Didalam KUHP sendiri, perlindungan anak sebagai korban tindak pidana diatur dalam buku II KUHP tentang kejahatan. Disini perlindungan diberikan berupa pemberatan hukuman terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah anak-anak. Hal ini misalnya erat dengan tindak pidana kesusilaan.

Kemudian pada tahun 2002 lahir pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang kini telah mengalami perubadan kedua yakni Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016. Dari perumusan dan lahirnya Undang-Undang tersebut di atas pada dasarnya sudah menunjukkan adanya perhatian lebih dari pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap setiap anak-anak di Indonesia.

47

46Skripsi oleh : Ivo Gema Pradana, Eksploitasi Anak dalam Penyalahgunaan Narkoba ditinjau dari Aspek Yuridis, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2011), hal : 8-9

47Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan, USU Press: 1998), hal:

59-60

Upaya Undang-Undang yang telah tersedia tampaknya belum cukup efektif untuk memberikan upaya pencegahan terhadap masyarakat, perlindungan bagi anak-anak dan efek jera bagi pelaku, hal ini dapat dibuktikan dengan masih maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak sehingga perlindungan lebih terhadap anak masih menjadi persoalan yang membutuhkan perhatian dan konsentrasi khusus untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan perlindungan yang lebih ekstra untuk menjamin masa depan anak-anak Indonesia dapat terselamatkan dan menjadi seperti apa yang telah dicita-citakan oleh bangsa.

(36)

3. Kejahatan Seksual Terhadap anak

Pada umumnya tidak ada satupun kalimat didalam kitab Undang-Undang hukum pidana yang memberikan penjelasan terkait pengertian dari kata

“kejahatan”, misalnya pada Pasal 338 KUHP padahal delik tersebut merukapan kejahatan terhadap nyawa, namun tidak terdapat satu katapun yang menerangkan makna dari kata kejahatan tersebut.

Walaupun demikian, para sarjana tetap memberikan suatu batasan tentang kejahatan. Seperti:

1. R. Soesilo:

R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan Undang- Undang.48

Kejahatan seksual terhadap anak dapat berupa banyak hal. Namun, hal tersebut biasanya identik dengan kekerasan seksual yang kerap dilakukan kepada anak-anak. Berdasarkan Pasal 89 KUHP dapat diketahui bahwa kekerasan adalah suatu perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, membuat orang tidak berdaya.49

Kekerasan sering terjadi terhadap anak, yang dapat merusak, berbahaya, dan menakutkan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan dapat menderita kerugian, tidak saja bersifat material tetap juga ersifat immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis, yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Kekerasan Seksual menunjuk kepada setiap aktivitas seksual,

48H.M Ridwan-Ediwarman, Azas-azas Kriminologi (Medan, USU Press: 1994) Hal : 45-46

49Maidin Gultom, Op.Cit, hal : 1

(37)

bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik sedangkan kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan dapat dapat menyebabkan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan seksual dapat berupa : dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks, anal seks, diperkosa.

Dalam KUHP, menyangkut kekerasan seksual dapat dilihat dalam Pasal : 281- 287, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 294, Pasal 295.50

Berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, peraturan perUndang-Undangan yang dapat diterapkan disamping KUHP, juga ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Melihat perangkat hukum ini, yang mengatur bahwa terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak terdapat sanksi yang berat, sehingga pelaku jera dan orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama. Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, penegakan hukum harus dilakkan dengan benar. Hukum harus ditegakkan dan diberlakukan kepada saiapa saja.51

Kekerasan terhadap anak secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).52

50Maidin Gultom, Op.Cit, hal : 1-3

51Ibid, hal : 12

52Abu Huraerah, Op.Cit, hal. 48

(38)

4. Pidana dan Pemidanaan a. Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.53 Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman berasal dari kata straft, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang konvensional, yaitu pidana54

Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah straft.

Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.55

a. Menurut Sudarto : Pidana adalah Penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Pengertian pidana menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

b. Menurut Roeslan Saleh: pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan negara pada pembuat delik itu.

c. Menurut Ted Honderich: Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence. (Artinya: pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman [sesuatu yang meliputi pencabutan dan

53Mohammad Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan, USU Press: 2010), hal: 1

54Ibid, hal: 1, dikutip dari buku Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung, Alumni: 2005), hal: 1

55 Ibid, hal: 1, dikutip dari buku Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta: 2008), hal: 27

(39)

penderitaan] yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).56

Menjrut Andi Hamzah, pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatan yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (staf-baar-feit).57

Dalam kajian Hukum Pidana dikenal jenis sanksi yang berupa pidana (straf) dan tindakan (maatregel). Satochid mengemukakan dalam buku M.

Sholehuddin, bahwa didalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan (pemberian nestapa), yang namanya disebut dengan tindakan (maatregel).

Pada proses penjatuhan hukuman dalam hukum pidana, maka dikenal istilah sanksi yang akan dijatuhkan kepada para pelaku yang telah melanggar ketentuan Undang-Undang dan telah diadili oleh majelis hakim dalam suatu persidangan. Sanksi dalam hukum pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan, pidana tambahan ini dapat pula berupa tindakan. Berbeda dengan pidana, tindakan lebih bertitik pada tujuan untuk melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi kepada pelaku kejahatan.

Akan tetapi, secara teori sukar dibedakan dengan cara demikian karena nyatanya pidana pun sering dikatakan bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki sipelaku (terpidana).

58

56Mohammad Eka Putra, Abul Khair, Ibid, hal: 3

57Andi Hamzah, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta, Raja Grafindo Persada:

2002), hal: 24

58Muhammad Ekaputra, Abdul Khair, Op.Cit, hal: 7

Dengan demikian, selain penjatuhan pidana pokok, seorang hakim

(40)

dapat pula menjatuhkan tindakan (maatregel) kepada seseorang yang telah terbukti secara sah melakukan suatu tindak pidana.

KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, Pidana dibedakan menjadi dua kelompok antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas:59

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Pidana kurungan;

4. Pidana denda;

5. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan Undang-Undang nomor 20 Tahun 1946);

Pidana tambahan terdiri dari:

1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

2. Pidana perampasan barang-barang tertentu;

3. Pidana pengumuman keputusan hakim;

Menurut Pompe dalam E. Urecht, ditinjau dari teori-teori pemidanaan maka sanksi tindakan itu merupakan sanksi yang tidak bersifat membalas, melainkan hanya ditujukan pada prevensi khusus yang bertujuan melindungi masyarakat dari orang-orang tertentu yaitu orang-orang yang berbahaya yang

59 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori- teori Pemidanaan, dan batas berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada:

2007), hal: 25-26

(41)

mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan ketertiban masyarakat.60

Menurut Van Bemmelen, tujuan tindakan ini bukanlah penambahan penderitaan, akan tetapi semata-mata untk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan bagi pelaku pelanggaran hukum. Jika tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, bagaimanapun juga ini bukanlah yang dimaksud (menjadi tujuan).61

b. Pemidanaan

Berbicara mengenai pidana, maka tidak terlepas dari istilah Pemidanaan.

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Sudarto menyatakan bahwa pemberian pidana itu mempunyai dua arti, yaitu:62

1. Dalam arti umum adalah yang menyangkut pembentuk Undang-Undang, ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto);

2. Dalam arti Konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu (pemberian pidana in concreto)

Sedangkan menurut Jan Remmelik, Pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi atau penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar aturan hukum.63

60Muhammad Ekaputra, Abdul Khair, Op.Cit, hal: 8, dikutip dari buku E.Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung, Universitas: 1965), hal: 342-343

61Ibid, hal: 8, dikutip dari buku J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung, Binacipta: 1978), hal: 19

62 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, Alumni: 1986), hal: 109-110

63Jan Remmelink, Op.Cit, hal: 7

(42)

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa:

“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling”. 64

Sementara “Pemidanaan” atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim, merupakan pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang hukum pidana saja; dan maknanya sama dengan “sentence” atau “veroordeling”, misalnya dalam pengertian “sentence conditionally” atau “voorwaardelijk veeroordeeld” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”. 65

Jerome Hall dalam M. Sholehuddin membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan, yaitu sebagai berikut:66

a. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan untuk hidup;

b. Ia memaksa dengan kekerasan;

c. Ia diberikan atas nama Negara; ia “diotoritaskan”;

d. Pemidanaan mensyratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan didalam putusan;

e. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etiak;

f. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.

64Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Alumni, Bandung: 1986), hal: 80

65Skripsi oleh Achir Nauli Gading Harahap, Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Dari Pada Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek, (Medan, Fakultas Hukum USU: 2012), hal: 9

66 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada), hal: 70

Referensi

Dokumen terkait

Angkutan Udara (Pesawat) memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh penumpang untuk menyimpan barang bawaan mereka yaitu bagasi. Namun

BAB III PROSES PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN YANG TERLAMBAT DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN PECATATAN SIPIL PEMERINTAH KOTA MEDAN ... Syarat-Syarat Administrasi Pembuatan

- Berdasarkan seluruh hal-hal tersebut diatas, Majelis Hakim Berpendapat bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan Sertifikat Hak Milik Objek sengketa adalah

 Disajikan seperangkat komputer di ruangan Lab.Komputer, ditayangkan beberapa contoh program aplikasi, peserta didik dapat menjelaskan berbagai kegunaan perangkat lunak

Hasil wawancara kepada beberapa dosen program studi pendidikan matematika, diperoleh data bahwa pelaksanaan pembimbingan akademik dinilai belum efektif disebabkan

Tanggung jawab dalam kamus Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa- apa boleh dituntut, dipersalahkan,

Meskipun kebebasan beragama secara jelas telah diatur, namun pada kenyataannya sekarang ini masih banyak masyarakat dunia yang tidak mengamalkan dan

Kemudian di dalam berbagai Undang-Undang (UU) di bawah UUD diantaranyaUndang-Undang tentang perlindungan Anak jelas menyatakan akta kelahiran menjadi hak anak dan tanggung