• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROSES PEMBERIAN NAMA ORANG PADA

3.1.2 Martutuaek

Setelah 7 hari selesai dilalui artinya setelah usia sang bayi 7 hari, pada hari berikutnya si bayi dibawa ke pancuran diiringi sanak keluarga. Memandikan anak atau membawa bayi ke pancuran dalam istilah Batak Toba disebut” martutuaek”. Marututuaek berasal dari kata aek yang berarti air. Jadi air sebenarnya ialah pergi ke air, dalam hal ini berarti pergi ke permandian ke pancuran atau ke mata air atau danau untuk memandikan si bayi (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 60).

Upacara martutuaek sering dipadukan dengan pasahat ulos parompa dari hula-hula. Untuk itu unsur dalihan na tolu turut terlibat. Oleh sebab itu, bagi yang mampu mengadakan upacara adat dimana keluarga itu mengundang dongan tubu, hula-hula, dan boru serta teman sekampung (dongan sahuta). Pihak hula-hula akan mengundang dongan tubunya, hula-hulanya boru dan dongan sahutanya. jalannya upacara marututaek ini adalah apabila telah lengkap semuanya yaitu keluarga batih laki-laki, keluarga batih dari hula-hula mereka berangkat dari rumah dimana si ibu menggendong bayinya didampingi si ayah dan diiringi keluarga (Marpodang, 1992: 390).

Sebelum pergi ke pancuran, terlebih dahulu diadakan upacara adat di dalam rumah yang dinamakan menjamu raja (martonggo raja). Biasanya apabila akan ada suatu rencana kerja keluarga dalam bidang adat, maka siempunya hajat (suhut) terlebih dahulu mengadakan acara tonggo raja tersebut. Di dalam pertemuan ini suhut memberitahukan secara resmi apa yang akan dilakukan, dan kepada raja-raja yang hadir dimintakan partisipasinya yang penuh, doa restu agar upacara yang bersangkutan berjalan dengan baik.

Pertemuan ini akan hadir teman sekampung (dongan sahuta), teman semarga (dongan sabutuha), kelompok boru, dan kelompok hula-hula. Acara pertemuan ini yang mirip rapat adat itu sifatnya demokratis dan semua orang berhak bicara dan mengeluarkan pendapat, dan bebas menolak pendapat orang lain. Acara ini demikian selalu dibuka dengan makan bersama dengan memotong babi atau kerbau, pada waktu sebelum acara marututuaek dilaksanakan.

Apabila si anak (biasanya laki-laki) akan mengambil nama salah seorang nenek moyang, maka semua hadirin berdasarkan cabang keturunan geneologis, akan menerima bagian-bagian dari binatang yang disembelih, menurut kedudukan mereka, beserta lauk istimewa di atas piring sebagai tanda bahwa mereka turut menyetujui dan memberkati pengambilan nama tersebut (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985:61).

Acara adat seperti ini pihak hula-hula menyediakan kelengkapan upacara adat berupa makanan adat dengan dengke (ikan mas), ulos parompa dan daun sirih beserta aek sitio-tio. Sedangkan pihak boru menyediakan makanan adat dengan tudu-tudu sipanganon, piso-piso berupa uang dan tuak na tonggi. Apabila sudah lengkap semua dan peserta adat sudah hadir semua (hula-hula, boru, dongan

sabutuha) ditambah penghuni kampung, dan para sahabat. Semua yang hadir duduk pada tempat tertentu dengan kedudukan masing-masing kekerabatan, makan bersamapun dimulai. Pertama-tama pihak hula-hula menyampaikan ikan dengke simudur-mudur kepada borunya dan pihak boru menyambutnya dengan membalasnya dengan tudu-tudu ni sipanganon.

Setelah selesai makan bersama dilanjutkan dengan pembagian parjambaran lalu memasuki acara penyerahan ulos parompa oleh opung bao dan mamupus sambubu oleh tulang si bayi (paman si bayi). Ulos parompa ini di uloskan oleh opung bao kepada cucunya diiringi dengan pepatah-pepitih yang bernada spiritual, dan kemudian tulang bayi memangku kemenakannya lalu mengunyah siri dan air sirih tersebut dipercikkan langsung dari mulutnya kepada ubun-ubun si bayi.

Budaya Batak acara mamupus sambubu ini adalah termasuk upacara ritual-spritual, karena hanya paman sajalah yang berwewenang untuk mamupus sambubu bere (kemenakannya) itu. Pengertian mangabing (memangku) dan mamupus sambubu ini dalam arti kekerabatan dan spiritual adalah bahwa setiap kemenakan dari orang Batak adalah termasuk anak kandung sendiri. Sedang dalam arti spritualnya bahwa melalui sahala tulang, si bayi akan tetap selamat dan sejahtaera oleh Tuhan Yang Maha Esa karena tulang itu adalah debata na niida sebagai wakil Tuhan didunia kepada setiap kemenakannya.

Acara ini ditutup dengan meminumkan aek sitio-tio kepada sang bayi, ibu dan ayah si bayi. Bahan-bahan pembawaan dan pemberian serta pelaksanaan acara tadi adalah bermakna simbolik doa agar si bayi selamat dan semua keluarga dalam keadaan damai dan sejahtera. Dengke simudur-mudur artinya agar si bayi menjadi

ikutan dari adik-adiknya yang akan lahir dari orang tuanya selamat sejahtera. Ulos parompa dan bintang maratur atau dari mangiring agar bayi menjadi selamat dan menjadi ikutan adik-adiknya kelak, bagaikan ulos alat untuk menggendong anak demikianlah sang bayi selamat-selamat dalam lingkungan keluarga berkat roh dari hula-hula menggendong sang bayi.

Aek sitio-tio diberikan kepada sang bayi, ayah dan ibunya agar kehidupan mereka setawar sedingin seperti jernih air dikemudian hari. Acara dilanjutkan dengan memberi piso-piso kepada hula-hula tadi sebagai berupa uang perlambang agar hula-hula tetap berwibawa terhadap borunya sepanjang hidup. Hula-hula disodori tuak na tonggi oleh boru sebagai perlambang semangat kehidupan yang manis, baik itu untuk hula-hula maupun terhadap boru yaitu bahwa kemanisan akan tetap diberikan oleh boru terhadap hula-hulanya dan karena berkat hula-hula itu terhadap boru mata pencaharian mereka itu akan berlipat ganda. Setiap acara diakhiri dengan doa. Demikianlah penyampaian ulos parompa oleh hula-hula kepada cucu mereka dan ini lebih banyak didominasi spiritual yang ritual (Marpodang, 1992: 392).

(Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 61) acara adat memandikan si bayi dilakukan setelah datu (dukun) memilih hari baik berdasarkan kelender Batak yang dinamakan parhalaan. Setelah hari baik ditentukan dengan meminta petunjuk dari datu, pada hari bayi itu dimandikan sebelum berangkat terlebih dahulu dipersiapkan dan disediakan perlatan seperlunya, antara lain:

 Tepung beras (itak gugur) 1 liter.

 Sejumlah daun sejenis daun terong (lanteung).  Satu alat penugal yang dinamakan giringan.

 Pecahan periuk tanah (ngarngar).

Sesuai dengan adat Batak Toba setiap anak yang baru lahir dan setelah berusia 7 hari maka bayi itu harus dibawa keluarga martutuaek, memandikan si bayi ke pancuran atau ke mata air, memperkenalkan bayi pada ciptaan mula Jadi Na Bolon dan meminta agar bayi itu disucikan Mula jadi Na Bolon. Setelah hari baik ditentukan oleh datu maka berangkatlah mereka dari rumah. Tanah disepanjang jalan ketempat permandian diberi lobang-lobang mulai dari halaman rumah. Perlobangan ini dianggap sebagai pemberitahuan kepada penguasa bawah bumi Boras Pati Ni Tano bahwa ada seorang bayi yang akan dipermandikan dengan harapan bahwa roh itu menerima persembahan itu dan sekaligus memenuhi undangan menyaksikan upacaranya melalui suara saat melobangi tanah tersebut. Daun terong (lanteung) berfungsi sebagai penutup lobang, di atasnya ditaruhkan sejemput tepung beras yang dinamakan itak gugur.

Dengan membawa perlengkapan demikian, semua orang yang hadir berprosesi membawa si bayi ketempat permandiannya. Si pembawa giringan berjalan didepan sekali, si pembawa daun lanteung menyusul dengan menutup setiap lobang yang dilaluinya dengan daun tersebut. Dibelakangnya berjalan ibu yang menggendong bayi; dibelakangnya lagi si pembawa tepung, yang meletakkan tepung di atas setiap daun yang menutupi lobang disamping si penggendong bayi berjalan seorang ibu yang membawa pecahan periuk tanah (ngarngar) yang berisi api (api ni anduhur) (Simanjuntak dalam koentjaraningrat, 1985: 62).

Setelah mereka sampai dipancuran, bayi tersebut dibaringkan telanjang bulat di atas selembar kain ulos. Muncullah seorang datu, mencedukkan air lalu menuangkan ketubuh si bayi, bayi tersebut terkejut karenanya dan menjerit

terhiba-hiba. Sesudah itu rombongan pulang ke kampung orang tua si bayi. Lalu dibawa pula dengan meninggalkan ngarngar berisi api tadi ditepi pancuran sebagai tanda kepada setiap orang bahwa baru saja ada bayi yang untuk pertama kali dipermandikan (Siahaan, 1992: 70).

Sering juga upacara martutuaek dinamakan upacara mencuri jalan (manangko dalan), karena dianggap telah menipu dewa tanah tersebut. Dipercayai bahwa dewa tanah asik memakan tepung baras di atas daun yang gatal sehingga lupa kepada bayi. Dengan demikian si bayi selamat sampai ke pancuran dan juga selamat sampai kembali ke rumah (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 62).

Dokumen terkait