• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT BATAK TOBA NIHON SHAKAI TO BATAK TOBA SHAKAI NO TANJO NO GIREI NO HIKAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT BATAK TOBA NIHON SHAKAI TO BATAK TOBA SHAKAI NO TANJO NO GIREI NO HIKAKU"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT BATAK TOBA

NIHON SHAKAI TO BATAK TOBA SHAKAI NO TANJO NO GIREI NO HIKAKU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

REGINA CLAUDIA M. PANGGABEAN 130708104

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT BATAK TOBA”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dalam segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Uniiversitas Sumatera Utara.

3. Bapak Amin Sihombing S.S, selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan pendidikan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

5. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah membatu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini.

(3)

6. Kepada Orang tua penulis Ibu Ria V. Sinaga S.E, Msi yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama masa pendidikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada kakakku dr. Maria Bintang Adriana Panggabean, Happy Mentari Hilaria Panggabean, A.md dan adikku Gabriel Roito Panggabean yang telah memberikan semangat dan dukungan yang terbaik untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Terima kasih juga buat Alfon Kristian Sitepu, S. Kom yang telah memberikan waktu, tenaga dan motivasi kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini, yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku Shintia Mahdalina Lubis, Nur Atika Siregar, Fadillah, Nurmawati (The Longsor) terima kasih udah jadi keluarga dan sahabat terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan.

10. Teman-teman seangkatan di Departemen Sastra Jepang USU, terima kasih atas motivasinya dan sarannya kepada penulis.

11. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

(4)

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, Agustus 2017

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.1.4 Tinjauan Pustaka ... 8

1.2.4 Kerangka Teori ... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.1.5 Tujuan Penelitian ... 10

1.2.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Metode Penelitian ... 11

BAB II SISTEM KEPERCAYAAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

2.1 Sistem Kepercayaan ... 12

2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Jepang ... 12

2.1.2 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Batak Toba ... 17

(6)

BAB III RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

3.1 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Jepang ... 24

3.1.1 Ketika Hamil ... 25

3.1.2 Pada saat Kelahiran ... 27

3.1.3 Setelah Kelahiran ... 28

3.2 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Batak Toba 3.1.1 Ketika Hamil ... 34

3.1.2 Pada saat Kelahiran ... 36

3.1.3 Setelah Kelahiran ... 38

3.3 Persamaan dan Perbedaan Ritus-ritus dalam Perbandingan ... 43

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 47

4.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap bangsa yang ada, masing-masing tentu mempunyai kebudayaan sendiri.

Kebudayaan suatu bangsa itu menunjukkan adanya corak kehidupan bangsa lain, sehingga kita bisa melihat corak kepribadian dari suatu bangsa. Agama dan kepercayaan berpengaruh pada kegiatan budaya masyarakat. Budaya terus mengalami perubahan dan penyusuaian diri untuk mengungkapkan nilai-nilai baru dalam bentuk lama. Kebudayaan yang ada ini tidak terlepas dari ritus-ritus atau upacara-upacara dalam menjalankan kehidupan, baik dari kelahiran, pernikahan, kematian, tidak terlepas dari ritual-ritual.

Perjalanan hidup dari satu tahap ke tahap berikutnya oleh Van Gennep dalam bukunya Les Rites The Passage adalah perubahan manusia dari satu tahap ke tahap lainnya menuju

kedewasaan melalui proses inisiasi. Masyarakat Jepang dalam Les Rites The Passage disebut dengan Tsuka Girei. Tsuka Girei adalah ritual yang dilakukan dalam lingkaran hidup orang Jepang. Ini dibagi dalam dua bagian besar yaitu:

- Proses Pendewasaan - Proses menjadi Dewa

Proses pendewasaan dan proses menjadi dewa melalui upacara-upacara tertentu, merupakan salah satu bagian dari perjalanan hidup bagi masyarakat Jepang. Bagi masyarakat Jepang sendiri mulai dari kelahiran sampai kematian selalu diikuti dengan norma-norma atau adat-istiadat tradisional yang masih dipertahankan.

(8)

Dalam Tsuka Girei (柄儀礼) inilah kita dapat melihat bagaimana kelahiran ditengah- tengah masyarakat Jepang. Ada hal yang unik bisa kita lihat nantinya, hal tersebut dikarenakan bagi orang Jepang tidak diharuskan memiliki satu agama dan menjalani hidupnya.

Di Jepang sampai sekarang masih mempercayai legenda-legenda atau ramalan yang menyangkut kelahiran dan itu dimulai sejak masa kehamilan. Adapun tujuannya adalah untuk memohon kepada dewa. Permohonan agar di berikan keturunan bagi pasangan suami istri muda, diucapkan oleh beberapa temannya pada saat pidato ucapan selamat yang dilakukan ketika resepsi pernikahan. Ini merupakan pemandangan yang disebut sebagai perayaan persiapan (Yoiwai) bagi kelahiran dan kehamilan. Tetapi tidak sedikit juga yang sulit hamil.

Pada zaman ketika melahirkan keturunan sebagai satu-satunya cara bagi seorang mempelai perempuan mendapat kedudukan yang stabil dalam keluarga, seorang mempelai perempuan yang tidak dapat memberikan keturunan, akan terus menerus berdoa kepada para dewa Budha, atau meminta bantuan secara magis. Mereka melakukan berbagai cara misalnya masuk ke kolam air panas yang dipercaya dapat melancarkan memiliki anak, bahkan naik ke pohon keramat. Atau menyimpan jerami dari tempat melahirkan, makan beras untuk melahirkan, dan menimang-nimang bayi agar mendapat berkah dari orang yang sudah melahirkan.

Pada kehamilan bulan ke-5 dirayakan perayaan yang dikenal dengan Obi Iwai (ibu mulai menggunakan Iwata Obi (Iwata Sash). Seperti anjing yang di percayai mudah melahirkan, perayaan ini dilakukan pada hari anjing sesuai dengan tanda 12 zodiak. Bidan mulai membantu “Sash” pada hari itu biasanya suami menjadi koki pada perayaan tersebut.

Ada berbagai legenda kepercayaan yang dikaitkan dengan kehamilan. Ada beberapa jenis makanan yang tabu berdasarkan bentuk dan kualitas makanan tersebut. Contohnya, jika

(9)

ibu mengandung makan 2 porsi kastanye atau makan lobak dengan garpu, maka ia akan mendapat anak kembar, memakan daging kelinci atau minum teh langsung dari ceret akan menyebabkan bibir sumbing. Jika memakai jelli akan menyebabkan bayi lahir dengan penyakit lupus. Seorang ibu yang mengandung bayi perempuan akan memiliki raut wajah yang lembut, sedangkan yang mengandung bayi laki-laki akan memiliki raut wajah yang tegas, jika janin berada disamping kiri akan melahirkan bayi laki-laki, jika janin berada disamping kanan akan melahirkan bayi perempuan.

Tempat persalinan di Jepang ada bermacam-macam. Tetapi tempat persalinan dulu dan sekarang telah mengalami perubahan tempat, melahirkan di Jepang nampak sekali pada 50 tahun belakangan ini. Sekarang tempat melahirkan bukan lagi di Ubuya, karena Ubuya dipercayai tempat yg tidak bersih untuk wanita yang baru pertama kalinya melahirkan, maka sudah berubah yaitu di rumah sakit dengan menggunakan alat-alat medis yang mutakhir.

Oleh karena itu walaupun seandainya didapati berbagai kelainan dalam kondisi melahirkan, sudah dapat ditangani dengan baik. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas tempat melahirkan banyak yang sudah menyamai fasilitas hotel. Sebelum perang dunia kedua orang Jepang banyak melahirkan di Ubuya, tetapi pada akhir perang dunia kedua berubah, kebanyakan wanita melahirkan dirumah bukan lagi di Ubuya.

Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan bagi wanita. Antara si ibu yang melahirkan dan si anak yang dilahirkan ada perbedaan situasi. Tetapi keduanya dianggap sedang melewatkan waktu antara dua dunia.

Pada saat kelahiran dilakukan beberapa upacara/ritus, yakni:

A. Obi Iwai (帯祝い) (acara pemakaian stagen kepada ibu hamil)

B. Shussan Iwai (出産祝い)(acara kelahiran)

(10)

C. Nazuke Iwai (pemberian nama)

D. Okuizome (お食い初め)(pemberian makan pertama yaitu setelah anak berusia

seratus hari)

E. Hattanjou (初誕生) (ulang tahun pertama)

Dengan dilakukan dan diperingati, ritus-ritus kelahiran tersebut memberikan sebuah fenomena bahwa kelahiran dianggap sebagai suatu ciri khas dalam sebuah negara yang memiliki adat-istiadat. Untuk ini sebagai perbandingan penulis menulusuri dengan budaya Batak Toba, dikarenakan masyarakat Batak Toba sampai saat ini masih melestarikan budaya kelahiran dalam bermasyarakat. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba selama istri mengandung berlaku larangan-larangan yang menurut istilah mereka disebut pamali, dan ini merupakan salah satu dari bagian kehidupan di masyarakat ini.

Nilai budaya Batak Toba yang menjadi sumber sikap perilaku sehari-hari dalam kehidupannya terikat pada sistem kekerabatan Batak Toba itu sendiri. Kekerabatan itu sendiri sangat erat dengan kelahiran, dan kelahiran itu menumbuhkan kekerabatan baik secara Vertikal maupun secara Horizontal. Kelahiran menentukan kedudukan seseorang pada sistem kemasyarakatan Batak Toba. Karena tingginya nilai yang terdapat pada kekerabatan itu maka Batak Toba memiliki identitas pada marga dan garis keturunan yang disebut Tarombo atau Silsilah. Semua suku Batak Toba sangat menghargai marga dan silisilahnya. Berdasarkan marga dan silsilah itulah ditentukan kedudukan seseorang pada kelompok keluarga dan masyarakatnya yang berkaitan pada Dalihan Natolu (Somba marhula-hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu) .

Kunjungan pihak hula-hula/tulang untuk menyatakan sukacita dan rasa syukur mereka atas kelahiran cucu itu adalah sesuatu yang khusus. Mungkin mereka akan datang beberapa

(11)

hari setelah kelahiran bayi itu dalam rombongan lima atau enam keluarga yang masing- masing mempersiapkan makanan bawaannya, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak makanan yang tersedia.

Dalam melakukan ritual-ritual kemanusiaan, dulunya masyarakat Batak Toba tidak berpatokan pada agama, mereka dulunya memiliki kepercayaan berupa animisme ataupun dinamisme.

Seiring perkembangan zaman, agama Kristen pada awalnya memasuki kehidupan Batak Toba, dan sampai agama Islam masuk kedalam kehidupan mereka. Tapi meskipun demikian, ritual-ritual tersebut masih dilakukan secara adat yang sudah diakui, tanpa memandang status agama apa yang mereka anut.

Dari kedua perbandingan ritus-ritus kemanusiaan dari Batak Toba dan Jepang memberikan dua mata perbedaan yang sangat jelas. Maka dari kedua perbedaan budaya ini penulis memilih topik yang berjudul “Perbandingan Ritus-Ritus Kelahiran dalam Masyarakat Jepang dan Masyarakat Batak Toba”.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah mengenai keluarga, tentunya kita akan membahas bagaimana anggota keluarga, unsur-unsur pembentuk keluarga, jenis-jenis keluarga, sistem keluarga, hingga adat-istiadat yang merupakan warisan yang dilakukan secara turun-menurun.

Menurut Ienaga Saburo (1990:1) dikatakan bahwa sejarah kebudayaan Jepang dimulai setelah Jepang mengenal adanya tulisan dan ritus-ritus sudah menjadi bagian adat-istiadat dalam masyarakat Jepang.

(12)

Menurut Situmorang, Hamzon (2005:57) mengatakan bahwa “sampai tahun 1960, kira-kira separuh dari wanita Jepang melahirkan dirumah dibantu oleh ibu-ibu tetangga yang berpengalaman”.

Ucapan sang wanita tua merupakan suatu kiasan yang kira-kira bermakna, bahwa pada saat mereka memasuki pelaminan, mereka senang dan gembira, lupa segala kesusahan, tetapi setelah hamil dan melahirkan, sang ibu menderita sakit dan pahit getir.

Dalam masyarakat Batak Toba ketika hendak mau melahirkan ataupun pada saat melahirkan banyak dikutip ritual-ritual. Ritual-ritual dalam masyarakat Batak Toba lebih sederhana dibandingkan ritual kelahiran masyarakat Jepang. Karena itu penulisan skripsi ini memberikan rangkaian ataupun gambaran perbandingan pada kedua budaya yang beragam ini.

Hingga akhirnya menemukan beberapa batasan permasalahan, sebagai inti dalam penulisan penelitian ini.

Maka penulis merumuskan masalahnya berupa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Jepang?

2. Bagaimana ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Batak Toba?

3. Bagaimana perbedaan dan persamaan ritus-ritus kelahiran pada Jepang dan Batak Toba?

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam penulisan proposal ini penulis membatasi ruang lingkup bahasannya agar tidak terlalu luas, yaitu: ritus-ritus kelahiran bagi kedua kehidupan masyarakat Jepang dan Batak

(13)

Toba, khususnya difokuskan kepada membandingkan antara ritus-ritus kelahiran masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam aspek: Saat hamil, pada saat kelahiran dan setelah kelahiran.

Oleh karena itu, untuk mendukung pembahasannya, penulis juga akan membahas sistem kepercayaan dan sistem kekeluargaan antara kedua suku ini. Pandangan akan kekotoran dan kesucian serta adat-istiadat yang ada pada masyarakat Jepang dan Batak Toba. Dalam hal kelahiran juga akan dibahas dalam skripsi ini sehingga dapat membandingkan nilai kedua dalam budaya masyarakat Jepang dan Batak Toba.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam meneliti pembahasan ini penulis menggunakan buku sebagai acuan. Buku- buku tersebut adalah Ilmu Kejepangan (Situmorang, Hamzon 2006:54) dan Orang Toba (Simanungkalit, Edward 2015).

Dipahami disini adalah pembahasan mengenai struktural kedua proses antara Batak Toba dan Jepang. Dan akan dikaji bagaimana ritual sebelum dan sesudah melahirkan. Dan untuk lebih memberikan perbedaan yang hakiki, maka akan dikaji juga dalam masyarakat Batak Toba mengenai keberadaan fungsi dari obat-obatan bagi wanita yang akan melahirkan.

1.2.4 Kerangka Teori

Menurut Masahiro Kusonoki kepercayaan masyarakat Jepang adalah Shomin Shoki.

Shomin Shoki menganut kepercayaan dunia suci dan dunia sekuler. Dan kelahiran bagi masyarakat Jepang dianggap kotor.

(14)

Van Gennep dalam bukunya Rites The Passage (1960:50), mengatakan bahwa:

“Dalam hidupnya manusia itu melalui banyak krisis menjadi objek perhatiannya dan amat ditakutinya. Dalam menghadapi hal tersebut dari mulai lahir, anak-anak, dewasa sampai meninggal manusia perlu perbuatan-perbuatan dalam bentuk upacara untuk memperteguh imannya”.

Dalam memahami makna ritus kelahiran ini ada 2 capaian yang ingin penulis capai:

1. Bagaimana ritus kelahiran bagi suku Batak Toba dan Jepang.

2. Dan ritus-ritus melahirkan hingga anak tersebut menjadi dewasa ditengah-tengah keluarga.

Dalam memecahkan kedua hal diatas, penulis menggunakan pendekatan teori semiotik dan deskritif. Untuk memecahkan ini penulis hanya menggunakan buku pustaka yang paling mendasar dari buku yang berjudul Ilmu Kejepangan, Analisi Jepang dan Orang Toba.

1.1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian melakukan penelitian ini adalah:

1.Untuk mengetahui ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Jepang

2. Untuk mengetahui ritus-ritus kelahiran pada masyarakat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan ritus-ritus kelahiran

Jepang dan Batak Toba.

(15)

1.2.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah:

1. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat memahami kehidupan yang

dimulai oleh kelahiran dalam masyarakat Jepang.

2. Selain itu, agar pembaca dapat mengerti mengenai Batak Toba dalam

ritus kelahirannya.

3. Diharapkan untuk kedepannya skripsi ini bisa menjadi sumber data atas

penelitian yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini.

1.6 Metode Penelitian

Dalam memecahkan masalah dibawah ini bersifat deskriptif yakni memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan atau gejala dalam kelompok tertentu. Berdasarkan fakta-fakta yang ada seperti bagaimananya dalam masyarakat Jepang (Koentjaraningrat, 1980:29).

Buku yang berbahasa asing juga digunakan pada penelitian, jadi menggunakan teknik terjemahan, dan lagi untuk mendapatkan data-data yang perhubungan dengan judul ini, maka penulis melakukan pencarian data (survey book) yakni menghimpun data-data ke berbagai perpustakaan.

(16)

BAB II

SISTEM KEPERCAYAAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

2.1 Sistem Kepercayaan

Kepercayaan merupakan bagian dari ritual hidup. Kepercayaan dapat menjadi pembatas atau pengenal akan suatu keberadaan masyarakat tersebut, dan kali ini penulis menguraikan 2 konsep Kepercayaan masyarakat Jepang dan Batak Toba.

2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Jepang

Masyarakat Jepang memiliki kepercayaan yaitu menyembah banyak Dewa (Situmorang, Hamzon 2001:28). Dalam kepercayaan masyarakat Jepang jumlah dewa sangat banyak, dikatakan 88.000 atau 880.000 dewa di Jepang. Alasan pemakaian angka delapan adalah karena dalam bahasa Jepang delapan berarti banyak.

Menurut Robert N. Bellah (1992:81) sistem kepercayaan dalam masyarakat Jepang mempunyai dua konsep dalam dalam pandangannya mengenai keTuhanan. Yang pertama adalah Tuhan sebagai suatu jenis identitas yang lebih tinggi dari segala yang ada berfungsi memilihara, memberikan perlindungan, berkat dan cinta kepada pemeluknya. Contoh ini mencakup dewa-dewa langit dan bumi yang terdapat dalam kepercayaan Budha dan penganut aliran kepercayaan konfusius. Sedangkan dalam kepercayaan Shinto dipercayai adanya dewa- dewa Shinto seperti dewa pelindung wilayah provinsi, desa, dan sebagainya. Dewa pelindung keluarga termasuk didalamnya para nenek moyang atau leluhur.

Dewa-dewa yang dimaksud diatas secara perlahan-lahan dan tanpa terasa tergeser posisi atau wujudnya menjadi tokoh-tokoh negara seperti para pemimpin, pahlawan, tokoh- tokoh masyarakat yang telah berjasa hingga kepada orang tua, yang dalam beberapa hal diperlakukan secara sakral.

(17)

Tindakan-tindakan religius yang ditujukan kepada identitas-identitas ini bercirikan sikap hormat, memuliakan dan mengagungkan, melakukan pernyataan syukur atas rahmat dan atas berkat dan perlindungan yang telah diterima dari mereka dan usaha-usaha untuk membalas semua kebaikan, rahmat, dan perlindungan tersebut.

Konsep dasar yang kedua adalah “Dia atau sesuatu yang merupakan dasar dari sesuatu yang ada atau inti yang paling dalam dari semua realitas”. Contoh ini adalah konsep Tao China atau Li dalam pelajaran Neo Konfusius yang sering diterjemahkan sebagai nalar, hati dan pikiran.

Konsep tentang alam merangkum kedua aspek sikap dan pandangan terhadap Tuhan.

Alam adalah kekuatan pemeliharaan yang penuh kebijakan yang harus dihargai dan merupakan perwujudan dari sumber kejadian. Manusia dapat masuk kedalam inti realitas dan menyatu dengannya melalui pemahaman atas bentuk-bentuk alam. Alam tidaklah terpisah dari dewa-dewa tersebut dan manusia tetap menyatu dengan keduanya. Manusia adalah mahluk penerima karunia tak terbatas dari Tuhan, Alam, serta para leluhur dan mahluk yang tak berdaya tanpa semua karunia tersebut. Dia sekaligus adalah alamiah dan ilahiah. Dia adalah Mikrikosmos, dimana sifat-sifat yang ada padanya serba ilahi dan adalah Makroskosmos. Didalam dirinya terkandung hakikat Budha atau Tao atau Nurani (Honshin, Ryoshin).

Oleh karena itu manusia haruslah selalu menyatu dengan alam, menciptakan suatu hubungan yang harmonis dengan alam, menjaga, melestarikan alam. Karena alam itu sendiri juga telah memberikan seluruh kebaikan, limpahan berkat kepada manusia dan kehidupannya.

Oleh karena itu manusia wajib membalas semua kebaikan, dan limpahan berkat tersebut.

Sikap-sikap ini direalisasikan dalam suatu sistem kepercayaan pada masyarakat Jepang yaitu dengan melakukan ritus-ritus penyembahan terhadap alam, seperti terhadap gunung, sungai,

(18)

tanah, kesuburan, dan diantaranya semuanya itu, kesuburan merupakan hal yang menjadi perhatiaan paling utama. Upacara dan doa terhadap kesuburan, selalu menempati urutan paling penting dalam masyarakat Jepang.

Dalam pandangan tersebut dapat diartikan bahwa konsep beragama bagi masyarakat Jepang bersifat fungsional, yaitu suatu sistem kepercayaan yang menganggap manusia memiliki suatu hubungan dengan Tuhan karena hubungan tersebut mendatangkan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Artinya bahwa seorang melakukan segala bentuk pemujaan, berupa ritus-ritus dan menjalankan rangkaian upacara-upacara ritual memiliki tujuan bahwa upacara-upacara tersebut akan mendatangkan kebaikan kepadanya sebagaimana yang dilakukannya ketika menjalankan pemujaan atau upacara-upacara tersebut yaitu berupa permohonan akan berkat, perlindungan, pernyataan, kesuburan dan lain sebagainya sesuai dengan keperluannya.

Dewa dalam konsep dasar pandangan Shinto, dapat dijelaskan melalui pandangan seorang teologi Shinto dari abad 14, yang bernama Imbe no Masamichi dalam karyanya Shidai Kuketsu (1367, dalam Robert N. Bellah, 1992:88) sebagaimana tertulis seperti dibawah ini:

“Kami istilah Jepang untuk dewa berasal dari kata Kagami (cermin) yang kemudian disingkat dengan Kami. Pikiran Tuhan seperti cermin, merefleksikan semua yang ada di alam. Dia bertindak dengan keadilan yang tidak memihak dan tidak menegangkan sedikit pun kekotoran. Apa yang ada dilangit itu kami, didalam roh itulah Roh dan dalam diri manusia itulah ketulusan. Jika roh, alam, dan hati manusia, suci dan jernih, maka mereka menjadi kami”.

Dalam sistem kepercayaan masyarakat Jepang, hal yang selalu ditekankan dalam hal kepercayaan adalah kewajiban melakukan upacara penyembahan terhadap tokoh negara dan

(19)

kepada dewa keluarga. Hal ini tercermin dalam kutipan Warongo (bunga rampai Jepang) yang ditulis dalam Robert N. Bellah (1992:88) sebagai berikut:

“Wahai seluruh rakyat yang tinggi dan rendah, yang kaya dan miskin. Sebelum kamu berdoa pada langit dan bumi ataupun kepada ribuan dewa yang lain, hendaknya kamu menunjukkan dulu kepatuhan kepada kedua orangtuamu, karena pada merekalah kamu dapat menentukan semua dewa “dalam” dan “luar”. Jika kamu tidak memperlakukan orangtuamu didalam (dirumah) dengan sikap patuh dan hormat”.

Dewa/Tuhan dalam hal ini adalah nenek moyang/ leluhur, tokoh-tokoh negara, dewa wilayah dan sebagainya. Hal ini dapat jelas dilihat dalam pandangan Motoori Norinaga (1730-1801, dalam Robert N. Bellah, 1991:110-111) yang mengatakan, “Ayah dan Ibu adalah dewa-dewa kita, anak manusia memelihara dan melakukan pemujaan terhadap mereka”.

Dari pandangan diatas dapatlah dikatakan bahwa rangkaian kegiatan religius, yang terpenting dilakukan adalah pemujaan terhadap ayah dan ibu, yang pada akhirnya juga mencakup pada nenek moyang/leluhur.

Hal ini disebut oleh Nakae Toju dengan istilah “Religi Keluarga” dalam (Robert N.

Bellah, 1992:110). Religi keluarga artinya adalah setiap keluarga melakukan pemujaan terhadap leluhur mereka dan pada tiap keluarga tentunya mempunyai kuil keluarga/altar leluhur yatu, satu altar Shinto (Kamidana) dan satu altar Budha (Butsudan). Biasanya pada altar Budha disimpan barang-barang yang berasal dari leluhur, disamping patung-patung atau simbol-simbol para dewa. Biasanya diwaktu pagi dan sore hari dilakukan upacara singkat dengan memberikan persembahan berupa sejumlah makanan dan membakar dupa.

Penghormatan terhadap leluhur ini merupakan cara untuk terus mengingatkan arti suci garis leluhur dan tanggung jawab seluruh anggota keluarga.

(20)

Hori Ichiro (1968:85) mengatakan agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama-agama melembaga masuk ke Jepang.

Agama-agama rakyat yang belum melembaga yang ada di Jepang Primitif tersebut adalah agama Pronto Shinto.

Kemudian berdasarkan agama rakyat tersebut agama-agama yang melembaga yang datang ke Jepang diserap. Dikatakan bahwa inilah kekhususan dalam sistem kepercayan rakyat Jepang. Yaitu kemampuan menyerap agama-agama luar kedalam agama-agama rakyat.

Agama-agama yang melembaga tersebut adalah Budha, Konfusionis, Kristen dan sebagainya.

Perkembangan agama-agama diluar dari konsep Jepang pada dulunya menciptakan suasana keberadaan agama yang majemuk disana.

2.1.1 Sistem Kepercayaan Pada Masyarakat Batak Toba

Di daerah Batak atau yang dikenal dengan suku bangsa Batak, terdapat beberapa agama, Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Agama Islam disyiarkan sejak 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Mandailing dan Batak Angkola. Agama Kristen Katolik dan Protestan disiarkan ke Toba dan Simalungun oleh para zending dan misionaris dari Jerman dan Belanda sejak 1863. Sekarang ini, agama Kristen (Katolik dan Protestan) dianut oleh sebagian besar orang Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak.

Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini beserta isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Debata Kaci-kaci dalam bahasa Batak Karo). Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon (Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).

(21)

Menyangkut jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu sebagai berikut:

Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu

tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang

memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Konsep Ikatan Kerabat Patrilineal Suku Bangsa Batak

Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki atau perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki dan kaum kerabat perempuan.

Menurut adat lama pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh. Perkawinan antara orang-orang pariban, yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, dianggap ideal. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.

Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah/sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak).

(22)

Dalam kehidupan masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap.

Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya.

Tiap-tiap kelompok kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.

Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.

Anak boru; suami dan saudara (haha anggi) perempuan kelompok penerima gadis.

Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan patrilineal.

Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, kata ‘marga’ merupakan istilah antropologi yang bermakna ‘Kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal’ atau ‘bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra Selatan).

Marga adalah identitasnya suku Batak. Marga diletakkan sebagai nama belakang seseorang, seperti nama keluarga. Dari marga inilah kita dapat mengidentifikasi bahwa seseorang adalah benar orang Batak.

Ada lebih dari 400 marga Batak, inilah beberapa di antaranya:

Aritonang, Banjarnahor (Marbun), Baringbing (Tampubolon), Baruara (Tambunan), Barutu (Situmorang), Barutu (Sinaga), Butarbutar, Gultom, Harahap, Hasibuan, Hutabarat, Hutagalung, Hutapea, Lubis, Lumbantoruan (Sihombing Lumbantoruan), Marpaung, Nababan, Napitulu, Panggabean, Pohan, Siagian (Siregar), Sianipar, Sianturi, Silalahi, Simanjuntak, Simatupang, Sirait, Siregar, Sitompul, Tampubolon, Karokaro Sitepu,

(23)

Peranginangin Bangun, Ginting Manik, Sembiring Galuk, Tarigan, Sinaga Sidahapintu, Purba Girsang, Rangkuti, dll.

Masyarakat Batak yang menganut sistem kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan.

Dalam pembagian warisan orang tua, yang mendapatkan warisan adalah anak laki- laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut Siapudan, dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan sistem kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan, dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak-anaknya dalam pembagian harta warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut

(24)

dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung.

Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu, yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun-temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.

Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas disana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun, dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lainnya dibagi rata oleh semua anak laki-lakinya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampung halamannya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).

Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya

(25)

persamaan gender dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti diatas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang lebih baik dikehidupannya nanti.

(26)

BAB III

RITUS-RITUS KELAHIRAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

Masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan yang majemuk.

Dalam menjalankan kehidupan, banyak dijumpai ritus-ritus atau upacara-upacara yang berfungsi sebagai sarana pengumuman kepada khalayak ramai tentang tahapan kehidupan yang telah dicapai oleh seseorang (Van Gennep 1989, dalam Koentjaraningrat, 1980:49).

Ritus-ritus ditujukan untuk merayakan tahap-tahap kehidupan dan perjalanan seseorang yang berawal dari kelahiran.

3.1 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Jepang

Pada masyarakat Jepang makna kelahiran diperhatikan dan makna kata. Shussan adalah sebuah kata yang bermakna melahirkan, sedangkan Tanjou adalah yang dilahirkan.

Jadi secara umum makna kelahiran diartikan menjadi “sebuah keadaan yang rawan”, (Situmorang, Hamzon: 1995:3).

Hal ini dikarenakan adanya pendarahan pada saat persalinan yang mengakibatkan ancaman jiwa bagi yang melahirkan. Terlebih lagi pada saat zaman dahulu teknologi kedokteran belum maju. Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan sepanjang hidup perempuan.

Pada saat persalinan, meskipun si Ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan berada dalam situasi yang tidak sama, namun keduanya dianggap sedang pada keadaan yang sama yaitu melewatkan waktu antara dunia sini dan dunia sana. Si anak yang terikat hubungan

(27)

dengan ibunya melalui tali pusar, pada saat si anak itu lahir, tali pusar tersebut putus dan kemudian membentuk hubungan sosial di dunia ini dengan lingkungannya.

3.1.1 Ketika Hamil

Pada saat kehamilan 5 bulan diadakan Obi iwai (acara memakai stagen) pada wanita yang sedang hamil. Ritus Obi Iwai ini bukan ditujukan kepada ibu yang sedang hamil, tetapi kepada janin yang berusia 5 bulan. Ini merupakan ritus pertama yang dilaksanakan dalam lingkaran hidup orang Jepang. Ritus ini merupakan kebiasaan yang dilakukan orang Jepang untuk menyambut kedatangan bayi sebelum ia lahir ke dunia. Janin yang berusia 5 bulan sudah berbentuk manusia dengan anggota tubuh yang lengkap. Dengan demikian janin tersebut sudah mulai dapat diterima sebagai anggota yang akan hadir dalam kelompok suatu masyarakat. Untuk itu, dilakukan penyambutan karena ada rasa suka cita terhadap anggota baru yang akan lahir.

Obi iwai merupakan salah satu ritus konstitutif karena mengungkapkan hubungan

janin yang merupakan anggota baru yang akan disambut kedatangannya dalam kelompoknya.

Obi iwai merupakan ritus penerimaan dalam tahap peralihan. Janin menjadi subjek dari

prosedur perubahan, dari yang tidak ada menjadi ada dan dilakukan penyucian dalam penyambutannya.

Dalam membahas upacara sebelum kelahiran akan dikemukakan hal sebagai berikut:

Keluarga wanita terlebih dahulu mempersiapakan tempat untuk ia melahirkan seperti biasanya ia melahirkan di rumah ibunya sendiri. Seikat jerami yang keras diletakkan disamping dan dibelakang ibu yang akan melahirkan, ia disandarkan pada jerami tersebut.

Tali diikatkan pada langit-langit dan wanita menarik tali tersebut untuk menahan dirinya. Jika suaminya membantunya dari belakang, ini akan dipercayai akan membuat pekerjaan lebih

(28)

mudah. Disisi lain beberapa percaya bahwa jika seseorang pria berada disekitar kelahiran bayi, kehadiran pria tersebut diperlukan pada setiap kelahiran wanita tersebut, sebaliknya pekerjaan wanita tersebut akan lebih sulit akan tetapi suami tinggal jauh untuk tujuan tersebut.

Sebuah dokumen pada periode Heian (abad 11) menyinggung sebuah cara mistis agar mempercepat proses kelahiran. Ketika kelahiran tampak sulit bagi seorang wanita yang baru pertama kalinya melahirkan, maka seseorang menjatuhkan bola nasi untuk memperlancar proses kelahiran. Dibagian tenggara Jepang seorang wanita memiliki kelahiran yang sulit, maka diberikan lesung untuk menahannya, atau suaminya mengelilingi rumah membawa lesung atau alat penumbuk, supaya proses kelahiran wanita tersebut dapat berjalan dengan lancar. Ibu yang mengandung pertama kali dikelilingi 21 ikat jerami dan setelah bayi lahir, empat ikat dipindahkan setiap hari sampai ia dapat berbaring seperti biasanya pada hari ke 21.

3.1.2 Pada saat kelahiran

Hal-hal yang dilakukan dan yang tabu dilakukan pada saat kelahiran anak pada masyarakat Jepang yakni:

Setiap kelahiran bayi biasanya dipercayai diberi hadiah untuk Dewa kelahiran (Ubugumi). Beberapa kebiasaan lokal ruang kelahiran akan ditandai dengan perayaan tali dengan membuat jerami utuk rumah suci dewa kelahiran tersebut. Tanpa kehadiran Dewa kelahiran tidak ada kelahiran yang akan mendapatkan tempat untuk melahirkan. Meskipun kelahiran berada dekat dengan rumahnya, pemilik rumah akan pergi menemui dewa gunung/pohon kuda. Karena pada saat melahirkan, si Ibu berada dalam keadaaan kotor, karena itu beberapa saat harus hidup terpisah dari masyarakat. Kemudian orang-orang yang di anggap tercemar juga adalah bidan, bayi, suami dan kemudian keluarga yang lainnya.

(29)

Tabu pada saat melahirkan, adalah berupa larangan untuk mendekati tempat-tempat suci seperti Ujigamisama, Kamidana, dan sebagainya. Kemudian api dianggap perantara pembawa kekotoran, oleh karena itu api yang dipergunakan untuk memasak makanan ibu yang sedang melahirkan tidak boleh dipergunakan untuk memasak ditempat lain. Kemudian bagi ibu yang baru melahirkan tidak boleh menyentuh air di sumur. Bagi suami, dalam waktu sementara tidak boleh bekerja diladang atau menangkap ikan .

Biasanya untuk membawa dewa kelahiran disediakan rumah dibelakangnya untuk beberapa dewa lainnya, yaitu dewa gunung, dewa sapu dan dewa kelahiran. Dewa kelahiran selalu berada pada saat bayi tersebut lahir. Setelah bayi lahir persembahan dibuat untuk hak dewa diruang kelahiran yang dibuat dari tumpukan makanan dengan nasi pada talam yang sama untuk dewa kelahiran, diletakkan Ubu Mesi dan diletakkan batu kecil yang diambil dari sungai atau tempat keramat, mereka mengatakan ini untuk membuat bayi selalu sehat.

Kebanyakan mereka percaya bahwa batu yang terletak disana merupakan hadiah dari dewa kelahiran. Dari zaman kuno tali pusatnya dipotong dengan pisau bambu lalu diikat dengan kain yang berwarna merah dan putih seperti hadiah yang diberikan oleh dewa kelahiran dan nama ditulis pada kertas dan semua benda tersebut dihanyutkan ke sungai untuk mendapatkan kebaikan dari dewa kelahiran tersebut.

Bebarapa kebiasaan (adat) menjelaskan bahwa pada saat kelahiran plasenta harus dibakar dengan tertawa yang disebut dengan “Iya Warai”. Bayi yang baru lahir langsung dimandikan dan dipakaikan baju berlengan sampai hari ketiga .Setelah itu dia dibungkus dengan pakaian yang diberikan oleh keluarganya.

(30)

3.1.3 Setelah Kelahiran

Pertama kali bayi memakai baju pada hari ketiga atau kadang pada hari ketujuh setelah lahir. Bahan yang tepat untuk membuat baju bayi pada saat dia lahir adalah baju yang diberikan kunyitnya dan dicelupkan kedalam air, ini akan mengusir roh jahat. Sebuah desain yang disebut Asa-No-Ha (daun rami) sering digunakan untuk baju bayi. Sebuah pola sulam dengan benang berwarna merah dan putih dijahit baju bayi untuk dipakai ke kuil (tempat keramat), hal ini disebut Se-ma-mori (jimat belakang) dan dipercayai dapat melindungi bayi dari roh jahat . Pola berbentuk seekor bangau, kura-kura, Asa-No-Ha dan bunga lonceng cina.

Jika bayi tidak begitu sehat, cara pengobatannya dengan membuat baju bayi yang diberikan

oleh teman-teman dan rekan (sanak famili)

Ini dipercayai dibeberapa desa dewa kelahiran datang dari tempat bayi yang baru lahir pada hari ketiga dan dikirimkan hadiah untuk ibu yang sedang bersalin ditempat ia melahirkan.

Hari ke tujuh setelah kelahiran disebut Shichiya (malam ke-7),upacara yang tidak kalah penting untuk kelahiran bayi. Upacara nasional hari yang menentukan untuk pemberian nama, nama biasanya diberikan oleh orang tua bayi tetapi beberapa kasus dilakukan dengan menanyakan pada sanak famili, seseorang yang berpengaruh atau seseorang yang memiliki banyak anak dan terkadang bidan.

Kelahiran pada hari ketiga setelah hari kelahiran disebut Mikka Iwai. Pada hari ketiga diundang orang yang membantu proses kelahiran dan juga famili-famili lainnya. Kemudian orang-orang yang dahulunya melahirkan di Ubuya datang juga untuk melihat dan membantu memandikan bayi tersebut pada hari ketiga setelah kelahiran, pada hari ketiga ini pula diadakan Nazuke (pemberian nama) dan pertama kali dipakaikan baju.

(31)

Pada hari ketujuh bayi dibawa keluar untuk pertama kalinya. Untuk diberikan persembahan kepada dewa kelahiran disepanjang dapur, ruang tamu, wc dan juga altar dewa penjaga keluarga. Dibeberapa daerah, bayi juga dibawa untuk menyebrangi jembatan, kunjungan tersebut dibuat untuk memohon kepada dewa yang tinggal disana untuk melindungi bayi. Bayi yang dibawa keluar dari rumah akan dibawa kerumah saudara- saudaranya untuk diberikan uang yang berbentuk tangkai supaya bayi tersebut di doa’kan dapat berumur panjang dan dapat kehidupan yang baik dengan keluarganya.

Kebiasaan meletakkan bayi di ayunan keranjang jerami pada hari ke 3 atau ke 7 disebut Tsuguraorizumi. Dilakukan di berbagai tempat diseluruh negeri, ketika bayi tumbuh besar dan merangkak seseorang tampak menjaganya dengan membawa bayi dibelakang dengan menggunakan jaket penghangat yang pendek.Ini dilakukan di Nijiwa bayi yang dirawat oleh ibu asuhnya atau (babysister).

Ketika bayi berumur 7 bulan ,ia dibawa ke kuil Shinto untuk pertama kalinya dan dikenalkan kepada dewa pelindung di kuil shinto tersebut. Bayi laki-laki dan bayi perempuan biasanya dibawa pada hari yang berbeda ke kuil shinto, bayi laki-laki biasanya pada hari ke 31 dibawa ke kuil sinto sedangkan perempuan dibawa ke kuil shinto pada hari ke 32.Mungkin karena bayi belum keseluruhannya bersih dari polusi kelahiran pada waktu itu, pada beberapa tempat bayi diantarkan hanya sampai pintu kuil dan tidak masuk kehalaman kuil, bayi diletakkan di atas anak tangga kuil tersebut oleh ibunya untuk membuat dewa kelahiran dapat melihat bayi tersebut.

Dibagian barat Jepang perayaan 100 hari disebut Momeka, Momeka adalah pemberian kehormatan kepada bayi. Bayi dibawa mengunjungi kuil pada upacara ini dibeberapa daerah, biasanya untuk pertama kalinya bayi diberi makan untuk setelah mengunjungi kuil tersebut dengan memakan sebutir nasi yang diberikan oleh anggota keluarganya.

(32)

Shussan Iwai adalah acara selamatan yang pertama yang ditunjukan kepada si bayi.

Dimana kedua orangtua si bayi ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan dan juga pada tetangga-tetangga mereka. Orang-orang yang menerima pemberitahuan datang berkunjung dengan membawa bingkisan dan uang sebagai ucapan selamat atas kelahiran.

Zaman dahulu nama bayi diambil dari salah satu huruf, nama bidan yang menolong ia pada saat melahirkan, atau dari kakek pihak ibu yang melahirkan, atau memohon kepada orang tua yang dihormati, untuk memberikan nama. Tetapi sekarang kebanyakan ditentukan langsung oleh orangtua sang bayi. Dulu, nama yang dipilih adalah nama yang memiliki arti baik.

Nama dan tanggal kelahiran sang bayi ditulis di kertas Jepang (berukuran 25 X 35 cm) dengan menggunakan kuas, lalu ditempelkan di “kamidana” atau di tiang “took no ma”.

Oshichiya ini juga dianggap sebagai akhir dari masa ‘tidak suci’ bagi ibu hamil sudah

melahirkan, sehingga dilakukan pula “pembersihan diri (fujobarai)” dan angkat tempat tidur (took age) bagi sang ibu.

Bayi laki-laki dianggap tidak suci sampai hari ke-21, dan bayi perempuan hari ke-33.

Ketika masa ‘tidak suci’ ini berakhir, dilakukan upacara berakhirnya masa tidak suci kelahiran (san’ake no iwai). Mengapa bayi perempuan lebih lama masa tidak suci, karena ketidaksucian perempuan lebih kuat setelah masa tidak sucinya berakhir, pertama-tama sang bayi dibawa ke sumur, kamar mandi atau dapur.

Biasanya bagi bayi laki-laki pada hari ke 31/32, dan bayi perempuan pada hari ke 32/33 dilakukan ritual “omiyamari”, yaitu mengunjungi kuil Shinto (jinja) diwilayahnya.

Diantara dewa-dewa yang dipuja dijinja , ada dewa leluhur yang disebut ‘ujigami’, dan dewa

(33)

wilayah yang disebut ubusuna gami. Kalau ada anak yang lahir disuatu wilayah, maka anak itu di anggap sebagai anak dari dewa wilayah tersebut.

Ujiko yang baru ini dibawa mengunjungi jinja, untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada ujigami. Dalam ritual ini, biasanya bayi sengaja dibuat menangis didepan dewa.

Setelah 100 hari sejak kelahiran, pada zaman dahulu dijadikan tahapan baru bagi sang bayi, mulai saat itu bayi mulai memakai kimono yang bewarna putih dan melepaskan kimono tersebut di hari itu langsung setelah dipakai beberapa menit saja. Makan pertama untuk bayi yang baru lahir dilaksakan pada acara selamatan 100 hari usia bayi. Nasi dan sayuran di ambil pakai sumpit, karena si bayi belum bias makan, maka hanya ditirukan dimasukkan kedalam mulut bayi, acara ini disebut juga dengan hashi hajime, dan sebagainya. Makanan ditaruh di Ozen (piring besar) yang terdiri dari nasi merah, sup dan laukpauknya. Di sekeliling ozen tersebut diletakkan batu yang diambil dari sungai dengan maksud supaya gigi bayi tersebut cepat keras.

Anak laki-laki pada usia 32 hari dan anak perempuan pada usia 33 hari di adakan hatsumiya mairi, yaitu pertama sekali mengunjungi omiya atau ujigami. Pada hatsumiya mairi ini biasanya bayi digendong oleh neneknya atau yang membantu melahirkan datang ke kuil.Pada saat hatsumiya mairi ini si bayi mendapat kiriman dari keluarga ibu yang disebut Inuhariko, yaitu berupa barangbarang mainan si bayi.Pada zaman dahulu inuhariko mempunyai nilai magis yaitu untuk menangkal penyakit atau sebagai sasaran penyakit yang datang untuk mengganggu si bayi.

Pada ulang tahun pertama diadakan acara untuk meramal masa depan si bayi. Di sekitar bayi disediakan penggaris, pinsil dan benda-benda lainnya, maka melalui benda yang terlebih dahulu diraih si bayi maka diramalkan pekerjaan bayi tersebut.Tetapi ada juga anak yang disuruh menginjak mochi yang besar, hal ini tergantung dari daerah tempat dimana

(34)

mereka tinggal. Ada juga pemikiran bahwa apabila ada anak yang sudah bias berjalan sebelum“hatsu tanjou”, maka besarnya nanti akan meninggalkan rumah. Oleh karena itu, pada hari “hatsu tanjou” kepada anak seperti ini, dengan sengaja diletakkan mochi yang besar di punggungnya, agar terjatuh, dan orang dewasa melemparnya dengan mochi yang kecil.

Setelah “hatsu tanjou”, anak dianggap akan menerima roh yang baru disetiap tahunnya. Walaupun anak sudah berumur 1 tahun.

Akhir-akhir ini kelahiran bayi sangat kurang, oleh karena itu hal ini menjadi masalah yang sangat serius dalam masyarakat Jepang.Karena apabila tidak ada bayi atau satu keluarga hanya mempunyai satu orang saja anak, maka kesinambungan IE, terutama dalam masalah pemujaan leluhur menjadi bermasalah. Karena akan memunculkan roh leluhur yang tidak ada anggota keluarga yang menyembah. Apabila tidak ada keluarga yang menyembah maka roh leluhur biasanya menjadi roh kelaparan.

3.2 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Batak Toba

Kelahiran merupakan awal kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu kelahiran mendapat perhatian yang amat besar pada Masyarakat Batak Toba. Orang Batak beranggapan bahwa permulaan yang baik akan membawa hasil yang baik pula. Sebelum bayi lahir ada beberapa proses dari mulai ketika hamil, pada saat kelahiran, dan setelah kelahiran.

3.2.1 Ketika hamil

Manusia berada di kandungan selama sembilan namun menurut keyakinan suku batak pada zaman dahulu apalagi khususnya dengan ugamo malim, terjadinya manusia menjalani rentan waktu selama dua belas bulan. Di dalam kandungan ibu hanya sembuilan bulan, dan

(35)

munurut orang batak selama tiga bulan lagi berada di dalam kandungan ayahnya. Sebab jika tidak bersemayam dalam kandungan ayahnya selama tiga bulan, bagaimanapun si ibu tidak mengandung.

Adapun ritus-ritus yang harus dilakukan adalah:

1. Upacara adat Mangirdak atau Mangganje atau Mambosuri boru (adat tujuh bulanan).

Upacara adat Mangirdak adalah upacara yang diterima oleh seorang ibu yang usia kandungannya tujuh bulan. Dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan.

Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan

dalam memberikan semangat.

2. Pemberian Ulos Tondi

Ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya).

(36)

Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian

ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.

Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan suami istri jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan adat batak berupa ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara .

Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil Sibaso (dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.

3.2.2 Pada saat kelahiran

Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang akan lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara demonstrative walaupun kelahiran itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di depan rumahnya dengan menuimbulkan suara keras dan jendela rumah pun dibuka lebar-lebar dan asap pun

(37)

membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk melihat kebahagiaan tersebut.

Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu, lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru lahir dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus dijaga dengan baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok kecil yang diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh lembar daun sirih.

Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan mengunyahnya dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan dalam saluran pencernaan makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam, bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut terus menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk memotong pusar tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.

3.2.3 Setelah Kelahiran

(38)

Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat .

Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.

Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.

Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta

(39)

Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba.

Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.

(40)

Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.

Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit atau Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi). Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah yang disebut indahan arian (makan siang) kepada cucunya ataupun pemberian seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni ansimun (biji ketimun, yang dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.

(41)

Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau melawat (mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan keluarga lain seperti tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini membawa makanan (memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen batak modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak secara emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.

Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu, keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya sebagai tanda terima kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern yang menganut kesetaraan laki-laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere ini harus dikritisi dan diberi makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Paias Rere.

Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao kepada cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari. Namun sekaranfg dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan symbol kasih ompungbao sebab komunitas batak modern sudah menggunakan tempat tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk menggendong bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk

(42)

mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir. Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir itu.

Dugu-dugu: sebuah makanan ciri khas batak pada saat melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini bertujuan untuk mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru melahirkan, membersihkan darah kotor bagi ibu yang melahirkan, menambah dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui asi kepada anknya.

3.3 Persamaan dan Perbedaan ritus-ritus dalam perbandingan

Setelah penulis menganalisa kedua perbedaan budaya Jepang dan Batak Toba, bisa diperhatikan bahwa dalam kebudayaan Jepang konsep keluarga dan budaya ada hal yang sama dan tentunya ada yang berbeda.

Persamaan:

1. Dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba sama-sama memiliki marga dan menganut sistem kekerabatan Patrilineal.

(43)

2. Dalam segi kepercayaan masyarakat Jepang dan Batak Toba sama-sama memiliki kepercayaan yang bersifat animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini sudah ada sebelum datangnya agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha) dan masih ada hingga sekarang ini.

3. Dalam ritus kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba juga memiliki persamaan pada saat kelahiran. Pada masyarakat Jepang dan Batak Toba sang ibu baru melahirkan sang bayi, sang bayi dipastikan dulu apakah sudah merupakan orang dunia ini atau masih merupakan mahluk dunia sana.

4. Setelah kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba, setelah si bayi lahir maka diberikan nama, penambalan nama dilakukan setelah si bayi dimandikan, yaitu pada hari ke-3 bagi masyarakat Jepang dan hari ke-7 bagi masyarakat Batak Toba.

5. Dalam masyarakat Jepang menganut sistem Ie, yakni konsep keluarga tradisional di Jepang. Konsep ini yang membuat dan menciptakan bahwa kematian tidak berakhir hubungan keluarga sampai disitu. Artinya dalam konsep Ie ini menjalin hubungan yang sudah meninggal dan yang hidup. Dan apa yang menjadi harta atau bagian yang ditinggalkan tidak lantas menjadi perebutan atau pembagian akhir dan sebuah keberlangsungan keluarga, namun konsep Ie melandasi sebuah konsep bagaimana keluarga itu dapat terus terjalin kesinambungan dengan baik dan tidak. Sementara dalam masyarakat Batak Toba juga mengikuti konsep keluarga tradisional.

Perbedaan:

1. Proses dan tata cara ketika hamil pada masyarakat Jepang dan msyarakat Batak Toba sangat berbeda. Di Jepang pada usia kandungan bulan ke 5 ritus pertama dilakukan dalam lingkaran hidup orang Jepang, sedangkan di Batak Toba pada usia kandungan bulan ke 7 lah memulai ritus pertama.

(44)

2. Bagi masyarakat Jepang pada saat melahirkan dianggkap kotor sehingga si ibu beberapa saat harus hidup terpisah dari masyarakat. Sedangkan masyarakat Batak Toba menganggap kelahiran adalah bertaruh dengan nyawa dan tidak pernah si ibu dibiarkan untuk hidup berpisah melainkan harus dijaga dan dirawat dengan sebaik mungkin.

3. Hari ketujuh setelah kelahiran dalam masyarakat Jepang dilakukan berbagai ritus.

Bagi ibu yang melahirkan hari ketujuh ini merupakan suatu tahapan kekotoran telah terlewatkan. Sementara dalam masyarakat Batak Toba, melahirkan hari ketujuh mendatangkan kebahagian/sukacita dan tidak ada menganut paham kotor.

4. Pada masyarakat Jepang bayi pertama kali memakai baju pada hari ketiga atau kadang pada hari ketujuh setelah lahir. Sedangkan pada masyarakat Batak Toba bayi pertama kali memakai baju pada saat ia keluar dari perut ibunya, dia langsung dibersihkan dan dipakaikan baju.

5. Pada masyarakat Jepang di ulang tahun pertama bayi melakukan ramalan masa depan si bayi. Sedangkan pada masyarakat Batak Toba ulang tahun pertama merupakan ucapan syukur kepada Tuhan bertambahnya usia si bayi dan sehat selalu, dan bukan saat ulang tahun pertama saja mengucapkan rasa syukur tetapi setiap bertambahnya usia mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan.

Dan perbedaan yang jelas dalam kedua suku bangsa ini hanyalah dalam konsep kepercayaan dan kekerabatan saja. Namun jika diteliti dari ritus kelahiran masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki kesamaan. Singkatnya dalam proses kelahiran masyarakat Jepang dan Batak Toba tidak ada perbedaan yang signifikan hanya perbedaan konsep kepercayaan dan kekerabatan saja. Setelah memperhatikan perbandingan kedua budaya tersebut, kiranya kedua perbedaan yang majemuk tersebut menambah refrensi kita dalam memahami sebuah

(45)

budaya. Tidak paham betul akan suatu budaya membuat kita bisa tidak mengerti bagaimana keadaan kita saat berhubungan dengan masyarakat yang lain.

(46)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Dalam bahasa Jepang (Les Rites The Passage) disebut dengan Tsuka Girei sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan “daur hidup”. Tsuka Girei adalah perjalanan kehidupan manusia dari sebelum dilahirkan, setelah dilahirkan, sampai meninggal, dan setelah meninggal yang merupakan proses manusia dalam menjalankan kehidupan yang dilalui dalam bentuk upacara atau ritus-ritus kehidupan.

2. Masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki konsep tersendiri dalam kelahiran. Dalam pandangan masyarakat Jepang kelahiran merupakan, “dimana roh manusi mempunyai proses perjalan yang dimulai pada saat manusia lahir hingga manusia itu menjadi dewasa dan sampai meninggal. Sementara dalam konsep pandangan kelahiran akan masyarakat Batak Toba adalah awal kehidupan di dunia baru.

3. Dalam masyarakat Jepang kelahiran dianggap paling kotor, maka untuk itu diadakan ritus- ritus yang diadakan untuk membersihkan hal yang dianggap kotor. Sementara dalam masyarakat Batak Toba kekotoran tidak ada terdapat. Dan bagi masyarakat Batak kelahiran dianggap sebagai awal kehidupan.

4. Ketika hamil, pada saat kelahiran dan setelah kelahiran dalam masyarakat Jepang didominasi dengan ritual agama Budha, meski mereka bukan penganut paham Budha.

(47)

Sementara pada masyarakat Batak Toba, saat itu paham yang menjadi dasar kepercayaan mereka adalah kepercayaan animisme, dan berpatokan pada ritual yang sudah dipercaya.

4.2 Saran

Setelah penulis meneliti kajian akan kelahiran terhadap masyarakat Jepang dan Batak Toba, yang bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan, bahwa perlu bagi kita untuk selalu memperhatikan nilai-nilai budaya tradisional untuk menjadi suatu sudut pandang positif dalam memahami budaya yang berbeda. Sehingga nilai-nilai positif dalam ritus-ritus kelahiran dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba dapat menjadi pedoman dalam hidup.

Upacara kelahiran pada masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki keunikan tersendiri, maka sebaiknya kebudayaan ini lebih dipulikasikan dengan masyarakat luas untuk lebih mengenal kebudayaan Jepang dan Batak Toba.

Pelestarian budaya leluhur penting dilaksanakan agar generasi pada masa yang akan datang tetap mempertahankan tradisi positif yang telah ada sebelumnya. Dan tentunya bisa menambah wawasan bagi pembelajar bahasa Jepang mengenai perbandingan kedua budaya yang berbeda.

Referensi

Dokumen terkait

dan atau sanggahan dalam bentuk apapun juga, sehubungan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan Penerima Kuasa berdasarkan surat kuasa ini serta segala akibatnya

( Penelitian Tindakan Kelas pada Anak PAUD Al-Husna Desa Gunung Jampang Kecamatan Bungbulang Kabupaten

Berdasarman pada hasil temuan peneliti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah, salah satu permasalahan yang sangat mendasar dan harus dipecahkan

Dengan metode Fast Grey-Level Grouping (FGLG) dengan nilai bin standar 20, didapatkan peningkatan kualitas kontras suatu citra yang cukup baik bagi citra yang memiliki

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai peranan komunikasi dalam mempengaruhi kinerja

Hasil pengujian hubungan antara prinsip-prinsip good corporate governance dan manajemen laba pada tahun 2012 diperoleh bahwa semua prinsip-prinsip good corporate governance

Tingkat Kecemasan Pasien Kanker Serviks pada Golongan Ekonomi Rendah yang Mengikuti Program Kemoterapi di RSUD Dr. (Diakses pada tanggal 9

Peta tangan kiri-tangan kanan merupakan suatu alat dari studi gerakan untuk mengetahui gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tangan kiri dan tangan kanan dalam