• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging busuk dikerumuni lalat Dan mereka namakan rindu alam.

2. Manuskrip Indonesia sebagai Pustaka Dunia

Manuskrip yang berasal dari Indonesia ini menggunakan alas tulis seperti lontar,kulit kayu, bambu, kain, dan kertas tradional yang disebut dluwang oleh orang Jawa dan Sunda. Alas tulis berbahan tradisional ini bersifat kurang lestari. Jika kurang dipelihara dengan baik alas ini akan rusak. Hingga saat ini manuskrip-manuskrip yang disimpan perorangan di Indonesia banyak yang kurang terjaga sehingga banyak yang rusak, hilang, dan hancur. Dengan hilang dan hancurnya manuskrip itu berarti hilang pula informasi dan pengetahuan yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, manuskrip ini disebut sebagai benda budaya yang terancam punah.

Manuskrip merupakan tradisi tulis yang hidup dan berkembang di kraton atau istana yang pada masa lalu ditulis oleh para pujangga atau juru tulis kerajaan.Sementara masyarakat di luar kerajaan lebih banyak berkreasi dalam sastra lisan. Hampir seluruh suku di Indonesia (Badan Pusat Statistik Nasional menyebutkan jumlah suku sekitar 1.128) mempunyai kekayaan sastra lisan, tetapi hanya sebagian kecil yang memiliki sastra tulisan tangan(manuskrip). Kedua sastra itu menggunakan bahasa daerah sebagai alat ungkapnya yang jumlahnya mencapai 746 bahasa.Dari jumlah bahasa itu, kini hanya tersisa belasan bahasa mempunyai aksara yang diabadikan dalam manuskrip. Aksara itu antara lainaksara turunan Palawa , seperti aksara Jawa, Sunda, Bugis-Makassar, Bali, Sasak, Ulu/Krinci, Lampung, Batak, Mbojo, aksara turunan Arab, seperti Pegon, Jawi, Buri Wolio, dan Serang. Manuskrip itu berasal dari beberapa daerah, seperti Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Palembang, Lampung (Sumatra), Jawa, Betawi, Sunda, Bali, NTB, Pontianak, Banjarmasin, Berau (Kalimantan) dan Bugis, Makassar, Tanete, Buton, Mandar d (Sulawesi) , Ternate dan Ambon.

3 Manuskrip yang berasal dari Indonesia itu jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. Benda budaya itu dapat dikatakan sebagai pustaka dunia, bacaan dunia sebab (1)dilindungi dan diakui sebagai warisan dunia, (2) penyebaran dan tempat penyimpanan tersebar di belahan dunia, (3) dibaca dan dikaji oleh masyarakat dunia, serta (4) dikreasi dan dipentaskan menjadi pertunjukan tingkat dunia.

Untuk melindungi manuskrip ini dari kepunahan ini, beberapa lembaga di Indonesia dan beberapa negara asingmemberikan bantuan dalam program inventarisasi dan dokumentasi manuskrip sebagai benda hampir punah. Lembaga itu seperti The British Library (Inggris), Toyota Foundations, dan Tokyo University for Foregin Studies (Jepang). Saat ini manuskrip disimpan dalam berbagai lembaga dan perorangan baik di Indonesia dan di banyak Negara di dunia. Dalam koleksi lembaga, manuskrip ini cenderung aman karena sudah dijaga meskipun dengan syarat minimal. Namun, koleksi yang tersimpan dan milik perseorangan sebagian besar terancam karena perawatannya kurang memadai. Untuk itu, manuskrip-manuskirp ini harus dilindungi dari kepunahan sebab benda ini sebagai kekayaan hak intelektual bangsa Indonesia.

Dalam rangka pelindungan UNESCO telah mendaftarkan melalui Memory of the World

(MOW)beberapa manuskrip sebagai kekayaan tak benda dari Indonesia. Manuskrip itu adalah (1)

Negarakertagama, (2) I La Galigo, (3) Babad Diponegoro, dan (4) Makyong. Dua judul yang disebut terakhir masih dalam proses pengesahan dalam registrasi tersebut.Di samping keempat judul tersebut masih banyak manuskrip bermutu dari Indonesia yang siap diregistrasikan ke lembaga dunia tersebut dan hanya menunggu kesigapan bangsa Indonesia sebagai pemilik syah warisan budaya ini.

Berbagai usaha pencatatan dan dokumentasi sudah dilakukan dalam bentuk katalog.Katalog yang mencatat manuskrip yang berada di Indonesia, antara lain Ronkel (1909) mencatat naskah di Museum Gadjah danBehrend (1989) naskah yang berada dalam koleksi Perpustakaan Nasional, Florida (1981) mencatat naskah di Surakarta, Lindsay (1982) dan Behrend (1989) naskah koleksi

4 Kraton dan naskah Senobudoyo (Yogyakarta), Yusuf (1980) naskah Maluku, Ekadjati (1988) naskah Sunda, Mulyadi dan Maryam salahuddin (1980) naskah Bima, Yayasan naskah Nusantara yang diketuai Ibu Ikram menyusun beberapa katalog, antara lain naskah Buton (2001) naskah Palembang, (2004 ), naskah Kalimantan dan naskah Ambon,serta Paeni (1994) naskah Bugis. Di samping itu, masih banyak katalog yang disusun oleh lembaga-lembaga pemilik naskah.

Manuskrip Indonesia yang berada dalam koleksi di luar negara disusun antara lain oleh Juynboll (1899) dan Ronkel (1921) naskah koleksi Universitas Leiden, Braginsky (1989) naskah koleksi di Rusia, Voorhoeve dan Ricklefs (1977) naskah koleksi Inggris, Omar (1991) naskah di Prancis dan Jerman, Syahrial dan Rahman naskah Melayu di Afrika Selatan, dan Chambert-Loir dan Faturrahman (1999)naskah-naskahdi dunia. Dalam katalog yang disebutkan terakhir itu dicatat sekitar 30 negara yang menyimpan manuskrip Indonesia, antara lain AfrikaSelatan, Amerika Serikat, Australia, Austria, Belgia, Ceko, Denmark, Hungaria, India, Irlandia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Norwegia, Polandia, Portugal,Rusia, Selandia Baru, Spanyol,Swedia, Swiss, Thailand, dan Vatikan.Naskah-naskah Indonesia ini tersebar dan banyak tersimpan di Belanda dan di Inggris karena faktor sejarah, tetapi naskah terdapat pula di Jerman, di Prancis, di Rusia, dan di berbagai negeri yang lain yang tidak mempunyai kaitan sejarah dengan Indonesia.

Penyebaran yang sangat luas itu mempunyai arti sejarah. Menurut Chambert-Loir dan Faturrahman (1999:8) sejumlah koleksi dibawa ke luar negeri oleh orang Indonesia sendiri. Contohnya naskah-naskah yang sekarang terdapat di Afrika Selatan dan Sri Lanka sebagian dibawa dari Indonesia, sebagian disalin atau ditulis oleh para perantau (atau orang buangan) yang menetap di kedua negeri itu. Koleksi-koleksi lain adalah hasil persentuhan budaya. Misalnya, naskah yang kini di Jerman (terutama naskah Batak) sebagian besar berasal dari kegiatan para misionaris Jerman di Sumatra Utara mulai pertengahan abad yang lalu dan ada juga yang dikumpulkan oleh seorang Jerman yang menjadi guru privat anak-anak Gubernur Jendral Belanda di Buitenzorg (Bogor) sekitar tahun 1850. Contoh lain lagi, koleksi yang tersimpan di Library of Congress, Washington, diperoleh

5 oleh sebuah ekspedisi Amerika di Singapura tahun 1842, sedangkan koleksi yang berada di Perpustakaan Nasional Paris, Prancis, dirintis oleh seorang Prancis yang belajar bahasa Melayu di London tahun 1845.

Dalam Baried (1994) manuskrip sejak abad ke18 telah menjadi barang dagangan antik. Benda ini sudah masuk dalam perdagangan gelap benda-benda kuno. Perdagangan ini terus berlangsung hingga kini. Beberapa kali dalam media massa, di antaranya Kompas, diungkap masalah jual beli manuskrip Indonesia di berbagai daerah di Indonesia. Benda langka dan kuno ini penting dan banyak menarik perhatian karena di dalamnya terdapat berbagai informasi, pemikiran, dan pengetahuan lokal mulai dari catatan harian para penguasa, surat-surat berharga, adat-istiadat, hukum, sejarah, keagamaan, arsitektur, makanan, astrologi, dan pengetahuan lainnya. Untuk memasuki dunia itu, katalog menjadi semacam pintu masuk bagi para peneliti untuk mendalami sejarah masa lalu Indonesia.

Keberadaan manuskrip Indonesia sebagai pustaka dunia dibuktikanjuga dengan apresasi berupa kajian yang dilakukan oleh pakar dari Indonesia dan pakar asing. Kajian terhadap manuskrip Indonesia ini sudah dilakukan sejak awal abad ke-19 oleh beberapa ahli budaya, seperti H.C. Klinkert dan Von De Wall. Menurut Baried, dkk (1994:50) minat terhadap teks-teks Nusantara berawal dari adanya pelajaran bahasa-bahasa Nusantara yang diberikan kepada para calon pegawai dan pejabat yang akan dikirim ke Indonesia. Mereka dibekali pengetahuan bahasa, ilmu bumi, dan kebudayaan. Kuliah pertama kali diadakan di Breda, tahun 1836 dan di Delf, tahun 1842. Taco Roorda dan Roorda van Eysinga diangkat sebagai guru besar. Pada akhirnya kuliah ini dipindahkan ke Fakultas Sastra Universitas Leiden, Belanda. Dari sini perkembangan kajian terus terjadi, bahkan beberapa ahli dari Inggris juga memberikan perhatian khusus pada teks-teks ini, seperti John Leyden, R.O. Winstedt, dan Hans Overbeck

Pada tahap awal kajian teks-teks Nusantara bertujuan untuk menyunting. Berhubung tenaga peneliti masih terbatas, teks-teks yang diambil kebanyakan dari naskah Jawa dan Melayu. Hasil

6 suntingan terbatas berupa penyajian teks dalam huruf aslinya dan pengantar. Suntingan seperti ini, diterbitkan tahun 1849 oleh Van Hoevel, Syair Bidasaridan pada tahun 1845 oleh Roorda van Eysinga

Hikayat Sri Rama. Kajian berikutnya Sejarah Melayu oleh John Leyden (1921). Pada terbitan ini teks dialihaksarakan dan ditambahkan dengan terjemahan dalam bahasa Inggris. Suntingan yang serupa juga dilakukan oleh H. Over Beck (1922) terhadap Hikayat Hang Tuah.

Kajian berupa suntingan dengan kritik teks mulai dilakukan pada abad ke-20. Suntingan dengan mencari teks yang mendekati aslinya dilakukan oleh A. Teeuw (1966) dalam Hikayat Seribu Masail dan Shair Ken Tambuhan. J.J. Ras (1968) dalam Hikayat Bandjar dan Kota Waringin. Pakar dari Indonesia juga mulai mengikuti jejak ini, seperti Teuku Iskandar (1959) menerbitkanDe Hikajat Atjeh oleh Naguib al-Attas(1970) mengkajiThe Mysticism of Hamzah Fansuri dan S. Soebardi(1975),

The Boek of Cabolek.Beberapa tahun kemudian telaah manuskrip menggunakan beberapa pendekatan penelitian sastra, seperti kajian Achadiati Ikram (1980) dengan Hikayat Sri Rama dan Edwar Djamaris (1999) Tambo Minangkabau, dan Partini Sardjono Pradotokusumo (1984) meneliti Kakawin Gadjah Mada dengan pendekatan interteks.

Berbagai telaah yang mengangkat sastra sejarah (historiografi) juga dilakukan oleh Chambert- Loir terhadap beberapa manuskrip Bima, (1) Syair Kerajaan Bima,(1982),Cerita Asal Bangsa Jindan Segala Dewa-Dewa,(1985) dan Bo’ Sangaji Kai (1999). Sampai saat ini manuskrip Indonesia terus dikaji pada tahun 2004 terbit shair Sinyor Kosta oleh A. Teeuw dkk, dan Syair Bidasar oleh Julian Millie, dan Karya lengkap Abdullah oleh Amin Sweeney.Lembaga penelitian yang terus memfokuskan diri dan menerbitkan kajian manuskrip Indonesia antara lainEFEO, lembaga penelitian Prancis, Universitas Leiden, dan KITLV,lembaga penelitian Belanda.

Akhir-akhir ini, penelitian manuskrip tidak sebatas pada kajian teks yang ditekuni filolog, tetapi juga didorong oleh kajian kodikologi yang mempelajari naskah (codex). Mulyadi (1994) mengatakan kajian kodikologi antara lain sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian tempat- tempat penyalinan, penyusunan katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah. Beberapa

7 penelitian mengenai tempat-tempat (scriptorium) penyalinan mulai dilakukan, misalnya penyalinan naskah Merbabu-Merapi oleh Wiryamartana (1999) dan Wiryamartana, van der Molen, dan Kartika; naskah Bali oleh H.I.R Hinzler (1993); naskah Jawa oleh T.T. Behrent (1999); naskah Betawi oleh Teuku Iskandar, Chambert-Loir, Dewaki Kramadibrata, dan Maria Indra Rukmi; naskah-naskah Riau oleh UU Hamidi, Ding Choo Ming, Virginia Matheson, dan Mu’jizah. Dalam penelitian ini keindahan visual pada naskah-naskah bergambar mulai dikaji dan kajian itu di antaranya oleh Gallop dan Arps (1991), Gallop (1994) Janson Aan dkk (1995), dan Mu’jizah (2009). Iluminasi naskah Jawa diteliti oleh Tim Behrend (1999) dan Saktimulya (1996) serta prasi Bali oleh Suparta. Telaah seperti ini diperkaya lagi dengan terbitnya buku Illuminations yang disunting oleh Ann Kumar dan McGlynn (1994).

Kajian manuskrip dengan menampilkan manuskrip seperti aslinya juga dilakukan dalam bentuk edisi facsimile. Pada tahun 1993 Roger Toll dan Jan Just Wirkam menerbitkan Mukhtasar Tawarikh al-Wusta dan Ismailmenyunting Hikayat Isma Yatim.Untuk mengetahui berbagai kajian yang pernah dilakukan, pada tahun 1999, Edi S. Ekadjati dkk. menyusun Direktori Edisi Naskah Nusantara.Selain telaah, berbagai tulisan ringkas dalam beberapa jurnal masih berlangsung. Namun, jumlah jurnal juga belum banyak bertambah. Sampai kini kita masih membaca jurnalBKI (Belanda),

JMBRAS (Inggris), Archipel (Perancis), ditambah dengan Jurnal Filologi (Malaysia), Wacanadan Lektur

(Indonesia).

Bentuk apresiasi masyarakat dunia terhadap manuskrip Indonesia adalah pementasan di tingkat dunia. Pementasan yang masih hangat dalam ingatan kita adalah pementasan atau pertunjukan kelas dunia terhadap I La Galigo yang disutradai oleh Robert Wilson. Pementasan ini diselenggarakan di beberapa kota dunia, seperti Rotterdam (Belanda), Barcelona (Spanyol), New York (Amerika Serikat), Melbourne (Australia), dan Singapura serta Jakarta dan Makassar. Pada dasarnya kreasi ini juga sering diadakan di Yogyakarta di Candi Prambanan untuk pementasan sendratari Cerita Ramayana.

8

Dokumen terkait