• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Ritus-ritus Kelahiran Pada Masyarakat Jepang

3.1.3 Setelah Kelahiran

Pertama kali bayi memakai baju pada hari ketiga atau kadang pada hari ketujuh setelah lahir. Bahan yang tepat untuk membuat baju bayi pada saat dia lahir adalah baju yang diberikan kunyitnya dan dicelupkan kedalam air, ini akan mengusir roh jahat. Sebuah desain yang disebut Asa-No-Ha (daun rami) sering digunakan untuk baju bayi. Sebuah pola sulam dengan benang berwarna merah dan putih dijahit baju bayi untuk dipakai ke kuil (tempat keramat), hal ini disebut Se-ma-mori (jimat belakang) dan dipercayai dapat melindungi bayi dari roh jahat . Pola berbentuk seekor bangau, kura-kura, Asa-No-Ha dan bunga lonceng cina.

Jika bayi tidak begitu sehat, cara pengobatannya dengan membuat baju bayi yang diberikan

oleh teman-teman dan rekan (sanak famili)

Ini dipercayai dibeberapa desa dewa kelahiran datang dari tempat bayi yang baru lahir pada hari ketiga dan dikirimkan hadiah untuk ibu yang sedang bersalin ditempat ia melahirkan.

Hari ke tujuh setelah kelahiran disebut Shichiya (malam ke-7),upacara yang tidak kalah penting untuk kelahiran bayi. Upacara nasional hari yang menentukan untuk pemberian nama, nama biasanya diberikan oleh orang tua bayi tetapi beberapa kasus dilakukan dengan menanyakan pada sanak famili, seseorang yang berpengaruh atau seseorang yang memiliki banyak anak dan terkadang bidan.

Kelahiran pada hari ketiga setelah hari kelahiran disebut Mikka Iwai. Pada hari ketiga diundang orang yang membantu proses kelahiran dan juga famili-famili lainnya. Kemudian orang-orang yang dahulunya melahirkan di Ubuya datang juga untuk melihat dan membantu memandikan bayi tersebut pada hari ketiga setelah kelahiran, pada hari ketiga ini pula diadakan Nazuke (pemberian nama) dan pertama kali dipakaikan baju.

Pada hari ketujuh bayi dibawa keluar untuk pertama kalinya. Untuk diberikan persembahan kepada dewa kelahiran disepanjang dapur, ruang tamu, wc dan juga altar dewa penjaga keluarga. Dibeberapa daerah, bayi juga dibawa untuk menyebrangi jembatan, kunjungan tersebut dibuat untuk memohon kepada dewa yang tinggal disana untuk melindungi bayi. Bayi yang dibawa keluar dari rumah akan dibawa kerumah saudara-saudaranya untuk diberikan uang yang berbentuk tangkai supaya bayi tersebut di doa’kan dapat berumur panjang dan dapat kehidupan yang baik dengan keluarganya.

Kebiasaan meletakkan bayi di ayunan keranjang jerami pada hari ke 3 atau ke 7 disebut Tsuguraorizumi. Dilakukan di berbagai tempat diseluruh negeri, ketika bayi tumbuh besar dan merangkak seseorang tampak menjaganya dengan membawa bayi dibelakang dengan menggunakan jaket penghangat yang pendek.Ini dilakukan di Nijiwa bayi yang dirawat oleh ibu asuhnya atau (babysister).

Ketika bayi berumur 7 bulan ,ia dibawa ke kuil Shinto untuk pertama kalinya dan dikenalkan kepada dewa pelindung di kuil shinto tersebut. Bayi laki-laki dan bayi perempuan biasanya dibawa pada hari yang berbeda ke kuil shinto, bayi laki-laki biasanya pada hari ke 31 dibawa ke kuil sinto sedangkan perempuan dibawa ke kuil shinto pada hari ke 32.Mungkin karena bayi belum keseluruhannya bersih dari polusi kelahiran pada waktu itu, pada beberapa tempat bayi diantarkan hanya sampai pintu kuil dan tidak masuk kehalaman kuil, bayi diletakkan di atas anak tangga kuil tersebut oleh ibunya untuk membuat dewa kelahiran dapat melihat bayi tersebut.

Dibagian barat Jepang perayaan 100 hari disebut Momeka, Momeka adalah pemberian kehormatan kepada bayi. Bayi dibawa mengunjungi kuil pada upacara ini dibeberapa daerah, biasanya untuk pertama kalinya bayi diberi makan untuk setelah mengunjungi kuil tersebut dengan memakan sebutir nasi yang diberikan oleh anggota keluarganya.

Shussan Iwai adalah acara selamatan yang pertama yang ditunjukan kepada si bayi.

Dimana kedua orangtua si bayi ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan dan juga pada tetangga-tetangga mereka. Orang-orang yang menerima pemberitahuan datang berkunjung dengan membawa bingkisan dan uang sebagai ucapan selamat atas kelahiran.

Zaman dahulu nama bayi diambil dari salah satu huruf, nama bidan yang menolong ia pada saat melahirkan, atau dari kakek pihak ibu yang melahirkan, atau memohon kepada orang tua yang dihormati, untuk memberikan nama. Tetapi sekarang kebanyakan ditentukan langsung oleh orangtua sang bayi. Dulu, nama yang dipilih adalah nama yang memiliki arti baik.

Nama dan tanggal kelahiran sang bayi ditulis di kertas Jepang (berukuran 25 X 35 cm) dengan menggunakan kuas, lalu ditempelkan di “kamidana” atau di tiang “took no ma”.

Oshichiya ini juga dianggap sebagai akhir dari masa ‘tidak suci’ bagi ibu hamil sudah

melahirkan, sehingga dilakukan pula “pembersihan diri (fujobarai)” dan angkat tempat tidur (took age) bagi sang ibu.

Bayi laki-laki dianggap tidak suci sampai hari ke-21, dan bayi perempuan hari ke-33.

Ketika masa ‘tidak suci’ ini berakhir, dilakukan upacara berakhirnya masa tidak suci kelahiran (san’ake no iwai). Mengapa bayi perempuan lebih lama masa tidak suci, karena ketidaksucian perempuan lebih kuat setelah masa tidak sucinya berakhir, pertama-tama sang bayi dibawa ke sumur, kamar mandi atau dapur.

Biasanya bagi bayi laki-laki pada hari ke 31/32, dan bayi perempuan pada hari ke 32/33 dilakukan ritual “omiyamari”, yaitu mengunjungi kuil Shinto (jinja) diwilayahnya.

Diantara dewa-dewa yang dipuja dijinja , ada dewa leluhur yang disebut ‘ujigami’, dan dewa

wilayah yang disebut ubusuna gami. Kalau ada anak yang lahir disuatu wilayah, maka anak itu di anggap sebagai anak dari dewa wilayah tersebut.

Ujiko yang baru ini dibawa mengunjungi jinja, untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada ujigami. Dalam ritual ini, biasanya bayi sengaja dibuat menangis didepan dewa.

Setelah 100 hari sejak kelahiran, pada zaman dahulu dijadikan tahapan baru bagi sang bayi, mulai saat itu bayi mulai memakai kimono yang bewarna putih dan melepaskan kimono tersebut di hari itu langsung setelah dipakai beberapa menit saja. Makan pertama untuk bayi yang baru lahir dilaksakan pada acara selamatan 100 hari usia bayi. Nasi dan sayuran di ambil pakai sumpit, karena si bayi belum bias makan, maka hanya ditirukan dimasukkan kedalam mulut bayi, acara ini disebut juga dengan hashi hajime, dan sebagainya. Makanan ditaruh di Ozen (piring besar) yang terdiri dari nasi merah, sup dan laukpauknya. Di sekeliling ozen tersebut diletakkan batu yang diambil dari sungai dengan maksud supaya gigi bayi tersebut cepat keras.

Anak laki-laki pada usia 32 hari dan anak perempuan pada usia 33 hari di adakan hatsumiya mairi, yaitu pertama sekali mengunjungi omiya atau ujigami. Pada hatsumiya mairi ini biasanya bayi digendong oleh neneknya atau yang membantu melahirkan datang ke kuil.Pada saat hatsumiya mairi ini si bayi mendapat kiriman dari keluarga ibu yang disebut Inuhariko, yaitu berupa barangbarang mainan si bayi.Pada zaman dahulu inuhariko mempunyai nilai magis yaitu untuk menangkal penyakit atau sebagai sasaran penyakit yang datang untuk mengganggu si bayi.

Pada ulang tahun pertama diadakan acara untuk meramal masa depan si bayi. Di sekitar bayi disediakan penggaris, pinsil dan benda-benda lainnya, maka melalui benda yang terlebih dahulu diraih si bayi maka diramalkan pekerjaan bayi tersebut.Tetapi ada juga anak yang disuruh menginjak mochi yang besar, hal ini tergantung dari daerah tempat dimana

mereka tinggal. Ada juga pemikiran bahwa apabila ada anak yang sudah bias berjalan sebelum“hatsu tanjou”, maka besarnya nanti akan meninggalkan rumah. Oleh karena itu, pada hari “hatsu tanjou” kepada anak seperti ini, dengan sengaja diletakkan mochi yang besar di punggungnya, agar terjatuh, dan orang dewasa melemparnya dengan mochi yang kecil.

Setelah “hatsu tanjou”, anak dianggap akan menerima roh yang baru disetiap tahunnya. Walaupun anak sudah berumur 1 tahun.

Akhir-akhir ini kelahiran bayi sangat kurang, oleh karena itu hal ini menjadi masalah yang sangat serius dalam masyarakat Jepang.Karena apabila tidak ada bayi atau satu keluarga hanya mempunyai satu orang saja anak, maka kesinambungan IE, terutama dalam masalah pemujaan leluhur menjadi bermasalah. Karena akan memunculkan roh leluhur yang tidak ada anggota keluarga yang menyembah. Apabila tidak ada keluarga yang menyembah maka roh leluhur biasanya menjadi roh kelaparan.

Dokumen terkait