• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Biografi Ibnu Qayyim Al Jauziyah

E. Manhaj dalam karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyah

Manhaj merupakan metode atau cara tentang seluk beluk pemikiran seseorang. Dalam hal ini akan disebutkan manhaj Ibnu Qayyim dalam mengarang kitab-kitabnya di antaranya adalah (Al Hijazy, 2001: 6-10) :

1. Beliau selalu bersandar kepada dasar-dasar madzab imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah yang tidak pernah mendahului Al-Qur‟an dan

Hadis Shahih. Jika didapatkan hadis shahih dalam hal apapun, maka beliau tidak mendahuluinya (mengedepankan pendapatnya atas hadis). Jika tidak mendapatkannya kecuali hadis yang dhaif, tetapi tidak ada yang menentangnya, maka beliau mengamalkan hadis tersebut, tetapi jika menentangnya dan ia lebih kuat, maka beliau tinggalkan hadis dhaif tersebut jika dalam suatu masalah beliau mendapatkan hadis dhaif dan

24

qiyas, maka yang didahulukan adalah hadis dhaif. Jika dalam suatu masalah tidak didapatkan satupun hadis pun, beliau mengambil aqwal(pendapat) shahabah. Jika pendapat-pendapat itu saling bertentangan, beliau memilihyang lebih rajih (kuat) dan tidak sedikit pun keluar dari pendapat mereka. Jika dalam suatu masalah terdapat dua riwayat (pendapat) atau lebih, maka beliau mengikuti ushul madzab

Hanbali, dan beliau sangat memuji imam madzabnya, katanya, “Imam

Ahmad adalah orang yang mauquf.” Akan tetapi hal itu tidak

membuatnya ta‟ashub (fanatik) kepada pendapat madzabnya, dan tidak pula berpegang kepada pendapatnya jika pendapat lain lebih shahih dan

lebih benar. Beliau berkata, “Jika ada perbedaan antara pendapat Imam Ahmad dengan ahli hadist lainnya mengenai sebuah hadis, maka dalillah yang menghukumi dan memutuskannya dan pendapat Imam Ahmad sama sekali tidak menjadi bantahan atas mereka.

2. Sikap Ibnu Qayyim terhadap madzab Hanbali yang seperti itu

menunjukkan kuatnya sikap beliau dalam berpegang kepada Al-Qur‟an

dan As-Sunnah. Bukti lain dalam hal ini adalah, jika beliau menemukan ijtihad atau pendapat sebagian shahabat dalam beberapa hadis, sementara ijtihad itu adalah marjuh (lemah), beliau tidak mengambil pendapat tersebut, bahkan beliau menjelaskan bahwa pendapat tersebut marjuh. 3. Berdasarkan kepada nash-nash Al-Qur‟an dan As-Sunnah serta ijma,

sebagai contoh adalah ketika beliau menjelaskan tentang hukum nikah yang tidak disebutkan maharnya sewaktu akad, beliau berkata, “Telah

25

tetap dalam Al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma, bahwa akad nikah dianggap

sah walaupun padanya tidak disebutkan maharnya, tetapi hal itu wajib dengan memberikan mahar mitsal (mahar yang disamakan dengan mahar saudara perempuannya).

4. Al-Qur‟an dan As-Sunnah dijadikan sebagai timbangan terhadap pendapat seseorang, apa saja yang sesuai dengan keduanya beliau ambil, dan apa yang menyalahi keduanya beliau tolak dan sama sekalitidak diterima dari mana pun datangnya. Beliau melarang sikap taklid dan

ta‟ashub kepada pendapat dan pemikiran ulama. Beliau berkata, “Kita

berpaling dari ta‟ashub kepada ulama, kita memilih pendapat mereka yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dengan keduannya kita menerima pendapat mereka dan bukan karena salah seorang dari mereka, siapapun dia. Kita tidak mengakatakan benar dan salah terhadap pendapat seseorang kecuali berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, kemudian kita mengikuti semua pendapatnya tanpa sedikit pun bimbang dengan keduanya. Kemudian kita mengharamkan mengikuti selainnya dalam hal-hal yang menyalahi Al-Qur‟an dan

Sunnah. Demikianlah para imam yang shahih berwasiat kepada kita dan dengan ini mereka berjanji untuk taat kepada-Nya. Maka dengan hal itulah kita bermanhaj, dan di atas jalan dan petunjuk-Nya pula kita berjalan. Pernyataan ini bermanfaat bagi setiap pencari ilmu, agar mereka senantiasa menghiasi diri dengan amalam Ilahiyah dan menjaui sikap

26

kurungan hawa nafsu, dan agar senantiasa mencari hikmah (keadilan dan kebijakan) karena ia adalah mutiara yang hilang dari diri orang Mukmin. Dan hendaklah kita memisahkan antara pemikiran dan tokohnya, tidak terikat dan bergantung kepada seorang tokoh tertentu serta tidak ta‟ashub

terhadap pendapat merekan. Pemikiran yang benar dan kalimat yang lurus harus diambil meskipun keluar dari mulut dan akal musuh bebuyutan, sementara pemikiran dan kalimat yang salah harus ditolak meskipun keluar dari teman karib.

5. Beliau bersandar pada akal yang sehat dan fitrah yang selamat, di samping berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasullah, karena antara akal sehat dan fitrah yang selamat tidak akan bertentangan dengan nash(nakl) yang shahih. Beliau melihat bahwa setiap perkara yang bertentangan dengan akal sehat, fitrah yang selamat dan dalil yang shahih tidak boleh diperhitungkan dan wajib ditolak.

6. Dalam istidlal (mengambil dalil), beliau bersandar kepada hadis yang shahih, kemudian yang hasan. Namun tidak menutup kemungkinan untuk mengambil hadits dhaif, jika hanya sebatas sebagai syahid(penguat) dan tabiin (mengikuti).

7. Bersandar kepada dalil akal dalam mematahkan syubuhat para munharrif

(yang menyimpang) dan Muaththil (yang menafikan arti).

8. Terkadang beliau menukil hadis yang tidak jelas kedudukannya menurut

pandangannya, kemudian beliau berkata, “Saya tidak tahu kedudukan hadis ini”, atau menukil atsar dan berkata seperti itu, bahkan adakalanya

27

menukil atsar israilliyat tetapi dengan menjelaskan kedudukan dan

hakikatnya. 9. Jika dalam sebuah masalah terdapat banyak pendapat yang berlawanan

dan kontraindikasi, beliau menyebutkan semua pendapat tersebut, kemudian menjelaskan pendapat yang benar, yang sesuai dengan kebenaran menurut pendapatnya.

10. Dalam menulis, adakalanya beliau menggunakan cara iqtibas (menukil) dari ayat Al-Qur‟an.

11. Beliau menggunakan uslub (metode) cerita dalam karangannya. Seperti yang dilakukannya ketika berbicara tentang keutamaan ilmu dan ahlinya,

beliau bercerita, “Diceritakan dari ulama, konon ada seorang alim yang

sedang naik perahu bersama seorang pedagang. Tiba-tiba perahu yang ditumpanginya pecah, akhirnya mereka jatuh miskin karena kekayaannya tenggelam dalam laut, ketika seorang alim itu tiba di suatu daerah, ia dihormati dan dimuliakan bahkan diberi beberapa hadiah dan penghormatan, dan ketika para pedagang itu hendak kembali ke

daerahnya, mereka berkata, “Wahai guru, apakah paduka hendak

mengirim surat atau pesan untuk kaum- mu ? Seorang alim berkata, “Ya,

sampaikan kepada mereka , jika kalian menginginkan harta, yang walaupun perahu yang ditumpangi pecah, tetapi hartanya itu tidak akan

ikut tenggelam, maka jadikanlah ilmu sebagai perniagaannya.”

12. Ibnu Qayyim terkenal dengan panjangnya susunan kalimat yang

28

terjadi karena dalamnya tsaqafah dan luasnya cakrawala serta derasnya ilmu seseorang. Dan juga terjadi karena keyakinan penulis bahwa memperpanjang tulisan(kalimat) itu diperlukan dalam sebagian hal yang penting.

Dokumen terkait