• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disamping sebagai keberlanjutan logika ‘illah dan sebagai pengkaji hikmah hukum, maqāṣid al-sharī‘ah tampaknya juga menjadi pendukung dari beberapa metode uṣūl al-fiqh. Dikatakan demikian karena maqāṣid al-sharī‘ah tampaknya selalu ada di setiap hukum, tetapi bukan sebagai penentu melainkan sebagai pengkaji hikmah. Hikmah itu lebih erat de-ngan rahasia-rahasia (asrār) dibalik hukum. Rahasia-rahasia ini diperoleh melalui penelitian dan pemikiran yang serius sehingga ia pun lebih ber-nuansa filosofis.

72 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

Peran maqāṣid al-sharī‘ah khususnya terkait dengan hikmah ini ada-lah untuk menjelaskan kepada pelaksana hukum (masyarakat) bahwa hukum yang ditetapkan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan tersebut tentu terkait dengan kebutuhan manusia yang salah satunya adalah kemu-dahan bagi manusia dalam melaksanakan hukum. Kemukemu-dahan ini didu-kung oleh nas yang tidak menginginkan manusia itu mengalami kesulitan dalam beragama. Semua itu tidak lain adalah untuk mewujudkan kebaik-an dkebaik-an kemaslahatkebaik-an kepada kehidupkebaik-an mkebaik-anusia. Penjelaskebaik-an seperti ini dipastikan dapat memberikan kedamaian kepada pelaksana hukum se-hingga mereka pun tunduk dengan perintah atau pun larangan yang diten-tukan dalam Islam. Peran maqāṣid al-sharī‘ah dalam bidang yang seperti ini tepatnya dikatakan sebagai pendukung hasil kajian dari metode-metode uṣūl al-fiqh.

Hal lainnya sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW adalah sebagai sumber hukum Islam. Sumber, tentu se-gala-galanya dikaji dan diambil dari keduanya. Untuk mengambil pela-jaran dari keduanya diharuskan memahami bahasa yang digunakan kedua sumber tersebut. Untuk memahami bahasa kedua sumber itu dengan be-nar, para ulama uṣūl al-fiqh pun menyusun kaidah-kaidah lughawīyah (kebahasaan) yang akhirnya menjadi teori atau metode serta menjadi bagian dari uṣūl al-fiqh. Selanjutnya kaidah-kaidah ini pun digunakan dalam beristinbāṭ yang sampai sekarang tetap digunakan dan diajarkan kepada para pengkaji hukum Islam dari berbagai kalangan.

Maqāṣid sharī‘ah bukannya tidak diperhatikan tetapi karena al-Quran dan Hadis mengandung kaidah-kaidah dan seni bahasa yang sangat tinggi, maka para ulama pun terlebih dahulu memfokuskan perhatian me-reka pada metode pemahaman kebahasaan nas. Para ulama pun dipas-tikan berhati-hati dalam menetapkan hukum, sehingga mereka pun mem-perketat gaya menetapkan hukum. Hal yang lebih utama terlebih dahulu adalah mengkaji bahasa yang digunakan nas dan ketika suatu persoalan telah terjawab melalui kaidah-kaidah kebahasaan ini maka hukum itu pun

MAQĀṢID AL-SHARĪ`AH versus UṢŪL AL-FIQH 73 ditetapkan untuk dilaksanakan. Konfirmasi kepada maqāṣid al-sharī‘ah pun tampaknya hanya tergantung kebutuhan, sebab dengan terjawabnya suatu masalah melalui kaidah-kaidah kebahasaan dipandang telah cukup. Terlebih lagi maqāṣid al-sharī‘ah hanya sebagai penjelas lanjutan untuk merasionalisasikan hukum yang telah ditetapkan yang utamanya adalah menjelaskan hikmah ditetapkannya hukum.

Kedudukan maqāṣid al-sharī‘ah seperti ini secara faktual –terlepas apakah ada faktor kesengajaan atau tidak- karena belum atau tidak dite-mukan langkah-langkah operasional cara menggunakan maqāṣid al-sha-rī‘ah. Keadaan ini kemudian diperkuat dari konsep maqāṣid al-sharī‘ah itu sendiri sebagai hikmah hukum, sehingga posisinya pun berada di depan hukum. Posisi di depan yang dimaksudkan di sini adalah jika dili-hat dari urutan keluarnya hukum berada di akhir. Ketika suatu ketentuan hukum muncul, maka yang pertama kali dikaji adalah ‘illah hukum. Posisi ‘illah berada di belakang hukum atau yang menjadi motif timbul-nya hukum, sementara maqāṣid al-sharī‘ah berposisi setelah muncultimbul-nya hukum. Oleh karena itu seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa posisi maqāṣid al-sharī‘ah berada di akhir. Maqāṣid al-sharī‘ah pun bukan sebagai hal utama dan ia pun mau tidak mau mengikuti hukum yang telah ditetapkan sebab jika ingin diikutsertakan sebagai bagian dari penentu adanya suatu hukum, ia mesti menjadi metode yang memiliki cara khusus dalam mengoperasionalkannya.

Langkah-langkah ini baru muncul setelah Ibn ‘Ashur mengemukakan konsep-konsep dalam menggunakan maqāṣid al-sharī‘ah sebagai meto-de.167 Namun permasalahannya yang membuat tidak mencapai titik temu dengan bahasan di sini adalah bahwa Ibn ‘Ashur cenderung memahami maqāṣid al-sharī‘ah berfungsi ganda baik sebagai hikmah, juga sebagai ‘illah hukum. Pemahaman sebagaimana dijelaskan sebelumnya

74 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

bulkan persoalan tersendiri yang terkait dengan konsep maqāṣid al-sharī‘ah.

Jelasnya jika dilihat dari keadaan maqāṣid al-sharī‘ah sampai saat ini masih dikatakan sebagai pendukung metode-metode uṣūl al-fiqh. Diakui bahwa maqāṣid al-sharī‘ah memiliki hubungan dengan metode-metode uṣūl fiqh. Misalnya hubungan antara qiyās dengan maqāṣid al-sharī‘ah yang dapat dipertemukan bahwa hukum itu adalah untuk kemas-lahatan. Contohnya diharamkan segala jenis minuman keras dan narkoba serta sejenisnya far’) kepada haramnya (hukum al-aṣl) khamar (al-aṣl). Haramnya ini adalah karena adanya kesamaan sifat antara al-far’ dengan al-aṣl sehingga sifat inilah yang menjadi motif timbulnya hukum haram. Sifat tersebut adalah adanya zat yang memabukkan. Haramnya segala yang memabukkan itu, tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan manusia supaya akalnya terjaga.168

Dalam kaidah umum dinyatakan bahwa setiap hukum yang dite-tapkan adalah untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini al-qiyās juga berbicara tentang kemaslahatan dan dilengkapi juga dengan kemaslahatan yang dibahas oleh maqāṣid al-sharī‘ah. Di sini terlihat bahwa maqāṣid al-sharī‘ah menjadi pendukung metode al-qiyās.

Selanjutnya hubungan maṣlaḥah mursalah dengan maqāṣid al-sharī‘ah. Hukum pengumpulan muṣḥaf al-Qur’an, penulisan dan sampai pada pembukuannya dipandang dari metode al-maṣlaḥah al-mursalah memiliki nilai kemaslahatan yang sangat besar, terlebih lagi ketika para penghapal al-Qur’an telah menyebar ke berbagai daerah dan banyaknya juga yang shāhid di jalan Allah.169 Hal ini tidak lain agar kemaslahatan al-Qur’an (agama) terjaga dengan baik. Keduanya berbicara tentang

168 Al-ḥasan, Falsafah Maqāṣid, 39. 169 Al-Khādimī, ‘Ilm al-Maqāṣid, 38.

MAQĀṢID AL-SHARĪ`AH versus UṢŪL AL-FIQH 75 maslahatan, tetapi tetaplah maqāṣid al-sharī‘ah hanya sebagai pendukung metode al-maṣlaḥah al-mursalah.

Berikutnya hubungan al-istiḥsān dengan maqāṣid al-sharī‘ah. Salah satu contohnya tentang hukum jual beli salam. Jual beli ini dibolehkan karena untuk memudahkan untuk menunaikan kebutuhan masyarakat asalkan barang yang dijual dan dibeli jelas dan sama-sama diketahui oleh penjual dan pembeli. Tujuan dari dibolehkannya jual beli salam adalah untuk tercapai kebaikan atau kemaslahatan masyarakat dalam memenuhi keperluan hidupnya.170 Maksud atau tujuan dari jual beli salam di atas merupakan tujuan dari metode al-istiḥsān yang juga tujuan dari maqāṣid al-sharī‘ah.

Kedudukan maqāṣid al-sharī‘ah tetap tidak berubah sebagai pendu-kung metode uṣūl al-fiqh. Hal yang sama juga hubungannya dengan me-tode al-dharī‘ah. Salah satu contoh di sini adalah zina yang jelas hukum-nya dilarang dalam Islam. Jika dalam kehidupan ini ada media-media atau wasilah-wasilah (al-dharī‘ah) yang dibuat untuk terarahnya melaku-kan perbuatan zina, misalnya pembuatan jalan untuk menuju lokalisasi maka pembuatan jalan tersebut adalah juga diharamkan (sadd al-dharī‘ah).171 Tujuan dari semua ini adalah agar terpeliharanya agama dan terlebih lagi terpeliharanya keturunan.

Maqāṣid al-sharī‘ah sebagai pendukung metode uṣūl al-fiqh tetap masih terbaca ketika dikaitkan dengan metode al-’urf. Dalam al-’urf bah-wa adat atau kebiasaan dapat dibenarkan jika tidak bertentangan dengan nas baik secara eksplisit atau pun implisit. Adat juga dibenarkan jika ti-dak ada dalil yang melarangnya atau titi-dak mengandung kemudaratan. Jika bertentangan dengan dalil nas atau adanya kemudaratan maka

170 Al-Yūbī, Maqāṣid al-Sharī‘ah, 750.

171 Muḥammad Bakr Ismā‘īl ḥabīb, Maqāṣid Sharī‘ah Ta’ṣīlan wa Taf‘īlan (Rābiṭah al-‘Ālam al-Islāmī, t.th), 60.

76 Dr. H. Abdul Helim, S.Ag, M.Ag

saan atau adat itu dilarang.172 Salah satu alasan dibolehkan atau dilarang suatu kebiasaan seperti yang disebutkan di atas adalah adanya kemasla-hatan atau justru adanya kemudaratan kepada orang yang melakukan adat atau kebiasaan itu. Di sinilah adanya keterkaitan maqāṣid al-sharī‘ah dengan ’urf atau sebaliknya yang juga menjadi pendukung metode al-’urf.