• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Nama Orang Pada Masyarakat Batak Toba.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemberian Nama Orang Pada Masyarakat Batak Toba."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK

TOBA

(Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

OLEH:

HORHON ELDINA SIHOMBING 030905029

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmad dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Adapun yang yang menjadi judul skripsi ini adalah “ Pemberian Nama Orang Pada Masyarakat Batak Toba.” Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengharapakan adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan skripsi ini dimasa yang akan datang.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik itu moral maupun material. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaiakan rasa terima kasih dan memberikan penghargaan yang setulus-tuluasnya ditujukan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Humaizi, M.A, selaku PD 1 atas fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, M.A, selaku ketua Departemen Antropologi di FISIP USU.

(3)

5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktu dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas seluruh bimbingan, nasehat, arahan, ketulusan, dan kesediaan baliau dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Irfan Simatupang, selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan selama penulisan skripsi ini.

7. Bapak Drs. Agustrisno, selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan selama dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh staff pengajar Departemen antropologi FISIP USU, yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

9. Seluruh Staff pegawai FISIP USU yang telah membantu dalam pengurusan administrasi dan seluruh berkas.

10.Kepada seluruh informan penelitian, kepala desa maupun warga Desa Pollung yang bersedia memberikan kesempatan dan informasi sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

11.Bapak M. Lumban Gaol dan Ibu M. br Sinaga, dan juga kepada abang P. Lumban Gaol dan kakak S. br Banjar Nahor yang dengan tulus hati telah memberikan bantuan kepada penulis untuk dapat tinggal dirumah selama masa dalam penelitian.

(4)

Manik. Yang telah mengorbankan segala-galanya demi kemajuan dan keberhasilan bagi anak-anaknya juga doa restu yang diberikan kepada penulis.

13. Adik-adikku yang tersayang : Noorce Nurhayani br Sihombing, Syukur Parasian Sihombing, Roni tua Sampang Ate Sihombing, Riska Delvina br Sihombing, Davit Sihombing. Yang telah memberikan doa dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14.Buat sahabat-sahabatku : Annis Amelia, Berliana br Lumban Gaol, Marta Ulina br Perangin-angin. S. Sos, Nanik kartika Sari br Tumanggor. S. Sos, Yenni Dahliana br Pangaribuan, Novita Yuni Ardiana br Sitorus. S. Sos, Silvia br Sembiring. S. Sos.

15.Kerabat Antroplogi FISIP USU dari berbagai stambuk, Rahmi. S. Sos, Mardiana. S. Sos, Anna Asnidar. S Sos, Lena, kak Aulia, kak Indra, kak Mila, bang Rudolf, bang Davit, Fitria, Ecy, Ratna, luna, Ida, Serli, Yuli ,Mahyuni, Juni Tobing. S. Sos, Juli Pakpahan, Maria Susanti Kaban, Boy Sembiring, Paskah Pasaribu, Forman Pane, Palty Simanjuntak, Sandrak Manurung, Firdaus Marbun, Nasution. Masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas doa dan semangat dan bantuannya.

16.Terima kasih saya ucapkan kepada anak kos 752 A, Afrina Hasibuan, Emi Butar-butar, Juni Nenggolan, Shinta Sinaga, Feren Laban, kak Desma Sitorus, kak sabar Pardede, Nomika Sinaga.

(5)

Akhir kata penulis megucapkan banyak terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari barbagai pihak, penulis mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan dan melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada kita. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2008 Penulis

Horhon Eldina Sihombing

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

1.3 Lokasi Penelitian ... 6

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan penelitian ... 7

1.4.2 Manfaat penelitian ... 7

1.5 Kerangka Teori ... 7

1.6 Kerangka Konsep ... 14

1.7 Metode Penelitian ... 17

1.7.1 Tipe Penelitian ... 17

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ... 17

1.8 Analisa Data ... 19

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Singkat Desa Pollung ... 20

2.2 Lokasi dan lingkungan Alam Desa Pollung ... 21

(7)

2.3.1 Berdasarkan Jenis kelamin ... 24

2.3.2 Berdasarkan Suku Bangsa ... 25

2.3.3 Berdasarkan Agama ... 26

2.3.4 Berdasarkan Pendidikan ... 28

2.3.5 Berdasarkan Mata Pencaharian ... 29

2.3.6 Berdasarkan Umur ... 29

2.4 Pola Pemukiman ... 30

2.5 Sarana dan Prasarana ... 32

2.5.1 Sarana Pemerintahan ... 32

2.5.2 Sarana Pendidikan ... 32

2.5.3 Sarana Peribadatan dan Agama Penduduk ... 33

2.5.4 Sarana Kesehatan Masyarakat... 34

2.5.5 Sarana Jalan dan Transportasi ... 34

2.6 Bentuk Pemerintahan ... 36

2.7 Sistem Kekerabatan ... 36

BAB III PROSES PEMBERIAN NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA 3.1 Tata Cara Pemberian Nama Sewaktu Memeluk Agama Lokal………. 40

3.1.1 Mangharoan ... 40

3.1.2 Martutuaek ... 43

3.1.3 Mampe Goar ... 48

(8)

3.2 Tata Cara Pemberian Nama Setelah

Memeluk Agama Baru ... 55

3.2.1 Manggallang Esek-esek ... 55

3.2.2 Baptisan Kudus ………... 56

3.3 Faktor Perubahan Pemberian Nama ... 65

3.4 Maksud Masyarakat Batak Toba dalam Memberikan Nama ... 67

3.4.1 Adanya Harapan ... 68

3.4.2 Adanya Peristiwa ... 70

3.5 Penggantian Nama ... 72

3.6 Pengaruh Adat dan falsafah dalm Pemberian Nama ... 73

BAB IV MAKNA PEMBERIAN NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA 4. 1. Nama yang diambil dari Bahasa Batak Toba ... 79

4. 2. Nama Orang yang diambil dari Bahasa Indonesia ... 85

4. 3. Nama Orang yang diambil dari Bahasa Asing ... 87

4.4 Nama Bermakna Situasional ... 89

4. 4. 1 Nama yang diambil dari Bahasa Batak Toba ……… 89

4.5 Nama yang diambil dari Kategori lain ... 92

4.5.1 Nama yang Berorientasi Keagamaan ... 92

(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(10)

LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Pemanfaatan Area Tanah Desa Pollung……… 25 Tabel 2. 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin …….. 27 Tabel 2. 4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan ……….. 29 Tabel 2. 5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian…. 30 Tabel 2. 6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur ……….. 32 Tabel 2. 7 Sarana dan Prasarana Sosial ……… 37 Tabel 3. 1 Tata Cara Pemberian Nama Orang Sewaktu Memeluk

Agama Lokal……… 52 Tabel 3. 2 Tata Cara Pemberian Nama Setelah

Memeluk Agama Kristen……… 60 Tabel 3. 3 Proses Perubahan Pemberian Nama ………. 70 Tabel 3. 4 Nama Bermakna Pengharapan

dari Bahasa Batak Toba ……… 77 Tabel 4. 1 Nama Orang yang diambil

dari Bahasa Indonesia ………. 81 Tabel 4. 2 Nama Orang yang diambil dari Bahasa Asing ……… 83 Tabel 4. 3 Nama Bermakna Situsional yang diambil dari

Bahasa Batak Toba ………. 85 Tabel 4. 4 Nama yang berorientasi Keagamaan (Kristen) ……. 89 Tabel 4. 5 Nama yang diambil dari Kategori lain ………. 90

(12)

ABSTRAK

Horhon Eldina Sihombing, 2008. Judul skripsi : Pemberian Nama pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 93 halaman , 14 tabel, dan lampiran yang terdiri dari daftar istilah, daftar informan, pedoman pengumpulan data, peta lokasi penelitian, dan surat penelitian.

Penelitian ini menjelaskan pandangan masyarakat Desa Pollung mengenai suatu nama, dan mendeskripsikan bagaimana pemberian nama pada masyarakat Batak Toba. Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif, yaitu untuk mengungkapkan makna suatu nama yang terkandung di dalam nama seseorang. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana proses perubahan dalam pemberian nama. Yang sebelum masuknya agama Kristen ke tanah Batak dengan menggunakan berbagai kegiatan, kini setelah masuknya agama Kristen, proses pemberian nama pun telah mengalami perubahan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Pemberian nama orang dimulai dari proses pemberian nama, proses penggantian nama, dan makna serta maksud yang terkandung dalam sebuah nama. Proses pemberian nama seseorang mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya, yaitu ketika masyarakat memeluk kepercayaan lokal dan sesudah masuknya agama Kristen. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi (pengamatan).

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, menjelaskan bahwa sebelum masuknya agama dalam memberikan nama, melakukan berbagai upacara diantaranya mangharoan, martutuaek, mangebang. Pada saat ini, yaitu setelah masuknya agama Kristen ke tanah Batak, maka pemberian nama harus disahkan terlebih dahulu digereja dan dilanjutkan dengan acara adat, yaitu mangallang esek-esek dilakukan dengan cara mangallang esek-esek. Makna dan maksud yang terkandung dalam sebuah nama memiliki arti adanya suatu harapan. Nama tersebut juga diberikan berdasarkan peristiwa yang dianggap sebagai suatu kenangan. Pemberian nama seseorang diambil dari bahasa Batak Toba,bahasa Indonesia, juga nama-nama orang asing, dan dari kitab suci agama Kristen.

(13)

ABSTRAK

Horhon Eldina Sihombing, 2008. Judul skripsi : Pemberian Nama pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 93 halaman , 14 tabel, dan lampiran yang terdiri dari daftar istilah, daftar informan, pedoman pengumpulan data, peta lokasi penelitian, dan surat penelitian.

Penelitian ini menjelaskan pandangan masyarakat Desa Pollung mengenai suatu nama, dan mendeskripsikan bagaimana pemberian nama pada masyarakat Batak Toba. Penelitian ini menggunakan pendekatan kognitif, yaitu untuk mengungkapkan makna suatu nama yang terkandung di dalam nama seseorang. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana proses perubahan dalam pemberian nama. Yang sebelum masuknya agama Kristen ke tanah Batak dengan menggunakan berbagai kegiatan, kini setelah masuknya agama Kristen, proses pemberian nama pun telah mengalami perubahan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Pemberian nama orang dimulai dari proses pemberian nama, proses penggantian nama, dan makna serta maksud yang terkandung dalam sebuah nama. Proses pemberian nama seseorang mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya, yaitu ketika masyarakat memeluk kepercayaan lokal dan sesudah masuknya agama Kristen. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi (pengamatan).

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, menjelaskan bahwa sebelum masuknya agama dalam memberikan nama, melakukan berbagai upacara diantaranya mangharoan, martutuaek, mangebang. Pada saat ini, yaitu setelah masuknya agama Kristen ke tanah Batak, maka pemberian nama harus disahkan terlebih dahulu digereja dan dilanjutkan dengan acara adat, yaitu mangallang esek-esek dilakukan dengan cara mangallang esek-esek. Makna dan maksud yang terkandung dalam sebuah nama memiliki arti adanya suatu harapan. Nama tersebut juga diberikan berdasarkan peristiwa yang dianggap sebagai suatu kenangan. Pemberian nama seseorang diambil dari bahasa Batak Toba,bahasa Indonesia, juga nama-nama orang asing, dan dari kitab suci agama Kristen.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia memiliki aneka warna etnik atau suku bangsa yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara. Setiap suku bangsa memiliki budaya masing-masing sebagai ciri khas yang membedakannya dari suku-suku bangsa lain salah satunya adalah bahasa. Setiap daerah memiliki bahasa daerah masing-masing. Begitu juga dengan suku Batak Toba yang memiliki bahasa daerah dan memiliki dialek bahasa Batak Toba. Menurut Koentjaraningrat (1996: 80-81) ada tujuh unsur-unsur kebudayaan secara universal. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan tehnologi, sistem mata pencaharian hidup, religi, dan kesenian. Berdasarkan ketujuh unsur kebudayaan tersebut, bahasa merupakan salah satu bagiannya.

(15)

Menurut Sibarani (2004: 109) dalam budaya Batak Toba terdapat lima jenis nama yaitu:

1. Pranama, yaitu julikan yang diberikan kepada si anak sebelum dia diberi nama-sebenarnya. Anak laki-laki dengan sendirinya diberi nama si unsok dan anak perempuan diberi nama si butet.

2. Goar sihadakdanahon “nama sebenarnya/sejak lahir”. Yaitu nama yang diberikan oleh orang tua kepada si anak sejak kecil seperti Bonar,Togi, Parulian.

3. Panggoaran” teknonim atau nama dari anak/cucu sulung”, yaitu nama tambahan yang diberikan masyarakat secara langsung kepada orang tua dengan memanggil nama anak atau cucu sulungnya.

4. Goar-goar”, yaitu nama tambahan yang diberikan orang banyak kepada seseorang yang memiliki pekerjaan, keistimewaan, tabiat atau sifat tertentu.

(16)

Dalam tulisan ini akan membahas dan memfokuskan mengenai Goar sihadakdanahon. Yaitu nama sebenarnya yang sejak lahir yaitu nama yang diberikan oleh orang tua kepada sianak sejak kecil. Inilah yang disebut dengan propper name’ nama pribadi”. Masyarakat Batak Toba memiliki nama yang unik, karena nama-nama mereka diambil dari bahasa daerah Batak. Akan tetapi dengan semakin majunya zaman dan tehnologi maka dampaknya pun terlihat pada pemgambilan nama. Nama-nama yang dipakai pun semakin beragam. Banyak nama yang diambil dari orang-orang yang terkenal ada nama yang diambil dari nama arti dan bintang film.

Menurut Sibarani proses penamaan sangat berhubungan dengan kebudayaan, baik yang menyangkut identitas orang-orang pemilik nama itu atau pun kebiasaan kelompok masyarakat dalam pemberian nama (dalam Fasya, 2006: 7). Setiap masyarakat mempunyai kekhasan misalnya bila melihat nama suku sunda: Suparna Djaka Neneng, Eep Saifullah dll. Suku Batak Toba: Togap, Togar,Tiur dll.

(17)

sesuai dengan dunia komersial, seperti Roy Wicaksono menjadi Roy Martin, Cucu Suryaningsih menjadi Evie Tamala, Marjolein Tambayong menjadi Rima Melati, Sudarwati menjadi Titik Puspa, Wahyu Setyaning Budi menjadi Yuni Shara (http://www.fih.ui.ac.id/index1.php=view&ctnews=75)

Masyarakat primitif bangsa di Australia, Amerika dan Afrika, memiliki adat dan kebiasaan yang membedakan sukunya dari suku yang lain yaitu dari segi pemberian nama. Mereka memberikan dan memiliki nama yang sama dengan binatang (contoh, dengan singa dan beruang). Nama yang mereka ambil dari nama binatang, itu untuk menyatakan bahwa masyarakat primitif tersebut mempunyai pengharapan untuk memiliki sifat yang sama seperti nama binatang yang mereka sandang. Harapan-harapan yang mereka inginkan, misalnya punya keberanian dan memiliki kekuatan, seperti yang dimiliki oleh binatang tersebut. Anak-anak dari keturunan mereka, yang dipanggil dengan sebutan (nama) beruang atau singa, secara alamiah, mereka tidak merasa akan pernah merasa namanya jelek dan bahkan mereka merasa malu, mereka akan mengagnggap nama ini sebagai nama leluhur mereka (Andrew Lang dalam Freud, 2001: 179)

(18)

Pemberian nama sudah merupakan mitos pada suatu masyarakat karena mereka yakin bahwa nama mempunyai makna dan maksud tertentu selain hanya untuk menyebutkan. Dan beberapa masyarakat hal ini masih terjadi, masih meyakini bahwa si anak itu tidak memperoleh kehidupan sesuai dengan makna dan maksud namannya karena jiwanya tidak sanggup menerima dan memikul nama besar yang diberikan kepadanya, hal ini termasuk mitos pengukuhan. Masyarakat yakin bahwa nama bermakna dalam. Jika kehidupan si anak kelak sesuai dengan yang di harapkan orang tua pemberi nama itu, maka mereka semakin yakin bahwa nama si anak itu membawa suatu kebenaran. Dalam hal ini terjadi mitos pengukuhan (myth of concern). Akan tetapi, bilamana kehidupan si anak dikemudian hari tidak sesuai dengan yang diharapkan orang tua pemberi nama itu atau tidak sesuai dengan makna namanya dalam bahasanya. Maka mereka sebagian yakin bahwa nama tidak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan kelak. Disini sudah terjadi mitos baru yakni mitos pembebasan (myth of Freedom) (Sibarani dan Guntur, 1993: 9).

(19)

nama tergantung kepada orang tua yang memberikan dan menyandang nama tersebut. Namun, dibelakang nama yang diberikan terkandung suatu maksud, suatu makna. Inilah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian, dimana penulis merasa tertarik untuk meneliti nama-nama pada masyarakat Batak Toba.

1.2 Ruang Lingkup Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses pemberian dan penggantian nama orang pada masyarakat Batak Toba.

2. Apa makna dan maksud yang terkandung dalam pemberian nama orang pada masyarakat Batak Toba.

3. Perubahan pemberian nama bagi masyarakat Batak Toba.

1.3 Lokasi Penelitian

(20)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1Tujuan Penelitian

Penelitian tentang pemberian nama orang pada masyarakat Batak Toba ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan proses pemberian dan penggantian nama orang pada masyarakat Batak Toba

2. Untuk mengungkapkan makna dan maksud nama yang terkandung dalam masyarakat Batak Toba

3. Untuk melihat perubahan pemberian nama pada masyarakat Batak Toba. 1.4.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tentang pemberian nama orang pada masyarakat Batak Toba ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu:

1. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah referensi dibidang Antropologi mengenai pemberian nama orang pada masyarakat Batak Toba.

2. Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dalam pelestaraian budaya daerah.

(21)

1.5 Kerangka Teori

Menurut Sibarani (2004: 108) nama sebagai bagian dari bahasa yang digunakan sebagai penanda identitas kita juga memperlihatkan budaya pemilik nama itu. Dengan mendengar nama Daniel, Tomson, Nurcahaya, Suwito, Haposan, Pardomuan, kita tahu, paling tidak kita dapat menebak, agama atau etnik orang pemilik nama itu. Kalaupun ada penyimpangan, itu disebabkan oleh maksud, efek, dan latar belakang tertentu. Selanjutnya menurut Sibarani (dalam Fasya, 2006: 7) proses penamaan sangat berhubungan dengan kebudayaan, baik itu yang menyangkut identitas orang-orang pemilik nama itu atau pun kebiasaan kelompok masyarakat dalam pemberian nama.

Menurut Spradley (1997: xx) budaya sebagai suatu sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun srategi prilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka.

Dalam antropologi kognitif ini berasumsi bahwa setiap masyarakat memupunyai sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena material, seperti benda-benda, kejadian prilaku, emosi. Karena itu, objek kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind) manusia. Dan bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material.

(22)

(konsep tentang nama) yang ada dalam ‘kepala’masyarakat, dalam hal ini peneliti akan melihat orang tua dalam memberikan nama-nama kepada anak-anak mereka. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam pikiran ‘mind’ inidividu atau masyarakat.

Setiap kebudayaan suku bangsa di dunia, seperti di Indonesia dapat juga dipelajari melalui tiga aspeknya (wujudnya), yaitu (1) kebudayaan sebagai tata kelakuan atau lazim disebut sistem budaya; (2) kebudayaan sebagai kelakuan manusia atau sistem sosial dan (3) kebudayaan sebagai hasil karya manusia atau disebut sebagai kebudayaan material (Koentjaraningrat, 1983: 5)

Ilmu yang mempelajari seluk beluk nama disebut onomastik (onomastics). Onomastik dapat dibagi lagi atas dua bagian yaitu antroponomastik (anthroponomastics), cabang ilmu onomastik yang menyelidiki seluk beluk nama orang, dan toponomastik (toponomastics) yaitu yang kadang-kadang juga disebut toponimi (toponymy), cabang ilmu onomastik yang menyelidiki seluk beluk nama tempat (Sibarani, 1993: 8).

(23)

Nama adalah bayangan dari pribadi atau cita-cita orang yang menyandangnya dan merupakan bagian dari intrinsik dari keperibadiannya (Tobing, 1992: 49). Pemberian nama-nama yang baik memberikan pengaruh yang baik kepada keperibadian anak agar anak dapat mempunyai sosok ideal yang dapat ditirunya, dari nama yang diberikan kepadanya.

(Tallcot Parson dalam Suwarno dan alvin, 1990) mengatakan masyarakat selalu mengalami perubahan, tetapi teratur. Perubahan sosial yang terjadi pada suatu lembaga akan berakibat pada perubahan lain untuk mencapai keseimbangan baru. Dengan demikian, masyarakat bukan sesuatu yang statis, tetapi dinamis, sekalipun perubahan itu amat teratur dan selalu menuju pada keseimbangan baru. Jika suatu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan intern dan mencapai keseimbangan baru.

Menurut Thatcher, dkk (dalam Sibarani, 1993: 8) ada tujuh aturan pemberian nama yang baik pada seseorang (anak):

1. Nama harus berharga , bernilai, dan berfaedah. 2. Nama harus mengandung makna yang baik. 3. Nama harus asli.

4. Nama harus sudah dilafalkan 5. Nama harus bersifat membedakan.

(24)

Aturan pertama menyatatakan bahwa pemberian nama harus didasarkan pada pertimbangan kasih sayang dan pertimbangan keindahan bunyi. Jika kita mengakui bahwa anak sebagai pemberian Tuhan, maka kita perlu menamainya dengan baik. Dengan demikian, orang tua sebaiknya memberikan nama yang dapat menimbulkan inspirasi dan kebanggaan kepada anaknya.

Aturan kedua menyarankan bahwa nama itu harus memiliki makna yang baik. Artinya, apabila nama itu dirunut dalam bahasa aslinya, sebaiknya nama itu memiliki arti yang baik. Namun, meskipun suatu nama mengandung makna yang baik, janganlah digunakan sebagai nama jika mengandung asosiasi yang yang jelek.

Aturan ketiga menyarankan nama seharusnya orisinil atau asli. Keaslian di sini dapat dihubungkan dengan imajinasi dan akal sehat pemberi nama. Menurut aturan ini, nama seorang bisa diberi sesuai dengan keadaan atau situasi ketika bayi itu lahir.

Aturan keempat menyarankan agar nama yang diberikan kepada seorang mudah diucapkan. Oleh karena itu, seharusnya dipilih nama yang susunan bunyinya terdapat di dalam bahasa yang bersangkutan . apabila nama itu diambil dari bahasa asing, sebaiknya bunyinya disesuaikan dengan bunyi bahasa pemilik nama itu.

(25)

dimiliki bersama sebagai pertanda ikatan kelompok kekerabatan baik secara matrilineal maupun secara patrilineal disebut marga

Aturan keenam menyarankan agar nama yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan nama keluarganya atau, paling tidak, tidak bertentangan dengan nama keluarga.

Aturan ketujuh atau yang terakhir menyarankan agar nama yang diberikan kepada seseorang dapat membedakan jenis kelamin. Hal ini sangat penting karena dengan mengetahui namanya, kita sudah tahu bahwa dia seorang pria atau wanita. Antropolinguistik, adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat, komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat-istiadat, dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004: 50).

(26)

Menurut Sibarani (2004: 112-114) pemberian nama dalam masyarakat Batak Toba terbatas hanya kepada seorang bayi yang baru lahir, tetapi juga dapat diberikan kepada orang dewasa. Jadi, apabila kita memperhatikan pemberian nama dalam budaya Batak Toba, bahwa nama diberikan :

1. Setelah bayi lahir. Jika seorang anak lahir, dia akan diberi nama oleh orang tuanya. Jenis nama yang pertama sekali diberikan adalah nama pranama dan setelah beberapa hari kemudian, diberikanlah goar sihadakdanahon. 2. Setelah mempunyai anak. Setelah seseorang mempunyai anak. Ia dan

istrinya diberi nama baru yang diambil dari nama anak sulungnya dengan ditambah kata yang dapat menunjuk pada kata yang bermakna ‘ayah’(untuk ayah) dan yang bermakna ‘ibu’(untuk ibunya) jenis nama ini disebut panggoaran.

3. Setelah mempunyai cucu. Setelah pasangan suami istri mempunyai cucu, dia dan istrinya juga akan diberi nama baru yang diambil dari nama cucu pertama dan ditambah kata yang dapat menunjuk pada kata yang bermakna “kakek” atau “nenek”yang dipentingkan adalah nama cucu pertama dari putra pertamanya. Jenis nama ini disebut panggoaran.

4. Setelah memiliki pekerjaan atau tabiat tertentu. Orang yang pekerjaan atau tabiatnya sangat menonjol/sangat mencolok sering dijuluki dengan nama yang sesuai dengan keadaan atau tabiatnya. Jenis nama ini disebut goar-goar.

(27)

nama keluarga marga kepadanya. Inilah yang disebut mampe goar “menahbiskan marga”. Pemberian nama itu harus dilakukan dengan upacara tertentu dan harus diangkat menjadi anak seorang dari marga yang diinginkannya.

6. Setelah menikah. Orang yang baru menikah, biasanya wanita, diberi nama tambahan sesuai dengan nama suaminya, baik nama keluarga maupun nama pertama suaminya itu. Orang yang sudah lama menikah tetapi belum mempunyai anak biasanya diberi nama baru menunggu mereka mendapatkan anak. Si suami diberi nama ama ni paima, dan si istri diberi nama nai paima yang artinya “bapak/ibu yang sedang menunggu.

Menurut Tobing (1992: 42) beberapa nama yang bermakna, yang dalam bahasa Batak Toba disebut goar tulut (nama yang menuntun) dan terbagi dalam beberapa kelompok, antara lain (1) nama pujaan, seperti debata Raja (Allah itu Raja); (2) nama kenangan pada suatu peristiwa, umpamanya, waktu ia lahir ayahnya sedang mengadakan suatu perjanjian yang sangat penting, seperti Marsangakap (bersepakat) ; (3) nama menolak bala seperti: Horas (sehat-selamat-bahagia). Nama itu biasanya diberikan kepada anak yang lahir di dalam keluarga yang sering mengalami musibah kematian anak. Di harapkan dari nama yang sandang seseorang dapat diperoleh sekedar gambaran tentang keperibadiannya.

Menurut Sibarani (2004: 109) dalam budaya Batak Toba terdapat jenis lima yaitu :

(28)

dan anak perempuan diberi nama si butet. Pranama ini pun dengan sendirinya akan tanggal setelah si anak di beri nama sebenarnya. Kadang-kadang, pranama ini bisa terus digunakan sampai si anak berusia balita meskipun si anak sudah diberi nama terutama oleh orang yang tidak mengetahui nama si anak.

2. Goar sihadakdanahon “nama sebenarnya/sejak lahir”, yaitu nama yang diberikan oleh orang tua kepada si anak sejak kecil seperti Bonar, Togi, Parulian. Inilah yang disebut dengan proper name” nama pribadi”. Nama ini lebih kekal dari pada nama-nama lain dan terus digunakan dan bahkan sampai seorang meninggal dunia. Oleh karena itu nama sebenarnya, nama inilah yang digunakan dalam daftar-daftar identitas dengan diikuti oleh nama keluarga atau marga.

(29)

memanggil seseorang yang telah mempunyai anak dengan nama aslinya atau nama yang diberikan kepadanya ketika masih bayi. Kebiasaaan penamaan seorang orang tua berdasarkan nama atau cucunya disebut teknonimi.

(30)

itu sehingga nama itu hanya disebut ketika yang dijuluki tidak mendengarnya. Nama si Mokmok “si Gendut”, si Ganjang “si Panjang”, Pangaracun “Tukang Racun”, Guru Lasiak “Guru Cabe”, Parbibi “Pemilik Bebek”, nama julukan sindiran ini cukup banyak dan telah lama dipraktekkan dalam masyarakat Batak Toba.

(31)

1.6 Kerangka Konsep

1. Nama

Suatu kata atau kelompok kata yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menyebut orang, benda, dan tempat. Pada umumnya keempat bentuk itulah yang perlu dinamai (Sibarani, 1993: 8).

2. Anak

Semua yang lahir dari seorang ibu atau wanita sebagai hasil konsepsi antara suami istri, biasanya melalui perkawinan yang sah atau hukum (Zulkarnaen, 1995: 23).

3. Masyarakat

Kesatuan hidup manusia yang interaksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1979: 160).

4. Adat

(32)

5. Nilai Budaya

Merupakan konsepsi yang masih bersifat abstrak mengenai dasar dari suatu hal yang penting dan bernilai dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain budaya itu merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong dalam tata kehidupan manusia. Biasanya nilai budaya ini hanya terdiri dari konsep-konsep abstrak dan biasanya sudah mendarah daging dalam diri setiap individu sehingga sangat sulit berubah (Koentjaraningrat, 1985: 276).

6. Motivasi

Merupakan alasan atau penggerak tindakan dalam bertindak sebaiknya orang selalu memperhatikan nilai dan norma-norma uang berlaku. Setiap orang berbeda-beda dalam setiap tindakannya termasuk dalam pemberian nama.

7. Suku Bangsa Batak Toba

Salah satu dari sub suku bangsa Batak, yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi daerah tepi danau Toba, pulau Samosir, dataran tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah Barus dan Sibolga serta daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran. Pada tulisan ini yang dimaksud dengan suku bangsa Batak Toba adalah yang bermukim di desa Kecamatan Pollung Tapanuli Utara.

8. Dalihan Na Tolu

(33)

sebagai tungku pemasak, mereka melihat bahwa apa saja dapat dimasak diatas tungku yang baik dan masakan itu adalah untuk dimakan perseorangan atau bersama. Masakan yang baik apabila tungku atau dalihan yang baik. Tungku yang baik atau sempurna terdiri dari tiga Dalihan.

Demikianlah sistem kekerabatan suku bangsa Batak Toba berdasarkan Dalihan Na Tolu, tiga kelompok kekerabatan yaitu dongan sabutuha, hula-hula, boru. Yang harus berkaitan dalam usaha melaksanakan kegiatan-kegiatan di dalam sikap prilakunya, segala kegiatan masyarakat Batak dalam hubungan sosial budaya baru dikatakan sempurna bila telah didukung ketiga kelompok kekerabatan tadi (hula-hula, dongan sabutuha, boru), ibarat tiga Dalihan (tungku) yang mendukung periuk, belanga tempat memasak nasi, lauk-pauk dan minuman. Yang dimasak untuk diciptakan oleh dongan sabutuha, hula-hula dan boru adalah budaya untuk turunan-turunan mereka ibarat nasi, lauk-pauk, dan minuman bekal bagi kelanjutan hidup para turunannya (Rajamarpodang, 1992: 59-60).

a. Dongan Sabutuha

(34)

b.Hula-hula (kerabat pemberi istri)

Orang tua dari pihak istri suhut tadi atau mertua dari suhut dinamai hula-hula, dalam hubungan lebih luas, keluarga hula-hula kelompok kekerabatan pihak hula-hula, saudara laki-laki semarga dari hula-hula berdasarkan sistem kekeluargaan prinsip patrilineal.

c. Boru (kerabat pengambil istri)

Sebaiknya saudara perempuan dari suhut yang kawin dengan seseorang disebut boru. Atau lebih jelasnya, suami dari saudara perempuan suhut dinamai boru. Dalam hubungan lebih lanjut, bahwa semua saudara laki-laki boru, kelompok kekerabatan dari boru menjadi boru dari suhut (Rajamarpodang, 1992: 60).

1.7 Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu yang bertujuan untuk menggambarkan secara terperinci bagaimana proses pemberian nama dan makna yang terkandung di dalam nama pada masyarakat Batak Toba.

2. Teknik Pengumpulan Data

(35)

a. Teknik Observasi (Pengamatan)

Pengamatan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengamati suatu gejala atau siatuasi sosial yang meliputi keadaan, kegiatan, peristiwa, prilaku dan hubungan sosial dalam masyarakat desa Pollung.

b. Teknik Wawancara

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh sebayak mungkin pengetahuan dan sikap masyarakat Batak Toba dalam hal memberikan nama kepada anak mereka. Wawancara dilakukan dengan dengan menggunakan alat tulis untuk mencatat hasil wawancara untuk menghindari kelupaan dalam menulis laporan nantinya.

c. Studi Kepustakaan

Selain data yang diperoleh dari wawancara dan observasi, data kepustakaan dapat berupa hasil penelitian, buku-buku, majalah, dan surat kabar. Data kepustakaan ini juga akan berguna sebagai landasan teori untuk melakukan penelitian.

3. Pemilihan Informan

(36)

Pertama sekali kelapangan yang menjadi informan pangkal adalah kepala desa, peneliti memilih kepala desa sebagai informan pangkal untuk mengetahui kira-kira siapa saja yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Dan dari informan pangkal nantinya akan mengetahui informan kunci. Adapun informan kunci dalam menjawab masalah penelitian ini adalah orang tua yang ada di desa Pollung. Dari informan ini akan diharapkan didapat apa makna dan maksud yang terkandung didalam memberikan nama kepada anak mereka.

Penentuan informan kunci oleh peneliti yaitu orang tua yang tidak harus memberikan nama kepada anak mereka dari bahasa Batak Toba maupun yang tidak dari bahasa Batak Toba. Nama yang diambil dari alkitab bagi yang beragama kristen, maupun yang beragama muslim yang mengambil nama anak mereka dari alquran. Peneliti juga membutuhkan informan biasa, yaitu masyarakat sekitar yang memberikan nama kepada anak mereka hanya sebagai identitas yang tanpa ada tujuan dan maksud tertentu dari nama yang diberikan.

1.8 Analisa Data

(37)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Singkat Desa Pollung

Desa Pollung merupakan desa yang telah lama berdiri yaitu pada tahun 1942 yang didirikan oleh marga Banjar Nahor. Nama Pollung dalam bahasa Batak Toba berarti berkumpul. Nama Pollung diambil dari seringnya desa ini digunakan untuk musyawarah dan berdiskusi masyarakat dari berbagai desa dan berbagai marga. Desa ini terbentuk karena pada masa lalu tempat ini sering digunakan sebagai tempat diskusi dan pertemuan.

Pada masa penjajahan para penatua/tua-tua adat atau orang-orang yang dituakan, yang merupakan orang tua di kampung sering mengadakan pertemuan. Misalnya, berdiskusi dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di desa ini., menyelesaikan sengketa dan perselisihan bila ada penghuni desa yang bersalah kepada orang lain di luar wilayahnya. Agar Desa Pollung menjadi aman sehingga terwujud ketertiban.

(38)

Perubahan dalam administrasi desa, desa ini menjadi mandiri dan dapat mengatur sendiri kegiatan serta sistem administrasinya. Desa Pollung dulunya memiliki 4 dusun, namun atas keputusan bersama dengan kepala desa, desa ini menjadi 3 dusun, dengan pusat pemerintahan di Dusun I Lumban Siantar.

Masa demi masa wilayah Pollung mengalami perubahan, adanya perubahan lingkungan yang dilihat dari kondisi lingkungan jalan menuju Desa Pollung yang dulunya kondisi jalan yang sangat buruk berdebu karena tidak beraspal. Sehingga pada siang hari panas dan becek serta belumpur jika hari hujuan. Tetapi jika dilihat kondisi jalan menuju Desa Pollung sudah beraspal.

2.2 Lokasi dan lingkungan Alam Desa Pollung

Desa pollung ini merupakan daerah yang berada di wilayah Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Propinsi Sumatera Utara. Perjalanan dari Kota Medan menuju Desa pollung melewati kota Medan, Brastagi, Kabanjahe dan Sumbul. Desa Pollung memiliki jarak 2 Km dari pusat pemerintahan Kecamatan, sedangkan dari ibukota Kabupaten berjarak 12 Km, dan dari Ibukota Propinsi berjarak 330 Km.

(39)

ada ”angkutan umum”yang akan mengantarkan kita ke Desa Pollung tersebut, tetapi harus mengeluarkan uang sekitar Rp 5000,-.

Wilayah Desa Pollung ini memiliki batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ria-ria

- Sebelah Selatan berbatasan dengasn Desa Sipituhuta - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Hutapaung - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Parsingguran I

Kondisi jalan menuju Desa Pollung sudah beraspal, Desa Pollung ini banyak mengalami perubahan. Adanya perubahan kondisi jalan yang dulunya buruk dan belumberaspal. Kondisi jalan yang sangat buruk sangat berdebu jika hari panas, dan becek serta berlumpur jika hari hujan.

(40)

Tabel 2.1

Pemanfaatan Areal Tanah Desa Pollung No Pemanfaatan Tanah Luas (Ha) Persentase ()

1 Sawah 125 35,6

2 Perkebunan Rakyat 75 21,3

3 Perkuburan 1 0,3

4 Tanah Wakaf 3 0,8

5 Ladang 75 21,4

6 Tegalan 10 2,9

7 Rawa 5 1,5

8 Jalan 1,5 0,5

9 Bangunan 5 1,5

10 Pemukiman 48 13,6

11 Lain-lain 2 0,6

Jumlah 350.5 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung, 2007

Berdasarkan tabel 2.1 menunjukkan bahwa wilayah Desa Pollung ini sebagian besar adalah terdiri dari persawahan 125 Ha (35,6). Pertanian merupakan sumber mata pencaharian yang utama di Desa Pollung. Desa Pollung merupakan desa yang dominan sebagai daerah pertanian. Masyarakat Desa Pollung pada umumnya hidup dari hasil pertanian yaitu pada tanaman kopi dan palawija. Luas perkebunan 75 Ha (21,3) pertanahan lebih banyak digunakan untuk areal persawahan dan perkebunan rakyat.

(41)

Indonesia. Wilayah Desa Pollung memiliki curah hujan rata-rata 2500 Mm sehingga jumlah bulan hujannya terjadi 4 Bulan dalam setahun, dengan suhu rata-rata harian  18C. desa Pollung ini terletak di atas tanah yang memiliki letinggian  1450 m dari permukaan laut.

2.3 KeadaanPenduduk Desa Pollung

Jumlah penduduk Desa Pollung adalah sebanyak 1647 jiwa, dengan penduduk laki-laki berjumlah 757 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 890 jiwa. Terdapat 347 KK (kepala keluarga) yang mendiami desa ini. Seluruhnya adalah beretnis Batak Toba. Penduduk Desa Pollung hanya terdiri dari satu agama yang dianut, yaitu agama Kristen Protestan dan Khatolik, karena dulu Dusun Pollung ada 4 sekarang menjadi 3 Dusun. Komposisi pendudul Desa Pollung dapat dijelaskan berdasarkan kelompok jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan. Dan mata pencaharian.

2.3.1 Berdasarkan Jenis Kelamin

(42)

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase ()

1 Laki-laki 757 45,9

2 Perempuan 890 54,1

Jumlah 1647 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung, 2007

Berdasarkan tabel 2.2 di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk Desa Pollung berjumlah 1647 jiwa. Jumlah penduduk perempuan 890 (54,1) lebih besar dibandingkan dengan dimana jumlah penduduk laki-laki 757 jiwa (45,9).

2.3.2 Berdasarkan Suku Bangsa

Penduduk yang mendiami desa ini adalah homogen dimana mayoritas penduduk adalah suku bangsa Batak Toba. Warga desa ini mayoritas bermarga Marbun Banjar Nahor dan Marbun Lumban Gaol. Jika dilihat dari sejarah berdirinya Desa Pollung yang mendirikan adalah Marga Banjar Nahor.

(43)

2.3.3 Berdasarkan Agama

Penduduk Desa Pollung yang seluruhnya beragama Kristen, yaitu Kristen Protestan dan Khatolik. Di desa ini terdapat 1 buah bangunan gereja Khatolik, dan 4 buah bangunan gereja Protestan. Yaitu Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia), HKI (Huria Kristen Indonesia). Berikut ini adalah tabel yang menerangkan secara terperinci mengenai komposisi penduduk yang ada di Desa Pollung berdasarkan agama yang dianut.

Tabel 2.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase () 1 Agama Kristen Protestan 1351 82,1

2 Agama Kristen Khatolik 296 17,9

Jumlah 1647 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung, 2007

(44)

2.3.4 Berdasarkan Pendidikan

Komposisi penduduk Desa Pollung menurut pendidikan dapat dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 2.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan No Pendidikan Jumlah Persentase ()

1 TK 10 0,6

2 SD 1247 75,7

3 SLTP 218 13,3

4 SLTA 112 6,8

5 D1-D3 215 2,7

6 Sarjana 15 0,9

Jumlah 1647 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Pollung, 2007

Berdasarkan tabel 2.4 di atas, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Pollung yang paling banyak adalah tamatan Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah 1247 (75,7). Masyarakat Desa Pollung sudah mempunyai kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi kehidupan masa depan. Sudah banyak yang menduduki bangku perkuliahan, seperti dalam ungkapan orang Batak anakkokki do hamoraon di au (anakku adalah segala-galanya). Orang tua akan berjuang untuk pendidikan anak-anaknya. Agar anak-anaknya dapat dekolah setinggi-tingginya walaupun keadaan orang tua yang kurang mampu akan diusahakan mereka.

(45)

sekolah adalah susahnya memperoleh kendaraan umum yang menuju sekolah tersebut. Hal ini menyebabkan anak-anak sekolah berjalan kaki cukup jauh (1,5 Km) atau menumpang kendaraan yang lewat kearah Desa Pollung. Para siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) maka harus bersekolah keluar Desa seperti Ke Hutapaung atau ke Ibukota Dolok Sanggul karena di desa ini belum terdapat sekolah SMA.

Tingkat pendidikan di Desa Pollung , sudah bisa dikatakan bagus walaupun belum banyak menamatkan perguruan tinggi. Tetapi masih terdapat juga anak-anak yang tidak merasakan bangku sekolah atau pendidikan. Hal ini dikarenakan oleh berbagai hal, ada yang memang tidak mau sekolah, dan ada juga karena alasan keuangan keluarga.

2.3.5 Berdasarkan Mata Pencaharian

Pertanian merupakan sumber mata pencaharian yang utama di Desa Pollung. Pada umumnya mereka hidup dari hasil pertanian. Penduduk Desa Pollung juga mempunyai mata pencaharian yang beraneka ragam. Penduduk tersebut juga ada yang bekerja sebagai pegawai negeri, pedagang, dan lain-lain. Secara terperinci tentang mata pencaharian penduduk akan dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 2.5

Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No Mata Pencaharian Jumlah Persentase ()

1 Petani 650 90,5

2 PNS 39 5,4

(46)

4 Swasta 17 2,4 Jumlah 718 100 Sumber : Kantor Kepala Desa Pollung, 2007

Berdasarkan tabel 2.5 di atas, dapat dilihat bahwa penduduk yang bermata pencaharian yang paling banyak dengan jumlah 650 jiwa (90,5). Karena Desa Pollung merupakan desa yang dominan sebagai daerah pertanian. Penduduk Pollung pada umumnya hidup dari hasil pertanian yaitu pada tanaman kopi dan palawija. Desa Pollung merupakan daerah yang sejak dulu telah menjadi daerah pertanian. Mata pencaharian yang menempati urutan kedua di Desa Pollung adalah pegawai negeri/guru dengan jumlah 37 jiwa (5,2).

Di Desa Pollung 2 kali dalam seminggu diadakan pekan atau ke pasar yaitu pada hari selasa dan jumat. Pada hari selasa para pedagang menjualkan dagangannya dilingkungan mereka tinggal. Sedangkan pada hari jumat masyarakat pergi kota Dolok Sanggul. Di desa ini juga terdapat masyarakatnya pembuat meja, kursi, dan jendela, yang tenaga kerjanya merupakan kerabat-kerabat terdekat mereka. Karena masih merupakan usaha kecil-kecilan, dan belum dikatakan usaha yang besar.

2.3.6 Berdasarkan Menurut Umur

(47)

Tabel 2.6

Jumlah Penduduk Berdasarkan Menurut Umur No Umur Jumlah Persentase

1 0-4 70 4,3

2 5-9 157 9,5

3 10-15 373 22,6

4 16-20 161 7,1

5 21-24 112 6,8

6 25-45 764 46,3

7 46-54 45 2,7

8 55 keatas 10 0,6

Jumlah 1647 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Pollung, 2007

Berdasarkan tabel 2.6 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk menurut umur yang terbesar adalah golongan umur 25 sampai 45 tahun yaitu dengan jumlah 764 jiwa (46,3%). Yaitu penduduk pada usia produktif tergolong usia yang muda untuk aktif bekerja. Sedangkan urutan yang kedua yang menunjukkan jumlah penduduk menurut umur adalah golongan umur 10-15 tahun dengan jumlah 373 jiwa (22,6%). Untuk urutan yang terkecil adalah penduduk golongan umur 55 tahun ke atas dengan jumlah 10 jiwa (0,6%).

2.4 Pola Pemukiman

(48)

Bentuk-bentuk rumah penduduk sebagian berbentuk permanen, seperti halnya rumah-rumah di kota. Tetapi ada juga sebagian rumah penduduk yang memiliki lantai atas papan atau rumah yang memiliki kolong mereka memamfaatkan kolong rumah tersebut untuk tempat kayu bakar, dan kandang ternak ayam. Sedangkan kandang ternak seperti kerbau pada umumnya mereka buat dibagian belakang atau samping rumah penduduk, dan mereka buat dibagian pinggiran dari kompleks rumah.

Batas pekarangan rumah-rumah penduduk satu dengan yang lainnya, tiap rumah tidak memiliki batas-batas tertentu., karena tidak ditemukan adanya pagar atau tanaman tertentu sebagai pagar bunga, sehingga halamannya sangat luas. Halaman yang luas mereka manfaatkan untuk menjemur padi dan menjemur kopi. Tetapi ada juga penduduk yang menanami batas pekarangannya dengan bunga pagar, biasanya bunga pagar mereka gunakan untuk menjemur pakaian.

Untuk kebutuhan air minum penduduk umumnya menggunakan air dari sumur yang dibangun atas kebersamaan penduduk. Dulunya disediakan bak mandi umum yang dibangun atas swadaya masyarakat, akan tetapi bak umum tersebut telah rusak dan tidak layak untuk dipakai lagi untuk mengambil air bersih, mandi dan mencuci. Untuk keperluan mencucui mereka memanfaatkan kolam yang ada dipinggir jalan, sedangkan untuk keperluan air masak mereka gunakan dari air sumur.

(49)

seperti garam, cabe, ikan, rokok dan lain-lain. Untuk menjual hasil pertaniannya penduduk Desa Pollung pada umumnya menjual hasil panennya ke kota Dolok Sanggul yaitu pada hari jumat. Setiap rumah umumnya sudah mempergunakan listrik dari perusahaan listrik negara (PLN), namun air dari PAM belum masuk, merupakan sumur umum dipakai penduduk, tetapi air sungai juga dimanfaatkam.

2.5 Sarana dan Prasarana 2.5.1 Sarana Pemerintahan

Desa Pollung merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Saat ini diperintah oleh seorang Kepala Desa yang merupakan hasil pemilihan secara langsung. kepala desa mengurus segala hal-hal yang berkaitan dengan administrasi desa. Dalam rangka menjalankan roda pemerintahan, di Desa Pollung terdapat sebuah kantor kepala desa. Pada saat penelitian berlangsung, didesa ini mengadakan pemilihan kepala desa yang baru. Jabatan untuk kepala desa yang baru belum dipegang, karena belum ada serah terima jabatan. Masih dilakukan oleh kepala desa yang alam. Untuk menjaga keamanan dan ketahanan desa terdapat pos siskamling yang dibangun oleh penduduk setempat.

2.5.2 Sarana Pendidikan

(50)

yang jaraknya  1,5 Km berjalan kaki. Atau langsung sekolah ke Ibukota Kecamatan/Kabupaten dengan jaraknya 12 Km. Oleh karena belum adanya SMA di desa ini, maka apabila mereka hendak menyekolahkan anaknya kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, mereka haruslah keluar dari desa ini yaitu ke Ibukota Kecamatan. Sebagian anak-anak yang bersekolah ke Ibukota Kecamatan ada yang berindekost dan sebagian besar pulang pergi dari desa ini. Hal terakhir ini dimaksudkan untuk menghemat biaya sekolah si anak, karena tenaga si anak masih dapat diamanfaatkan untuk mengerjakan ladang dan perkebunan.

2.5.3 Sarana Peribadatan dan Agama Penduduk

Penduduk desa Pollung menurut kepala desa yang ada di kepala desa seluruhnya beragama Kristen. Sebelum Desa Pollung dibagi kedalam 3 Dusun ada agama lain yang yang dianut di desa ini. Agama Kristren yang dianut yaitu agama Kristen Khatolik dan Protestan. sebagai tempat beribadah terdapat 4 buah gereja Protestan yaitu HKBP, HKI, GKPI, GKI dan 1 buah gereja Khatolik..

(51)

2.5.4 Sarana Kesehatan Masyarakat

Ditinjau dari sudut kesehatan maka penduduk Pollung mempunyai kesehatan yang secara umum relatif baik. Sarana kesehatan yang terdapat di Desa Pollung terdapat 1 buah Puskesmas pembantu yang melayani secara umum dan dibuka setiap hari, jarak Puskesmas untuk ditempuh penduduk memiliki jarak 1,5 Km. dan tiga buah Posyandu yang mengadakan 2 kali dalam sebulan. Petugas kesehatan yang melayani masyarakat terdiri dari 1 orang bidan dan 1 orang perawat kesehatan. Memang jika ditinjau dari jumlah penduduk, jumlah petugas kesehatan itu sangat kurang dari yang dibutuhkan.

2.5.5 Sarana Jalan dan Transportasi

Kondisi jalan yang ada di Desa Pollung yang berjarak ± 12 Km dari Ibukota Kecamatan sudah cukup memadai. Jalan yang digunakan masyarakt untuk menuju Dusun I dengan dusun yang lainnya jalannya sudah beraspal, walaupun masih ada sebagian yang bercampur dengan batu, dulu sebelum jalan menuju ke Desa Pollung diperbaiki sangat buruk sekali, jika hari hujan maka jalan akan berlumpur, becek dan licin, sehingga sulit untuk dilalui oleh kendaraan beroda dua apalagi kendaraan roda empat.

(52)

pertaniannya ke kota Dolok Sannggul. Berikut ini adalah sebuah tabel yang menjelaskan tentang prasarana dan sarana sosial yang dimiliki oleh Desa Pollung:

Tabel 2.7

Sarana dan Prasarana Sosial No Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah 1 Gedung Sekolah

a. TK 2

b. SD 3

c. SLTP 1

2 Tempat Ibadah

a. Gereja Khatolik 1 b. Gereja Protestan 4 3 Lapangan Olah Raga

a. Sepak Bola 1

b. Lapangan Voli 1

4 Fasilitas Kesehatan

a. Puskesmas 1

b. Posyandu 3

Jumlah 17

Sumber : Kantor Kepala Desa Pollung, 2007

(53)

2.6 Bentuk Pemerintahan

Desa Pollung merupakan wilayah Kecamaatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Propinsi Sumatera Utara berada diwilayah pimpinan seorang Gubernur, Kabupaten Humbang Hasundutan dipimpin oleh seorang Bupati, Kecamatan Pollung dibawah pimpinan seorang Camat, Desa Pollung berada dibawah pimpinan Kepala Desa. Keseluruhan dari hal-hal yang menyangkut keadaaan desa merupakan pertanggung jawaban bersama dibawah pimpinan kepala desa.

Desa ini berjumlah 1647 jiwa yang terdiri dari 347 rumah tangga. Mereka dibawah pimpinan seorang kepala desa. Desa Pollung terbagi dalam 3 Dusun, yang masing-masing berada dibawah seorang kepala Dusun. Administrasi desa atau administrasi pemerintahan Dusun dirasakan fungsinya apabila menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan penduduk sebagai warga masyarakat misalnya, untuk mengurus masalah kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, organisasi pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK), Posyandu, surat keterangan pindah, surat pengantar kepada kepala desa atau kepada camat untuk berbagai keperluan.

2.7 Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba

(54)

itu khususnya bertalian dengan adat, aktivitas hidup bersamanya itu terlihat pada pesta-pesta, seperti kehamilan (manyulangi), pemberian nama (mampe goar), menikah (marhajabuan), kematian (hamatean), menggali tulang belulang (mangongkal holi).

Sesuatu pekerjaan atau horja suku bangsa Batak Toba mengenal adanya tiga kelompok kerabat yang ikut. Kelompok kerabat tersebut meliputi dongan sabutuha, yang merupakan kelompok kekerabatan saudara laki-laki seayah , saudara laki-laki senenek, saudara laki-laki senenek moyang, saudara laki-laki semarga berdasarkan sistem keturunan kekeluargaan garis laki-laki atau patrilineal. Kelompok kedua merupakan kelompok boru, yaitu kelompok kerabat pengambil istri dari pihak hula-hula. Kelompok ketiga merupakan kelompok kerabat ini merupakan pemberi istri. Ketiga kelompok kerabat ini merupakan simbol dengan Dalihan Na tolu, yang artinya tiga tiang tungku.

Dalihan artinya tungku, Na artinya yang, Tolu artinya tiga. Dalihan Na Tolu berarti tempat memasak. Di atas tugku inilah ditempatkan alat memasak, bahwa masing-masing dalihan berdiri sendiri ditahan sedemikian rupa pada satu tempat dan di atas agar ketiga tungku itu tetap harmonis. Demikianlah keadaan kekerabatan suku Batak Toba dan pandangan hidupnya, bahwa suhut, hula-hula,boru masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri tahu akan hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab pada kedudukannya pada satu saat.

(55)

baik atau sempurna apabila terdiri dari tiga dalihan. Dalihan harus sama tinggi, ruang pembakar tempat kayu api baik, jarak antara tiga tungku sama.

Dalihan Na Tolu ini suku Batak Toba, melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga tidak ada ubahnya seperti keadaan Dalihan Na Tolu. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kepentingan manusia dan keluarga yang menjadi sumber sikap prilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga unsur kekerabatan ibarat tiga tiang tungku. Yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dalam bentuk kerja sama atau sama-sama diamanfaatkan. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada artinya, tetapi harus kerja sama satu sama lain baru bermanfaat.

(56)

Bagan I : Hubungan Dalihan Na Tolu Keterangan:

A : Kerabat satu keturunan (dongan sabutuha) B : Karabat pemberi istri (hula-hula)

C : Kerabat pengambil istri (boru)

(57)

BAB III

PROSES PEMBERIAN NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

3.1 Tata Cara Pemberian Nama Sewaktu Memeluk Agama Lokal 3.1.1 Mangharoan

Mangharoan adalah kelahiran. Saat seorang wanita melahirkan, maka seorang suami akan menjatuhkan sebatang kayu besar dari atas atap rumah ke halaman, lalu si suami memotong-motongnya menjadi batang-batang kecil dengan menggunakan kapak. Dimana batang kayu tadi kemudian dibakar di tungku perapian (tataring). Suara kapak yang untuk memotong kayu-kayu tersebut yang dilakukan oleh si suami tersebut merupakan tanda pengumumuman kepada seisi huta (kampung) bahwa seorang bayi telah lahir.

(58)

Kelahiran anak ditolong oleh seorang bidan tradisional pedesaan yang disebut dengan si baso. Setelah si baso memotong tali pusat dengan kulit bambu (sambilu), dan kemudian si baso membersihkan si ibu dan bayinya, lalu ia membalut si bayi dengan selimut (ulos Batak) dan kemudian membaringkan si bayi disamping ibunya dekat perapian yang dibuat khusus pada kelahiran itu oleh si suami. Api perapian yang dibuat tersebut menyala terus sepanjang hari secara lambat-lambat selama beberapa hari sampai 1 minggu. Maksud perapian yang menyala terus sepanjang hari, fungsinya yang lebih dalam adalah agar hantu atau roh-roh jahat tidak berani mengganggu si ibu yang lemah fisiknya itu. Ada keyakinan bahwa hantu dan segala macam roh takut kepada api.

Ibu-ibu yang datang menjenguk segera memotong seekor ayam dan mencampurnya dengan sejenis sayur yang rasanya asam yang namanya bangun-bangun. Bila bayi yang lahir adalah bayi laki-laki, maka ayam yang akan disembelih adalah ayam jantan dan bila bayi yang lahir adalah perempuan maka ayamnya adalah ayam betina. Makanan khusus yang dibuat tesebut dinamakan nanidugu, secara simbolis nasi dan lauknya didekatkan kemulut bayi sehingga kena, sebagai pertanda bahwa kedatangan si bayi tersebut adalah untuk makan. Saat itu sepotong paha ayam diberikan kepada bidan si baso sebagai haknya menurut adat (jambar) (Simanjuntak dalam koentjaraningrat, 1985: 58).

(59)

orang yang kemungkinan datang belakangan; bagian kaki ayam adalah bagian para pemuda dan bagian dada dicampur dengan sayaur asam (bangun-bangun) setelah dipotong kecil-kecil. Semua orang yang hadir dipersilahkan mulai memakan bagian-bagiannya dari nanidugu tersebut dan pada saat itu, para hadirin disuguhi nira (tuak) yang dibuat dari bunga enau atau kelapa. Fungsi bangun-bangun, yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan sehingga sehat, sedangkan tuak yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan berfungsi agar air susu ibu yang bersalin itu cepat ada dan lancar untuk diberikan kepada bayinya.

Setelah acara makan selesai salah seorang diantara para tamu (terutama kalau ada laki-laki) memberi kata-kata doa restu kepada orang tua si bayi, yang kemudian kata-kata yang diberikan dijawab oleh ayah si bayi dengan ucapan terima kasih atas doa tersebut. Kemudian beberapa patah kata juga disampaikan kepada bidan (si baso) yang membantu persalinan yang diikuti dengan pemberian ulos sampe-sampe sebagai tanda terima kasih. Ulos tersebut bermakna bahwa restu akan sampai kepada si bayi dari Tuhan Mula Jadi Na Bolon; agar usia anak panjang, serta selalu sehat sepanjang hidupnya (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 59).

(60)

mengasyikkan mereka jangan sampai tertidur. Maksudnya adalah agar selalu ada orang yang tetap menjaga, agar hantu-hantu dan roh jahat jangan dapat mengganggu atau mengambil bayi. Bila hari ketujuh telah lalu, orang tidak perlu datang lagi tetapi tidak ada larangan untuk tidur dirumah si bayi pada malam-malam berikutnya (Marpodang, 1992: 389).

3.1.2 Martutuaek

Setelah 7 hari selesai dilalui artinya setelah usia sang bayi 7 hari, pada hari berikutnya si bayi dibawa ke pancuran diiringi sanak keluarga. Memandikan anak atau membawa bayi ke pancuran dalam istilah Batak Toba disebut” martutuaek”. Marututuaek berasal dari kata aek yang berarti air. Jadi air sebenarnya ialah pergi ke air, dalam hal ini berarti pergi ke permandian ke pancuran atau ke mata air atau danau untuk memandikan si bayi (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 60).

(61)

Sebelum pergi ke pancuran, terlebih dahulu diadakan upacara adat di dalam rumah yang dinamakan menjamu raja (martonggo raja). Biasanya apabila akan ada suatu rencana kerja keluarga dalam bidang adat, maka siempunya hajat (suhut) terlebih dahulu mengadakan acara tonggo raja tersebut. Di dalam pertemuan ini suhut memberitahukan secara resmi apa yang akan dilakukan, dan kepada raja-raja yang hadir dimintakan partisipasinya yang penuh, doa restu agar upacara yang bersangkutan berjalan dengan baik.

Pertemuan ini akan hadir teman sekampung (dongan sahuta), teman semarga (dongan sabutuha), kelompok boru, dan kelompok hula-hula. Acara pertemuan ini yang mirip rapat adat itu sifatnya demokratis dan semua orang berhak bicara dan mengeluarkan pendapat, dan bebas menolak pendapat orang lain. Acara ini demikian selalu dibuka dengan makan bersama dengan memotong babi atau kerbau, pada waktu sebelum acara marututuaek dilaksanakan.

Apabila si anak (biasanya laki-laki) akan mengambil nama salah seorang nenek moyang, maka semua hadirin berdasarkan cabang keturunan geneologis, akan menerima bagian-bagian dari binatang yang disembelih, menurut kedudukan mereka, beserta lauk istimewa di atas piring sebagai tanda bahwa mereka turut menyetujui dan memberkati pengambilan nama tersebut (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985:61).

(62)

sabutuha) ditambah penghuni kampung, dan para sahabat. Semua yang hadir duduk pada tempat tertentu dengan kedudukan masing-masing kekerabatan, makan bersamapun dimulai. Pertama-tama pihak hula-hula menyampaikan ikan dengke simudur-mudur kepada borunya dan pihak boru menyambutnya dengan membalasnya dengan tudu-tudu ni sipanganon.

Setelah selesai makan bersama dilanjutkan dengan pembagian parjambaran lalu memasuki acara penyerahan ulos parompa oleh opung bao dan mamupus sambubu oleh tulang si bayi (paman si bayi). Ulos parompa ini di uloskan oleh opung bao kepada cucunya diiringi dengan pepatah-pepitih yang bernada spiritual, dan kemudian tulang bayi memangku kemenakannya lalu mengunyah siri dan air sirih tersebut dipercikkan langsung dari mulutnya kepada ubun-ubun si bayi.

Budaya Batak acara mamupus sambubu ini adalah termasuk upacara ritual-spritual, karena hanya paman sajalah yang berwewenang untuk mamupus sambubu bere (kemenakannya) itu. Pengertian mangabing (memangku) dan mamupus sambubu ini dalam arti kekerabatan dan spiritual adalah bahwa setiap kemenakan dari orang Batak adalah termasuk anak kandung sendiri. Sedang dalam arti spritualnya bahwa melalui sahala tulang, si bayi akan tetap selamat dan sejahtaera oleh Tuhan Yang Maha Esa karena tulang itu adalah debata na niida sebagai wakil Tuhan didunia kepada setiap kemenakannya.

(63)

ikutan dari adik-adiknya yang akan lahir dari orang tuanya selamat sejahtera. Ulos parompa dan bintang maratur atau dari mangiring agar bayi menjadi selamat dan menjadi ikutan adik-adiknya kelak, bagaikan ulos alat untuk menggendong anak demikianlah sang bayi selamat-selamat dalam lingkungan keluarga berkat roh dari hula-hula menggendong sang bayi.

Aek sitio-tio diberikan kepada sang bayi, ayah dan ibunya agar kehidupan mereka setawar sedingin seperti jernih air dikemudian hari. Acara dilanjutkan dengan memberi piso-piso kepada hula-hula tadi sebagai berupa uang perlambang agar hula-hula tetap berwibawa terhadap borunya sepanjang hidup. Hula-hula disodori tuak na tonggi oleh boru sebagai perlambang semangat kehidupan yang manis, baik itu untuk hula-hula maupun terhadap boru yaitu bahwa kemanisan akan tetap diberikan oleh boru terhadap hula-hulanya dan karena berkat hula-hula itu terhadap boru mata pencaharian mereka itu akan berlipat ganda. Setiap acara diakhiri dengan doa. Demikianlah penyampaian ulos parompa oleh hula-hula kepada cucu mereka dan ini lebih banyak didominasi spiritual yang ritual (Marpodang, 1992: 392).

(Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 61) acara adat memandikan si bayi dilakukan setelah datu (dukun) memilih hari baik berdasarkan kelender Batak yang dinamakan parhalaan. Setelah hari baik ditentukan dengan meminta petunjuk dari datu, pada hari bayi itu dimandikan sebelum berangkat terlebih dahulu dipersiapkan dan disediakan perlatan seperlunya, antara lain:

 Tepung beras (itak gugur) 1 liter.

(64)

 Pecahan periuk tanah (ngarngar).

Sesuai dengan adat Batak Toba setiap anak yang baru lahir dan setelah berusia 7 hari maka bayi itu harus dibawa keluarga martutuaek, memandikan si bayi ke pancuran atau ke mata air, memperkenalkan bayi pada ciptaan mula Jadi Na Bolon dan meminta agar bayi itu disucikan Mula jadi Na Bolon. Setelah hari baik ditentukan oleh datu maka berangkatlah mereka dari rumah. Tanah disepanjang jalan ketempat permandian diberi lobang-lobang mulai dari halaman rumah. Perlobangan ini dianggap sebagai pemberitahuan kepada penguasa bawah bumi Boras Pati Ni Tano bahwa ada seorang bayi yang akan dipermandikan dengan harapan bahwa roh itu menerima persembahan itu dan sekaligus memenuhi undangan menyaksikan upacaranya melalui suara saat melobangi tanah tersebut. Daun terong (lanteung) berfungsi sebagai penutup lobang, di atasnya ditaruhkan sejemput tepung beras yang dinamakan itak gugur.

Dengan membawa perlengkapan demikian, semua orang yang hadir berprosesi membawa si bayi ketempat permandiannya. Si pembawa giringan berjalan didepan sekali, si pembawa daun lanteung menyusul dengan menutup setiap lobang yang dilaluinya dengan daun tersebut. Dibelakangnya berjalan ibu yang menggendong bayi; dibelakangnya lagi si pembawa tepung, yang meletakkan tepung di atas setiap daun yang menutupi lobang disamping si penggendong bayi berjalan seorang ibu yang membawa pecahan periuk tanah (ngarngar) yang berisi api (api ni anduhur) (Simanjuntak dalam koentjaraningrat, 1985: 62).

(65)

terhiba-hiba. Sesudah itu rombongan pulang ke kampung orang tua si bayi. Lalu dibawa pula dengan meninggalkan ngarngar berisi api tadi ditepi pancuran sebagai tanda kepada setiap orang bahwa baru saja ada bayi yang untuk pertama kali dipermandikan (Siahaan, 1992: 70).

Sering juga upacara martutuaek dinamakan upacara mencuri jalan (manangko dalan), karena dianggap telah menipu dewa tanah tersebut. Dipercayai bahwa dewa tanah asik memakan tepung baras di atas daun yang gatal sehingga lupa kepada bayi. Dengan demikian si bayi selamat sampai ke pancuran dan juga selamat sampai kembali ke rumah (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 62).

3.1.3 Mampe Goar

Upacara ini erat bersangkut paut dengan upacara martutuaek adalah upacara pemberian nama atau mampe goar, karena nama si bayi diberikan setelah kembali dari tempat permandian dimana si bayi dibersihkan dan disucikan sebelum menerima nama. Istilah mampe goar artinya meletakkan nama, berasal dari kata ampe (appe) artinya letak atau terletak, sehingga arti dari istilah tersebut adalah “ meletakkan nama”.

(66)

menghitung jumlah huruf dan memperhitungkannya kembali jumlah itu kepada jari tangannya. Apabila hitungan terakhir nilai total huruf itu jatuh kesalah satu jari yang berarti nama itu kurang baik, nama itu kurang menguntungkan, atau nama itu kurang memberi rejeki, terutama berkaitan dengan panjang umur dan jumlah anak, maka nama itu ditolak; demikian seterusnya sampai suatu nama yang cocok ditemukan. Nama itu yang kemudian dinilai dengan berpedoman kepada buku pedoman ilmu gaib, pustaha (yang juga berisi cara-cara menentukan hari baik dan hari buruk) sampai orang yakin bahwa nama yang dipilih mengandung arti baik, panjang umur, murah rejeki, banyak anak, kesehatan badan dan kebahagiaan dari si bayi yang akan memakai nama itu (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 63-64).

Bila orang yang pergi memandikan bayi, kembali dari tepian mereka langsung menanyakan kepada datu siapakah nama yang dipilih (diririt) untuk si bayi. Apabila datu memberitahukannya, maka mereka menyatakan persetujuannya dengan mengatakan kearah si bayi:

sai goar tulut mai sai goar sipajou-jouon goar si paehet-eheton donganna sari matua” Artinya:

“semoga nama yang sebenarnyalah itu, nama yang selalu dipanggil,

nama yang selalu disebut-sebut, temannya hingga masa tua”

(67)

kaya, dan orang yang mempunyai banyak anak (gabe). Menurut mereka nama itu mempunyai arti yang menetukan nasib si pemilik nama di hari depan. Demikian menurut keyakinan dan pengalaman-pengalaman orang-orang tua sering nama itu sesuai sekali dengan si pemakai, dengan melihat kehidupan sehari-hari atau sifat peragainya (Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 64).

Sering nama itu dinilai terlalu tinggi bagi pemilik, sehingga dia dianggap tidak mampu memakainya. Bila keadaan seperti itu terjadi maka si pemilik nama sering sakit, atau hidupnya sengsara atau ia akan mati muda. Lalu diambil jalan keluar dari nasib malang itu, dengan cara mengganti namanya dengan nama yang dinilai lebih sesuai atau lebih rendah nilainya dari nama pertama. Misalnya, nama yang diberikan pada masa bayi ialah Bungaran, tetapi sejak nama itu diberikan kepadanya dia sering sakit; bahkan ia sesudah besar dan telah kawin, namun hidupnya tetap sengsara. Maka orang-orang tua menganjurkan agar ia mengadakan pergantian nama dengan upacara. Karena nama Bungaran artinya terkenal, popular, jaya, hebat, mungkin nama itu tidak cocok baginya, karena ternyata dia tidak menjadi orang yang terkenal itu, tetapi malah sakit-sakitan, miskin, dan sama sekali tidak terkenal atau tenar. Karena nama itu dianggap terlalu tinggi untuknya, lalu oleh orang-orang tua diganti menjadi nama Sabam yang artinya sabar, rendah hati, lapang dada (Simanjuntak dalam Koentjarangingrat, 1985: 64-65).

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mendeskripsikan tipe-tipe, fungsi, dan makna eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.. Data yang digunakan adalah data lisan dan

Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dan pergeseran andung, menganalisis fungsi dan makna andung, menacari nilai budaya Batak

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa orientasi nilai budaya Batak pada Batak Toba perantau sangat tergantung dari intensitas pewarisan budaya dari orang tua dan proses akulturasi

Penelitian ini membahas tentang bagaimana kehidupan seorang janda pada etnis batak toba yang berkaitan dengan filosofi Batak yaitu Dalihan Na Tolu.. Fenomena Orang tua

Kata kunci : Antropolinguistik, Nama, Makna, Nilai budaya, Masyarakat Batak

“Mangain Marga (Pemberian marga kepada Orang Non Batak Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai)’’. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat pada saat ini sudah

Setelah kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba, setelah si bayi lahir maka diberikan nama, penambalan nama dilakukan setelah si bayi dimandikan, yaitu pada hari ke-3

Wawancara dengan para narasumber (nama-nama narasumber sama dengan footnote 11. Mereka adalah di antara sesepuh orang Batak Toba Jakarta. Juga wawancara dengan Pdt..