• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggali Motif (‘Illah) pada suatu Perintah atau Larangan Di dalam nas baik al-Qur’an atau pun hadis sering ditemukan bentuk

DARI DAHULU HINGGA SEKARANG

E. Cara Mengetahui Maqāṣid al-Sharī‘ah

2. Menggali Motif (‘Illah) pada suatu Perintah atau Larangan Di dalam nas baik al-Qur’an atau pun hadis sering ditemukan bentuk

perintah (al-amr) dan larangan (nahy) baik untuk dilaksanakan atau pun

76 Al-Ṭayyib Sanūsī Aḥmad, Istiqrā’ wa Atharuhu fī Qawā‘id Uṣūlīyah wa al-Fiqhīyah (Riyāḍ: Dār al-Tadmurīyah, 2008), 51.

77 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 57. 78 Ibn ‘Āshūr, Maqāṣid al-Sharī‘ah, 190.

30 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

ditinggalkan. Dalam bentuk yang seperti ini tentu ada motif (‘illah) yang melatarbelakangi munculnya perintah atau larangan itu. Penggalian motif ini penting dilakukan agar setelah mengetahui motif yang dimaksud dapat pula mengkaji maksud dari suatu nas. Penggalian motif ini dapat dila-kukan dengan cara masālik al-’illah dengan beberapa alternatif di bawah ini:

a. Al-Ijmā’

Para ulama hampir dipastikan menyepakati bahwa setiap hu-kum memiliki ‘illah. Oleh karena itu salah satu cara untuk me-ngetahui ‘illah pada suatu hukum adalah melalui al-Ijmā’. Al-Ij-mā’ itu sendiri adalah kesepakatan ulama untuk menetapkan ‘illah pada suatu persoalan hukum. Misalnya, yang menjadi ‘illah perwalian terhadap anak kecil dalam masalah harta adalah “masih kecil”. Maksudnya masih kecil itulah menjadi ‘illah hukumnya dan ‘illah ini diqiyāskan kepada perwalian dalam masalah ni-kah.80

b. Nas

Nas yang dimaksudkan di sini adalah al-Qur’an dan Hadis. ‘Illah di dalam nas ini adakalanya bersifat pasti (qaṭ’ī) yang ter-tulis pada nas itu sendiri dan adakalanya tidak jelas sehingga mengandung kemungkinan yang lain (muḥtamilah). Dikatakan dalam bahasa lain bahwa ‘illah ada yang manṣūṣah (tertulis pada nas secara eksplisit) ada pula yang mustanbaṭah (diteliti dan digali).81

80 Ibid., 129. 81 Ibid., 130-135.

MAQĀṢID AL-SHARĪ`AH versus UṢŪL AL-FIQH 31

c. Al-Īmā’

Al-Īmā’ adalah penyertaan sifat dengan hukum dan disebut-kan dalam lafal. Tetapi ada juga ulama yang menyatadisebut-kan bahwa penyebutan sifat ini dapat diistinbāṭkan. Adapun hukum yang menyertai sifat itu dapat ditetapkan melalui nas dan dapat dite-tapkan melalui ijtihad. 82

Misalnya, ketika seorang Arab Badui menyatakan kepada Nabi saw bahwa ia telah mencampuri isterinya di siang hari bulan Ramadhan, Nabi saw bersabda, “Merdeka-kanlah seorang bu-dak”. Penetapan hukum wajib memerdekakan budak uncul setelah Arab Badui itu mengatakan bahwa ia telah membatalkan puasanya dengan mencampuri istrinya di siang hari bulan Rama-dhan. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut menjadi ‘illah diberlakukannya hukum wajib memerdekakan seorang hamba sahaya.

d. Al-Munāsabah

Al-Munāsabah menetapkan ‘illah hukum melalui semata-ma-ta melihat dari adanya kesesuaian kandungan sifat hukum yaitu adanya pencapaian terhadap kemaslahatan atau penolakan terha-dap kemudaratan; bukan berdasarkan nas atau yang lainnya.83 Al-Munāsabah ini sepertinya berkaitan erat dengan ri’āyat al-maqāṣid (pemeliharaan maksud-maksud hukum) atau dengan takhrīj al-manāṭ (mendapatkan ‘illah hukum aṣl semata-mata mengaitkan antara munāsabah dengan hukum).

82 Ibid., 136-143. 83 Ibid., 144-152.

32 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

Salah satu persoalan yang dapat dicontohkan melalui munā-sabah adalah perbuatan zina. Zina merupakan suatu perbuatan yang dapat diukur. Hukum haram berzina sejalan dengan logika yaitu pemeliharaan keturunan (kemaslahatan) dan menghindari tercampurnya nasab dan tidak dapat membedakan suatu keturun-an (menolak kemudaratketurun-an).

e. Al-Sibr wa al-Taqsīm

Al-sibr adalah pengujian terhadap beberapa sifat yang terda-pat dalam suatu hukum. Apakah sifat tersebut layak untuk dija-dikan ‘illah hukum atau tidak. Setelah itu baru diambil satu sifat yang paling tepat dijadikan ‘illah. Adapun al-taqsīm adalah mem-batasi ‘illah pada satu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh suatu nas. Oleh karena itu dengan cara al-sibr wa al-taqsīm ini memungkinkan terjadinya perbedaan di kalangan ulama. Se-muanya tergantung dengan kekuatan analisis dan pengujian dila-kukan.84

f. Tanqīḥ al-Manāṭ

Tanqīḥ al-manāṭ adalah suatu upaya untuk menentukan ‘illah dari berbagai sifat. Sifat yang dipilih untuk dijadikan ‘illah ada-lah sifat-sifat yang terdapat dalam nas. 85

Misalnya, mencari ‘illah hukum kaffārah bagi yang melaku-kan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan. Dalam sebuah hadis terdapat beberapa sifat yang dapat dijadikan ‘illah, misal-nya yang disenggama itu seorang wanita dan yang disenggama itu isterinya sendiri. Namun dari dua sifat itu dipandang tidak te-pat dijadikan ‘illah, karena ‘illah pada dasarnya harus membuat

84 Ibid., 155-158. 85 Ibid., 161-164.

MAQĀṢID AL-SHARĪ`AH versus UṢŪL AL-FIQH 33 hukum dapat berlaku umum, sementara ‘illah disebutkan masih mengandung celah bahwa senggama dengan bukan istri dan bu-kan seorang wanita tentu hukumannya lebih berat. Agar ‘illah dan hukumnya berlaku umum, maka diperlukan untuk memilih sifat senggama di siang hari Ramadhan yang paling tepat. Pe-milihan ‘illah yang diisyaratkan nas ini disebut dengan tanqīḥ al-manāṭ.

g. Al-Shibh

Al-shibh adalah menyamakan suatu cabang (far’u) kepada pokok (aṣl) dengan melihat keserupaan beberapa sifat pada keduanya untuk disamakan. Metode ini disebut qiyās al-shibh dan metode ini pun terbagi kepada dua yaitu qiyās al-shibh yang dominan dan qiyās al-shibh semu. Qiyās al-shibh yang dominan adalah mengaitkan far’u yang mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum al-aṣl, tetapi kemiripannya dengan salah satu sifat lebih dominan dibandingkan dengan sifat lainnya. Contoh-nya, menyamakan hamba sahaya dengan harta karena (‘illah) status hamba itu bisa dimiliki, atau menyamakan hamba sahaya dengan orang merdeka disebabkan (‘illah) ia adalah manusia se-perti orang merdeka. Adapun qiyās yang semu, yaitu menggiyās-kan sesuatu kepada yang lain semata-mata karena kesamaan bentuknya. Contohnya, menyamakan kuda dengan keledai dalam hal zakat. Apabila keledai tidak wajib dikeluarkan zakat maka kuda pun tidak wajib pula. 86

34 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

h. Al-Dawrān

Al-dawrān adalah berkaitan dengan adanya suatu hukum ketika adanya sifat dan tidak adanya hukum ketika sifat itu sudah tidak ditemukan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa sifat yang selalu menyertai hukum itu disebut ‘illah hukum.87 Konsep al-dawrān ini sepertinya sejalan dengan kaidah ‘illah itu sendiri yaitu88

امدعو ادوجو ه تكمح عم لا ه تلع عم رودي كملحا نإّ

yang artinya