• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus (DM) 1.Pengertian DM

2.1.3. Manifestasi Klinis DM

Manifestasi klinis DM menurut Baradero, dkk (2005) dibagi menjadi 2 yaitu gejala awal dan gejala akhir. Gejala awal DM ditandai dengan poliuri (banyak kencing), polydipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), penglihatan kabur, kelelahan dan berat badan menurun. Sedangkan gejala akhir dari DM yaitu koma dan komplikasi kronis. Selain gejala tersebut DM juga menyebabkan pusing, keringat dingin dan tidak bisa berkonsentrasi akibat dari menurunnya kadar gula darah (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Pasien DM cenderung datang ke tenaga kesehatan setelah adanya keluhan pada beberapa organ tubuh yaitu gangguan penglihatan (katarak), kelainan pada kulit, kesemutan (rasa baal), kelemahan tubuh, luka yang tidak sembuh-sembuh dan infeksi saluran kemih (Misnadiarly, 2006).

2.1.4.Patofisiologi DM

DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh peningkatan glukosa dalam darah atau hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2004). DM tipe 2 terjadi karena terdapat masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (Smeltzer & Bare, 2004). Selain kelaian pada insulin terdapat faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe 2 yaitu pola makan, obesitas, faktor genetik dan bahan-bahan kimia dan obat-obatan (Wijayakusuma, 2005).

12

Pola makan yang tidak normal dapat menyebabkan terjadinya DM (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Menurut Wijayakusuma (2005), makan yang berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh

dapat memicu timbulnya DM karena jumlah atau kadar insulin oleh sel β

pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu, mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan menyebabkan DM. Selain pola makan obesitas memiliki hubungan yang erat dengan terjadinya DM tipe 2 (Dinkes Jogja, 2012). Pada orang yang mengalami obesitas, akan terjadi kelebihan kalori akibat dari makan yang berlebih dan akan menimbulkan penimbunan lemak di jaringan kulit (Dinkes Jogja, 2012). Resistensi insulin akan timbul pada daerah yang mengalami penimbunan lemak sehingga akan terjadi penurunan fungsi sel β di

pankreas dan menurunnya sensifitas jaringan atau sel terhadap insulin (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008) serta dapat menghambat kerja insulin dijaringan tubuh dan otot yang menyebabkan glukosa tidak dapat dibawa ke dalam sel dan akan menimbun di dalam pembuluh darah (Dinkes Jogja, 2012). Penimbunan glukosa dalam pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya DM (Dinkes Jogja, 2012). Faktor keturunan juga merupakan penyebab terjadi DM dimana seseorang yang memiliki resiko tinggi untuk terserang DM jika salah satu atau kedua orangtuanya mengalami penyakit DM (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Bahan kimia dan obat-obatan dapat mengiritasi pankreas yang

menyebabkan terjadinya peradangan pada pankreas sehingga pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin (Wijayakusuma, 2005). Menurut Smeltzer & Bare (2004), pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel yang menyebabkan terjadinya suatu rangkaian reaksi metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk berespon terhadap hormon insulin (Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto, 2008). Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel yang menyebabkan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin (Michael, 2005). Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer & Bare, 2004). Pada penderita toleransi terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat dan apabila sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2004).

Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat (Price&Wilson,2005). Tingginya kadar gula dalam darah yang dikeluarkan lewat

14

ginjal selalu diiringi oleh cairan tubuh sehingga buang air kecil akan menjadi lebih banyak atau lebih sering (polyuria) dan banyaknya urine yang keluar menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga timbul rasa haus (polydipsia) (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Glukosa yang hilang bersama urine akan menyebabkan pasien mengalami ketidakseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang sehingga mengakibatkan rasa lapar yang semakin besar (polifagia) yang mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price & Wilson, 2005). Rasa lelah, pusing, keringat dingin dan tidak bisa berkonsentrasi disebabkan karena terjadinya penurunan kadar glukosa darah (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008).

2.1.5.Diagnosis DM

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada diabetisi dan kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti (Perkeni,2011) :

a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan cara:

a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir (Gibney, 2008).

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya keluhan klasik (Gibney, 2008).

c. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air (WHO, 2006).

2.1.6.Penatalaksanaan DM

Menurut Perkeni (2011) tujuan dari dari penatalaksanaan DM yaitu untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah, serta untuk mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM yaitu untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas DM.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM (Haeria, 2009) yaitu :

a. Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl b. Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl

c. Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime blood glucose) 100–140mg/dl d. Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur (Bedtime plasma glucose)

110-150mg/dl

16

f. Kadar HbA1c <7mg/dl

g. Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria) dan >55mg/dl (wanita) h. Kadar Trigliserida <200mg/dl

i. Tekanan Darah <130/80mmHg

Menurut PERKENI (2011) terdapat empat pilar dalam penatalaksanaan DM yaitu:

a. Edukasi

DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan (Perkeni, 2011). Edukasi DM merupakan pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan DM yang diberikan kepada setiap pasien DM, keluarga, kelompok masyarakat beresiko tinggi dan pihak perencana kebijakan (Publichealth, 2013). Edukasi pada pasien DM sebaiknya dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam pengelolaan DM seperti dokter, perawat dan ahli gizi (Ambarwati, 2012). Pemberdayaan diabetisi memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat agar pengelolaan DM secara mandiri dapat berhasil (Misnadiarly, 2006). Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat dan untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (Perkeni, 2011). Pengetahuan tentang penyakit DM, pemantauan glukosa darah mandiri, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non farmakologis, hipoglikemia

dan perawatan kaki pada DM harus diberikan kepada pasien (Misnadiarly, 2006). Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (Perkeni, 2011).

b. Terapi gizi medis (diet)

Diet dan pengendalian berat badan merupakan pinsip dasar dalam penatalaksanaan DM yang diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut (Smelter & Bare, 2004; Amalsier, 2006) :

1. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral).

2. Mencapai dan mepertahankan berat badan yang sesuai. 3. Memenuhi kebutuhan energi.

4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.

5. Menurunkan kadar lemak darah.

6. Menghindari dan menangani komplikasi akut pasien yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia.

7. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.

Menurut Perkeni (2011), prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang

18

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jumlah makanan, jenis, dan jadwal makan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

1. Jumlah makanan

Syarat kebutuhan kalori untuk penderita DM harus sesuai untuk mencapai kadar glukosa normal dan mempertahankan berat badan normal (Almatsier, 2006). Jumlah kalori yang diberikan harus sesuai, jangan sampai dikurangi atau ditambah (Widharto, 2007). Sebelum menghitung kebutuhan kalori pasien, terlebih dahulu harus mengetahui berat badan ideal dan status gizi pasien. Cara menetapkan berat badan ideal yang sederhana dengan menggunakan rumor Brocca, yaitu: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm-100) x 1kg (Almatsier, 2006). Bagi laki-laki dengan tinggi badan dibawah 160cm dan perempuan dibawah 150cm, rumus dimodifikasi menjadi: berat badan ideal= (TB dalam cm

– 100) x 1kg (Yunir dan Suharko, 2006). Cara lain untuk menilai berat badan ideal adalah dengan mengguankan Indeks Massa Tubuh (IMT) rumus berikut (Paran, 2008):

Berat Badan (Kg)

IMT = --- Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)

Tabel 2.1. Kategori Hasil Penghitungan IMT

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan

<17,0 17,0-18,5

Normal >18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat.

25,1-27,0 >27,0 Sumber: Ambarwati, 2012; Almatsier, 2006

Cara untuk mengetahui status gizi pasien yaitu dengan perhitungan menggunakan rumus Brocca:

BB Aktual

Status gizi = --- x 100% BB ideal

Tabel 2.2. Kategori Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca

Klasifikasi Cut off

Berat badan kurang Berat badan normal Berat badan lebih Gemuk

BB aktual <90% BB ideal BB aktual= 90-110% BB ideal BB aktual= 110-120% BB ideal BB aktual >120 BB idel Sumber: Yunir dan Suharko, 2006

20

Setelah mengetahui berat badan ideal dan status gizi pasien, ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal (25-30 kalori/kg BB ideal untuk perempuan dan untuk laki-laki sebesar 30 kal/kg berat badan ideal) kemudian ditambah atau dikurangi beberapa faktor koreksi.

Faktor-faktor koreksi yang menentukan kebutuhan kalori antara lain (Perkeni, 2011).

a) Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB (Perkeni, 2011).

b) Usia

Kebutuhan kalori untuk pasien usia di atas 40 tahun (40-59 tahun) dikurangi 5%, usia 60-69 tahun dikurangi 10% dan diatas usia 70 tahun dikurangi 20% (Perkeni, 2011).

c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh diabetes. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan (mengendarai mobil, memancing, kerja lab,

kerja sekretaris dan mengajar), 30% dengan aktivitas sedang (kerja rumah tangga, bersepeda, bowling, jalan cepat dan berkebun), 40% dengan aktivitas berat (aerobik, bersepeda, memanjat, menari dan lari) dan 50% dengan aktivitas sangat berat (tukang becak, tukang gali dan pandai besi) (Waspadji, 2007; Perkeni, 2011).

d) Berat Badan

Diabetesi dengan berat badan berlebih atau kurang, dikurangi atau ditambah sekitar 20-30% tergantung kepada berat badan pasien (Perkeni, 2011). Apabila berat badan kurang ditambah 20%, berat badan lebih dikurangi 10% dan berat badan gemuk dikurangi 20% (Sudetjo, 2010). Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria (Perkeni, 2011).

Tabel 2.3. Standar Pengaturan Jumlah Makanan Dalam Sehari Diet DM

Jenis diet DM (kalori)

Standar Kepatuhan at Gizi

Energi 90-110% (kalori) Karbohidrat: 45-65% (gram) Gula Murni: <5% (gram) Lemak jenuh: <7% (gram) 1100 990-1210 124-179 < 14 < 8,5 1300 1170-1430 146-211 < 16 < 10,1 1500 1350-1650 169-244 < 19 < 11,7 1700 1530-1870 191-276 < 21 < 13,2 1900 1710-2090 214-309 < 24 < 14,8 2100 1890-2310 236-341 < 26 < 16,3 2300 2070-2530 256-374 < 29 < 17,9 2500 2250-2750 281-406 < 31 < 19,4 Sumber : Almatsier, 2006

22

Jumlah makanan yang dianjurkan untuk pasien DM (Perkeni, 2011): a) Karbohidrat yang dianjurkan pada diabetisi sebesar 45-65% total

asupan energi dan pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan. Makanan yang diberikan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Selain itu, penggunaan sukrosa (gula murni) tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

b) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi (Misnadiarly, 2006). Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda <10% dan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004). Asupan kolesterol makanan dibatasi yaitu

≤300 mg/hari (Almatsier, 2006).

c) Jumlah protein yang dibutuhkan sebesar 10–20% total asupan energi (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004). Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi (Perkeni, 2011).

d) Asupan natrium untuk diabetisi sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. Klien dengan hipertensi diajurkan untuk pembatasan natrium sampai 2400 mg.

e) Asupan serat untuk diabetisi yang dianjurkan adalah 20-35 g/hari, sama seperti populasi pada umumnya (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004).

f) Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar glukosa darah sudah terkendali, diperbolehkan mengkonsumsi gula murni sampai 5% dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2006). 2. Jenis makanan

Pada diabetisi terdapat beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan atau dibatasi, yaitu :

a) Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi adalah (Almatsier, 2006) :

 Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi dan sagu.

 Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe, tahu dan kacang-kacangan.

 Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah dicerna dan mudah diolah dengan cara dipanggang, dikukus, disetup, direbus dan dibakar.

 Penggunaan gula murni diperbolehkan hanya sebatas sebagai bumbu (Waspadji et al, 2010).

24

b) Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi untuk penyandang DM adalah (Dewi, 2009) :

 Sumber karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula jawa, gula batu, madu, sirup, cake, permen, minuman ringan, selai dan lain-lain.

 Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis, kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit dan bayam harus dibatasi tidak boleh dalam jumlah banyak (Waspadji et al, 2010).

 Buah-buahan berkalori tinggi seperti nanas, angur, manga, sirsak, pisang, alpukat dan sawo sebaiknya dibatasi (Waspadji et al, 2010).

 Mengandung asam lemak jenuh seperti mentega, santan, kelapa, keju, krim, minyak kelapa dan minyak kelapa sawit.  Mengandung lemak trans seperti margarin.

 Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur asin dan makanan yang diawetkan.

 Makanan megandung kolesterol tinggi seperti kuning telur, jeroan, lemak daging, otak, durian dan susu fullcream.

3. Jadwal makan

Diabetisi hendaknya mengkonsumsi makanan dengan jadwal waktu yang tetap sehingga reaksi insulin selalu selaras dengan datangnya makanan dalam tubuh (Nurjanah & Jualianti, 2006). Jadwal makan pada diabetisi dibagi ke dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%), dan 2-3 porsi kecil untuk makanan selingan (masing-masing 10-15%) dengan interval waktu 3 jam (Rusilanti, 2008).

Tabel 2.4. Jadwal Makan Pasien DM tipe 2

Jadwal Makan Jenis Makanan

1. Makan pagi jam 06.00-08.00 Makanan utama yang terdiri dari :

Makanan pokok (nasi) Lauk pauk

Sayuran

2. Selingan I jam 10.00-11.00 Selingan

3. Makan siang jam 12.00-13.00 Makanan utama

4. Selingan II jam 16.00-17.00 Selingan

5. Makan malam jam

18.00-19.00

Makanan utama

6. Selingan III jam 21.00-22.00 Selingan

Sumber: Depkes RI, 2011

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu cara pengelolaan dalam mengendalikan gula darah pada penyakit DM (Tobing dkk, 2008). Saat

26

melakukan latihan jasmani, akan terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menurunkan kadar glukosa darah (Indriyani, Supriyno dan Santoso, 2007) dan latihan jasmani dapat mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin (Price & Wilson, 2005). Latihan jasmani yang dilakukan oleh diabetisi harus teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) dan kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga dan berkebun harus tetap dilakukan (Perkeni, 2011). Latihan jasmani yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training) (Depkes, 2005). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan diabetisi berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, berenang dan sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. (Perkeni, 2011)

d. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat) (Perkeni, 2011). Terapi farmakologis diberikan dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005).

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe 2 dan keberhasilan terapi DM ditentukan dengan pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat. Pemilihan dan penentuan obat hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. (Depkes, 2005)

Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 5 golongan (Perkeni, 2011) :

a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid

b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)

d) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. e) DPP-IV inhibitor

2. Terapi insulin

Terapi insulin dibutuhkan oleh diabetesi karena ketidakmampuan tubuh menyekresikan insulin cukup untuk mempertahankan glokosa darah (Price & Wilson, 2005). Indikasi penggunaan insulin yaitu pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non

28

ketotik dan hiperglikemia dengan asidosis laktat. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat dan kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO juga merupakan indikasi penggunaan insulin.

Insulin berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek penurunan glukosa yang maksimal dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu insulin dengan masa kerja pendek, insulin dengan masa kerja sedang dan insulin dengan masa kerja panjang (Smeltzer dan Bare, 2005).

3. Terapi kombinasi

Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan insulin (Depkes, 2005). Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah (Perkeni, 2011). Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga

kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang (Depkes, 2005).

Menurut Perkeni (2011) untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

2.1.7.Komplikasi DM

Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi kronik jangka panjang (Price & Wilson, 2005). Komplikasi metabolik akut terdiri dari :

a. Ketoasidosis diabetika (KDA)

Ketoasidosis Diabetik merupakan komplikasi yang ditandai dengan perburukan semua gejala diabetes yang terjadi setelah stress fisik seperti kehamilan atau penyakit akut dan trauma (Corwin, 2008). Ketoasidosis metabolik disebabkan karena kadar insulin yang sangat rendah yang

30

menyebabkan pasien mengalami hiperglikemia, glukosuria berat, peningkatan lipolysis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas yang disertai pembentukan benda keton (Price & Wilson, 2005). Peningkatan produksi keton dapat mengakibatkan ketosis dan meningkatkan beban ion hydrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilagan elektrolit (Price & Wilson, 2005). Pasien dapat mengalami hipotensi dan mengalami syok yang akhirnya mengakibatkan penurunan penggonaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal (Price & Wilson, 2005).

b. Hiperglikemia, hyperosmolar, koma nonketotik (HHNK)

HHNK merupakan komplikasi akut yang dijumpai pada diabetisi tipe 2 dan merupakan petunjuk perburukan drastis penyakit (Corwin, 2009). Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis (Price & Wilson, 2005). Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat sehingga pasien menjadi tidak sadar dan meninggal apabila tidak tertangani dengan cepat (Price & Wilson, 2005).

c. Hipoglikemia

Menurut Price & Wilson (2005), hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada DM terutama komplikasi terapi insulin. Gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat,

gemetar, sakit kepala dan palpitasi) dan kekurangan glukosa pada otak (tingkah laku aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Hipoglikemia apabila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen bahkan kematian.

Komplikasi vascular jangka panjang terdiri dari:

a. Mikroangiopati

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomelurus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit (Price & Wilson, 2005).

1. Retinopati diabetic

Retinopati diabetik disebabkan oleh memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina dan merupakan saah satu penyebab kebutaan (Tobing dkk, 2008). Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriola retina yang mengakibatkan perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina yang akhirnya menyebabkan kebutaan (Price & Wilson, 2005).

32

2. Neuropati diabetik

Menurut Tobing dkk (2008), neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi DM yang mengacu pada saraf sensorik yang menimbulkan rasa sakit kesemutan, serta mati rasa pada kaki dan tangan. DM juga dapat mengganggu fungsi saraf otonom yang mempengaruhi fungsi organ seperti organ pencernaan (sakit maag, mual, kembung, konstipasi

Dokumen terkait