• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Harahap dan Sakaguchi (2003) jenis hewan yang biasa dimakan oleh macan tutul dari hasil analisis fecal di Taman Nasional Gunung Halimun yaitu kubung melayu (C. vriegatus), surili (P. aygula aygula), lutung (T. cristatus sondaicus), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), muntjak (M. muntjak),

trenggiling (M. javanica), landak jawa (H. brachyura). Menurut Hoogerwerf (1970) macan tutul di Pulau Jawa memangsa muntjak (M. muntjak), monyet ekor panjang (M. fascicularis), surili (P. aygula aygula), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), kadang-kadang memangsa owa jawa (H. moloch).

Berdasarkan pengamatan ditemukan 8 jenis mangsa macan tutul. Jenis- jenis itu antara lain:

1. Surili

Surili dijumpai di koridor, pada daerah sepanjang aliran sungai di hutan bagian tengah. Dijumpai di setiap jalur pengamatan, Legok buluh pada jalur pengamatan Cipongpog, Raksamala lima pada jalur Bepag, tegakan puspa pada jalur Cibadag, serta jalur Ciherang di bagian timur. Pada 4 tempat yang berbeda surili dijumpai pada waktu yang sama jam 08.00-09.00 sedang mencari makan. Terdiri dari 3 atau 4 ekor dalam tiap kelompok. Di Legok buluh surili satu kelompok sedang bermain dan mencari makan di atas pohon hamerang. Di Jalur puspa, Cibadak dijumpai 3 ekor surili dengan satu anakan, sedang bermain dan makan di atas pohon puspa. Di jalur Bepak, 2 ekor surili turun ke semak-semak tepi sungai, seperti sedang minum dan kembali lagi keatas pohon afrika karena merasa terganggu karena diamati.

Surili tidak dapat dijumpai di hutan tepi koridor, pada jarak 150-200 m dari tepi. Tidak dijumpai kelompok surili terutama di tepi bagian tengah dan tepi bagian barat koridor. Di tepi bagian timur masih dijumpai tetapi sudah sangat jarang. Pada bagian tepi koridor formasi vegetasi berupa semak belukar dan jenis permudaan pohon yang baru sampai tingkat pertumbuhan tiang, akibat penebangan. Menurut Wilson dan Wilson (1975) dalam Ali (1993) bahwa Macaca fascicularis dan Presbytis cristata dan Tarsius bancanus relatif tidak terpengaruh oleh kegiatan tebang pilih, hal ini berbeda dengan hasil pengamatan di koridor karena vegetasi pohon daerah tepi didominasi puspa dan kayu afrika, masih dalam tingkat pertumbuhan tiang dengan jarak antar tegakan rata-rata 10-20 m. Dengan kondisi vegetasi tersebut sangat sedikit suplai makanan dan tajuk untuk brakhiasi, beristirahat dan bermain. Selain itu di bagian tengah dan bagian barat, akses manusia ke kawasan cukup tinggi. Di bagian tengah, penduduk sering menebang kayu untuk kayu bakar dengan periode rata-rata 1 minggu sekali/KK, mengambil pakan ternak setiap pagi atau sore, mengambil akar pakis rata-rata 2 minggu dan ditemukan juga perkebunan pada jarak ± 150 m dari tepi.

Surili dijumpai pada seluruh jalur pengamatan baik di tengah, barat dan timur koridor. Paling kecil jumlah kelompok dijumpai di jalur barat (Bepag) perbatasan dengan Gunung Halimun. Pada jalur pengamatan bagian barat, Cibadak dijumpai satu kelompok terdiri dari 3 individu, Ciherang dijumpai 2 kelompok masing-masing terdiri dari 4 individu. Pada jalur tengah, Cipongpok dijumpai 3 individu dan pada jalur Bepag hanya dijumpai 2 individu. Berdasarkan hasil pendugaan diketahui memiliki total populasi ±111 individu pada kisaran populasi 65-157 individu.

2. Lutung

Lutung dijumpai di koridor dalam kelompok yang jumlahnya lebih besar dari owa dan surili. Di jalur Cipongpog dijumpai lutung berjumlah 6 ekor dengan ukuran tubuh relatif sama, diduga semua adalah kelompok umur dewasa tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Dijumpai sedang makan dan melakukan brakhiasi di antara pohon-pohon puspa dan hamerang, pada ketinggian 3-10 m dari permukaan tanah. Mereka tidak mengeluarkan suara dari mulut selama pengamatan kecuali suara dari pergeseran dahan dan ranting yang digunakan untuk brakhiasi. Perpindahan dari satu tajuk ke tajuk lain cepat, selalu bergerak untuk menemukan apa yang bisa dimakan. Di Jalur Bepag (daerah Raksamala 5) dijumpai 3 ekor lutung dengan satu diantaranya berukuran lebih kecil diduga masih termasuk kelas umur anak. Dijumpai sedang mencari makan dan bermain di atas pohon afrika pada ketinggian 25-35 m dari permukaan tanah. Tetap dalam satu pohon hingga 2 menit sedang makan buah afrika, terlihat pohon sedang berbuah banyak. Selesai makan kemudian melakukan brakhiasi pindah ke pohon lain dan tidak ada anggota kelompok yang tertinggal. Pada pengamatan di jalur Cibadak juga dijumpai 3 ekor lutung dengan satu anak. Mereka sedang mencari makan dan bermain di antara tajuk-tajuk pohon puspa. Pada jalur Ciherang dijumpai 2 kelompok lutung masing-masing 8 dan 7 ekor masing masing berada pada pohon pasang (Quercus lineata) dan kisampang (Evodia latifoliai).

Seperti halnya surili, lutung tidak dapat dijumpai di kawasan perbatasan antara koridor dan perkebunan teh. Formasi vegetasi bagian tepi didominasi oleh semak belukar tidak dapat memberi suplai makanan yang cukup. Tidak ada tajuk yang nyaman untuk beristirahat maupun menciptakan iklim mikro yang sejuk. Menurut Medway (1977) lutung pada dasarnya binatang arboreal akan tetapi ada

beberapa koloni yang hidup di perbukitan daerah Kuala Selangor yang menghabiskan waktunya di lantai hutan. Menghabiskan waktu diantaranya beristirahat dan bermain, hutan di Kalimantan adalah hutan tropis dengan tajuk yang luas sehingga tercipta iklim mikro yang nyaman untuk beristirahat. Intensitas jelajah manusia pada daerah tepi tidak menjadi penyebab langsung tidak adanya lutung. Menurut pemandu lapangan, lutung sering mendekati orang yang berada dalam kawasan. Pernyataan pemandu tersebut benar, terbukti dijumpai kelompok lutung di daerah Cisarua pada jarak 20-30 m dari jalan lintas koridor, yang mana pada jalan tersebut sering dilalui manusia baik pejalan kaki maupun pengguna kendaraan bermotor. Lokasi Cisarua tersebut memilki struktur vegetasi yang didominasi oleh pepohonan dengan tajuk luas yang dapat digunakan untuk beristirahat dan bermain, juga menghasilkan iklim mikro yang nyaman untuk bermain di lantai hutan.

Berdasarkan hasil pengamatan, lutung memiliki populasi terbesar dibandingkan dengan primata lain. Pada jalur pengamatan Bepag dijumpai 3 individu, individu diantaranya kelas umur anak. Pada pengamatan di jalur Cipongpog dijumpai 6 individu dewasa dalam satu kelompok. Pengamatan yang dilakukan di Jalur Cibadak menjumpai 8 ekor lutung dengan 2 anak dalam satu kelompok. Jumlah terbesar dijumpai di jalur pengamatan Ciherang ada 2 kelompok, satu kelompok beranggotakan 8 individu dengan 4 anakan dan satu kelompok lagi terdiri dari 7 individu juga dengan 2 anakan. Berdasarkan hasil pendugaan populasi lutung sebesar ±197 individu pada kisaran populasi 134-259 individu dan kepadatan populasi rata-rata 0,62 individu/ha.

3. Owa Jawa

Sebaran populasi owa jawa tidak merata di koridor. Owa jawa dijumpai pada bagian barat koridor di lokasi perbatasan antara Raksamala 5 dan Pasir andam. Perjumpaan kedua pada jalur Ciherang dekat dengan habitat Gunung Salak. Di jalur Bepag dijumpai 3 ekor owa dengan ukuran badan relatif sama. Keberadaan owa jawa ini ditandai dengan suara yang khas. Dijumpai sedang bermain dan bersuara pada pohon afrika pada ketinggian 15-20 m. Setelah menyadari akan keberadaan manusia berpindah kearah pohon yang lebih tinggi jenis puspa dengan tetap mengeluarkan suaranya. Pada jalur Ciherang dijumpai 3 individu dengan ukuran relatif sama dan tidak dapat dibedakan jenis kelaminnya. Seperti perjumpaan di jalur Bepag, di jalur Ciherang owa jawa juga

mengeluarkan suara yang khas. Dijumpai sedang bermain dan bersuara serta mancari makan di pohon batarua. Waktu perjumpaan di jalur Ciherang dan Bepag antara 09.00-10.00, pada lokasi dengan habitus pohon dalam formasi yang lebih rapat dibanding kawasan lain dalam koridor.

Pada jalur Cibadak dan jalur Cipongpok tidak dijumpai owa jawa. Kedua jalur ini mamiliki formasi vegetasi dengan habitus pohon yang jarang jika dibandingkan dengan kawasan Ciherang dan Bepag. Tidak dijumpainya owa jawa di bagian tengah koridor karena kondisi vegetasi dengan tajuk yang tidak kontinyu dan akses manusia yang tinggi. Menurut Keppeler (1984) menyebutkan owa jawa di Turalak Taman Nasional Ujung Kulon, hanya makan pada ketinggian di atas 10 m, yang merupakan ketinggian makan satwa arboreal sejati, berkaitan dengan berat badan dan resiko terhadap adanya predator (Bismark 1991). Distribusi penggunaan tajuk oleh owa jawa, tajuk A 7,06% kelas tajuk B 84,71% dan tajuk C 8,24%. Tajuk B lebih banyak digunakan karena tajuk yang kontinyu sehingga memudahkan penjelajahan. Owa jawa makan pada ketinggian antara 10-25 m di atas permukaan tanah (Rahayu, 2002). Menyingkirnya owa karena aktifitas eksploitasi manusia diungkap dalam Mars et al. (1987) dalam Ali (1993) yang menyebutkan telah berkurangnya suara Hylobates lar karena kegiatan eksploitasi hutan, setelah kegiatan eksploitasi selesai suara Hylobates lar

kembali ramai. Untuk kondisi di koridor kemungkinan sangat kecil karena sifat eksploitasi yang kontinyu dan beragamnya jenis yang dieksploitasi.

Dari hasil pengamatan, owa jawa merupakan spesies primata yang memiliki sebaran populasi sempit dan jumlah populasi terkecil dibandingkan dengan primata lain. Dijumpai di jalur Bepag satu kelompok yang terdiri 3 individu. Perjumpaan kedua pada jalur Ciherang terdiri 3 individu. Tidak bisa dilakukan pembedaan jenis kelamin, pembedaan hanya berdasarkan ukuran tubuh yaitu 6 individu dari 2 kelompok, termasuk dalam kelas umur dewasa. Berdasarkan pendugaan populasi, owa jawa di koridor berjumlah ±37 ekor dengan dalam kisaran populasi 12-62 ekor.

4. Babi Hutan

Babi hutan memiliki sebaran paling luas di antara spesies mangsa yang ditemui. Jejak babi hutan dapat dijumpai di luar dan di dalam kawasan. Di luar kawasan jejak babi ditemukan di sepanjang areal kebun teh, kebun penduduk dan areal pertanian. Di dalam kawasan jejak babi ditemukan di tepi timur,

Growek dan Puspa yang berbatasan dengan habitat gunung salak. Di perbukitan tengah koridor dari Pojok Goong, Palahlar, Pasir kiara, Cipongpok, Cisarua, Cipanas hingga Cisaladah. Di tepi barat jejak babi ditemukan di Cimapag terus ke barat hingga Pasir pari dan Batu sisir. Ukuran rata-rata jejak yang ditemukan panjang 3-6 cm dengan lebar 2-4 cm. Keberadaan babi hutan di koridor seperti disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Babi hutan di koridor (Sumber BCI, 2005)

Berdasarkan jejak yang dijumpai dalam hutan, rata-rata babi dalam hutan soliter. Dalam hutan babi menggunakan jalan yang digunakan oleh manusia. Jika tidak menggunakan jalur manusia babi memilih menyusuri tepian sungai untuk mencari makan hal ini dijumpai pada jejak di sungai Bepag dan Cibadak. Babi hutan mencari pada jalur punggungan bukit yang merupakan jalan manusia yang sudah lama tidak digunakan. Bekas-bekas babi mencari makan adalah tanah yang terbalik seperti selesai dibajak, bekas-bekas seperti ini banyak sekali di punggungan-punggungan bukit.

Pada tepi koridor yang berbatasan dengan kebun teh dan perkampungan penduduk ditemukan 36 jalur babi. Jalur-jalur ini berada mamanjang dari bagian tengah (pasir Palahlar) hingga tepi ujung koridor sebelah barat (Batu sisir). Jalur babi menyerupai lorong dalam semak belukar, terbuka sampai ketinggian 1 m dan satu meter ke atas tertutup rapat oleh tajuk semak. Setiap jalur babi, vegetasi penutup tanah pasti bersih (mati terinjak) mirip dengan jalan manusia perbedaanya tanahnya akan berlubang seperti bekas aliran air, hal ini terjadi karena babi yang lewat berkelompok dan cara turunya dengan “mprosot” sehingga tanah akan tergaruk oleh kukunya. Jalur yang dipakai babi cenderung

tetap untuk kelompok babi kecuali untuk jenis yang soliter/nunggal dan untuk jalur yang pernah dipasang jerat jalur akan ditinggalkan dalam waktu tertentu.

Babi hutan menyerang daerah pertanian dan perkebunan masyarakat sekitar. Yang menjadi sasaran babi hutan antara lain jagung, padi, kacang, singkong, dan jenis pertanian lainnya. Berdasarkan keterangan penduduk yang sering menjaga kebun dari serangan babi hutan, bahwa saat beroprasi di kebun yang berjalan paling depan betina, jantan besar mengiring paling bekang dan anak-anak berada di tengah. Sampai di kebun induk jantan dan induk betina mengamati di sekitar dan ke dalam kebun untuk memastikan kondisi aman setelah itu baru anak-anak mereka masuk duluan dan menyebar memakan makanan yang ada dalam kebun. Kegiatan makan selesai ketika induk jantan memberi tanda suara, dan anak-anak berkumpul lalu bersama-sama meninggalkan kebun dalam barisan seperti saat menuju kebun.

Gambar 6. Sarang babi hutan di koridor

Di Pasir kiara, 25 m dari jalan perkebunan ditemukan 3 sarang babi yang telah ditinggalkan, dengan jarak 20-30 m satu sama lainya. Sarang babi yang ditemukan memiliki ukuran panjang 90-100 cm, lebar 45-60 cm ditutup dengan daun pakis yang diberi kerangka kayu-kayu muda. Setiap sarang memiliki 2 pintu, pintu untuk keluar dan pintu untuk masuk. Lokasi sarang berada di atas bukit dengan semak-semak yang lebat. Di bawah bukit terdapat aliaran sungai dengan lebar 30-40 cm dan terdapat tempat berkubang babi. Grzimek`s (1972) menyebutkan bahwa babi yang hamil membuat sarang berupa tanah lapang dengan digali dan atasnya ditutup dengan daun-daunan yang sebelumnya diberi rangka berupa cabang atau kayu-kayu muda yang bisa di patahkan atau robohkan. Babi meninggalkan sarang maksimal 2 minggu. Setelah masa dua

minggu anak telah bisa makan sendiri dan sarang tidak dipakai lagi. Sarang babi di koridor disajikan dalam Gambar 6.

Babi hutan menggunakan rimbunan perdu misalnya bambu sebagai tempat tidur. Dari satu tempat tidur yang ditemukan, banyak serasah yang diduga sebagai alas yang berupa daun-daunan bambu. Tanah bekas tempat tidur berbentuk cekung dengan kedalaman 20-30 cm. Tempat tidur ini berada pada jalur yang digunakan untuk keluar masuk kawasan. Jarak antara tempat tidur dengan jalan ± 25 m. Selama pengamatan lapangan di tengah kawasan tidak dijumpai tempat tidur maupun bekas sarang.

Babi hutan selama pengamatan dijumpai dalam kelompok dan nunggal atau sendiri. Babi hutan yang berkelompok minimal dengan pasanganya (berdua) dan maksimal 12 ekor dalam lokasi pengamatan. Berdasarkan pengamatan lapangan dan keterangan penduduk rata-rata kelompok yang lewat jalur antara 2-9 individu. Babi hutan yang berada dalam satu kelompok merupakan satu kesatuan keluarga terdiri atas induk jantan, induk betina, anak dan kadang ada remaja. Menurut keterangan penduduk babi hutan yang berkelompok bisa mencapai 16 ekor dengan 2/3 jumlah tersebut adalah anakan.

Pendugan populasi babi hutan menggunakan metode konsentrasi perwilayah serangan babi di lokasi perkebunan teh dan pertanian serta perkebunan penduduk. Pendugan juga dilakukan dengan pendekatan jumlah populasi pengguna jalur. Data jumlah perwilayah diperoleh dengan cara pengintaian dan informasi perjumpaan oleh penduduk tiap wilayah. Ada 14 titik di 5 daerah yang diserang babi yaitu daerah Padajaya, Cigarehong, Cimapag, Cisurupan dan Pasir pari. Di Padajaya dari lokasi pengamatan kebun teh dan pertanian penduduk diketahui ada 23 individu dengan 12 ekor anak, 3 ekor babi jantan, 2 ekor babi betina dan 6 diantaranya tidak terdeteksi yang termasuk kelompok dewasa. Wilayah Cigarehong diketahui terdapat 33 individu terdiri dari 12 anak, 17 tidak terdeteksi (dewasa), 2 jantan dan 2 betina. Di Cimapag diketahui hanya 3 individu terdiri dari 1 jantan dan 2 tidak terdeteksi, Cisurupan 11 individu terdiri dari 6 anak, jantan 1 dan betina 1. Di Pasir pari 15 individu 9 anakan, 3 tidak terdeteksi, 1 betina dan 2 jantan. Total populasi babi hutan dari 14 sasaran serangan dalam 5 wilayah pemukiman penduduk berjumlah 85 individu dengan 9 jantan, betina 6,anakan 39 dan tidak terdeteksi jenis kelamin dan masuk kelas umur dewasa 31 ekor. Berdasarkan pendekatan populasi pengguna jalur diketahui populasi babi koridor berkisar antara 72 – 315 individu.

5. Trenggiling

Trenggiling tinggal di sepanjang kawasan koridor. Jejak trenggiling di jumpai di Bepag, Palahlar dan Cipongpok. Di jalur Bepag dijumpai jejak 2 ekor trenggiling dengan jarak antar jejak ± 200 m. Jejak ini pada tanah yang datar dan agak terbuka di atas rerumputan, sedikit saja tampak bekas kuku dan yang dominan adalah posisi rumput yang rebah yang menurut pemandu lapangan memang khas jejak trenggiling. Jejak yang kedua berada pada tanah sedikit penutup permukaan, panjang dari ujung kuku tengah 6 cm dengan lebar dari pangkal kelingking hingga ibu jari 3 cm. Perjumpaan terhadap jejak trenggiling pada jalur Cibadak, di bawah tegakan puspa. Jejak memiliki ukuran lebar 2,5 cm dan panjang 5 cm di dekat sarang rayap yang terbongkar.

Pada jalur Ciherang tidak dijumpai jejak trenggiling. Pada jalur ini vegetasi paling rapat dengan habitus pohon, memiliki serasah yang tebal dengan kelembaban lantai hutan yang tinggi. Penutupan tajuk di kawasan ini lebih rapat di bandingkan dengan wilayah lain. Kelimpahan serangga berbanding terbalik dengan akumulasi curah hujan pada bulan yang bersangkutan. Sebagian besar ordo serangga di Taman Nasional Gunung Halimun memiliki jumlah individu yang berbanding terbalik dengan curah hujan bulan yang bersangkutan, jumlah serangga akan naik pada saat curah hujan menurun dan jumlah serangga akan turun saat curah hujan naik (Kahono et al., 2002 dalam dalam Kahono et al., 2003). Terkait dengan curah hujan tertinggi, akan menaikkan tingkat kelembaban lantai hutan sehingga diduga karena tinggkat kelembaban yang tinggi populasi serangga kecil termasuk pakan trenggiling. Trenggiling termasuk jenis yang sukar untuk mendapat jenis pakan subtitusi selain rayap dan semut. Grzimek`s (1975) menyebutkan bahwa sulit untuk menangkarkan trenggiling. Untuk jenis yang baru ditangkap dari alam tidak akan mau langsung menerima pakan pengganti. Butuh hingga 8 minggu agar mau menerima pakan pengganti, waktu yang relatif lama sehingga kemungkinan besar trenggiling akan mati dulu sebelum dapat beradaptasi.

Perjumpaan dengan jejak trenggiling dari 4 jalur pengamatan hanya pada 3 jalur pengamatan. Pada jalur Bepag dijumpai jejak 2 individu yang berdasarkan ukuranya merupakan individu dewasa. Jejak satu individu dijumpai pada jalur Cibadak juga individu dewasa. Jejak paling banyak tiga individu pada jalur Cipongpok, 3 individu dewasa. Di koridor diduga terdapat ±43 individu dengan kisaran populasi 19-67 individu.

6. Landak

Pengamatan yang dilakukan pada 4 jalur pengamatan, ditemukan jejak pada 2 jalur pengamatan. Keberadaan landak diketahui melalui jejak kaki serta bulu yang mirip duri yang ditinggalkan. Jejak kaki rata-rata 5,5-7,5 cm dengan lebar ujung tungkai 1,5-2 cm lebar bagian tengah telapak kaki antara 2-3 cm dan lebar antara pangkal bawah kelingking dan ibu jari 3-4 cm. Jejak ini terpisah menjadi 3 kelompok masing-masing 3 individu dan 2 individu terpisah sendiri. Jejak berupa bulu yang menyerupai duri dijumpai di jalur Cipongpok. Bulu ini panjang 14 cm warna dominan coklat dengan bercak putih. Bulu ini ditemukan di bawah rimbunan rumpun bambu pada jalur jalan yang biasa dilewati manusia.

Keberadaan landak dalam satu kawasan tidak terpisahkan dengan kondisi geomorfisnya. Landak dijumpai di kawasan Bepag dan Cipongpok karena lokasi tersebut lebih banyak dijumpai celah-celah bebatuan pada punggungan bukit yang kondisi permukaan tanah relatif kering. Sesuai dengan Suyanto (2002) bahwa landak tinggal pada lubang-lubang batu atau gua liang yang dibuatnya sendiri. Grzimek`s (1975) juga menyatakan bahwa pada siang hari landak beristirahat dalam lubang-lubang tanah atau celah-celah bebatuan yang menjadi tempat tidurnya. Landak menyukai habitat habitat berupa hutan terbuka dan stepa. Landak dapat hidup di setiap tipe hutan dan dapat pula hidup di areal perkebunan.

Populasi landak berdasarkan pengamatan yang dilakukan di koridor tidak besar. Perjumpaan landak berdasarkan jejak di jalur pengamatan bepag ada 5 individu dewasa. Perjumpaan yang kedua jejak landak di jalur pengamatan Cipongpok diketahui ada dua individu. Populasi landak di koridor berkisar antara 13-86 individu dengan total populasi ±50 individu.

7. Kancil

Pengamatan keberadaan kancil dilakukan 3 tahap, pengumpulan informasi keberadan kancil dari masyarakat sekitar, survey lokasi dan pengamatan. Jejak kaki kancil teridentifikasi di lokasi pengamatan dengan lebar 1-1,5 cm dengan panjang ± 2 cm, dengan garis tipis di tengah yang menunjukkan jumlah kukunya. Pada setiap lokasi jejak dijumpai beberapa jenis pakan kancil antara lain nampong (Clibadium surinamense) dan ilat ayam (Carex baccans). Menurut keterangan penduduk setempat kancil sering dijumpai di lokasi kebun teh untuk merumput dan minum di aliran sungai dalam kebun teh. Beberapa penduduk

juga sering menjumpai kancil di lokasi perkebunan mereka. Di areal kebun penduduk kancil makan daun cabe, daun kacang dan daun singkong muda. Perjumpaan kancil di koridor disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kancil di koridor (Sumber BCI, 2005)

Kancil merupakan jenis soliter. Perjumpaan penduduk di lokasi Pojok Goong yang secara tidak sengaja dengan kancil yang berjumlah tiga ekor dengan dua ekor anakan. Seperti apa yang dijelaskan Grzimek`s (1972) bahwa kancil hidup soliter, berpasangan saat musim kawin dan dijumpai lebih dari satu jika mengasuh anaknya. Masa kehamilan 6 bulan dan biasanya melahirkan 2 ekor anak dalam satu waktu kelahiran.

Lokasi dijumpai jejak-jejak keberadan kancil memiliki formasi vegetasi yang didominasi oleh semak belukar. Dalam Semiadi et al. (2002) juga menyebutkan bahwa kancil berada di sekitar Gunung Kendeng (koridor bagian barat termasuk di dalamnya) dan dapat hidup hingga ketinggian 1150 m dpl. Lebih lanjut disebutkan juga bahwa kancil menyukai tempat-tempat yang rimbun terlindung seperti semak-semak bahkan di bawah rimbunan kebun teh, dan lubang-lubang kayu. Kondisi penutupan tajuk lebih terbuka dibanding lokasi lain. Kancil hidup di daerah kering atau habitat berbatu-batu, di hutan primer dan hutan mangrove (Grzimek`s, 1972). Lokasi dijumpai jejak dekat dengan tepian koridor, perkebunan teh dan pertanian penduduk.

Dari hasil pengamatan pada lokasi-lokasi yang sering terlihat kancil, terhitung ada 5 individu di kawasan koridor. Lokasi jejak ini di daerah semak belukar Pojok Goong, daerah perbatasan kebun teh Pojok adul, daerah pasir

Dokumen terkait