• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : Pendahuluan

F. Tinjauan Kepustakaan

a. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu “ Stafbaar Feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan srafbaar feit itu. Karena itu banyak para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu, sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.18

Secara literlijk kata “starf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata sudah diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti starf dengan recht sama padahal yang sebenarnya tidak demikian halnya.19

Tindak Pidana (Strafbaar Feit) adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.20

18 Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta, PT. Raja Garfindo Persada : 2002), Hal. 67

19 Ibid, hal. 69

20Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama: 2003), hal. 61

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridisnormatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis

atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana.

Kajahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkret.21

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya harus dipidana. Tindak pidana juga dirumuskan didalam Undang-Undang antara lain didalam KUHPid. Sebagai contoh, Pasal 338 KUHPid menentukan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.22

Moeljatno, seorang yang merupakan ahli hukum pidana memiliki pandangan yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentang defenisi suatu tindak pidana.

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja. Sebagai mana dikatakannya bahwa, “ perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”.23

21Tri Adrisman,Hukum Pidana Asas-Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Unila: 2009),hal. 69

22Tim Penerjemah badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Harapan: 1983), Hal. 135

23Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta, Bina Aksara: 1984), cetakan ke-2, Hal. 56

Dari sudut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang berkenaan dengannya seperti kesalahan, dan mampu bertanggung jawab tidak boleh dimasukkan kedalam defenisi perbuatan pidana melainkan merupakan bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.

Dengan demikian, ada dua macam konsep dasar tentang struktur tindak pidana, yaitu :

1. Konsep penyatuan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) yang membentuk tindak pidana.

2. Konsep pemisahan anara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) yang keduanya merupakan syarat-syarat unruk dapat dipidananya pelaku.24

Sedangkan menurut Simons, Strafbaar Feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.25

1. Perbuatan;

dalam merumuskan suatu pidana, atau suatu pidana dapat dinyatakan suatu perbuatan pidana, syaratnya adalah harus memenuhi unsur-unsur pidana, unsur-unsur tindak pidana menurut Moelijatno, adalah:

2. Yang dilarang (Oleh aturan Hukum);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Dalam Jan Remmelink, tindak pidana (Delict) memiliki 12 kategorisasi, diantaranya yaitu:26

24 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 2012), Hal.59

25Adam Chazawi, Op.Cit, Hal. 75

26Jan Remmelink, Op.Cit, Hal. 75

1. Delik yang bersifat menyakiti/merugikan (krenkingsdekicten) dan Delik yang menimbulkan Ancaman atau Keadaan Bahaya (Gevaarzettingsdelicten)

Dalam aturan hukum baik Indonesia maupun Belanda, rumusan tindak pidana dapat kita bedakan antara tindak pidana yang terfokus pada sifat menyakiti. Disini kerugian harus lebih dulu muncul sebelum hukum pidana member reaksi, misal dalam delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP), Pencurian (Pasal 362 KUHP), Penipuan (Pasal 378 KUHP), Perusakan (Pasal 406 KUHP) dan dengan tindak pidana yang difokuskan pada ancaman bahaya yang mungkin timbul dari suatu delik.

2. Delik yang menimbulkan bahaya konkret dan bahaya abstrak

Delik yang menimbulkan bahaya abstrak hanya melarang satu perilaku dan delik yang menimbulkan bahaya konkrit melarang suatu tindakan dan munculnya akibat yang menimbulkan bahaya bagi kepentingan-kepentngan hukum tertentu.

3. Delik persiapan

Satu bentuk khusus delik yang menimbulkan bahaya abstrak adalah delik persiapan (Voorbereidingsdelicten). Ini mencakup perumusan tindak pidana oleh pembuat Undang-Undang atas suatu perbuatan yang memang ditujukan untuk melaksanakan delik menyakiti/merugikan atau delik yang menimbulkan bahaya konkret, namun perbuatan itu sendiri tidak cukup untuk dikatakan memenuhi unsure percobaan

4. Delik Materiil dan Delik Formil

Delik formil adalah tindak pidana yang di dalam perundang-undangan cukup disebut merujuk pada perbuatan tertentu atau kelalaian; sedangkan delik

materiil adalah perbuatan yang menyebabkan konsekuensi tertentu, dimana perbuatan tersebut kadang tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam perumusan tindak pidana.

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat di antara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana para pakar hukum terbagi dalam 2 (dua) pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu:

1. Pandangan/Aliran Monistis, yaitu:

Pandangan/aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertangungjawaban pidana.

2. Pandangan/Aliran Dualisme, yaitu:

Pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus retus) dan dapat dipertanggujawabkan si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).

Dengan kata lain pandangan dualistis memisahkan pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Dalam praktiknya, pandangan dualistislah yang sering diikuti dalam mengungkap suatu perkara pidana (tindak pidana), karena lebih memudahkan penegak hukum dalam menyusun suatu pembuktian perkara pidana.27

27http://digilib.unila.ac.id/9461/13/BAB%20II.pdf, diakses pada : Selasa, 15 November 2016 pukul 09.53 WIB

b. Kesusilaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesusilaan adalah : kesusilaan: ke.su.si.la.an [n] (1) perihal susila; yg berkaitan dng adab dan sopan santun; (2) norma yg baik; kelakuan yg baik; tata krama yg luhur;28

Kesusilaan dalam arti luas, bukan hanya menyangkut soal kebirahian atau sex saja, akan tetapi meliputi semua kebiasaan hidup yang pantas dalam suatu kelompok masyarakat (tertentu) yang sesuai dengan sifat-sifat dari masyarakat yang bersangkutan. Norma kesusilaan dalam masyarakat tidak hanya mengatur tingkah laku manusia saja, tetapi terdapat sanksi apabila melanggar ketentuan yang ada. Perbuatan yang tergolong melanggar norma kesusilaan dalam KUHPdisebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau delik kesusilaan.29

Jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada : “Behaviour as to right or wrong, esp in relation toseksual matter”. Namun jika diamati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nampaknya kurang tepat, karena dalam KUHP mengemis, penyiksaan binatang, dan minuman keras serta judi termasuk dalam BAB XIV tentang kejahatan kesusilaan. Dalam rencana KUHP, hal-hal tersebut masih sama. Dengan demikian, makna dari “kesusilaan” adalah berkenaan dengan moral, etika yang telah diatur dalam perundang-undangan.30

Roeslan Saleh mengatakan pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal Kesusilaan dalam perspektif masyarakat adalah kelakuan yang benar atau salah.

28http://kbbi.kata.web.id/kesusilaan/, diakses pada : Kamis, 10 November 2016, pukul:

09.55

29https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1103005108-3-BAB%20II.pdf, diakses pada Selasa, 15 November 2016 pukul : 10.10 WIB

30Ibid, Hal : 3

yang termasuk dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat. Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Sedangkan pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat, berbeda-beda menurut pandangan dengan nila-nilai yang berlaku dimasyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu sendirimerupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das rechtist das ethischeminimum).31

c. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan

Delik kesusilaan terdapat dalam bab XIV buku II KUHP dengan judul

“kejahatan terhadap kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP.

Delik asusila berarti tindak pidana berupa pelanggaran asusila.Pelanggaran asusila dalam pengertian disini adalah suatu tindakan yang melanggar kesusilaan yang jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-Ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontruchtehandelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang keputusan-keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun

31http://digilib.unila.ac.id/9461/13/BAB%20II.pdf, diakses pada : Selasa, 15 November 2016 pukul 09.53 WIB

ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.32

Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.

33 Kata susila dalam bahasa inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral dterjemahkan dengan moril, kesopanan sedang ethics diterjemahkan dengan kesusilaan dan decent dengan kepatutan. Yang rumit dan selalu dicampurbaurkan adalah “moral”

dan “etchics”. Kedua kata tersebut mengandung “decent”. Namun jika diamati dengan cermat, ternyata ethics lebih semput dari pada moral tetap ethics ada dalam kata moral.34

Istilah “Anak” dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Child” yang menurut Henry Campbell Black diartikannya sebagai : “progeny; offspring of parentage. Unborn or recently born human being”

2. Anak dan Perlindungan Terhadap Anak

35

32Bambang Poenomo,Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta, Ghalia Indonesia: 1992), hal.

130

Pengertian anak menunjukkan adanya bapak dan ibu anak itu dalam arti, bahwa selaku hasil perbuatan bersetubuh dari seorang laki-laki dan seorang perempuan lahirlah dari tubuh si perempuan seorang manusia lain, bahwa seorang laki-laki tadi adalah

33http://digilib.uinsuka.ac.id/9347/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.

pdf. Diakses pada : kamis, 10 November 2016 pukul 10.12

34Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta, Sinar Grafika: 2004), hal. 2

35Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionari, St. Paul-Minn, West Publishing Co., 1979, hal. 217

bapaknya dan seorang perempuan tadi adalah ibunya, sedangkan ia adalah anak dari kedua orang tua itu.36

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “Anak” di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij)). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.37

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

Adapun pengertian tentang anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia antara lain :

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

36 Wirjono Prodjodikoro , Hukum Perkawinan di Indonesia, (Sumur Bandung, 1981), hal. 72.

37Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan Permasalahannya), (Bandung, Mandar Maju: 2005), hal. 3

3. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah.

4. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun.

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan: Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (0-18 tahun).

Defenisi anak yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan berbeda dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat. Menurut hukum Islam, dan hukum Adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan berdasarkan usia anak, karena masing masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak dilhat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang tersebut sudah dewasa atau belum. Artinya, seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam. Ter Haar, seorang tokoh Adat mengatakan bahwa hukum Adat memberikan dasar utuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi oleh seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua/mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.38

38Marlina,Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama)

Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak salah dalam kehidupannya kelak. Setiap komponen bangsa baik pemerintah maupun non-pemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan pembinaan terhadap anak adalah orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.39

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapatkan perlindungan agar tidak mengalami kerugian baik mental, fisik maupun sosial.

Berdasarkan berbagai macam defenisi di atas, dapat diartikan bahwa anak adalah seseorang yang berdasarkan Undang-Undang masih dibawah umur, berdasarkan hukum Islam belum aqil baligh atau belum menampakkan ciri-ciri kedewasaannya serta menurut hukum Adat belum memenuhi tiga syarat untuk diketegorikan sebagai seseorang yang sudah dewasa. Anak merupakan sosok rentan yang membutuhkan bimbingan, kasih sayang serta perlindungan dari orang dewasa bahkan negara dimana anak itu bertempat tinggal.

40

39Maidin Gultom, Op.Cit, hal: 68-69

40Ibid, hal. 69

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kodisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.41

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agara dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.42

Mengingat pentingnya pengaturan hukum tentang perlindungan terhadap anak, ada beberapa hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan perlindungan anak yaitu :43

a. Dasar Filosofis

Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

b. Dasar Etis

Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan eika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan

41Ibid, hal. 40

42Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

43 Maidin Gultom, Op.Cit, hal : 70-71

kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

c. Dasar Yuridis

Pelaksanaan perlindungan anak harus ddasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perUndang-Undangan lainnya yang berlaku.

Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perUndang-Undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.44 Dengan demikian, kegiatan perlindungan anak setidaknya harus memiliki dua aspek.

Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.45

Pada dasarnya perhatian terhadap anak didalam perundang-undangan sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita, kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946. Dilanjutkan pada Tahun 1948 lahir Undang-Undang Pokok Perburuhan Nomor 12 Tahun 1948 yang melarang anak

44Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan,(Jakarta, Akademika Pressindo: 1993), hal: 22

45Nashriana, Op.Cit, hal: 75

melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak.46

Didalam KUHP sendiri, perlindungan anak sebagai korban tindak pidana diatur dalam buku II KUHP tentang kejahatan. Disini perlindungan diberikan berupa pemberatan hukuman terhadap pelaku tindak pidana yang korbannya adalah anak-anak. Hal ini misalnya erat dengan tindak pidana kesusilaan.

Kemudian pada tahun 2002 lahir pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang kini telah mengalami perubadan kedua yakni Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016. Dari perumusan dan lahirnya Undang-Undang tersebut di atas pada dasarnya sudah menunjukkan adanya perhatian lebih dari pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap setiap anak-anak di Indonesia.

47

46Skripsi oleh : Ivo Gema Pradana, Eksploitasi Anak dalam Penyalahgunaan Narkoba ditinjau dari Aspek Yuridis, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2011), hal : 8-9

47Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan, USU Press: 1998), hal:

59-60

Upaya Undang-Undang yang telah tersedia tampaknya belum cukup efektif untuk memberikan upaya pencegahan terhadap masyarakat, perlindungan bagi anak-anak dan efek jera bagi pelaku, hal ini dapat dibuktikan dengan masih maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak sehingga perlindungan lebih terhadap anak masih menjadi persoalan yang membutuhkan perhatian dan konsentrasi khusus untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan perlindungan yang lebih ekstra untuk menjamin masa depan anak-anak Indonesia dapat terselamatkan dan menjadi seperti apa yang telah dicita-citakan oleh bangsa.

3. Kejahatan Seksual Terhadap anak

Pada umumnya tidak ada satupun kalimat didalam kitab Undang-Undang hukum pidana yang memberikan penjelasan terkait pengertian dari kata

“kejahatan”, misalnya pada Pasal 338 KUHP padahal delik tersebut merukapan kejahatan terhadap nyawa, namun tidak terdapat satu katapun yang menerangkan makna dari kata kejahatan tersebut.

Walaupun demikian, para sarjana tetap memberikan suatu batasan tentang kejahatan. Seperti:

1. R. Soesilo:

R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-Undang.48

Kejahatan seksual terhadap anak dapat berupa banyak hal. Namun, hal tersebut biasanya identik dengan kekerasan seksual yang kerap dilakukan kepada anak-anak. Berdasarkan Pasal 89 KUHP dapat diketahui bahwa kekerasan adalah suatu perbuatan dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, membuat orang tidak berdaya.49

Kekerasan sering terjadi terhadap anak, yang dapat merusak, berbahaya, dan menakutkan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan dapat menderita kerugian, tidak saja bersifat material tetap juga ersifat immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis, yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Kekerasan Seksual menunjuk kepada setiap aktivitas seksual,

48H.M Ridwan-Ediwarman, Azas-azas Kriminologi (Medan, USU Press: 1994) Hal : 45-46

49Maidin Gultom, Op.Cit, hal : 1

bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik sedangkan kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan dapat dapat menyebabkan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan seksual dapat berupa : dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks, anal seks, diperkosa.

Dalam KUHP, menyangkut kekerasan seksual dapat dilihat dalam Pasal : 281-287, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 294, Pasal 295.50

Berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, peraturan perUndang-Undangan yang dapat diterapkan disamping KUHP, juga ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, peraturan perUndang-Undangan yang dapat diterapkan disamping KUHP, juga ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Dokumen terkait