• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Sistematika Penulisan

2. Maqoshid Syariah a. Pengertian

Secara bahasa, maqāṣid syar'ah (ﺪﺻﺎﻘﻣ ﺔﻌﻳﺮﺸﻟا) terdiri dari dua kata, yaitu maqāṣid dan syarī„ah. Kata maqāṣid merupakan jama’

dari maqṣad yang berarti maksud atau tujuan. Dalam al-Qamūs al-Mubīn fī Iṣtilahāt al-Uṣūliyyīn, maqāṣid adalah hal-hal yang berkaitan dengan

maslahah dan kerusakan di dalamnya. Sedangkan “syariah” secara bahasa adalah jalan menuju sumber mata air. Kata asy-syarī’ah dalam kamus Munawir diartikan peraturan, undang- undang, hukum.53

Sedangkan arti “syarī„ah” secara istilah apabila terpisahkan dengan kata maqāṣid memiliki beberapa arti. Menurut Ahmad Hasan, syariah merupakan an- nuṣūṣ al-muqaddasah (nash-nash yang suci) dari al-Qur‟an dan sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh pemikiran manusia. Dalam wujud ini menurut dia, syariah disebut aṭ-ṭariqah al-mustaqimah (cara, ajaran yang lurus).

muatan syariah ini meliputi aqidah, amaliyah dan khuluqiyyah.

Maqāṣid syarī„ah dijelaskan oleh Imam as-Syatibi> bahwa syari’at bertujuan mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut harus dengan adanya bukti-bukti atau dalil-dalil yang jelas.54

Maqāṣid syarī„ah mencakup hikmah-hikmah dibalik hukum, maqāṣid syarī„ah juga merupakan tujuan-tujuan baik yang ingin dicapai

55As-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Us}ul as-Syari’ah, Jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad,t.th.), h. 6

56.Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terj.

Rosidin danAli Abd el Mun"im ( Jakarta: Mizan, 2015), h. 32

menutup sarana menuju keburukan. Maqāṣid syarī„ah mencakup

“menjaga akal dan jiwa manusia” menjelaskan larangan tegas terhadap minuman beralkohol dan minuman penghilang akal lainnya. Selain itu makna maqāṣid syarī„ah adalah sekumpulan maksud Ilahiyah dan konsep-konsep moral yang menjadi dasar hukum Islam. Maqāṣid as-syarī„ah dapat pula mempresentasikan hubungan antara hukum Islam dengan ide-ide terkini tentang hak-hak asasi manusia, pembangunan dan keadaban.56

b. Kehujjahan maqoshid Syariah

Semua perintah dan larangan Allah dalam al-Qur'an dan sunnah mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah tujuan, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, hal tersebut sesuai dengan firman Allah swt. di dalam QS. al-Anbiyaa'/21:

107

Berdasarkan ayat tersebut Allah swt. memberitahukan bahwa Allah swt. menjadikan Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta.

Berbahagialah di dunia dan di akhirat mereka yang menerima rahmat tersebut dan mensyukurinya. Sedangkan yang menolak dan mengingkarinya merugi di dunia dan di akhirat.5755

Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan

57.Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsier, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004)

58

dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi. Kemaslahatan yang dijelaskan secara langsung oleh Allah swt. terdapat dalam QS. al-'Ankabut/29: 45

Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa shalat mengandung dua hikmah, yaitu sebagai pencegah diri dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar. Shalat sebagai pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong pelakunya dapat menghindarinya.25

Ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara langsung oleh syari' (pembuat syari'at) dan akal sulit untuk membuat rasionalisasinya, seperti penetapan waktu shalat zhuhur yang dimulai setelah tergelincirnya matahari. Meskipun begitu bukan berarti penetapan hukum tersebut tanpa tujuan, hanya saja belum dapat dijangkau oleh akal manusia secara rasional. Mashlahah sebagai dalil hukum tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz‟i. hal ini disebabkan dua hal yaitu:

a) Jika akal mampu menangkap maqāṣid as-syarī„ah secara parsial dalam tiap- tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara‟.

b) Jika anggapan bahwa akal mampu menangkap maqāṣid

as-dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar/efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.58

Menyangkut kehujjahan maslahat dalam perspektif ulama ushul (ushulliyun) dan fuqaha (ahli hukum Islam), ada dua hal yang patut digaris bawahi: Pertama, semua ulama sepakat menerima kehujjahan maslahat selama keberadaannya mendapatkan dukungan nash (maslahah mu‟tabarah).5956 Kedua, perbedaan ulama dalam menanggapi masalah baru terjadi ketika mereka mendiskusikan kehujjahan maslahah mursalah dan bila terjadi pertentangan (ta‟arud) antara maslahat dengan nash syara’.

Ada tiga pembagian maslahat yang didasarkan menurut syara‟, diantaranya sebagai berikut:

a. Maslahah mu‟tabarah yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara‟, hal ini berarti terdapat dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.

b) Maslahah mulgha yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara‟, karena bertentangan dengan ketentuan syara‟. Misalnya syara‟

menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual pada siang hari dalam bulan ramadhan dikenakan hukuman

58. Muhammad Said Rhomadhon al-Buthi, Dhowabit al-Mashlahah fi al-Syariah alIslamiyah (Beirut:Daral Muttahidah,1992),h.108

59.Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 155

60

memerdekakan budak, atau puasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan bagi 60 orang fakir miskin.28Hukuman memberi makan bagi 60 fakir miskin lebih baik daripada berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

c) Maslahah mursalah, kajian mengenai maslahat bisa didekati dari dua pendekatan yang berbeda, maslahat sebagai tujuan syara‟ dan maslahat sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri.

Semua ulama sepakat bahwa maslahat adalah tujuan syara‟, namun mereka berbeda pendapat dalam keberadaanya sebagai dalil hukum. sehingga terjadi dialektika antara nash, realitas dan kemaslahatan. Nash dalam pandangan ulama ushul berdasarkan dalalahnya dibagi ke dalam dalalah qoth‟iyah dan dalalah dzanniyah.6057

Menurut al-Raysuni perbedaaan pandangan menyangkut nash atau maslahat dapat dibagi pada dua perspektif yakni persoalan-persoalan dan masalah yang terdapat dalam teks, dan hukumnya ditetapkan secara terperinci dan jelas dan perspektif kedua lebih pada persoalan-persoalan dan masalah baru yang tidak dijelaskan oleh teks secara khusus, terbatas ataupun langsung.

Persoalan selanjutnya baru muncul ketika terjadi pertentangan antara maslahat dalam pandangan nash dengan maslahat dalam pandangan manusia, yakni jika maslahat bertentangan dengan nash yang

60.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Faiz el Muttaqien (penerjemah), (Jakarta:Pustaka Amani, 2003), h. 36-37

‟iy al-dilalah, maka jumhur ulama (kecuali al-Thufi) sepakat untuk lebih mendahulukan nash. Namun, bila pertentangan tersebut terjadi dengan nash yang dzanny al-dilalah, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama :

1) Pendapat yang lebih mendahulukan nash secara mutlak. Bagi mereka nash menempati derajat tertinggi dalam hierarki sumber hukum Islam. Sehingga bila ada sumber hukum apa pun yang bertentangan dengan nash, maka nash lebih didahulukan.

Pendukung pendapat ini adalah Syafi‟iyah dan Hanabilah.6158 2) Pendapat yang mendahulukan maslahat dari pada nash, jika

maslahat itu bersifat daruriyah, qot‟iyah dan kulliyah.

Misalnya, dibolehkannya membunuh orang Islam yang dijadikan perisai hidup oleh musuh dengan tujuan menyelamatkan negara dan masyarakat yang terancam.

3) Pendapat yang lebih mendahulukan maslahat dari pada nash.

Pendapat ini dapat diklasifikasi lagi dalam dua kelompok.

Pertama, pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah. Mereka lebih mengamalkan maslahat dari pada nash, jika nash tersebut bersifat dzanni, baik dilalah maupun subut, sedangkan maslahatnya bersifat qoth‟iy. Kedua, Sulaiman al-Thufi yang berpendapat boleh mengamalkan maslahat lebih dahulu dari pada nash, baik nash tersebut bersifat qoth‟iy maupun dzanny.

61. Abdallah M. al-Husayn al-Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam (Jakarta: GayaMedia Pratama: 2004), h. 4

62

Hanya saja wilayah cakupannya pada bidang muamalat saja.62 Menyangkut penet apan hukum, untuk menjadikan maslahat sebagai dalil dalam menetapkan hukum, madzhab Maliki dan Hanbali mensyaratkan tiga hal yaitu:

a. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara‟ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.

b. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahat itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak mudarat.

c. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.6359

Menyangkut maslahah mursalah secara umum, ulama yang sepakat dengan kehujjahan maslahah mursalah meletakkan tiga syarat sebagai usaha

c. Prinsip-prinsip Maqashid Syariah

Maqashid al-shariah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid yang artinya kesengajaan atau tujuan dan syariah artinya jalan menuju sumber air, ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Adapun tujuan maqasyid syari‟ah yaitu untuk kemaslahatan dapat terealisasikan dengan baik jika lima unsur pokok dapat diwujudkan

62. Galuh Nasrullah Kartika Mayangsari R dan Hasni Noor , “Konsep Maqashid al-Syariah dalam Membentuk Hukum Islam (Perspektif al-Syatibi dan Jasser Auda),” Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 1, Desember 2014, h. 66

63. Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1146-1147

dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.

Tujuan syari dalam mensyariatkan ketentuan hukum kepada orang-orang mukalaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan- kebaikan bagi kehidupan mereka, melalui ketentuan-ketentuan yang daruriy, hajiy, dan tahsiniy. Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum. Tujuan dari ketiga kategori tersebut ialah untuk memastikan bahwa kemaslahatan kaum muslimin, baik di dunia maupun di akhirat terwujud dengan cara yang terbaik karena Tuhan berbuat demi kebaikan hambaNya.

1) al-maqasyid ad-daruriyat, secara bahasa artinya adalah kebutuhan yang mendesak. Dapat dikatakan aspek-aspek kehidupan yang sangat penting dan pokok demi berlangsungnya urusan-urusan agama dan kehidupan manusia secara baik. Pengabaian terhadap aspek tersebut akan mengakibatkan kekacauan dan ketidakadilan di dunia ini, dan kehidupan akan berlangsung dengan sangat tidak menyenangkan. Daruriyat dilakukan dalam dua pengertian, yaitu pada satu sisi kebutuhan itu harus diwujudkan dan diperjuangkan, sementara di sisi lain segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan

2) Al-maqasyid al-hajiyyat, secara bahasa artinya kebutuhan. Dapat dikatakan adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat

64.M. Syukri Albani Nasution, Rahmat Hidayat Nasution, Filsafat Hukum Islam

& Maqashid Syariah, (Jakarta: Kencana, 2020) h 44.

64

dilaksanakan dengan baik. Contohnya mempersingkat ibadah dalam keadaan terjepit atau sakit, di mana penyederhanaan hukum muncul pada saat darurat dalam kehidupan sehari-hari.

3) Al-maqasyid at-tahsiniyyat, secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Menunjuk pada aspek-aspek hukum seperti anjuran untuk memerdekakan budak, berwudhu sebelum shalat, dan bersedekah kepada orang miskin.

Kelima prinsip universal dikelompokkan sebagai kategori teratas daruriyat secara epistemologi mengandung kepastian, maka mereka tidak dapat dibatalkan. Justru kesalahan apapun yang memengaruhi kategori daruriyat ini akan menghasilkan berbagai konsekuensi yang berada jauh dari kelima prinsip universal tadi. Dua kategori lainnya hajiyyat dan tahsiniyyat yang secara struktural tunduk pada dan secara substansial merupakan pelengkap dari daruriyat akan terpengaruh, meskipun hal apapun yang mengganggu tahsiniyyat akan sedikit berpengaruh pada hajiyyat. Sejalan dengan itu maka memperhatikan ketiga kategori tersebut berdasarkan urutan kepentingannya dimulai dari daruriyyat dan di akhiri oleh tahsiniyyat.6561

Salah satu bagian penting dari pembagian hukum adalah kesediaan untuk mengakui bahwa kemaslahatan yang dimiliki oleh manusia di dunia dan di akhirat dipahami sebagai sesuatu yang relatif, tidak absolut.

Dengan kata lain, kemaslahatan tidak akan diperoleh tanpa pengorbanan sedikitpun. Sebagai contoh semua kemaslahatan yang

65.M. Syukri Albani Nasution, Rahmat Hidayat Nasution, h 45

sandang dan papan memerlukan pengorbanan dalam batas yang wajar.

Tujuan dari pada hukum adalah untuk melindungi dan mengembangkan perbuatan-perbuatan yang lebih banyak kemaslahatannya, dan melarang perbuatan-perbuatan yang diliputi bahaya dan memerlukan pengorbanan yang tidak semestinya.

Kemaslahatan yang ingin diselesaikan adalah yang memiliki syarat berikut:

1) Masalah itu harus riel atau berdasarkan prediksi yang kuat dan bukan khayalan.

2) Maslahat yang ingin diwujudkan harus benar-benar dapat diterima akal.

3) Harus sesuai dengan tujuan syariat secara umum, dan tidak bertentangan dengan prinsip umum syariat.

4) Mendukung realisasi masyarakat daruriyyat atau menghilangkan kesulitan yang berat dalam beragama.

Adapun manfaat mempelajari maqashid asy-syariah, sebagai berikut:

1) Mengungkap tujuan, alasan, dan hikmah tasyri‟ baik yang umum maupun khusus.

2) Menegaskan karakteristik islam yang sesuai dengan tiap zaman.

3) Membantu ulama dalam berijtihad dalam bingkai tujuan syariat islam.

66

4) Mempersempit perselelisihan dan ta‟shub di antara pengikut mazhab fiqh.

Syari‟ dalam menciptakan syariat (undang-undang) bukanlah sembarangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan ke mafsadatan bagi umat manusia.

Mengetahui tujuan umum diciptakan perundang-undangan itu sangat penting agar dapat menarik hukum suatu peristiwa yang sudah ada mashnya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat menetapkan hukum peristiwa-peristiwa yang tidak ada nash-nya.6662

d. d. Tujuan Hukum Islam dalam Pendekatan Maqashid Syariah Kajian tentang maksud (tujuan) ditetapkannya hukum dalam islam merupakan kajian yang sangat menarik dalam bidang ushul fiqh. Dalam perkembanganberikutnya,kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqashid syari‟ah identik dengan istilah filsafat hukum islam (the philosofy of islamic law). Istilah yang disebut terakhir ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum.6763

Al-Syatibi mengatakan bahwa doktrin ini (maqashid syari‟ah) adalah kelanjutan dan perkembangan dari konsep maslahah sebagaiamana telah

66.M. Syukri Albani Nasution, Rahmat Hidayat Nasution, h 46 67.ibid, h 57

islam, ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum islam berarti kesatuan dalam asal-usulnya dan terlebih lagi dalam tujuan hukumnya. Untuk menegakkan tujuan hokum ini, ia mengemukakan ajarannya tentang maqashid as-syari‟ah dengan penjelasan bahwa tujuan hukum adalah satu, yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.

Tidaklah berelbihan bila dikatakan bahwa tidak ditemukan istilah maqashid syari‟ah secara jelas sebelum al- Syatibi. Era sebelumnya hanya pengungkapan masalah „illat hukum dan maslahat.

Kandungan maqashid syari‟ah adalah pada kemaslahatan.

Kemaslahatan itu, melaui analisis maqashid syari‟ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai-nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan Tuhan kepada manusia.

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu agama (hifz din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al- mal).

1) Agama (hifz al-din)

Secara umum agama berarti kepercayaan kepada Tuhan. Adapun secara khusus agama adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang disyariatkan oelh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan mereka, dan perhubungan mereka satu sama lain. Untuk mewujudkan dan menegakkannya, agama islam telah

68

mensyariatkan iman dan berbagai hukum pokok yang lima yang menjadi dasar agama islam, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah.

2) Jiwa (hifz al-nafs)

Agama islam dalam rangka mewujudkan mensyariatkan perkawinan untuk mendapatkan anak dan penerusan keturunan serta kelangsungan jenis manusia dalam bentuk kelangsungan yang paling sempurna.

3) Akal (hifz al-aql)

Untuk memelihara akal agama islam mensyariatkan pengharaman meminum khamar dan segala yang memabukan dan mengenakan hukuman terhadap orang yang meminumnya atau menggunakan segala yang memabukan.

4) Kehormatan (hifz al-nasl)

Untuk memelihara kehormatan agama islam mensyariatkan hukuman had bagi laki-laki berzina, perempuan yang berzina dan hukuman had bagi orang-orang yang menuduh orang lain berbuat zina, tanpa saksi.

5) Harta kekayaan (hifz al-mal)

Untuk menghasilkan dan memperoleh harta kekayaan, agama islam mensyariatkan pewajiban berusaha mendapat rezeki, memperbolehkan berbagai mu‟amalah, pertukaran, perdagangan dan kerja sama dalam usaha. Adapun untuk memelihara harta kekayaan itu agama islam mensyariatkan pengharaman pencurian, menghukum had terhadap

pengkhianatan serta merusakan harta orang lain, pencegahan orang yang bodoh dan lalai, serta menghindarkan bahaya.

e. Maqashid Syariah Dalam Keluarga Sakinah

Berdasarkan hasil kajian tersebut diatas terhadap penerapan konsep keluarga sakinah menurut ajaran Islam ialah bahwasanya keluarga yang sanggup dan dapat mengupayakan serta menciptakan keadaan yang senantiasa tenang, tentram, bahagia, rukun, penuh cinta dan kasih sayang, anggota keluarga saling memiliki iman yang kuat, serta dapat menciptakan kesadaran dan kesederhanaan sesuai ajaran Islam. Hal ini termasuk dalam tingkatan memelihara jiwa (hifẓ al-nafs) supaya tidak terjadi pertengkaran antara sesama anggota keluarga dan menjaga akal (hifẓ al-aql) supaya tidak adanya pertengkaran yang akan mengganggu akal anak-anak, jika dua aspek ini tidak terpelihara maka dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan dan pertengkaran dalam keluarga.6864

3. Tupoksi Kantor Urusan Agama

Dokumen terkait