• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Health Locus of Control Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM Tipe 2 Di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Health Locus of Control Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM Tipe 2 Di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara."

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN HEALTH LOCUS OF CONTROL DENGAN KEPATUHAN

PENATALAKSANAAN DIET DM TIPE 2 DI PAGUYUBAN PUSKESMAS

III DENPASAR UTARA

OLEH :

IDA AYU PUTU SURYA ADNYANI

NIM: 1102105067

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

HUBUNGAN HEALTH LOCUS OF CONTROL DENGAN KEPATUHAN

PENATALAKSANAAN DIET DM TIPE 2 DI PAGUYUBAN PUSKESMAS

III DENPASAR UTARA

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

IDA AYU PUTU SURYA ADNYANI

NIM: 1102105067

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ida Ayu Putu Surya Adnyani

NIM : 1102105067

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana

Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Juni 2015

Yang membuat pernyataan,

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Hubungan Health Locus Of Control dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Pt. Astawa, Sp. OT, M. Kes., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut

ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF., sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.

3. Ns. Desak Made Widyantari, M.Kep, Sp. Kep.MB., sebagai pembimbing utama yang

telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

4. Ns. Kadek Saputra, S.Kep., sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan

bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

5. Kepala Puskesmas III Denpasar Utara yang telah memberikan ijin penelitian.

6. Responden dan pengurus Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara yang senantiasa

meluangkan waktunya untuk penelitian ini.

7. Bapak, ibu dan keluarga besar yang selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayang

tak terhingga.

8. Sahabat-sahabat yang memberikan semangat dan bantuan.

(9)

itu, penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Denpasar, Juni 2015

(10)

ASBTRAK

Adnyani, Ida Ayu Putu Surya Adnyani. 2015. Hubungan Health Locus of Control Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM Tipe 2 Di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara. Proposal, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Desak Made Widyanthari, M.Kep, Sp. Kep.MB; (2) Ns.Kadek Saputra, S.Kep.

Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan peningkatan glukosa dalam darah atau hiperglikemi. Hiperglikemi terjadi akibat penurunan kemampuan tubuh untuk berespon terhadap insulin dan penurunan atau kegagalan pankreas dalam pembentukan insulin. Hiperglikemia berdampak pada peningkatan kadar lemak darah dan kerusakan pembuluh darah kecil yang dalam waktu lama akan menyebabkan neuropati diabetik serta gangguan organ-organ penting dalam tubuh yaitu jantung, ginjal, otak, saluran pencernaan, panca indera dan sebagainya. Kepatuhan penatalaksanaan diet merupakan salah satu pilar yang penting dalam pengelolaan DM tipe 2 dan health locus of control merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan health locus of control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental korelational dengan desain cross sectional. Sampel penelitian ini adalah anggota Paguyuban Puskesmas III Denpasar Utara sebanyak 32 orang dengan teknik purposive sampling. Uji yang digunakan adalah fisher dengan p value <α, α=0,05). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

health locus of control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2 dengan nilai p=0,002. Berdasarkan temuan diatas diharapkan agar penelitian ini dapat dijadikan gambaran bagi perawat bahwa sangat penting untuk melihat health locus of control pasien dan mengubah kendali pasien dalam mengikuti diet DM. Simpulan dari penelitian ini adalah health locus of control

berhubungan dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2.

(11)

Adnyani, Ida Ayu Putu Surya Adnyani. 2015.

With Compliance Dietary Management Type 2 Diabetes Mellitus at Society of Public Health Center III North Denpasar. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine, Udayana Univercity. Supervisors (1) Ns. Desak Made Widyanthari, M.Kep, Sp. Kep.MB; (2) Ns.Kadek Saputra, S.Kep.

Diabetes Mellitus (DM) is a heterogenic abnormality group that indicated by the increase of glucose in the blood or hyperglycemia. Hyperglycemia occurs as a result of the decline of body’s ability to respond the insulin and the decrease or failure of pancreas producing insulin. Hyperglycemia affects on the increase of blood fat level and the damage of small blood vessels in long terms will cause diabetic neuropathy and abnormality of internal vital organs including heart, kidneys, brain, alimentary canal, the five senses, etc. Compliance of dietary management is one of the important pillars in managing diabetes mellitus type 2 and health locus of control is one of the factors that may influence such obedience. This research is aimed at eliciting the relationship between health locus of control and compliance management of diabetes mellitus type 2 dietary. This research was an non-experimental correlational with cross-sectional design. The sample was member of the society in PHC III North Denpasar 32 respondent with purposive sampling tehnique. Fisher test used is the p value <α, α = 0.05. The result from this research showed that there was a significant relationship between health locus of control with compliance dietary management of diabetes mellitus type 2 with p value 0,002 (<0,05). Based on the above finding, this research is expected to be served as a reference for nurses that it is very essential to observe patient health locus of control and change patient’s control in applying diabetes mellitus type 2 dietary. The conclusion of this research is that health locus of control relates with the compliance of diabetes mellitus type 2 dietary management.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….. i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………... iii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

ABSTRAK BAHASA INDONESIA ………. vii

ABSTRAK BAHASA INGGRIS ………... viii

DAFTAR ISI ……… ix

2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi DM ……… 9

2.1.3. Manifestasi Klinis DM ………. 11

2.1.4. Patofisiologi DM ……….. 11

2.1.5. Diagnosis DM ………... 14

2.1.6. Penatalaksanaan DM ……… 15

2.1.7. Komplikasi DM……… 29

2.2.Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM ………. 33

2.2.1. Pengertian Kepatuhan ……….. 33

2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan ……….. 34

2.2.3. Alat Ukur Tingkat Kepatuhan Diet DM ……….. 37

2.3.Health Locus of Control ... 38

(13)

2.4. Hubungan Health Locus of Control dengan kepatuhan ………... 42

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1.Kerangka Konsep ……… 44

3.2.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………. 45

3.2.1. Variabel Penelitian ………... 45

3.2.2. Definisi Operasional Variabel ……….. 46

3.3.Hipotesis Penelitian ………. 50

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1.Jenis Penelitian ……… 51

4.2.Kerangka Kerja ………... 52

4.3.Tempat dan Waktu Penelitian ………. 53

4.3.1. Tempat Penelitian ……… 53

4.3.2. Waktu Penelitian ………. 53

4.4.Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian ………. 53

4.4.1. Populasi Penelitian ………... 53

4.4.2. Sampel Penelitian ………. 53

4.4.3. Teknik Sampling ………... 55

4.4.4. Etika Penelitian ………. 56

4.5.Jenis dan Cara Pengumpulan Data ……….. 58

4.5.1. Jenis Data Yang Dikumpulkan ……… 58

4.5.2. Cara Pengumpulan Data ……….. 58

4.5.3. Instrument Pengumpulan Data ……… 60

4.6.Pengolahan dan Analisa Data ……….. 68

4.6.1. Pengolahan Data ……….. 68

4.6.2. Analisa Data ……… 70

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ……… 71

5.1.1. Deskripsi Tempat Penelitian ……… 71

5.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian ……… 72

5.1.3. Hasil Pengamatan Terhadap Responden Sesuai Variabel Penelitian ……... 74

5.1.4. Hasil Analisa Data ……… 76

5.2. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 77

5.2.1. Hasil Penamatan Responden Sesuai Dengan Karakteristik Responden …... 77

5.2.2. Hasil Pengamatan Responden Sesuai Dengan Variabel Penelitian …... 80

5.2.3. Hubungan Health Locus of Control dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM di Paguyuban Puskesmas III Denpasar Utara ……… 86

(14)

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan ………... 92

6.2. Saran ………... 94

6.2.1. Bagi Perawat Puskesmas III Denpasar Utara ……….... 94

6.2.2. Bagi Peneliti Lainnya …..………..……… 95

(15)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini sudah menjadi masalah kesehatan

masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal (Depkes, 2013).

Global Status Report on Non-communicable Disease World Health Organization

(WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa 60% penyebab kematian di dunia adalah

karena PTM, salah satu PTM yang paling umum terjadi diseluruh dunia adalah

Diabetes Melitus (DM) (Depkes, 2013).

DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh peningkatan

glukosa dalam darah atau hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2004). Hiperglikemi

terjadi akibat penurunan kemampuan tubuh untuk berespon terhadap insulin dan

penurunan atau kegagalan pankreas dalam pembentukan insulin (Smeltzer &

Bare, 2004). DM dapat dibagi menjadi empat yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM

tipe lain dan DM gestasional (Perkeni, 2011).

Menurut data International Diabetic Federation (2013), 382 juta orang menderita DM pada tahun 2013 dengan angka kematian 5,1 juta orang. Jumlah penyandang

DM (diabetisi) diperkirakan terus mengalami peningkatan menjadi 592 juta orang

(16)

2

menengah (IDF, 2013). Indonesia merupakan salah satu Negara dari 10 Negara

dengan jumlah diabetisi tertinggi di Dunia (IDF, 2013). Jumlah diabetisi di

Indonesia pada tahun 2013 yaitu 8,5 juta (IDF, 2013) dan diperkirakan pada

tahun 2030 akan memiliki diabetisi sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes, 2013).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukan bahwa angka

kejadian DM yang terdiagnosis dokter di Provinsi Bali sebesar 1,3% (Riskesdas,

2013). Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah merupakan rumah sakit

rujukan pertama Provinsi Bali. Data rekam medik RSUP Sanglah menyebutkan

bahwa jumlah diabetisi yang dirawat di RSUP sanglah tahun 2012 adalah 642

pasien, dan jumlah kunjungan diabetisi di Poliklinik Diabetic Center RSUP sanglah pada tahun 2013 adalah 2.244 pasien sedangkan pada tahun 2014 sampai

bulan Agustus 2014, jumlah kunjungan telah mencapai 1.465 pasien. Data Dinas

Kesehatan Kota Denpasar menyebutkan bahwa jumlah kunjungan diabetisi

tertinggi di Denpasar adalah di Puskesmas III Denpasar Utara. Jumlah kunjungan

diabetisi di Puskesmas III Denpasar Utara pada tahun 2013 mencapai 1.629

pasien sedangkan pada tahun 2014 sampai bulan Agustus 2014 jumlah kunjungan

pasien telah mencapai 678 pasien.

Jumlah diabetisi yang tinggi membuktikan bahwa DM merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang serius. Jumlah diabetisi yang tinggi di Indonesia

terjadi oleh karena faktor demografi yaitu penduduk usia lanjut bertambah

banyak, perubahan gaya hidup seperti sering mengkonsumsi makanan cepat saji

(17)

menyebutkan bahwa jumlah pasien rawat inap maupun rawat jalan di Rumah

Sakit yang menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin adalah DM

(Tandra, 2008).

DM apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan timbulnya

komplikasi yang diawali dari ganguan metabolik sehingga terjadi hiperglikemia.

Hiperglikemia berdampak pada peningkatan kadar lemak darah dan kerusakan

pembuluh darah kecil yang dalam waktu lama akan menyebabkan neuropati

diabetik serta gangguan organ-organ penting dalam tubuh yaitu jantung, ginjal,

otak, saluran pencernaan, panca indra dan sebagainya (Kanisius, 2010).

Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dicegah melalui pengelolaan DM yang terdiri

dari empat pilar utama yaitu edukasi, terapi gizi medis (diet), latihan jasmani dan

intervensi farmakologi (Perkeni, 2011).

Diet merupakan dasar dari penatalaksanaan DM yang bertujuan untuk

memberikan semua unsur makanan esensial, mencapai dan mempertahankan berat

badan, memenuhi kebutuhan energi dan mencegah fluktuasi kadar glukosa darah

(Smeltzer & Bare, 2004). Arsana (2011) menyebutkan bahwa kontrol glikemik

pasien sangat dipengaruhi oleh kepatuhan pasien terhadap anjuran diet meliputi

jenis, jumlah dan jadwal makanan yang dikonsumsi dan ketidakpatuhan

merupakan salah satu hambatan untuk tercapainya tujuan pengobatan. Hal ini

memerlukan perhatian dan penanganan serius dari tenaga kesehatan termasuk

perawat untuk menurunkan angka komplikasi DM melalui upaya peningkatan

(18)

4

jangka panjang terhadap diet merupakan salah satu aspek yang paling

menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan DM (Smeltzer & Bare, 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tera (2011) dalam determinan

ketidakpatuhan diet penderita DM tipe 2 mendapatkan hasil bahwa dari 13

responden menunjukan tidak ada responden yang melakukan pengaturan makan

sesuai jumlah energi, jenis makanan dan jadwal makanan yang dianjurkan.

Kepatuhan merupakan tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan

nasehat medis atau kesehatan (Siregar, 2006). Berdasarkan penelitian Delamater

(2006), nilai rata-rata kepatuhan yang terendah pada pengelolaan DM tipe 2

adalah diet yang merupakan kebiasaan paling sulit untuk diubah dan paling

rendah tingkat kepatuhannya dalam manajemen diri seorang diabetisi (Tovar,

2007). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bidari mahasiswa PSIK FK UNUD

(2010) tentang tingkat kepatuhan diet terhadap gula darah menunjukan bahwa

kepatuhan diet mempunyai hubungan kuat dengan terkendalinya gula darah

pasien. Selain itu, kepatuhan diet DM juga memiliki hubungan yang signifikan

dengan kejadian kaki diabetik pada diabetisi di Desa Tangkil Kulon Kecamatan

Kedungwuni Kabupaten Pekalongan dengan nilai p=0,030 (Novel Ainin & Nurul

Ainin, 2013). Kepatuhan diet DM dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

psikosisial seperti stress, health locus of control, sikap, sistem pendukung dan self

efficacy (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004).

Health locus of control adalah seperangkat keyakinan seseorang tentang

(19)

Bornstein, 2009) dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan

diet DM. Health locus of control dapat dibagi menjadi dua yaitu health locus of

control internal dan health locus of control eksternal. Menurut Rodin dalam Theofilou (2012) seorang individu dengan health locus of control yang tinggi

akan memiliki kesehatan yang lebih baik karena individu cenderung mengambil

tindakan untuk meningkatkan kesehatannya.

Telah banyak studi yang meneliti health locus of control sebagai prediktor dalam

perilaku kesehatan. Dalam penelitian Safitri (2013) yang berjudul kepatuhan

penderita DM tipe 2 yang ditinjau dari Locus of control didapatkan hasil bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan ditinjau dari locus of control dengan nilai p=0,038. Individu yang memiliki locus of control internal

memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang

memiliki locus of control eksternal powerful others dan locus of control eksternal Chance (Safitri, 2013). Menurut Pratita (2012) health locus of control juga

memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap kepatuhan dalam menjalani

proses pengobatan pada diabetisi dengan nilai signifikan 0,000. Sedangkan

Morowathisarifabad, Mahmoodabad, Baghianimoghadam & Tonekaboni (2010)

menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara locus of control internal

dengan kepatuhan dan hubungan negatif antara chance locus of control dengan

kepatuhan pengobatan DM, sehingga tidak ada kesimpulan sebab akibat yang

(20)

6

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas III Denpasar Utara

terhadap dua responden yang mengikuti paguyuban DM didapatkan gambaran

bahwa pasien tidak patuh terhadap penatalaksanaan diet DM. Ketidakpatuhan

pasien terhadap diet dipengaruhi oleh keyakinan pasien bahwa kendali atas

kesehatan dalam hidupnya ditentukan oleh orang lain bukan oleh dirinya sendiri.

Jika pasien memiliki keyakinan eksternal, maka perawat berusaha membentuk

keyakinan internal pada diri pasien agar pasien dengan senang hati patuh dan

merubah perilaku demi kesembuhannya (Lestari, 2014).

Berdasarkan latar belakang diatas, penting dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai tingkat kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2 karena besarnya

dampak negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif yang ditimbulkan dari

ketidakpatuhan adalah tidak terkendalinya kadar glukosa darah dan terjadinya

komplikasi yaitu kaki diabetik. Kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2

merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM Tipe 2 dan health locus of

control merupakan salah satu faktor pendorong kepatuhan. Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan

health locus of control terhadap kepatuhan penatalaksanaan diet pada pasien DM

tipe 2 di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara.

1.2. Rumusan Masalah

DM merupakan suatu keadaan hiperglikemia yang dapat menyebabkan

(21)

baik. Kepatuhan penatalaksanaan diet merupakan salah satu pilar yang penting

dalam pengelolaan DM tipe 2 dan health locus of control merupakan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Berdasarkan uraian tersebut dapat

ditarik rumusan masalah “bagaimanakah hubungan antara health locus of control

dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM?”

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan health locus of

control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Diketahui karakteristik pasien DM meliputi usia dan jenis kelamin.

b. Diketahui health locus of control padapasien DM c. Diketahui kepatuhan pasien dalam penatalaksanaan DM

d. Menganalisis hubungan health locus of control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM

1.4. Manfaat

1.4.1. Manfaat Praktis

a. Melalui hasil ini diharapkan bagi pasien DM agar mendapatkan gambaran

yang jelas mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi kepatuhan diet

(22)

8

eksternal pada pasien DM agar pasien lebih patuh menjalani diet DM dan terhindar dari komplikasi.

b. Sebagai masukan bagi perawat agar mempertimbangkan health locus of control pasien sebagai dasar acuan untuk menumbuhkan motivasi dan

kepatuhan pasien terhadap diet DM yang dijalani.

1.4.2. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitin ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan

mengenai hubungan health locus of control dengan kepatuhan

penatalaksanaan diet DM.

b. Meningkatnya pengembangan ilmu dan keterampilan perawat dalam

(23)

9

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus (DM) 2.1.1.Pengertian DM

DM merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar

glukosa darah (hiperglikemia) serta gangguan metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein yang disebabkan oleh ketidakmampuan produksi insulin dan kerja

insulin yang tidak optimal (WHO, 2014).

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkeni,

2011).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa DM merupakan suatu

kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia dan terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.

2.1.2.Klasifikasi dan Etiologi DM

Klasifikasi dan Etiologi DM menurut Perkeni (2011) dapat dibagi menjadi 4

(24)

10

a. DM tipe 1

Menurut Gibney (2008), DM tipe 1 ditandai dengan penurunan kadar

insulin yang disebabkan oleh destruksi sel beta dan umumnya menjurus ke

defisiensi insulin absolut. Pasien DM tipe 1 memerlukan insulin untuk

tetap bertahan hidup dan tanpa adanya insulin dari luar, pasien DM tipe 1

akan mengalami ketoasidosis, koma dan kematian.

b. DM tipe 2

DM tipe 2 terjadi ketika tubuh masih menghasilkan insulin tetapi tidak

cukup dalam pemenuhannya atau insulin yang dihasilkan mengalami

resistensi sehingga insulin tidak dapat bekerja secara optimal (Sutjahjo

dkk, 2006). Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya DM tipe 2

meliputi faktor genetik, usia, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik

(Gibney, 2008).

c. DM tipe lain

DM tipe lain disebabkan oleh adanya defek genetik fungsi sel beta, defek

genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau

zat kimia, infeksi, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

(Perkeni, 2011).

d. DM gestasional

Menurut Wilson (2005), DM gestasional dikenali pertama kali selama

(25)

yang dapat menyebabkan DM gestasional adalah usia tua, etnik, obesitas,

multiparitas, riwayat keluarga dan riwayat diabetes gestasional terdahulu.

2.1.3.Manifestasi Klinis DM

Manifestasi klinis DM menurut Baradero, dkk (2005) dibagi menjadi 2 yaitu

gejala awal dan gejala akhir. Gejala awal DM ditandai dengan poliuri (banyak

kencing), polydipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), penglihatan

kabur, kelelahan dan berat badan menurun. Sedangkan gejala akhir dari DM

yaitu koma dan komplikasi kronis. Selain gejala tersebut DM juga menyebabkan

pusing, keringat dingin dan tidak bisa berkonsentrasi akibat dari menurunnya

kadar gula darah (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Pasien DM

cenderung datang ke tenaga kesehatan setelah adanya keluhan pada beberapa

organ tubuh yaitu gangguan penglihatan (katarak), kelainan pada kulit,

kesemutan (rasa baal), kelemahan tubuh, luka yang tidak sembuh-sembuh dan

infeksi saluran kemih (Misnadiarly, 2006).

2.1.4.Patofisiologi DM

DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh peningkatan

glukosa dalam darah atau hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2004). DM tipe 2

terjadi karena terdapat masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (Smeltzer & Bare, 2004). Selain

kelaian pada insulin terdapat faktor resiko yang berhubungan dengan proses

terjadinya DM tipe 2 yaitu pola makan, obesitas, faktor genetik dan bahan-bahan

(26)

12

Pola makan yang tidak normal dapat menyebabkan terjadinya DM (Tobing,

Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Menurut Wijayakusuma (2005), makan

yang berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh

dapat memicu timbulnya DM karena jumlah atau kadar insulin oleh sel β

pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu,

mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi

insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah

meningkat dan menyebabkan DM. Selain pola makan obesitas memiliki

hubungan yang erat dengan terjadinya DM tipe 2 (Dinkes Jogja, 2012). Pada

orang yang mengalami obesitas, akan terjadi kelebihan kalori akibat dari makan

yang berlebih dan akan menimbulkan penimbunan lemak di jaringan kulit

(Dinkes Jogja, 2012). Resistensi insulin akan timbul pada daerah yang

mengalami penimbunan lemak sehingga akan terjadi penurunan fungsi sel β di

pankreas dan menurunnya sensifitas jaringan atau sel terhadap insulin (Tobing,

Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008) serta dapat menghambat kerja insulin

dijaringan tubuh dan otot yang menyebabkan glukosa tidak dapat dibawa ke

dalam sel dan akan menimbun di dalam pembuluh darah (Dinkes Jogja, 2012).

Penimbunan glukosa dalam pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya DM

(Dinkes Jogja, 2012). Faktor keturunan juga merupakan penyebab terjadi DM

dimana seseorang yang memiliki resiko tinggi untuk terserang DM jika salah satu

atau kedua orangtuanya mengalami penyakit DM (Tobing, Alting, Krisnatuti,

(27)

menyebabkan terjadinya peradangan pada pankreas sehingga pankreas tidak

berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk

metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin (Wijayakusuma, 2005).

Menurut Smeltzer & Bare (2004), pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama

yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan

sel yang menyebabkan terjadinya suatu rangkaian reaksi metabolisme glukosa di

dalam sel. Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan

jaringan perifer untuk berespon terhadap hormon insulin (Mitchell, Kumar,

Abbas, Fausto, 2008). Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan

penurunan reaksi intrasel yang menyebabkan penurunan ambilan glukosa oleh

jaringan yang sensitif terhadap insulin (Michael, 2005). Untuk mengatasi

resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus

terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer & Bare, 2004).

Pada penderita toleransi terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang

berlebihan dan kadar glukosa dipertahankan pada tingkat yang normal atau

sedikit meningkat dan apabila sel-sel beta tidak mampu mengimbangi

peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan

terjadi DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2004).

Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa

plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat

(28)

14

ginjal selalu diiringi oleh cairan tubuh sehingga buang air kecil akan menjadi

lebih banyak atau lebih sering (polyuria) dan banyaknya urine yang keluar

menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga timbul rasa haus (polydipsia)

(Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Glukosa yang hilang bersama

urine akan menyebabkan pasien mengalami ketidakseimbangan kalori negatif

dan berat badan berkurang sehingga mengakibatkan rasa lapar yang semakin

besar (polifagia) yang mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori

(Price & Wilson, 2005). Rasa lelah, pusing, keringat dingin dan tidak bisa

berkonsentrasi disebabkan karena terjadinya penurunan kadar glukosa darah

(Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008).

2.1.5.Diagnosis DM

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada diabetisi dan kecurigaan adanya DM

perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti (Perkeni,2011) :

a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan cara:

a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

(29)

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan

adanya keluhan klasik (Gibney, 2008).

c. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban

glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke

dalam air (WHO, 2006).

2.1.6.Penatalaksanaan DM

Menurut Perkeni (2011) tujuan dari dari penatalaksanaan DM yaitu untuk

menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan

mencapai target pengendalian glukosa darah, serta untuk mencegah dan

menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan

neuropati. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM yaitu untuk menurunkan angka

morbiditas dan mortalitas DM.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa

parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan

DM (Haeria, 2009) yaitu :

a. Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl

b. Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl

c. Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime blood glucose) 100–140mg/dl

d. Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur (Bedtime plasma glucose) 110-150mg/dl

(30)

16

f. Kadar HbA1c <7mg/dl

g. Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria) dan >55mg/dl (wanita)

h. Kadar Trigliserida <200mg/dl

i. Tekanan Darah <130/80mmHg

Menurut PERKENI (2011) terdapat empat pilar dalam penatalaksanaan DM

yaitu:

a. Edukasi

DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan (Perkeni, 2011). Edukasi DM merupakan

pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam

pengelolaan DM yang diberikan kepada setiap pasien DM, keluarga,

kelompok masyarakat beresiko tinggi dan pihak perencana kebijakan

(Publichealth, 2013). Edukasi pada pasien DM sebaiknya dilakukan oleh

semua pihak yang terkait dalam pengelolaan DM seperti dokter, perawat

dan ahli gizi (Ambarwati, 2012). Pemberdayaan diabetisi memerlukan

partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat agar pengelolaan DM

secara mandiri dapat berhasil (Misnadiarly, 2006). Tim kesehatan

mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat dan untuk

mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang

komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (Perkeni, 2011).

Pengetahuan tentang penyakit DM, pemantauan glukosa darah mandiri,

(31)

dan perawatan kaki pada DM harus diberikan kepada pasien (Misnadiarly,

2006). Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,

setelah mendapat pelatihan khusus (Perkeni, 2011).

b. Terapi gizi medis (diet)

Diet dan pengendalian berat badan merupakan pinsip dasar dalam

penatalaksanaan DM yang diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai

berikut (Smelter & Bare, 2004; Amalsier, 2006) :

1. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan

mineral).

2. Mencapai dan mepertahankan berat badan yang sesuai.

3. Memenuhi kebutuhan energi.

4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan

mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui

cara-cara yang aman dan praktis.

5. Menurunkan kadar lemak darah.

6. Menghindari dan menangani komplikasi akut pasien yang

menggunakan insulin seperti hipoglikemia.

7. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang

optimal.

Menurut Perkeni (2011), prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir

(32)

18

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing

individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan

dalam hal jumlah makanan, jenis, dan jadwal makan, terutama pada mereka

yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

1. Jumlah makanan

Syarat kebutuhan kalori untuk penderita DM harus sesuai untuk

mencapai kadar glukosa normal dan mempertahankan berat badan

normal (Almatsier, 2006). Jumlah kalori yang diberikan harus sesuai,

jangan sampai dikurangi atau ditambah (Widharto, 2007). Sebelum

menghitung kebutuhan kalori pasien, terlebih dahulu harus mengetahui

berat badan ideal dan status gizi pasien. Cara menetapkan berat badan

ideal yang sederhana dengan menggunakan rumor Brocca, yaitu: Berat

badan ideal = 90% x (TB dalam cm-100) x 1kg (Almatsier, 2006). Bagi

laki-laki dengan tinggi badan dibawah 160cm dan perempuan dibawah

150cm, rumus dimodifikasi menjadi: berat badan ideal= (TB dalam cm

– 100) x 1kg (Yunir dan Suharko, 2006). Cara lain untuk menilai berat

badan ideal adalah dengan mengguankan Indeks Massa Tubuh (IMT)

(33)

Berat Badan (Kg)

IMT = ---

Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)

Tabel 2.1. Kategori Hasil Penghitungan IMT

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat

Kekurangan berat badan tingkat ringan

<17,0

17,0-18,5

Normal ‘ >18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan

Kelebihan berat badan tingkat berat.

25,1-27,0

>27,0

Sumber: Ambarwati, 2012; Almatsier, 2006

Cara untuk mengetahui status gizi pasien yaitu dengan perhitungan menggunakan rumus Brocca:

BB Aktual

Status gizi = --- x 100%

BB ideal

Tabel 2.2. Kategori Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca

(34)

20

Setelah mengetahui berat badan ideal dan status gizi pasien, ada

beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien

DM diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori

basal (25-30 kalori/kg BB ideal untuk perempuan dan untuk laki-laki

sebesar 30 kal/kg berat badan ideal) kemudian ditambah atau dikurangi

beberapa faktor koreksi.

Faktor-faktor koreksi yang menentukan kebutuhan kalori antara lain

(Perkeni, 2011).

a) Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan

kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg

BB (Perkeni, 2011).

b) Usia

Kebutuhan kalori untuk pasien usia di atas 40 tahun (40-59 tahun)

dikurangi 5%, usia 60-69 tahun dikurangi 10% dan diatas usia 70

tahun dikurangi 20% (Perkeni, 2011).

c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas

fisik yang dilakukan oleh diabetes. Penambahan sejumlah 10% dari

kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien

(35)

kerja sekretaris dan mengajar), 30% dengan aktivitas sedang (kerja

rumah tangga, bersepeda, bowling, jalan cepat dan berkebun), 40%

dengan aktivitas berat (aerobik, bersepeda, memanjat, menari dan

lari) dan 50% dengan aktivitas sangat berat (tukang becak, tukang

gali dan pandai besi) (Waspadji, 2007; Perkeni, 2011).

d) Berat Badan

Diabetesi dengan berat badan berlebih atau kurang, dikurangi atau

ditambah sekitar 20-30% tergantung kepada berat badan pasien

(Perkeni, 2011). Apabila berat badan kurang ditambah 20%, berat

badan lebih dikurangi 10% dan berat badan gemuk dikurangi 20%

(Sudetjo, 2010). Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori

yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita

dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria (Perkeni, 2011).

Tabel 2.3. Standar Pengaturan Jumlah Makanan Dalam Sehari Diet DM

(36)

22

Jumlah makanan yang dianjurkan untuk pasien DM (Perkeni, 2011):

a) Karbohidrat yang dianjurkan pada diabetisi sebesar 45-65% total

asupan energi dan pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak

dianjurkan. Makanan yang diberikan harus mengandung karbohidrat

terutama yang berserat tinggi. Selain itu, penggunaan sukrosa (gula

murni) tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

b) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi (Misnadiarly,

2006). Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda

<10% dan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (Reloith,

Taylor, Olefsky, 2004). Asupan kolesterol makanan dibatasi yaitu

≤300 mg/hari (Almatsier, 2006).

c) Jumlah protein yang dibutuhkan sebesar 10–20% total asupan energi

(Reloith, Taylor, Olefsky, 2004). Pada pasien dengan nefropati

perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau

10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik

tinggi (Perkeni, 2011).

d) Asupan natrium untuk diabetisi sama dengan anjuran untuk

masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan

6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. Klien dengan hipertensi

(37)

e) Asupan serat untuk diabetisi yang dianjurkan adalah 20-35 g/hari,

sama seperti populasi pada umumnya (Reloith, Taylor, Olefsky,

2004).

f) Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak

diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar

glukosa darah sudah terkendali, diperbolehkan mengkonsumsi gula

murni sampai 5% dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2006).

2. Jenis makanan

Pada diabetisi terdapat beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan

tidak dianjurkan atau dibatasi, yaitu :

a) Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi adalah

(Almatsier, 2006) :

 Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie, kentang,

singkong, ubi dan sagu.

 Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit,

susu skim, tempe, tahu dan kacang-kacangan.

 Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan

yang mudah dicerna dan mudah diolah dengan cara

dipanggang, dikukus, disetup, direbus dan dibakar.

 Penggunaan gula murni diperbolehkan hanya sebatas sebagai

(38)

24

b) Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi untuk

penyandang DM adalah (Dewi, 2009) :

 Sumber karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula jawa,

gula batu, madu, sirup, cake, permen, minuman ringan, selai

dan lain-lain.

 Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis,

kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit dan

bayam harus dibatasi tidak boleh dalam jumlah banyak

(Waspadji et al, 2010).

 Buah-buahan berkalori tinggi seperti nanas, angur, manga,

sirsak, pisang, alpukat dan sawo sebaiknya dibatasi (Waspadji

et al, 2010).

 Mengandung asam lemak jenuh seperti mentega, santan,

kelapa, keju, krim, minyak kelapa dan minyak kelapa sawit.

 Mengandung lemak trans seperti margarin.

 Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur asin dan

makanan yang diawetkan.

 Makanan megandung kolesterol tinggi seperti kuning telur,

(39)

3. Jadwal makan

Diabetisi hendaknya mengkonsumsi makanan dengan jadwal waktu

yang tetap sehingga reaksi insulin selalu selaras dengan datangnya

makanan dalam tubuh (Nurjanah & Jualianti, 2006). Jadwal makan pada

diabetisi dibagi ke dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), makan

siang (30%), makan malam (25%), dan 2-3 porsi kecil untuk makanan

selingan (masing-masing 10-15%) dengan interval waktu 3 jam

(Rusilanti, 2008).

Tabel 2.4. Jadwal Makan Pasien DM tipe 2

Jadwal Makan Jenis Makanan

1. Makan pagi jam 06.00-08.00 Makanan utama yang terdiri dari :

Makanan pokok (nasi)

Lauk pauk

Sayuran

2. Selingan I jam 10.00-11.00 Selingan

3. Makan siang jam 12.00-13.00 Makanan utama

4. Selingan II jam 16.00-17.00 Selingan

5. Makan malam jam

18.00-19.00

Makanan utama

6. Selingan III jam 21.00-22.00 Selingan

Sumber: Depkes RI, 2011

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu cara pengelolaan dalam

(40)

26

melakukan latihan jasmani, akan terjadi peningkatan pemakaian glukosa

oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menurunkan kadar

glukosa darah (Indriyani, Supriyno dan Santoso, 2007) dan latihan jasmani

dapat mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan

kepekaan terhadap insulin (Price & Wilson, 2005). Latihan jasmani yang

dilakukan oleh diabetisi harus teratur 3-4 kali seminggu selama kurang

lebih 30 menit) dan kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga dan berkebun harus tetap dilakukan (Perkeni, 2011).

Latihan jasmani yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,

Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training) (Depkes, 2005). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan

berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan

memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan

diabetisi berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,

bersepeda santai, jogging, berenang dan sebaiknya disesuaikan dengan

umur dan status kesegaran jasmani. (Perkeni, 2011)

d. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat) (Perkeni, 2011). Terapi farmakologis

diberikan dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin atau

kombinasi keduanya (Depkes, 2005).

(41)

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM Tipe 2 dan keberhasilan terapi DM ditentukan

dengan pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat. Pemilihan dan

penentuan obat hipoglikemik yang digunakan harus

mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia)

serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk

penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. (Depkes, 2005)

Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 5

golongan (Perkeni, 2011) :

a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid

b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan

tiazolidindion

c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)

d) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

e) DPP-IV inhibitor

2. Terapi insulin

Terapi insulin dibutuhkan oleh diabetesi karena ketidakmampuan

tubuh menyekresikan insulin cukup untuk mempertahankan glokosa

darah (Price & Wilson, 2005). Indikasi penggunaan insulin yaitu pada

keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang

(42)

28

ketotik dan hiperglikemia dengan asidosis laktat. Gagal dengan

kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi

besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat dan

kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO juga merupakan indikasi

penggunaan insulin.

Insulin berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek

penurunan glukosa yang maksimal dapat diklasifikasikan menjadi tiga

yaitu insulin dengan masa kerja pendek, insulin dengan masa kerja

sedang dan insulin dengan masa kerja panjang (Smeltzer dan Bare,

2005).

3. Terapi kombinasi

Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO

atau OHO dengan insulin (Depkes, 2005). Pemberian OHO maupun

insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan

secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah (Perkeni,

2011). Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea

dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang

sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa

biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini

(43)

kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang (Depkes,

2005).

Menurut Perkeni (2011) untuk kombinasi OHO dan insulin, yang

banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal

(insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan

pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut

pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik

dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja

menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian

dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah

puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa

darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan

dan diberikan terapi kombinasi insulin.

2.1.7.Komplikasi DM

Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi

metabolik akut dan komplikasi kronik jangka panjang (Price & Wilson, 2005).

Komplikasi metabolik akut terdiri dari :

a. Ketoasidosis diabetika (KDA)

Ketoasidosis Diabetik merupakan komplikasi yang ditandai dengan

perburukan semua gejala diabetes yang terjadi setelah stress fisik seperti

kehamilan atau penyakit akut dan trauma (Corwin, 2008). Ketoasidosis

(44)

30

menyebabkan pasien mengalami hiperglikemia, glukosuria berat,

peningkatan lipolysis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas yang

disertai pembentukan benda keton (Price & Wilson, 2005). Peningkatan

produksi keton dapat mengakibatkan ketosis dan meningkatkan beban ion

hydrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria dapat

mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan

kehilagan elektrolit (Price & Wilson, 2005). Pasien dapat mengalami

hipotensi dan mengalami syok yang akhirnya mengakibatkan penurunan

penggonaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal

(Price & Wilson, 2005).

b. Hiperglikemia, hyperosmolar, koma nonketotik (HHNK)

HHNK merupakan komplikasi akut yang dijumpai pada diabetisi tipe 2

dan merupakan petunjuk perburukan drastis penyakit (Corwin, 2009).

Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia

muncul tanpa ketosis (Price & Wilson, 2005). Hiperglikemia

menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat

sehingga pasien menjadi tidak sadar dan meninggal apabila tidak

tertangani dengan cepat (Price & Wilson, 2005).

c. Hipoglikemia

Menurut Price & Wilson (2005), hipoglikemia merupakan komplikasi

yang paling sering terjadi pada DM terutama komplikasi terapi insulin.

(45)

gemetar, sakit kepala dan palpitasi) dan kekurangan glukosa pada otak

(tingkah laku aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Hipoglikemia

apabila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan kerusakan otak yang permanen bahkan kematian.

Komplikasi vascular jangka panjang terdiri dari:

a. Mikroangiopati

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan

arteriola retina (retinopati diabetik), glomelurus ginjal (nefropati diabetik)

dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit (Price &

Wilson, 2005).

1. Retinopati diabetic

Retinopati diabetik disebabkan oleh memburuknya kondisi mikro

sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina dan

merupakan saah satu penyebab kebutaan (Tobing dkk, 2008).

Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriola retina

yang mengakibatkan perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut

(46)

32

2. Neuropati diabetik

Menurut Tobing dkk (2008), neuropati diabetik merupakan salah satu

komplikasi DM yang mengacu pada saraf sensorik yang menimbulkan

rasa sakit kesemutan, serta mati rasa pada kaki dan tangan. DM juga

dapat mengganggu fungsi saraf otonom yang mempengaruhi fungsi

organ seperti organ pencernaan (sakit maag, mual, kembung, konstipasi

dan diare), keluhan pada jantung (berdebar-debar dan sesak nafas),

gangguan pada sistem urinari (inkontinensia urin dan infeksi kandung

kemih), gangguan pada aktivitas seksual serta ganggua psikologis.

3. Nefropati diabetik

Manifestasi dini dari nefropati diabetik berupa proteuria dan hipertensi.

Fungsi nefron yang hilang secara terus-menerus akan menyebabkan

pasien menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price & Wilson, 2005).

b. Makroangiopati.

Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologi berupa

arterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh

insufisiensi insulin merupakan penyebab dari makroangiopati diabetik.

Gangguan- gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima

(47)

akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan

vaskular (Price dan Wilson, 2005).

2.2. Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM 2.2.1. Pengertian kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat

medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan

petunjuk pada resep serta mencangkup penggunaannya pada waktu yang

benar (Siregar, 2006).

Kepatuhan telah didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien secara

sukarela, berhubungan dengan rekomendasi klinis dari penyedia pelayanan

kesehatan dan menunjukan bahwa pasien mandiri dan berperan aktif dalam

menetapkan tujuan untuk menjalani perawatan kesehatan mereka (Saborit &

Theofiliu, 2012).

Menurut Stanley (2007) kepatuhan merupakan tingkat perilaku pasien yang

tertuju terhadap instruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi

yang sudah ditentukan baik diet, latihan, pengobatan maupun kontrol dengan

tenaga kesehatan. Pada DM tipe 2, diet merupakan salah satu pilar yang

penting dalam penatalaksanaan DM yang meliputi jenis makan, jadwal makan

dan jumlah makan (Perkeni, 2011). Jadi dapat disimpulkan bahwa kepatuhan

(48)

34

mengikuti diet yang telah dianjurkan sesuai dengan jenis, jumlah dan jadwal

makan.

2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Pola makan diabetisi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam

diri pasien maupun dari luar diri pasien (Knienfild, 2006). Berikut

faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan :

a. Faktor internal

1. Pendidikan dan pengetahuan

Menurut Winkleby et al (1992) dalam Lestari (2012) menyebutkan

bahwa pendidikan tinggi akan mempunyai kesempatan untuk

berperilaku baik. Orang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk

memahami perilaku diet dibandingkan dengan orang yang tingkat

pendidikannya rendah (Ouyang, 2007). Notoatmodjo (2007)

menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh

terhadap sikap dan perilaku hidup sehat.

Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia atau hasil tau

seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya dan perilaku

yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku

yang tidak didasai oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Kepatuhan

diabetisi dalam pelaksanaan diet DM secara tidak langsung

dipengaruhi oleh hasil tahu pasien DM yang didapatkan dari

(49)

2. Keyakinan dan sikap positif

Suatu syarat untuk menumbuhkan kepatuhan adalah mengembangkan

tujuan kepatuhan dimana seseorang akan patuh apabila memiliki

keyakinan dan sikap positif dari dalam diri sendiri terhadap diet.

Rotter (1996) menyatakan bahwa keyakinan atau harapan-harapan

individu mengenai penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam

hidupnya disebut dengan locus of control (Widodo, 2007) dan derajat

keyakinan dalam mempersepsikan kualitas kesehatan dirinya disebut

dengan health locus of control (Sweeting dalam Mandasari, 2012).

Menurut konsep model kepercayaan kesehatan, persepsi yang positif

dari seseorang merupakan unsur penting yang melandasi untuk

mengambil tindakan yang baik dan sesuai untuk melakukan tindakan

pencegahan atau penyembuhan penyakit dan pengobatan untuk DM

(Rosesnstock et al, 1998 dalam Lestari, 2012). Kepuasan dan ketaatan

dapat ditingkatkan dengan memastikan bahwa anjuran dan komunikasi

dan pendidikan kesehatan berhubungan langsung dengan keyakinan

yang mendasari suatu perilaku sehat dan sakit (Bidari, 2010).

3. Tipe kepribadian

Kepribadian mencangkup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku

yang terlihat dan pikiran yang tidak terlihat, serta tidak hanya

merupakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu (Feist & Feith, 2009).

(50)

36

dan perilaku seseorang sehingga menumbuhkan kepatuhan dengan

mengembangkan tujuan kepatuhan dan mengembangkan strategi untuk

merubah perilaku (Lestari, 2014).

b. Faktor eksternal

1. Dukungan keluarga

Faktor psikososial yang erat kaitannya dengan perilaku kesehatan

adalah adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan

keluarga maupun dukungan secara sosial dan kaitannya dengan

perilaku diet (Hendro, 2010). Peranan keluarga terhadap keberhasilan

diet penderita DM sangat besardan keterbatasan peran keluarga akan

menurunkan kepatuhan diet diabetisi (Tera, 2011).

2. Pendapatan

Dalam berbagai macam literatur menyebutkan bahwa pendapatan

merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

(Lestari, 2012). Berdasarkan penelitian Ellis (2010) bahwa diabetisi

dengan pendapatan rendah lebih tidak patuh (51,4%) dibanding yang

mempunyai pendapatan tinggi karena orang yang mempunyai

pendapatan yang rendah peluang untuk membeli makanan sesuai diet

DM lebih sedikit dengan yang berpendapatan tinggi.

3. Interaksi profesional kesehatan dengan pasien

Peranan petugas kesehatan sangat penting dalam upaya peningkatan

(51)

dilakukan dengan edukasi dan konseling yang melibatkan berbagai

pihak seperti dokter, ahli gizi, maupun edukator non institusi lainnya

(Tera, 2011). Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan

pasien merupakan hal yang penting dalam menentukan derajat

kepatuhan pasien (Niven, 2002).

2.2.3. Alat Ukur Tingkat Kepatuhan Diet DM

Penilaian kepatuhan diet DM mencangkup jumlah, jenis dan jadwal makan

sesuai yang dianjurkan. Alat ukur yang digunakan unutuk menilai kepatuhan

diet DM adalah dengan menggunakan form food recall 24 jam dan food

frequency questionnaire 1 bulan terakhir. a. Food Recall 24 jam

Food Recall 24 jam adalah cara termudah dan tercepat yang tersedia untuk

menilai asupan makanan dan gizi (Dunford, 2006). Metode food recall 24 jam digunakan untuk mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang

dikonsumsi dalam periode 24 jam yang dilakukan dengan cara wawancara

dengan meminta responden untuk menyebutkan semua makanan dan

minuman yang dikonsumsinya dalam waktu 24 jam sebelumnya (Gibney,

2008). Metode ini akan menghasilkan data yang cenderung kualitatif dan

untuk mendapatkan data kuantitatif maka harus ditanyakan jumlah

konsumsi makanan dengan ukuran rumah tangga (URT) atau ukuran yang

biasa digunakan sehari-hari. Untuk penelitian dalam sebuah populasi

(52)

38

maka dikembangkan metode anydate-of-the-week, yaitu responden dapat memilih satu hari dalam seminggu untuk diceritakan (Gibson, 2005).

Keberhasilan food recall 24 jam tergantung pada ingatan klien, motivasi untuk merespon secara akurat dan kemampuan menyampaikan informasi

secara tepat (Dunford, 2006).

b. Food Frequency Questionnarie

Menurut Supariasa (2001) dalam Lestari (2012) metode food frequency

adalah metode penilaian konsumsi makanan untuk memperoleh data

frekuensi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode

waktu tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Informasi yang

dikumpulkan dapat digunakan untuk melengkapi jumlah dan jenis

makanan yang mungkin tidak jelas dari food recall 24 jam (Dunford,

2006).

2.3. Health Locus Of Control

2.3.1. Pengertian Health Locus of Control

Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966) yang merupakan seorang ahli teori pembelajaran sosial.

Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya

mengontrol peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Kreitner dan Kinicki,

(53)

Penelitian empiris menunjukkan bahwa health locus of control berperan penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini dkk,

2009). Individu dengan health locus of control dapat mempengaruhi perilaku mereka sendiri yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk perilaku

kesehatan yang beresiko dan kepatuhan terhadap anjuran perawatan kesehatan

(Bonichini dkk, 2009).

Menurut Sweeting dalam Mandasari (2012), Health Locus of Control

menggambarkan derajat keyakinan yang dimiliki individu dalam

mempersepsikan kualitas kesehatan dirinya sebagai hasil dari tindakannya

sendiri, sehingga dapat dikontrol, atau sebagai sesuatu yang tidak

berhubungan dengan perilakunya sendiri, sehingga berada pada kontrol di luar

dirinya.

Health locus of control juga didefinisikan sebagai harapan umum tentang kesehatan seseorang yang dikendalikan oleh perilakunya sendiri atau dari luar

dirinya (Morowatisharifabad, Mahmoodabad, Baghianimoghadam,

Tonekaboni, 2010) dan sebagai seperangkat keyakinan seseorang tentang

pribadinya yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan (Bonichini dkk,

2009).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa health locus of control

merupakan suatu keyakinan yang dimiliki individu sehingga individu dapat

(54)

40

2.3.2. Dimensi health locus of control

Wallston, Wallston & DeVellis dalam Mandasari (2012) membagi dimensi

Health Locus of Control (HLOC) menjadi 3 yaitu Internal health locus of control, powerful others health locus of control dan chance health locus of

control.

a. Internal health locus of control (IHLC) merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam hidupnya

termasuk kualitas kesehatannya ditentukan oleh kemampuan dirinya

sendiri.

b. Powerful others health locus of control (PHLC) merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam

hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh orang lain yang lebih

berkuasa.

c. Chance health locus of control (CHLC) merupakan pandangan seseorang

yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam hidupnya

termasuk kesehatannya ditentukan oleh nasib, peluang dan keberuntungan.

2.3.3. Alat ukur health locus of control

Multidimensional Health Locus of Scale Control (MHLC) pertama kali diciptakan oleh Barbara Wallston, Kenneth Wallston dan Robert DeVellis di

Vanderbilt University. Kuisioner terdiri dari tiga bagian yaitu A, B dan C dan

masing-masing kuisioner terdiri dari 18 item yang digunakan pada populasi

(55)

mempengaruhi kesehatan. Kuisioner A dan B merupakan kuisioner HLOC

yang paling umum digunakan pada lebih dari seribu penelitian dan telah

diikuti pada ratusan literatur. Skala ini terdiri dari 3 dimensi yaitu internal health locus of control , chance health locus of control dan powerfull other

health locus of control (Wallston, Wallston, & DeVellis, 1978).

Wallston mengatakan pada akhir penyelesaian kuisioner, tidak ada total skor

MHLC, karena tidak ada batas yang memisahkan antara internal dan

eksternal. Hasil dari kuisioner ini nantinya berupa internal tinggi atau

eksternal tinggi (Lestari, 2014).

Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah form A MHLC yang

terdiri dari 18 item pertanyaan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dengan menggunakan model skala likert. Model asli dari skala

MHLC menggunakan enam pilihan dengan skala likert yang terdiri dari 18

pertanyaan yang diklasifikasikan menjadi tiga subskala yaitu internal HLOF,

powerfull others HLOC dan Chance HLOC. Setiap pertanyaan dari kuisioner

menggunakan enam pilihan jawaban yaitu “sangat tidak setuju”, “agak tidak

setuju”, “tidak setuju”, “setuju”, “agak setuju” dan “sangatsetuju”.

Tabel 2.5. Petunjuk Skoring Untuk MHLOC Form A

Sub skala Kemungkinan skor Nomor soal

Internal 6-36 1,6,8,12,13,17

Chance 6-36 2,4,9,11,15,16

Powerful Others 6-36 3,5,7,10,14,18

(56)

42

Setelah responden menyelesaikan 18 item pernyataan tersebut, maka nilai setiap item

akan dimasukan ke dalam kolom skoring sesuai dengan sub skala yang diwakili oleh

item tersebut dan sub skala yang memiliki skor tertinggi akan digunakan sebagai

health locus of control responden (Lestari, 2014).

2.4. Hubungan Health Locus of Control dengan Kepatuhan

Psikologi kesehatan menawarkan sejumlah model yang digunakan untuk

membantu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan individu yaitu

salah satunya adalah health locus of control (Theofilau dan Saborit, 2012).

Wallston, Wallston & DeVellis (1978) dalam Mandasari (2012) mengemukakan

bahwa health locus of control sebagai sesuatu yang digunakan untuk mengevaluasi apakah kesehatan manusia dapat dikendalikan oleh manusia itu

sendiri, apakah di tangan takdir, atau mereka menganggap kesehatan mereka

berada di bawah kendali hal lain yang berkuasa. Menurut Rodin dalam Theofilau

dan Saborit (2012) menyatakan bahwa individu dengan locus of control yang tinggi mungkin memiliki kesehatan yang lebih baik karena individu cenderung

untuk mengambil tindakan yang meningkatan kesehatannya.

Lavenson (1981), mengelompokan orientasi locus of control menjadi dua yaitu orientasi locus of control internal dan orientasi locus of control eksternal yang

(57)

dialami dalam kehidupan mereka terutama ditentukan oleh kemampuan dan

usahanya sendiri. Individu yang berorientasi pada locus of control eksternal,

dikelompokan dalam dua kategori yatu powerful others dan chance. Individu dengan orientasi powerful others meyakini bahwa kehidupan mereka ditentukan

oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang ada di sekitarnya, sedangkan individu

yang berorientasi pada chance meyakini bahwa kehidupan dan kejadian yang dialami sebagian besar ditentukan oleh takdir, nasib, keberuntungan dan

kesempatan. (Safitri, 2013)

Penelitian empiris menunjukkan bahwa health locus of control memainkan peran

penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini, Axia,

Bornstein, 2009). Health Locus of Control memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kepatuhan (Pratita, 2012), dimana individu dengan health locus

of control internal memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki health locus of control eksternal powerful others dan

Gambar

Tabel 2.1. Kategori Hasil Penghitungan IMT
Tabel 2.3. Standar Pengaturan Jumlah Makanan Dalam Sehari Diet DM
Tabel 2.4. Jadwal Makan Pasien DM tipe 2
Tabel 2.5. Petunjuk Skoring Untuk MHLOC Form A

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 5 bahwa perlakuan dengan jarak tanam yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap parameter bobot kering gulma.. Pada umur pengamatan 14 hst dan 28 hst

Di sisi yang lain, oleh karena kekuatan ekonomi telah menjelmakan dirinya menjadi kekuasaan politik seperti dalam kasus di Guatemala, maka pemerintahan nasional menjadi tidak

Dari sejarah teater Sumatra Barat yang ada maka bisa dikelompokan bahwa teater modern Sumatra Barat memiliki tiga bentuk yaitu teater modern yang konvensional, dan

Adanya jedah waktu yang cukup lama pada saat penyerahan dokumen hasil seleksi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)

Hak itu didasarkan pada pemikiran dan Pengalaman empirik bahwa: (1) Publik yang lebih banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi; (2)

Tersedianya modal material yang berupa fasilitas sarana dan biaya untuk menimbulkan usaha, dengan sendirinya akan mempengaruhi minat seseorang untuk berwirausaha. 2) Faktor

Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena hanya dengan anugerah, rahmat, kasih, dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi yang berjudul “ PENGARUH DOSIS KROMANON DEAMINA DAN LARUTAN OSMOTIK DALAM PEMBUATAN OSMOMEAT DAGING AYAM BROILER ” ini tidak