HUBUNGAN HEALTH LOCUS OF CONTROL DENGAN KEPATUHAN
PENATALAKSANAAN DIET DM TIPE 2 DI PAGUYUBAN PUSKESMAS
III DENPASAR UTARA
OLEH :
IDA AYU PUTU SURYA ADNYANI
NIM: 1102105067
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
HUBUNGAN HEALTH LOCUS OF CONTROL DENGAN KEPATUHAN
PENATALAKSANAAN DIET DM TIPE 2 DI PAGUYUBAN PUSKESMAS
III DENPASAR UTARA
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH :
IDA AYU PUTU SURYA ADNYANI
NIM: 1102105067
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ida Ayu Putu Surya Adnyani
NIM : 1102105067
Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana
Program Studi : Ilmu Keperawatan
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, Juni 2015
Yang membuat pernyataan,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Hubungan Health Locus Of Control dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:
1. Prof. Dr. dr. Pt. Astawa, Sp. OT, M. Kes., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut
ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF., sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana Denpasar yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.
3. Ns. Desak Made Widyantari, M.Kep, Sp. Kep.MB., sebagai pembimbing utama yang
telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
4. Ns. Kadek Saputra, S.Kep., sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan
bantuan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
5. Kepala Puskesmas III Denpasar Utara yang telah memberikan ijin penelitian.
6. Responden dan pengurus Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk penelitian ini.
7. Bapak, ibu dan keluarga besar yang selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayang
tak terhingga.
8. Sahabat-sahabat yang memberikan semangat dan bantuan.
itu, penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Denpasar, Juni 2015
ASBTRAK
Adnyani, Ida Ayu Putu Surya Adnyani. 2015. Hubungan Health Locus of Control Dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM Tipe 2 Di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara. Proposal, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Desak Made Widyanthari, M.Kep, Sp. Kep.MB; (2) Ns.Kadek Saputra, S.Kep.
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan peningkatan glukosa dalam darah atau hiperglikemi. Hiperglikemi terjadi akibat penurunan kemampuan tubuh untuk berespon terhadap insulin dan penurunan atau kegagalan pankreas dalam pembentukan insulin. Hiperglikemia berdampak pada peningkatan kadar lemak darah dan kerusakan pembuluh darah kecil yang dalam waktu lama akan menyebabkan neuropati diabetik serta gangguan organ-organ penting dalam tubuh yaitu jantung, ginjal, otak, saluran pencernaan, panca indera dan sebagainya. Kepatuhan penatalaksanaan diet merupakan salah satu pilar yang penting dalam pengelolaan DM tipe 2 dan health locus of control merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan health locus of control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental korelational dengan desain cross sectional. Sampel penelitian ini adalah anggota Paguyuban Puskesmas III Denpasar Utara sebanyak 32 orang dengan teknik purposive sampling. Uji yang digunakan adalah fisher dengan p value <α, α=0,05). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
health locus of control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2 dengan nilai p=0,002. Berdasarkan temuan diatas diharapkan agar penelitian ini dapat dijadikan gambaran bagi perawat bahwa sangat penting untuk melihat health locus of control pasien dan mengubah kendali pasien dalam mengikuti diet DM. Simpulan dari penelitian ini adalah health locus of control
berhubungan dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2.
Adnyani, Ida Ayu Putu Surya Adnyani. 2015.
With Compliance Dietary Management Type 2 Diabetes Mellitus at Society of Public Health Center III North Denpasar. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine, Udayana Univercity. Supervisors (1) Ns. Desak Made Widyanthari, M.Kep, Sp. Kep.MB; (2) Ns.Kadek Saputra, S.Kep.
Diabetes Mellitus (DM) is a heterogenic abnormality group that indicated by the increase of glucose in the blood or hyperglycemia. Hyperglycemia occurs as a result of the decline of body’s ability to respond the insulin and the decrease or failure of pancreas producing insulin. Hyperglycemia affects on the increase of blood fat level and the damage of small blood vessels in long terms will cause diabetic neuropathy and abnormality of internal vital organs including heart, kidneys, brain, alimentary canal, the five senses, etc. Compliance of dietary management is one of the important pillars in managing diabetes mellitus type 2 and health locus of control is one of the factors that may influence such obedience. This research is aimed at eliciting the relationship between health locus of control and compliance management of diabetes mellitus type 2 dietary. This research was an non-experimental correlational with cross-sectional design. The sample was member of the society in PHC III North Denpasar 32 respondent with purposive sampling tehnique. Fisher test used is the p value <α, α = 0.05. The result from this research showed that there was a significant relationship between health locus of control with compliance dietary management of diabetes mellitus type 2 with p value 0,002 (<0,05). Based on the above finding, this research is expected to be served as a reference for nurses that it is very essential to observe patient health locus of control and change patient’s control in applying diabetes mellitus type 2 dietary. The conclusion of this research is that health locus of control relates with the compliance of diabetes mellitus type 2 dietary management.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……….. i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ………... iii
HALAMAN PENGESAHAN ……… iv
KATA PENGANTAR ……… v
ABSTRAK BAHASA INDONESIA ………. vii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS ………... viii
DAFTAR ISI ……… ix
2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi DM ……… 9
2.1.3. Manifestasi Klinis DM ………. 11
2.1.4. Patofisiologi DM ……….. 11
2.1.5. Diagnosis DM ………... 14
2.1.6. Penatalaksanaan DM ……… 15
2.1.7. Komplikasi DM……… 29
2.2.Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM ………. 33
2.2.1. Pengertian Kepatuhan ……….. 33
2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan ……….. 34
2.2.3. Alat Ukur Tingkat Kepatuhan Diet DM ……….. 37
2.3.Health Locus of Control ... 38
2.4. Hubungan Health Locus of Control dengan kepatuhan ………... 42
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1.Kerangka Konsep ……… 44
3.2.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………. 45
3.2.1. Variabel Penelitian ………... 45
3.2.2. Definisi Operasional Variabel ……….. 46
3.3.Hipotesis Penelitian ………. 50
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1.Jenis Penelitian ……… 51
4.2.Kerangka Kerja ………... 52
4.3.Tempat dan Waktu Penelitian ………. 53
4.3.1. Tempat Penelitian ……… 53
4.3.2. Waktu Penelitian ………. 53
4.4.Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian ………. 53
4.4.1. Populasi Penelitian ………... 53
4.4.2. Sampel Penelitian ………. 53
4.4.3. Teknik Sampling ………... 55
4.4.4. Etika Penelitian ………. 56
4.5.Jenis dan Cara Pengumpulan Data ……….. 58
4.5.1. Jenis Data Yang Dikumpulkan ……… 58
4.5.2. Cara Pengumpulan Data ……….. 58
4.5.3. Instrument Pengumpulan Data ……… 60
4.6.Pengolahan dan Analisa Data ……….. 68
4.6.1. Pengolahan Data ……….. 68
4.6.2. Analisa Data ……… 70
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ……… 71
5.1.1. Deskripsi Tempat Penelitian ……… 71
5.1.2. Karakteristik Subjek Penelitian ……… 72
5.1.3. Hasil Pengamatan Terhadap Responden Sesuai Variabel Penelitian ……... 74
5.1.4. Hasil Analisa Data ……… 76
5.2. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 77
5.2.1. Hasil Penamatan Responden Sesuai Dengan Karakteristik Responden …... 77
5.2.2. Hasil Pengamatan Responden Sesuai Dengan Variabel Penelitian …... 80
5.2.3. Hubungan Health Locus of Control dengan Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM di Paguyuban Puskesmas III Denpasar Utara ……… 86
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan ………... 92
6.2. Saran ………... 94
6.2.1. Bagi Perawat Puskesmas III Denpasar Utara ……….... 94
6.2.2. Bagi Peneliti Lainnya …..………..……… 95
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini sudah menjadi masalah kesehatan
masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal (Depkes, 2013).
Global Status Report on Non-communicable Disease World Health Organization
(WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa 60% penyebab kematian di dunia adalah
karena PTM, salah satu PTM yang paling umum terjadi diseluruh dunia adalah
Diabetes Melitus (DM) (Depkes, 2013).
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh peningkatan
glukosa dalam darah atau hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2004). Hiperglikemi
terjadi akibat penurunan kemampuan tubuh untuk berespon terhadap insulin dan
penurunan atau kegagalan pankreas dalam pembentukan insulin (Smeltzer &
Bare, 2004). DM dapat dibagi menjadi empat yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM
tipe lain dan DM gestasional (Perkeni, 2011).
Menurut data International Diabetic Federation (2013), 382 juta orang menderita DM pada tahun 2013 dengan angka kematian 5,1 juta orang. Jumlah penyandang
DM (diabetisi) diperkirakan terus mengalami peningkatan menjadi 592 juta orang
2
menengah (IDF, 2013). Indonesia merupakan salah satu Negara dari 10 Negara
dengan jumlah diabetisi tertinggi di Dunia (IDF, 2013). Jumlah diabetisi di
Indonesia pada tahun 2013 yaitu 8,5 juta (IDF, 2013) dan diperkirakan pada
tahun 2030 akan memiliki diabetisi sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes, 2013).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukan bahwa angka
kejadian DM yang terdiagnosis dokter di Provinsi Bali sebesar 1,3% (Riskesdas,
2013). Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah merupakan rumah sakit
rujukan pertama Provinsi Bali. Data rekam medik RSUP Sanglah menyebutkan
bahwa jumlah diabetisi yang dirawat di RSUP sanglah tahun 2012 adalah 642
pasien, dan jumlah kunjungan diabetisi di Poliklinik Diabetic Center RSUP sanglah pada tahun 2013 adalah 2.244 pasien sedangkan pada tahun 2014 sampai
bulan Agustus 2014, jumlah kunjungan telah mencapai 1.465 pasien. Data Dinas
Kesehatan Kota Denpasar menyebutkan bahwa jumlah kunjungan diabetisi
tertinggi di Denpasar adalah di Puskesmas III Denpasar Utara. Jumlah kunjungan
diabetisi di Puskesmas III Denpasar Utara pada tahun 2013 mencapai 1.629
pasien sedangkan pada tahun 2014 sampai bulan Agustus 2014 jumlah kunjungan
pasien telah mencapai 678 pasien.
Jumlah diabetisi yang tinggi membuktikan bahwa DM merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius. Jumlah diabetisi yang tinggi di Indonesia
terjadi oleh karena faktor demografi yaitu penduduk usia lanjut bertambah
banyak, perubahan gaya hidup seperti sering mengkonsumsi makanan cepat saji
menyebutkan bahwa jumlah pasien rawat inap maupun rawat jalan di Rumah
Sakit yang menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin adalah DM
(Tandra, 2008).
DM apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan timbulnya
komplikasi yang diawali dari ganguan metabolik sehingga terjadi hiperglikemia.
Hiperglikemia berdampak pada peningkatan kadar lemak darah dan kerusakan
pembuluh darah kecil yang dalam waktu lama akan menyebabkan neuropati
diabetik serta gangguan organ-organ penting dalam tubuh yaitu jantung, ginjal,
otak, saluran pencernaan, panca indra dan sebagainya (Kanisius, 2010).
Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dicegah melalui pengelolaan DM yang terdiri
dari empat pilar utama yaitu edukasi, terapi gizi medis (diet), latihan jasmani dan
intervensi farmakologi (Perkeni, 2011).
Diet merupakan dasar dari penatalaksanaan DM yang bertujuan untuk
memberikan semua unsur makanan esensial, mencapai dan mempertahankan berat
badan, memenuhi kebutuhan energi dan mencegah fluktuasi kadar glukosa darah
(Smeltzer & Bare, 2004). Arsana (2011) menyebutkan bahwa kontrol glikemik
pasien sangat dipengaruhi oleh kepatuhan pasien terhadap anjuran diet meliputi
jenis, jumlah dan jadwal makanan yang dikonsumsi dan ketidakpatuhan
merupakan salah satu hambatan untuk tercapainya tujuan pengobatan. Hal ini
memerlukan perhatian dan penanganan serius dari tenaga kesehatan termasuk
perawat untuk menurunkan angka komplikasi DM melalui upaya peningkatan
4
jangka panjang terhadap diet merupakan salah satu aspek yang paling
menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan DM (Smeltzer & Bare, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tera (2011) dalam determinan
ketidakpatuhan diet penderita DM tipe 2 mendapatkan hasil bahwa dari 13
responden menunjukan tidak ada responden yang melakukan pengaturan makan
sesuai jumlah energi, jenis makanan dan jadwal makanan yang dianjurkan.
Kepatuhan merupakan tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan
nasehat medis atau kesehatan (Siregar, 2006). Berdasarkan penelitian Delamater
(2006), nilai rata-rata kepatuhan yang terendah pada pengelolaan DM tipe 2
adalah diet yang merupakan kebiasaan paling sulit untuk diubah dan paling
rendah tingkat kepatuhannya dalam manajemen diri seorang diabetisi (Tovar,
2007). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bidari mahasiswa PSIK FK UNUD
(2010) tentang tingkat kepatuhan diet terhadap gula darah menunjukan bahwa
kepatuhan diet mempunyai hubungan kuat dengan terkendalinya gula darah
pasien. Selain itu, kepatuhan diet DM juga memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian kaki diabetik pada diabetisi di Desa Tangkil Kulon Kecamatan
Kedungwuni Kabupaten Pekalongan dengan nilai p=0,030 (Novel Ainin & Nurul
Ainin, 2013). Kepatuhan diet DM dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
psikosisial seperti stress, health locus of control, sikap, sistem pendukung dan self
efficacy (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004).
Health locus of control adalah seperangkat keyakinan seseorang tentang
Bornstein, 2009) dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan
diet DM. Health locus of control dapat dibagi menjadi dua yaitu health locus of
control internal dan health locus of control eksternal. Menurut Rodin dalam Theofilou (2012) seorang individu dengan health locus of control yang tinggi
akan memiliki kesehatan yang lebih baik karena individu cenderung mengambil
tindakan untuk meningkatkan kesehatannya.
Telah banyak studi yang meneliti health locus of control sebagai prediktor dalam
perilaku kesehatan. Dalam penelitian Safitri (2013) yang berjudul kepatuhan
penderita DM tipe 2 yang ditinjau dari Locus of control didapatkan hasil bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan ditinjau dari locus of control dengan nilai p=0,038. Individu yang memiliki locus of control internal
memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
memiliki locus of control eksternal powerful others dan locus of control eksternal Chance (Safitri, 2013). Menurut Pratita (2012) health locus of control juga
memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap kepatuhan dalam menjalani
proses pengobatan pada diabetisi dengan nilai signifikan 0,000. Sedangkan
Morowathisarifabad, Mahmoodabad, Baghianimoghadam & Tonekaboni (2010)
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara locus of control internal
dengan kepatuhan dan hubungan negatif antara chance locus of control dengan
kepatuhan pengobatan DM, sehingga tidak ada kesimpulan sebab akibat yang
6
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas III Denpasar Utara
terhadap dua responden yang mengikuti paguyuban DM didapatkan gambaran
bahwa pasien tidak patuh terhadap penatalaksanaan diet DM. Ketidakpatuhan
pasien terhadap diet dipengaruhi oleh keyakinan pasien bahwa kendali atas
kesehatan dalam hidupnya ditentukan oleh orang lain bukan oleh dirinya sendiri.
Jika pasien memiliki keyakinan eksternal, maka perawat berusaha membentuk
keyakinan internal pada diri pasien agar pasien dengan senang hati patuh dan
merubah perilaku demi kesembuhannya (Lestari, 2014).
Berdasarkan latar belakang diatas, penting dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai tingkat kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2 karena besarnya
dampak negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif yang ditimbulkan dari
ketidakpatuhan adalah tidak terkendalinya kadar glukosa darah dan terjadinya
komplikasi yaitu kaki diabetik. Kepatuhan penatalaksanaan diet DM tipe 2
merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM Tipe 2 dan health locus of
control merupakan salah satu faktor pendorong kepatuhan. Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan
health locus of control terhadap kepatuhan penatalaksanaan diet pada pasien DM
tipe 2 di Paguyuban DM Puskesmas III Denpasar Utara.
1.2. Rumusan Masalah
DM merupakan suatu keadaan hiperglikemia yang dapat menyebabkan
baik. Kepatuhan penatalaksanaan diet merupakan salah satu pilar yang penting
dalam pengelolaan DM tipe 2 dan health locus of control merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Berdasarkan uraian tersebut dapat
ditarik rumusan masalah “bagaimanakah hubungan antara health locus of control
dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM?”
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan health locus of
control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Diketahui karakteristik pasien DM meliputi usia dan jenis kelamin.
b. Diketahui health locus of control padapasien DM c. Diketahui kepatuhan pasien dalam penatalaksanaan DM
d. Menganalisis hubungan health locus of control dengan kepatuhan penatalaksanaan diet DM
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Praktis
a. Melalui hasil ini diharapkan bagi pasien DM agar mendapatkan gambaran
yang jelas mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi kepatuhan diet
8
eksternal pada pasien DM agar pasien lebih patuh menjalani diet DM dan terhindar dari komplikasi.
b. Sebagai masukan bagi perawat agar mempertimbangkan health locus of control pasien sebagai dasar acuan untuk menumbuhkan motivasi dan
kepatuhan pasien terhadap diet DM yang dijalani.
1.4.2. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitin ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan
mengenai hubungan health locus of control dengan kepatuhan
penatalaksanaan diet DM.
b. Meningkatnya pengembangan ilmu dan keterampilan perawat dalam
9
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus (DM) 2.1.1.Pengertian DM
DM merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar
glukosa darah (hiperglikemia) serta gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang disebabkan oleh ketidakmampuan produksi insulin dan kerja
insulin yang tidak optimal (WHO, 2014).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkeni,
2011).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa DM merupakan suatu
kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia dan terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.
2.1.2.Klasifikasi dan Etiologi DM
Klasifikasi dan Etiologi DM menurut Perkeni (2011) dapat dibagi menjadi 4
10
a. DM tipe 1
Menurut Gibney (2008), DM tipe 1 ditandai dengan penurunan kadar
insulin yang disebabkan oleh destruksi sel beta dan umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut. Pasien DM tipe 1 memerlukan insulin untuk
tetap bertahan hidup dan tanpa adanya insulin dari luar, pasien DM tipe 1
akan mengalami ketoasidosis, koma dan kematian.
b. DM tipe 2
DM tipe 2 terjadi ketika tubuh masih menghasilkan insulin tetapi tidak
cukup dalam pemenuhannya atau insulin yang dihasilkan mengalami
resistensi sehingga insulin tidak dapat bekerja secara optimal (Sutjahjo
dkk, 2006). Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya DM tipe 2
meliputi faktor genetik, usia, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik
(Gibney, 2008).
c. DM tipe lain
DM tipe lain disebabkan oleh adanya defek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau
zat kimia, infeksi, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
(Perkeni, 2011).
d. DM gestasional
Menurut Wilson (2005), DM gestasional dikenali pertama kali selama
yang dapat menyebabkan DM gestasional adalah usia tua, etnik, obesitas,
multiparitas, riwayat keluarga dan riwayat diabetes gestasional terdahulu.
2.1.3.Manifestasi Klinis DM
Manifestasi klinis DM menurut Baradero, dkk (2005) dibagi menjadi 2 yaitu
gejala awal dan gejala akhir. Gejala awal DM ditandai dengan poliuri (banyak
kencing), polydipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), penglihatan
kabur, kelelahan dan berat badan menurun. Sedangkan gejala akhir dari DM
yaitu koma dan komplikasi kronis. Selain gejala tersebut DM juga menyebabkan
pusing, keringat dingin dan tidak bisa berkonsentrasi akibat dari menurunnya
kadar gula darah (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Pasien DM
cenderung datang ke tenaga kesehatan setelah adanya keluhan pada beberapa
organ tubuh yaitu gangguan penglihatan (katarak), kelainan pada kulit,
kesemutan (rasa baal), kelemahan tubuh, luka yang tidak sembuh-sembuh dan
infeksi saluran kemih (Misnadiarly, 2006).
2.1.4.Patofisiologi DM
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh peningkatan
glukosa dalam darah atau hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2004). DM tipe 2
terjadi karena terdapat masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (Smeltzer & Bare, 2004). Selain
kelaian pada insulin terdapat faktor resiko yang berhubungan dengan proses
terjadinya DM tipe 2 yaitu pola makan, obesitas, faktor genetik dan bahan-bahan
12
Pola makan yang tidak normal dapat menyebabkan terjadinya DM (Tobing,
Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Menurut Wijayakusuma (2005), makan
yang berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh
dapat memicu timbulnya DM karena jumlah atau kadar insulin oleh sel β
pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu,
mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi
insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah
meningkat dan menyebabkan DM. Selain pola makan obesitas memiliki
hubungan yang erat dengan terjadinya DM tipe 2 (Dinkes Jogja, 2012). Pada
orang yang mengalami obesitas, akan terjadi kelebihan kalori akibat dari makan
yang berlebih dan akan menimbulkan penimbunan lemak di jaringan kulit
(Dinkes Jogja, 2012). Resistensi insulin akan timbul pada daerah yang
mengalami penimbunan lemak sehingga akan terjadi penurunan fungsi sel β di
pankreas dan menurunnya sensifitas jaringan atau sel terhadap insulin (Tobing,
Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008) serta dapat menghambat kerja insulin
dijaringan tubuh dan otot yang menyebabkan glukosa tidak dapat dibawa ke
dalam sel dan akan menimbun di dalam pembuluh darah (Dinkes Jogja, 2012).
Penimbunan glukosa dalam pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya DM
(Dinkes Jogja, 2012). Faktor keturunan juga merupakan penyebab terjadi DM
dimana seseorang yang memiliki resiko tinggi untuk terserang DM jika salah satu
atau kedua orangtuanya mengalami penyakit DM (Tobing, Alting, Krisnatuti,
menyebabkan terjadinya peradangan pada pankreas sehingga pankreas tidak
berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk
metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin (Wijayakusuma, 2005).
Menurut Smeltzer & Bare (2004), pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama
yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan
sel yang menyebabkan terjadinya suatu rangkaian reaksi metabolisme glukosa di
dalam sel. Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan
jaringan perifer untuk berespon terhadap hormon insulin (Mitchell, Kumar,
Abbas, Fausto, 2008). Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel yang menyebabkan penurunan ambilan glukosa oleh
jaringan yang sensitif terhadap insulin (Michael, 2005). Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer & Bare, 2004).
Pada penderita toleransi terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat dan apabila sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2004).
Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat
14
ginjal selalu diiringi oleh cairan tubuh sehingga buang air kecil akan menjadi
lebih banyak atau lebih sering (polyuria) dan banyaknya urine yang keluar
menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga timbul rasa haus (polydipsia)
(Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Glukosa yang hilang bersama
urine akan menyebabkan pasien mengalami ketidakseimbangan kalori negatif
dan berat badan berkurang sehingga mengakibatkan rasa lapar yang semakin
besar (polifagia) yang mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori
(Price & Wilson, 2005). Rasa lelah, pusing, keringat dingin dan tidak bisa
berkonsentrasi disebabkan karena terjadinya penurunan kadar glukosa darah
(Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008).
2.1.5.Diagnosis DM
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada diabetisi dan kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti (Perkeni,2011) :
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan cara:
a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan
adanya keluhan klasik (Gibney, 2008).
c. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air (WHO, 2006).
2.1.6.Penatalaksanaan DM
Menurut Perkeni (2011) tujuan dari dari penatalaksanaan DM yaitu untuk
menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
mencapai target pengendalian glukosa darah, serta untuk mencegah dan
menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan
neuropati. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM yaitu untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas DM.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
DM (Haeria, 2009) yaitu :
a. Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl
b. Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl
c. Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime blood glucose) 100–140mg/dl
d. Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur (Bedtime plasma glucose) 110-150mg/dl
16
f. Kadar HbA1c <7mg/dl
g. Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria) dan >55mg/dl (wanita)
h. Kadar Trigliserida <200mg/dl
i. Tekanan Darah <130/80mmHg
Menurut PERKENI (2011) terdapat empat pilar dalam penatalaksanaan DM
yaitu:
a. Edukasi
DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan (Perkeni, 2011). Edukasi DM merupakan
pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam
pengelolaan DM yang diberikan kepada setiap pasien DM, keluarga,
kelompok masyarakat beresiko tinggi dan pihak perencana kebijakan
(Publichealth, 2013). Edukasi pada pasien DM sebaiknya dilakukan oleh
semua pihak yang terkait dalam pengelolaan DM seperti dokter, perawat
dan ahli gizi (Ambarwati, 2012). Pemberdayaan diabetisi memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat agar pengelolaan DM
secara mandiri dapat berhasil (Misnadiarly, 2006). Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat dan untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (Perkeni, 2011).
Pengetahuan tentang penyakit DM, pemantauan glukosa darah mandiri,
dan perawatan kaki pada DM harus diberikan kepada pasien (Misnadiarly,
2006). Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus (Perkeni, 2011).
b. Terapi gizi medis (diet)
Diet dan pengendalian berat badan merupakan pinsip dasar dalam
penatalaksanaan DM yang diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai
berikut (Smelter & Bare, 2004; Amalsier, 2006) :
1. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan
mineral).
2. Mencapai dan mepertahankan berat badan yang sesuai.
3. Memenuhi kebutuhan energi.
4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui
cara-cara yang aman dan praktis.
5. Menurunkan kadar lemak darah.
6. Menghindari dan menangani komplikasi akut pasien yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia.
7. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang
optimal.
Menurut Perkeni (2011), prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir
18
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jumlah makanan, jenis, dan jadwal makan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
1. Jumlah makanan
Syarat kebutuhan kalori untuk penderita DM harus sesuai untuk
mencapai kadar glukosa normal dan mempertahankan berat badan
normal (Almatsier, 2006). Jumlah kalori yang diberikan harus sesuai,
jangan sampai dikurangi atau ditambah (Widharto, 2007). Sebelum
menghitung kebutuhan kalori pasien, terlebih dahulu harus mengetahui
berat badan ideal dan status gizi pasien. Cara menetapkan berat badan
ideal yang sederhana dengan menggunakan rumor Brocca, yaitu: Berat
badan ideal = 90% x (TB dalam cm-100) x 1kg (Almatsier, 2006). Bagi
laki-laki dengan tinggi badan dibawah 160cm dan perempuan dibawah
150cm, rumus dimodifikasi menjadi: berat badan ideal= (TB dalam cm
– 100) x 1kg (Yunir dan Suharko, 2006). Cara lain untuk menilai berat
badan ideal adalah dengan mengguankan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Berat Badan (Kg)
IMT = ---
Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)
Tabel 2.1. Kategori Hasil Penghitungan IMT
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat
Kekurangan berat badan tingkat ringan
<17,0
17,0-18,5
Normal ‘ >18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat.
25,1-27,0
>27,0
Sumber: Ambarwati, 2012; Almatsier, 2006
Cara untuk mengetahui status gizi pasien yaitu dengan perhitungan menggunakan rumus Brocca:
BB Aktual
Status gizi = --- x 100%
BB ideal
Tabel 2.2. Kategori Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca
20
Setelah mengetahui berat badan ideal dan status gizi pasien, ada
beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien
DM diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori
basal (25-30 kalori/kg BB ideal untuk perempuan dan untuk laki-laki
sebesar 30 kal/kg berat badan ideal) kemudian ditambah atau dikurangi
beberapa faktor koreksi.
Faktor-faktor koreksi yang menentukan kebutuhan kalori antara lain
(Perkeni, 2011).
a) Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg
BB (Perkeni, 2011).
b) Usia
Kebutuhan kalori untuk pasien usia di atas 40 tahun (40-59 tahun)
dikurangi 5%, usia 60-69 tahun dikurangi 10% dan diatas usia 70
tahun dikurangi 20% (Perkeni, 2011).
c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik yang dilakukan oleh diabetes. Penambahan sejumlah 10% dari
kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien
kerja sekretaris dan mengajar), 30% dengan aktivitas sedang (kerja
rumah tangga, bersepeda, bowling, jalan cepat dan berkebun), 40%
dengan aktivitas berat (aerobik, bersepeda, memanjat, menari dan
lari) dan 50% dengan aktivitas sangat berat (tukang becak, tukang
gali dan pandai besi) (Waspadji, 2007; Perkeni, 2011).
d) Berat Badan
Diabetesi dengan berat badan berlebih atau kurang, dikurangi atau
ditambah sekitar 20-30% tergantung kepada berat badan pasien
(Perkeni, 2011). Apabila berat badan kurang ditambah 20%, berat
badan lebih dikurangi 10% dan berat badan gemuk dikurangi 20%
(Sudetjo, 2010). Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita
dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria (Perkeni, 2011).
Tabel 2.3. Standar Pengaturan Jumlah Makanan Dalam Sehari Diet DM
22
Jumlah makanan yang dianjurkan untuk pasien DM (Perkeni, 2011):
a) Karbohidrat yang dianjurkan pada diabetisi sebesar 45-65% total
asupan energi dan pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak
dianjurkan. Makanan yang diberikan harus mengandung karbohidrat
terutama yang berserat tinggi. Selain itu, penggunaan sukrosa (gula
murni) tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
b) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi (Misnadiarly,
2006). Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda
<10% dan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (Reloith,
Taylor, Olefsky, 2004). Asupan kolesterol makanan dibatasi yaitu
≤300 mg/hari (Almatsier, 2006).
c) Jumlah protein yang dibutuhkan sebesar 10–20% total asupan energi
(Reloith, Taylor, Olefsky, 2004). Pada pasien dengan nefropati
perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau
10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi (Perkeni, 2011).
d) Asupan natrium untuk diabetisi sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. Klien dengan hipertensi
e) Asupan serat untuk diabetisi yang dianjurkan adalah 20-35 g/hari,
sama seperti populasi pada umumnya (Reloith, Taylor, Olefsky,
2004).
f) Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak
diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar
glukosa darah sudah terkendali, diperbolehkan mengkonsumsi gula
murni sampai 5% dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2006).
2. Jenis makanan
Pada diabetisi terdapat beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan
tidak dianjurkan atau dibatasi, yaitu :
a) Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi adalah
(Almatsier, 2006) :
Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie, kentang,
singkong, ubi dan sagu.
Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit,
susu skim, tempe, tahu dan kacang-kacangan.
Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan
yang mudah dicerna dan mudah diolah dengan cara
dipanggang, dikukus, disetup, direbus dan dibakar.
Penggunaan gula murni diperbolehkan hanya sebatas sebagai
24
b) Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi untuk
penyandang DM adalah (Dewi, 2009) :
Sumber karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula jawa,
gula batu, madu, sirup, cake, permen, minuman ringan, selai
dan lain-lain.
Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis,
kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit dan
bayam harus dibatasi tidak boleh dalam jumlah banyak
(Waspadji et al, 2010).
Buah-buahan berkalori tinggi seperti nanas, angur, manga,
sirsak, pisang, alpukat dan sawo sebaiknya dibatasi (Waspadji
et al, 2010).
Mengandung asam lemak jenuh seperti mentega, santan,
kelapa, keju, krim, minyak kelapa dan minyak kelapa sawit.
Mengandung lemak trans seperti margarin.
Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur asin dan
makanan yang diawetkan.
Makanan megandung kolesterol tinggi seperti kuning telur,
3. Jadwal makan
Diabetisi hendaknya mengkonsumsi makanan dengan jadwal waktu
yang tetap sehingga reaksi insulin selalu selaras dengan datangnya
makanan dalam tubuh (Nurjanah & Jualianti, 2006). Jadwal makan pada
diabetisi dibagi ke dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), makan
siang (30%), makan malam (25%), dan 2-3 porsi kecil untuk makanan
selingan (masing-masing 10-15%) dengan interval waktu 3 jam
(Rusilanti, 2008).
Tabel 2.4. Jadwal Makan Pasien DM tipe 2
Jadwal Makan Jenis Makanan
1. Makan pagi jam 06.00-08.00 Makanan utama yang terdiri dari :
Makanan pokok (nasi)
Lauk pauk
Sayuran
2. Selingan I jam 10.00-11.00 Selingan
3. Makan siang jam 12.00-13.00 Makanan utama
4. Selingan II jam 16.00-17.00 Selingan
5. Makan malam jam
18.00-19.00
Makanan utama
6. Selingan III jam 21.00-22.00 Selingan
Sumber: Depkes RI, 2011
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu cara pengelolaan dalam
26
melakukan latihan jasmani, akan terjadi peningkatan pemakaian glukosa
oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menurunkan kadar
glukosa darah (Indriyani, Supriyno dan Santoso, 2007) dan latihan jasmani
dapat mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan
kepekaan terhadap insulin (Price & Wilson, 2005). Latihan jasmani yang
dilakukan oleh diabetisi harus teratur 3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit) dan kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga dan berkebun harus tetap dilakukan (Perkeni, 2011).
Latihan jasmani yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training) (Depkes, 2005). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
diabetisi berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, berenang dan sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. (Perkeni, 2011)
d. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat) (Perkeni, 2011). Terapi farmakologis
diberikan dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin atau
kombinasi keduanya (Depkes, 2005).
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe 2 dan keberhasilan terapi DM ditentukan
dengan pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat. Pemilihan dan
penentuan obat hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia)
serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk
penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada. (Depkes, 2005)
Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 5
golongan (Perkeni, 2011) :
a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan
tiazolidindion
c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e) DPP-IV inhibitor
2. Terapi insulin
Terapi insulin dibutuhkan oleh diabetesi karena ketidakmampuan
tubuh menyekresikan insulin cukup untuk mempertahankan glokosa
darah (Price & Wilson, 2005). Indikasi penggunaan insulin yaitu pada
keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang
28
ketotik dan hiperglikemia dengan asidosis laktat. Gagal dengan
kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat dan
kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO juga merupakan indikasi
penggunaan insulin.
Insulin berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek
penurunan glukosa yang maksimal dapat diklasifikasikan menjadi tiga
yaitu insulin dengan masa kerja pendek, insulin dengan masa kerja
sedang dan insulin dengan masa kerja panjang (Smeltzer dan Bare,
2005).
3. Terapi kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO
atau OHO dengan insulin (Depkes, 2005). Pemberian OHO maupun
insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah (Perkeni,
2011). Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea
dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang
sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa
biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini
kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang (Depkes,
2005).
Menurut Perkeni (2011) untuk kombinasi OHO dan insulin, yang
banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal
(insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan
dan diberikan terapi kombinasi insulin.
2.1.7.Komplikasi DM
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi
metabolik akut dan komplikasi kronik jangka panjang (Price & Wilson, 2005).
Komplikasi metabolik akut terdiri dari :
a. Ketoasidosis diabetika (KDA)
Ketoasidosis Diabetik merupakan komplikasi yang ditandai dengan
perburukan semua gejala diabetes yang terjadi setelah stress fisik seperti
kehamilan atau penyakit akut dan trauma (Corwin, 2008). Ketoasidosis
30
menyebabkan pasien mengalami hiperglikemia, glukosuria berat,
peningkatan lipolysis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas yang
disertai pembentukan benda keton (Price & Wilson, 2005). Peningkatan
produksi keton dapat mengakibatkan ketosis dan meningkatkan beban ion
hydrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan
kehilagan elektrolit (Price & Wilson, 2005). Pasien dapat mengalami
hipotensi dan mengalami syok yang akhirnya mengakibatkan penurunan
penggonaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal
(Price & Wilson, 2005).
b. Hiperglikemia, hyperosmolar, koma nonketotik (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi akut yang dijumpai pada diabetisi tipe 2
dan merupakan petunjuk perburukan drastis penyakit (Corwin, 2009).
Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia
muncul tanpa ketosis (Price & Wilson, 2005). Hiperglikemia
menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat
sehingga pasien menjadi tidak sadar dan meninggal apabila tidak
tertangani dengan cepat (Price & Wilson, 2005).
c. Hipoglikemia
Menurut Price & Wilson (2005), hipoglikemia merupakan komplikasi
yang paling sering terjadi pada DM terutama komplikasi terapi insulin.
gemetar, sakit kepala dan palpitasi) dan kekurangan glukosa pada otak
(tingkah laku aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Hipoglikemia
apabila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan kerusakan otak yang permanen bahkan kematian.
Komplikasi vascular jangka panjang terdiri dari:
a. Mikroangiopati
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetik), glomelurus ginjal (nefropati diabetik)
dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit (Price &
Wilson, 2005).
1. Retinopati diabetic
Retinopati diabetik disebabkan oleh memburuknya kondisi mikro
sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina dan
merupakan saah satu penyebab kebutaan (Tobing dkk, 2008).
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriola retina
yang mengakibatkan perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut
32
2. Neuropati diabetik
Menurut Tobing dkk (2008), neuropati diabetik merupakan salah satu
komplikasi DM yang mengacu pada saraf sensorik yang menimbulkan
rasa sakit kesemutan, serta mati rasa pada kaki dan tangan. DM juga
dapat mengganggu fungsi saraf otonom yang mempengaruhi fungsi
organ seperti organ pencernaan (sakit maag, mual, kembung, konstipasi
dan diare), keluhan pada jantung (berdebar-debar dan sesak nafas),
gangguan pada sistem urinari (inkontinensia urin dan infeksi kandung
kemih), gangguan pada aktivitas seksual serta ganggua psikologis.
3. Nefropati diabetik
Manifestasi dini dari nefropati diabetik berupa proteuria dan hipertensi.
Fungsi nefron yang hilang secara terus-menerus akan menyebabkan
pasien menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price & Wilson, 2005).
b. Makroangiopati.
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologi berupa
arterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh
insufisiensi insulin merupakan penyebab dari makroangiopati diabetik.
Gangguan- gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima
akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan
vaskular (Price dan Wilson, 2005).
2.2. Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM 2.2.1. Pengertian kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat
medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan
petunjuk pada resep serta mencangkup penggunaannya pada waktu yang
benar (Siregar, 2006).
Kepatuhan telah didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien secara
sukarela, berhubungan dengan rekomendasi klinis dari penyedia pelayanan
kesehatan dan menunjukan bahwa pasien mandiri dan berperan aktif dalam
menetapkan tujuan untuk menjalani perawatan kesehatan mereka (Saborit &
Theofiliu, 2012).
Menurut Stanley (2007) kepatuhan merupakan tingkat perilaku pasien yang
tertuju terhadap instruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi
yang sudah ditentukan baik diet, latihan, pengobatan maupun kontrol dengan
tenaga kesehatan. Pada DM tipe 2, diet merupakan salah satu pilar yang
penting dalam penatalaksanaan DM yang meliputi jenis makan, jadwal makan
dan jumlah makan (Perkeni, 2011). Jadi dapat disimpulkan bahwa kepatuhan
34
mengikuti diet yang telah dianjurkan sesuai dengan jenis, jumlah dan jadwal
makan.
2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan
Pola makan diabetisi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam
diri pasien maupun dari luar diri pasien (Knienfild, 2006). Berikut
faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan :
a. Faktor internal
1. Pendidikan dan pengetahuan
Menurut Winkleby et al (1992) dalam Lestari (2012) menyebutkan
bahwa pendidikan tinggi akan mempunyai kesempatan untuk
berperilaku baik. Orang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk
memahami perilaku diet dibandingkan dengan orang yang tingkat
pendidikannya rendah (Ouyang, 2007). Notoatmodjo (2007)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku hidup sehat.
Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia atau hasil tau
seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya dan perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku
yang tidak didasai oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Kepatuhan
diabetisi dalam pelaksanaan diet DM secara tidak langsung
dipengaruhi oleh hasil tahu pasien DM yang didapatkan dari
2. Keyakinan dan sikap positif
Suatu syarat untuk menumbuhkan kepatuhan adalah mengembangkan
tujuan kepatuhan dimana seseorang akan patuh apabila memiliki
keyakinan dan sikap positif dari dalam diri sendiri terhadap diet.
Rotter (1996) menyatakan bahwa keyakinan atau harapan-harapan
individu mengenai penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya disebut dengan locus of control (Widodo, 2007) dan derajat
keyakinan dalam mempersepsikan kualitas kesehatan dirinya disebut
dengan health locus of control (Sweeting dalam Mandasari, 2012).
Menurut konsep model kepercayaan kesehatan, persepsi yang positif
dari seseorang merupakan unsur penting yang melandasi untuk
mengambil tindakan yang baik dan sesuai untuk melakukan tindakan
pencegahan atau penyembuhan penyakit dan pengobatan untuk DM
(Rosesnstock et al, 1998 dalam Lestari, 2012). Kepuasan dan ketaatan
dapat ditingkatkan dengan memastikan bahwa anjuran dan komunikasi
dan pendidikan kesehatan berhubungan langsung dengan keyakinan
yang mendasari suatu perilaku sehat dan sakit (Bidari, 2010).
3. Tipe kepribadian
Kepribadian mencangkup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku
yang terlihat dan pikiran yang tidak terlihat, serta tidak hanya
merupakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu (Feist & Feith, 2009).
36
dan perilaku seseorang sehingga menumbuhkan kepatuhan dengan
mengembangkan tujuan kepatuhan dan mengembangkan strategi untuk
merubah perilaku (Lestari, 2014).
b. Faktor eksternal
1. Dukungan keluarga
Faktor psikososial yang erat kaitannya dengan perilaku kesehatan
adalah adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan
keluarga maupun dukungan secara sosial dan kaitannya dengan
perilaku diet (Hendro, 2010). Peranan keluarga terhadap keberhasilan
diet penderita DM sangat besardan keterbatasan peran keluarga akan
menurunkan kepatuhan diet diabetisi (Tera, 2011).
2. Pendapatan
Dalam berbagai macam literatur menyebutkan bahwa pendapatan
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
(Lestari, 2012). Berdasarkan penelitian Ellis (2010) bahwa diabetisi
dengan pendapatan rendah lebih tidak patuh (51,4%) dibanding yang
mempunyai pendapatan tinggi karena orang yang mempunyai
pendapatan yang rendah peluang untuk membeli makanan sesuai diet
DM lebih sedikit dengan yang berpendapatan tinggi.
3. Interaksi profesional kesehatan dengan pasien
Peranan petugas kesehatan sangat penting dalam upaya peningkatan
dilakukan dengan edukasi dan konseling yang melibatkan berbagai
pihak seperti dokter, ahli gizi, maupun edukator non institusi lainnya
(Tera, 2011). Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan
pasien merupakan hal yang penting dalam menentukan derajat
kepatuhan pasien (Niven, 2002).
2.2.3. Alat Ukur Tingkat Kepatuhan Diet DM
Penilaian kepatuhan diet DM mencangkup jumlah, jenis dan jadwal makan
sesuai yang dianjurkan. Alat ukur yang digunakan unutuk menilai kepatuhan
diet DM adalah dengan menggunakan form food recall 24 jam dan food
frequency questionnaire 1 bulan terakhir. a. Food Recall 24 jam
Food Recall 24 jam adalah cara termudah dan tercepat yang tersedia untuk
menilai asupan makanan dan gizi (Dunford, 2006). Metode food recall 24 jam digunakan untuk mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang
dikonsumsi dalam periode 24 jam yang dilakukan dengan cara wawancara
dengan meminta responden untuk menyebutkan semua makanan dan
minuman yang dikonsumsinya dalam waktu 24 jam sebelumnya (Gibney,
2008). Metode ini akan menghasilkan data yang cenderung kualitatif dan
untuk mendapatkan data kuantitatif maka harus ditanyakan jumlah
konsumsi makanan dengan ukuran rumah tangga (URT) atau ukuran yang
biasa digunakan sehari-hari. Untuk penelitian dalam sebuah populasi
38
maka dikembangkan metode anydate-of-the-week, yaitu responden dapat memilih satu hari dalam seminggu untuk diceritakan (Gibson, 2005).
Keberhasilan food recall 24 jam tergantung pada ingatan klien, motivasi untuk merespon secara akurat dan kemampuan menyampaikan informasi
secara tepat (Dunford, 2006).
b. Food Frequency Questionnarie
Menurut Supariasa (2001) dalam Lestari (2012) metode food frequency
adalah metode penilaian konsumsi makanan untuk memperoleh data
frekuensi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode
waktu tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Informasi yang
dikumpulkan dapat digunakan untuk melengkapi jumlah dan jenis
makanan yang mungkin tidak jelas dari food recall 24 jam (Dunford,
2006).
2.3. Health Locus Of Control
2.3.1. Pengertian Health Locus of Control
Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966) yang merupakan seorang ahli teori pembelajaran sosial.
Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya
mengontrol peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Kreitner dan Kinicki,
Penelitian empiris menunjukkan bahwa health locus of control berperan penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini dkk,
2009). Individu dengan health locus of control dapat mempengaruhi perilaku mereka sendiri yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk perilaku
kesehatan yang beresiko dan kepatuhan terhadap anjuran perawatan kesehatan
(Bonichini dkk, 2009).
Menurut Sweeting dalam Mandasari (2012), Health Locus of Control
menggambarkan derajat keyakinan yang dimiliki individu dalam
mempersepsikan kualitas kesehatan dirinya sebagai hasil dari tindakannya
sendiri, sehingga dapat dikontrol, atau sebagai sesuatu yang tidak
berhubungan dengan perilakunya sendiri, sehingga berada pada kontrol di luar
dirinya.
Health locus of control juga didefinisikan sebagai harapan umum tentang kesehatan seseorang yang dikendalikan oleh perilakunya sendiri atau dari luar
dirinya (Morowatisharifabad, Mahmoodabad, Baghianimoghadam,
Tonekaboni, 2010) dan sebagai seperangkat keyakinan seseorang tentang
pribadinya yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan (Bonichini dkk,
2009).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa health locus of control
merupakan suatu keyakinan yang dimiliki individu sehingga individu dapat
40
2.3.2. Dimensi health locus of control
Wallston, Wallston & DeVellis dalam Mandasari (2012) membagi dimensi
Health Locus of Control (HLOC) menjadi 3 yaitu Internal health locus of control, powerful others health locus of control dan chance health locus of
control.
a. Internal health locus of control (IHLC) merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam hidupnya
termasuk kualitas kesehatannya ditentukan oleh kemampuan dirinya
sendiri.
b. Powerful others health locus of control (PHLC) merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam
hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh orang lain yang lebih
berkuasa.
c. Chance health locus of control (CHLC) merupakan pandangan seseorang
yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam hidupnya
termasuk kesehatannya ditentukan oleh nasib, peluang dan keberuntungan.
2.3.3. Alat ukur health locus of control
Multidimensional Health Locus of Scale Control (MHLC) pertama kali diciptakan oleh Barbara Wallston, Kenneth Wallston dan Robert DeVellis di
Vanderbilt University. Kuisioner terdiri dari tiga bagian yaitu A, B dan C dan
masing-masing kuisioner terdiri dari 18 item yang digunakan pada populasi
mempengaruhi kesehatan. Kuisioner A dan B merupakan kuisioner HLOC
yang paling umum digunakan pada lebih dari seribu penelitian dan telah
diikuti pada ratusan literatur. Skala ini terdiri dari 3 dimensi yaitu internal health locus of control , chance health locus of control dan powerfull other
health locus of control (Wallston, Wallston, & DeVellis, 1978).
Wallston mengatakan pada akhir penyelesaian kuisioner, tidak ada total skor
MHLC, karena tidak ada batas yang memisahkan antara internal dan
eksternal. Hasil dari kuisioner ini nantinya berupa internal tinggi atau
eksternal tinggi (Lestari, 2014).
Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah form A MHLC yang
terdiri dari 18 item pertanyaan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan model skala likert. Model asli dari skala
MHLC menggunakan enam pilihan dengan skala likert yang terdiri dari 18
pertanyaan yang diklasifikasikan menjadi tiga subskala yaitu internal HLOF,
powerfull others HLOC dan Chance HLOC. Setiap pertanyaan dari kuisioner
menggunakan enam pilihan jawaban yaitu “sangat tidak setuju”, “agak tidak
setuju”, “tidak setuju”, “setuju”, “agak setuju” dan “sangatsetuju”.
Tabel 2.5. Petunjuk Skoring Untuk MHLOC Form A
Sub skala Kemungkinan skor Nomor soal
Internal 6-36 1,6,8,12,13,17
Chance 6-36 2,4,9,11,15,16
Powerful Others 6-36 3,5,7,10,14,18
42
Setelah responden menyelesaikan 18 item pernyataan tersebut, maka nilai setiap item
akan dimasukan ke dalam kolom skoring sesuai dengan sub skala yang diwakili oleh
item tersebut dan sub skala yang memiliki skor tertinggi akan digunakan sebagai
health locus of control responden (Lestari, 2014).
2.4. Hubungan Health Locus of Control dengan Kepatuhan
Psikologi kesehatan menawarkan sejumlah model yang digunakan untuk
membantu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan individu yaitu
salah satunya adalah health locus of control (Theofilau dan Saborit, 2012).
Wallston, Wallston & DeVellis (1978) dalam Mandasari (2012) mengemukakan
bahwa health locus of control sebagai sesuatu yang digunakan untuk mengevaluasi apakah kesehatan manusia dapat dikendalikan oleh manusia itu
sendiri, apakah di tangan takdir, atau mereka menganggap kesehatan mereka
berada di bawah kendali hal lain yang berkuasa. Menurut Rodin dalam Theofilau
dan Saborit (2012) menyatakan bahwa individu dengan locus of control yang tinggi mungkin memiliki kesehatan yang lebih baik karena individu cenderung
untuk mengambil tindakan yang meningkatan kesehatannya.
Lavenson (1981), mengelompokan orientasi locus of control menjadi dua yaitu orientasi locus of control internal dan orientasi locus of control eksternal yang
dialami dalam kehidupan mereka terutama ditentukan oleh kemampuan dan
usahanya sendiri. Individu yang berorientasi pada locus of control eksternal,
dikelompokan dalam dua kategori yatu powerful others dan chance. Individu dengan orientasi powerful others meyakini bahwa kehidupan mereka ditentukan
oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang ada di sekitarnya, sedangkan individu
yang berorientasi pada chance meyakini bahwa kehidupan dan kejadian yang dialami sebagian besar ditentukan oleh takdir, nasib, keberuntungan dan
kesempatan. (Safitri, 2013)
Penelitian empiris menunjukkan bahwa health locus of control memainkan peran
penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini, Axia,
Bornstein, 2009). Health Locus of Control memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kepatuhan (Pratita, 2012), dimana individu dengan health locus
of control internal memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki health locus of control eksternal powerful others dan