• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI DAHULU HINGGA SEKARANG

A. Berbagai Pemahaman tentang Hakikat Maqāṣid al- al-Sharī‘ah

2. Masa al-Shāṭibī dan Sesudahnya

Maqāṣid sharī‘ah semakin tampak ketika berada di tangan al-Imām al-Shāṭibī (w. 790 H). Dalam kitab al-Muwāfaqāt al-Shāṭibī mem-bahas maqāṣid al-sharī‘ah secara rinci dan dalam bab tersendiri baik terkait dengan pendapat-pendapat ulama sebelumnya atau pun hasil dari pemahamannya sendiri terhadap maqāṣid al-sharī‘ah. Disamping menje-laskan kembali tentang al-ḍarurīyāt, al-ḥājīyāt dan al-taḥsinīyāt dan menjadikan ketiga hal ini bertingkat, ia juga memperdalam bahasan uṣūl

44 Ibid., 100-101. 45 Ibid., 102-103. 46 Ibid., 103. 47 Ibid., 104.

18 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

al-khamsah yang urutannya pun berbeda dengan ulama sebelumnya. Urutannya adalah memelihara agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.48 Al-Shāṭibī juga membagi maqāṣid kepada maksud yang dikehendaki al-Shāri’ dan maksud yang dikehendaki mukallaf.

Hal yang lebih penting lagi al-Shāṭibī juga membuat kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip maqāṣid al-sharī‘ah49 sehingga dengan kaidah-kai-dah ini al-Shāṭibī menyatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan mesti selalu bersandar atau berada di bawah pengawasan maqāṣid al-sharī‘ah. Begitu dekatnya hukum dengan maqāṣid menjadikan keduanya seperti jasad dan ruh atau antara akal dan pemikiran. Inilah yang membuat al-Shāṭibī dianggap sebagai Sheikh maqāṣid atau sebagai penemu maqāṣid al-sharī‘ah walaupun disayangkan ia tidak pernah mendefinisikan apa arti maqāṣid al-sharī‘ah itu sendiri.50

Sepeninggal al-Shāṭibī maqāṣid al-sharī‘ah mengalami kevakuman yang cukup panjang dan kondisi yang memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 5 abad lebih setelah masa al-Shāṭibī baru muncul kajian tentang maqāṣid al-sharī‘ah yang dilakukan oleh Muḥammad ṭāhir ibn ‘Ashūr (w. 1393 H/ 1973 M). Di dalam karyanya Maqāṣid al-Sharī‘ah al-Islāmīyah yang menurut beberapa ulama dapat dikategorikan sebagai karya mag-num opus karena menawarkan pemikiran-pemikiran progresif dan cemer-lang. Ibn ‘Ashūr lebih memfokuskan untuk menguatkan kedudukan ma-qāṣid al-sharī‘ah dan berupaya untuk menjadikan ilmu yang mandiri atau

48 Abū Ishāq Shāṭibī, Muwāfaqāt fī Uṣūl Sharī‘ah, Jilid I, Vol II (Mamlakah al-‘Arabīyah al-Su‘ūdīyah: Wuzārat al-Shu’ūn al-Islāmīyah wa al-Awqāf wa al-Da‘wah wa al-Irshād, 8.

49 Al-Kaylānī, Qawā‘id al-Maqāṣid, 126-371. 50 Ḥusayn, al-Tanẓīr al-Maqāṣidī, 104.

MAQĀṢID AL-SHARĪ`AH versus UṢŪL AL-FIQH 19 melepaskan diri dari uṣūl al-fiqh karena persoalan-persoalan kekinian lebih relevan dikaji dengan maqāṣid al-sharī‘ah.51

Menurut para pengkaji, kini maqāṣid al-sharī‘ah semakin banyak dikaji dan diterima berbagai kalangan sehingga jalan menuju puncak keberhasilan semakin terlihat. Kajian-kajian para ahli tentang muslim progresif di Barat yang berbicara tentang nilai-nilai universal Islam mengharuskan maqāṣid sharī‘ah harus membuka diri agar maqāṣid al-sharī‘ah tidak lagi bergaya klasik tetapi menjadi progresif sebagai me-tode hukum untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian. Di antara para pengkaji ini seperti Muhammad Khalid Mas’ud, Mohammad Ha-shim Kamali, Ahmad al-Raysūnī, Jamāl al-Dīn ‘Aṭiyyah dan Jasser Auda.52

C. Pembagian Maqāṣid al-Sharī‘ah

1. Dilihat dari Tujuan

Jika dilihat dari tujuan atau kehendak, maqāṣid al-sharī‘ah ini terbagi kepada dua macam yaitu maqāṣid al-Shāri’ dan maqāṣid al-mukallaf. 53

a. Maqāṣid al-Shāri’

Maqāṣid al-Shāri’ ini adalah maksud-maksud yang dike-hendaki oleh pembuat hukum (Allah; al-Shāri’) dengan ditetap-kannya suatu aturan hukum.54 Maksud ini tertuang ke dalam em-pat macam yakni: 55

51 Ibid., 114.

52 Mawardi, Fiqh Minoritas, 208.

53 Al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt, Jilid I, Vol II, 3.

54 Nūr al-Dīn ibn Mukhtār al-Khādimī, al-Ijtihād al-Maqāṣidī: ḥujīyatuhu ḍawābiṭuhu Majālātuhu (Qatar: Wuzārat al-Awqāf wa al-Shu’ūn al-Islāmīyah, 1998), 53. 55 Al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt, Jilid I, Vol II, 4.

20 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

1. Setiap aturan hukum yang ditetapkan kepada subjek hukum (manusia; mukallaf) adalah untuk kemaslahatan mereka sendiri baik kemaslahatan di dunia atau pun di akhirat; tanpa ada perbedaan di antara keduanya.

2. Suatu aturan hukum yang ditetapkan mesti dapat dipahami oleh subjek hukum (manusia; mukallaf).

3. Suatu aturan hukum tersebut mesti pula dilaksanakan oleh subjek hukum (manusia; mukallaf) karena aturan hukum tersebut merupakan taklīf (kewajiban) bagi manusia.

4. Semua itu tidak lain agar subjek hukum (manusia; mukallaf) berada di bawah naungan hukum Allah (al-Shāri’).

Keempat macam ini merupakan saling berhubungan dan semuanya juga berhubungan dengan Allah (al-Shāri’) selaku pembuat hukum. Dipastikan bahwa Allah menetapkan hukum adalah untuk kepentingan manusia sehingga tidak mungkin jika bertujuan untuk mempersulit atau memberikan beban di luar kemampuan manusia. Hal ini tentu adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia ini atau di akhirat. Namun tujuan tersebut dapat terwujud jika manusia memahami aturan-aturan Allah (tak-līf bagi manusia) yang tentunya juga diiringi dengan bukti kese-diaan manusia untuk melaksanakan aturan-aturan Allah tersebut. Dengan demikian, jadilah kehidupan manusia selalu dalam naungan aturan Allah yang berupaya untuk hidup baik dan meng-hindari kehidupan yang mengikuti hawa nafsu.

b. Maqāṣid al-Mukallaf

Maqāṣid al-Mukallaf adalah maksud-maksud yang diingin-kan oleh pelaku hukum (manusia; mukallaf) dalam setiap hal di kehidupannya baik terkait dengan itikad, perkataan atau perbuat-an. Dari semua itu dapat dibedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, antara kehidupan ibadah dengan sosialnya, baik dalam kehidupan beragama atau pun dalam bernegara yang semuanya

MAQĀṢID AL-SHARĪ`AH versus UṢŪL AL-FIQH 21 dilihat apakah bersesuaian atau bertentangan dengan maqāṣid al-sharī‘ah. 56

2. Dilihat dari Kebutuhan dan Pengaruhnya terhadap Hukum