• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Masa Dewasa Dini

sehingga mereka menjadi stabil dan tenang secara emosional (Hurlock, 1997). Papalia (2008) juga mengatakan bahwa orang dewasa dini sudah selayaknya dapat mengontrol dan mengendalikan emosi dalam dirinya. Hal ini disebabkan emosi merupakan suatu aspek yang sangat penting bagi individu, karena emosi berperan dalam mempengaruhi seberapa efektif individu menggunakan pikiran mereka.

Dalam kenyataannya, ada pula orang dewasa dini yang masih kurang stabil secara emosi (Hurlock, 1997). Ketidakmampuan individu dalam mengendalikan emosi dapat memunculkan suatu masalah terutama pada usia dewasa dini. Selain itu, masalah-masalah juga muncul karena individu masih membutuhkan bantuan seseorang untuk membantunya pada masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Hal ini disebabkan pada usia ini, individu rentan akan masalah. Masalah-masalah yang biasanya muncul adalah masalah-masalah mengenai kemampuan berinteraksi sosial, penyesuaian diri dalam bermasyarakat, serta pengendalian emosi (Hurlock, 1997).

Berdasarkan hasil konsultasi bersama dr. Andri,SpKJ pada

dalam menjaga keseimbangan emosinya. Reftyza merasa memiliki masalah dengan emosinya ketika bertengkar dengan pacarnya. Ia selalu mencubit pacarnya hingga berbekas, merusak barang-barang miliknya, dan kerap menyakiti dirinya sendiri. Selain itu, ada juga fenomena mengenai kasus tentang perseteruan dua artis indonesia, yaitu Depe dan Jupe. Perseteruan tersebut bermula dari Depe dan Jupe tonjok-tonjokan pada saat pembuatan film Arwah Goyang Karawang yang berlanjut adu mulut di jejaring sosial twitter (wartanews, 2011). Fenomena-fenomena tersebut menunjukan bahwa terkadang orang dewasa pun masih ada yang belum dapat mengelola, menstabilkan, dan mengendalikan emosinya sendiri.

Ada pula fenomena tentang meningkatnya perceraian di kalangan artis. Pada Suara Pembaruan.com (2011), dikatakan bahwa artis Steve Emanuel menjadi penyebab perceraian pasangan artis, Tia Ivanka dan George Manuel Sortillo. Namun Tia mengakui bahwa perceraian tersebut terjadi karena permasalahan penyesuaian perkawinan. Fenomena diperkuat dengan hasil penelitian Bouchard, Lussier, dan Sabourin (1999) yang menunjukan bahwa penyesuaian perkawinan yang rendah diakibatkan individu yang memiliki emosi yang kurang stabil dan memiliki tingkat emosi negatif yang tinggi (Wahyuningsih, 2005).

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut terlihat bahwa pada masa dewasa dini cenderung dipenuhi dengan masalah seperti masalah interaksi sosial, penyesuaian diri baik dalam masyarakat maupun perkawinan, dan pengendalian emosi. Masalah - masalah tersebut dapat ditanggulangi apabila

seseorang memiliki kecerdasaan emosi. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2009).

Kecerdasan emosional dianggap penting karena memungkinkan seseorang untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang sangat baik dan memiliki dukungan sosial lebih baik (Goleman, 2009). Apabila seseorang berhasil dalam mengelola emosinya maka dapat dikatakan sebagai orang yang cerdas emosinya dan sebaliknya apabila tidak berhasil dalam hal tersebut maka ia akan dikatakan sebagai orang yang tidak cerdas emosinya. Cherniss (dalam Papalia, 2008) juga mengatakan bahwa individu memiliki kecerdasan emosi jika ia mampu mengelola hubungan yang baik dengan orang lain dan dapat berpikir sehat ketika berada di bawah tekanan.

Dalam kehidupan, kita sering menemukan perbedaan-perbedaan antara orang yang satu dan yang lain. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi usia, pendidikan, maupun jenis kelamin. Perbedaan tersebut mulai dari yang bersifat fisik, hingga yang berhubungan dengan kebiasaan, peran gender, sikap maupun sifat. Baron dan Cohen (2005) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin masih sangat mungkin bahwa streotip jenis kelamin saat ini bervariasi dari norma. Guastello dan Guastello (2003), juga mengatakan bahwa peran jenis kelamin saat ini juga mengalami perubahan dan perilaku androgini telah meningkat di seluruh generasi. Menurut Mayer dan Salovey (1997), perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor utama yang

mempengaruhi kecerdasan emosi. (dalam Nunez, Berrocal, Montanes, Latorre, 2008).

Beberapa penelitian menyatakan secara umum terdapat perbedaaan kecerdasaan emosi secara signifikan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Duckelt dan Raffalli (1989), perempuan cenderung lebih emosional dan intim dalam interaksi sosial dibandingkan laki-laki, sehingga kecerdasan emosional mereka lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini mungkin karena masyarakat mensosialisasikan pendidikan emosi dengan cara yang berbeda pada masing-masing jenis kelamin (dalam Katyal, Awasthi, 2005).

Penelitian lain yang ditulis oleh Leslie Brody dan Judith Hall, telah meringkas beberapa penelitian tentang perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang mengatakan bahwa karena anak perempuan lebih cepat terampil dalam berbahasa daripada anak laki-laki, maka mereka lebih mengunakan kata-kata untuk mengantikan reaksi-reaksi emosional seperti perkelahian fisik (dalam Goleman, 2009). Begitu pula dengan Gurian (2011), ia menjelaskan bahwa ternyata otak laki-laki dan perempuan berbeda sehingga mempengaruhi pengekspresian emosi. Pada bagian otak yaitu

cerebal cortex cenderung lebih besar pada perempuan daripada laki-laki

sehingga menyebabkan adanya perbedaan pada pengolahan emosi antara keduanya. Menurut Stein (2004), perempuan lebih sadar atas perasaan mereka sendiri dan orang lain serta memiliki hubungan yang lebih baik daripada laki-laki. Dengan kata lain, kecerdasan emosional anak perempuan lebih tinggi dari kecerdasan emosi anak laki-laki ( Mirza, Redzuan, 2010).

Berdasarkan beberapa literatur diatas menyatakan bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosi lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sebaliknya, Summiya, Hayat, dan Sheraz (2009), mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki tingkat kecerdasan emosi lebih tinggi daripada perempuan. Goleman (1999) juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan emosi secara keseluruhan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, peneliti ingin menguji perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dewasa dini.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan usia dewasa dini?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan usia dewasa dini.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan. Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dewasa dini.

2. Secara praktis

a. Bagi peneliti, agar dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan usia dewasa dini pada masyarakat indonesia

b. Bagi orang dewasa dini, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dan saran agar orang dewasa dini dapat lebih memahami bahwa pentingnya memiliki kecerdasan emosi dalam hidupnya di masa-masa yang akan datang. Sehingga setiap individu dapat dapat hidup bahagia dengan memiliki interaksi sosial yang baik. Laki-laki dan perempuan dewasa dini diharapkan dapat memahami macam-macam emosi yang dimiliki pada setiap individu sehingga mereka dapat meningkatkan kecerdasan emosinya.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Masa Dewasa Dini

1. Pengertian Masa Dewasa Dini

Hurlock (1997) mengatakan bahwa orang dewasa dini adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Sebagai orang dewasa dini mereka diharapkan dapat menyesuaikan diri secara mandiri. Orang dewasa dini umumnya berkisar antara usia 18 tahun hingga usia 40 tahun.

Menurut Santrock (2002) masa dewasa dini adalah masa transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi. Masa dewasa dini ditandai ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap. Masa dewasa dini berkisar antara awal usia 20 tahun hingga 30an tahun.

Menurut Papalia,dkk (2009), masa dewasa dini diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang biasanya memiliki rentang waktu antara remaja akhir hingga usia pertengahan dua puluhan. Hal ini seing disebut dengan emerging adulthood. Masa dewasa dini dimulai pada usia 20 tahun sampai usia 40 tahun.

Berdasarkan uraian di atas peneliti merumuskan bahwa masa dewasa dini adalah masa transisi dari remaja akhir. Hal ini didasarkan pada beberapa

batasan umur yang dikemukakan para ahli tersebut, sehingga peneliti menggunakan batasan usia dewasa dini menurut Papalia (2009) yaitu dimulai dari usia 20 tahun hingga 40 tahun. Peneliti memilih ini disebabkan batasan usia yang tidak terlalu besar sehingga lebih spesifik.

2. Ciri-ciri Masa Dewasa Dini

Hurlock (1997) mengemukakan ciri-ciri yang menonjol dalam tahun-tahun masa dewasa dini, yaitu :

1. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa pengaturan”

Masa pengaturan ini adalah masa ketika seseorang mengatur hidup dan bertanggungjawab dalam kehidupannya. Pria muda mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditanganinya sebagai kariernya, sedangkan wanita muda diharapkan mulai menerima tanggungjawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

2. Masa Dewasa Dini sebagai “ Masa Reproduktif”

Masa ini ditandai dengan membentuk rumah tangga. Masa reproduktif dapat ditunda dengan beberapa alasan. Ada beberapa orang dewasa dini yang belum membentuk keluarga sampai mereka menyelesaikan pendidikannya dan memulai karirnya.

3. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Bermasalah”

Masa dewasa dini banyak dipenuhi dengan masalah. Masalah yang biasanya muncul adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri. Masalah yang dihadapi seperti masalah pekerjaan atau

jabatan, masalah teman hidup maupun masalah keuangan yang semuanya memerlukan penyesuaian di dalamnya.

4. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Ketegangan Emosional”

Ketegangan emosi seringkali muncul dalam kekhawatiran-kekhawatiran seperti kekhawatiran-kekhawatiran pada pekerjaan mereka, masalah perkawinan dan peran sebagai orangtua. Seseorang dalam masa dewasa dini atau pertengahan tiga puluhan dianggap telah mampu memecahkan masalah dengan cukup baik dan dapat mengontrol ketegangan emosi, sehingga seseorang dapat mencapai emosi yang stabil.

5. Dewasa Dini sebagai “Masa Keterasingan Sosial”

Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya pada masa remaja menjadi renggang, dan bersamaan dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, seseorang dewasa dini akan mengalami keterpencilan sosial atau apa yang disebut Erikson sebagai “krisis keterasingan”.

6. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Komitmen”

Sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan tanggung jawab dari seorang pelajar yang sepenuhnya tergantung pada orangtua menjadi orang dewasa yang mandiri. Hal ini membuat mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru.

7. Masa Dewasa Dini sering merupakan “Masa Ketergantungan”

Banyak orang muda yang masih agak tergantung atau bahkan sangat tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua, lembaga pendidikan yang memberikan beasiswa sebagian atau penuh karena memperoleh pinjaman untuk membiayai pendidikan mereka.

8. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Perubahan Nilai”

Ada beberapa alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada masa dewasa dini, diantaranya karena orang dewasa dini ingin diterima pada kelompok orang dewasa lainnya, kelompok sosial, dan ekonomi orang dewasa.

9. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru”

Masa dewasa dini merupakan periode yang paling banyak menghadapi perubahan. Menyesuaikan diri pada gaya hidup baru memang sulit, terlebih bagi kaum muda jaman sekarang karena persiapan yang mereka terima sewaktu masih anak-anak dan di masa remaja biasanya tidak berkaitan atau bahkan tidak cocok dengan gaya-gaya hidup baru ini. 10.Masa Dewasa dini sebagai “Masa Kreatif”

Bentuk kreatifitas yang akan terlihat sesudah orang dewasa dini akan tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Ada yang menyalurkan kreatifitasnya ini melalui hobi,

ada juga yang menyalurkannya melalui pekerjaan yang memungkinkan ekspresi kreativitas.

3. Tugas Perkembangan Dewasa Dini

Menurut Havinghurst (dalam Yuliani, 2005) menyatakan terdapat delapan tugas perkembangan yang harus diselesaikan individu dewasa dini adalah :

1. Memilih pasangan hidup

Masa dewasa dini merupakan masa awal membina karier dan keluarga. Kehidupan berkeluarga diawali dengan memilih pasangan hidup sebagai suami dan istri. Untuk menjadi pasangan suami-istri didasari oleh pertimbangan yang matang, seperti kesesuaian sifat, kesamaan tujuan hidup, serta berbagai kemampuan dan kesiapan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga.

2. Belajar hidup dengan pasangan

Hidup berkeluarga merupakan hidup bersama antara dua orang yang memiliki latar belakang kehidupan, sifat dan mungkin minat dan kebiasaan yang berbeda. Meskipun demikian, mereka memiliki kebutuhan yang sama, yaitu kebutuhan untuk hidup bersama. Hal tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi harus ada kesediaan dan usaha dari kedua belah pihak untuk mempelajarinya agar terciptanya keharmonisan dalam keluarga. 3. Memulai hidup berkeluarga

Hampir seluruh aspek kemasyarakatan ada dalam keluarga. Dalam keluarga ada aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, pendidikan,

kesehatan, keamanan, estetika, dan lain-lain. Suami-istri dan anak-anaknya, harus dapat mengembangkan dan menata serta mengelola aspek-aspek tersebut, mengadakan pembagian tugas, mengembangkan mekanisme kerja, menciptakan iklim kehidupan dan lain-lain sehingga semua kebutuhan dapat terpenuhi dan semua urusan keluarga dapat diselesaikan dengan baik.

4. Memelihara dan mendidik anak

Setiap keluarga mendambakan kehadiran anak sebagai pemersatu suami-istri, sebagai penerus generasi. Kehadiran anak harus dirawat, dipelihara dan dididik dengan baik.

5. Mengelola rumah tangga

Rumah tangga ibarat suatu perusahaan atau lembaga yang memiliki banyak bagian atau kaitan, baik antar bagian-bagiannya maupun bagian tersebut dengan bagian di luar rumah. Semua hal tersebut perlu direncanakan dan dikelola dengan baik, sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang harmonis.

6. Memulai kegiatan pekerjaan

Pekerjaan bukan hanya berfungsi untuk mendapatkan nafkah, tetapi juga merupakan bagian dari karier sekaligus identitas dari nama baik keluarga. Seorang dewasa dini harus mempersiapkan, memilih, serta memasuki pekerjaan yang cocok dengan kemampuan dan latar belakang pendidikannya, untuk kemudian mengembangkan dirinya seoptimal mungkin dalam pekerjaan tersebut.

7. Bertanggungjawab sebagai warga masyarakat dan warga negara

Seorang dewasa dini harus mampu membina hubungan sosial dengan sesama warga masyarakat. Selain orang dewasa dini dituntut mematuhi semua peraturan, ketentuan, dan nilai yang ada dalam masyarakat, ia juga dituntut untuk memelihara dan mengawasinya. Orang dewasa dini juga dituntut untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. 8. Menentukan persahabatan dalam kelompok sosial

Di masyarakat terdapat berbagai kelompok sosial, seperti kelompok etnis, agama, budaya, profesi, hobi, dan lain-lain. Seorang dewasa dini dituntut untuk dapat hidup dalam berbagai kelompok sosial tersebut dengan harmonis.

4. Tahap Perkembangan Masa Dewasa Dini

Menurut Santrock (2002), menyatakan bahwa tahap perkembangan dewasa dini dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Perkembangan fisik

Pada masa dewasa dini, perkembangan fisik akan mencapai puncaknya, namun kondisi fisik ini juga menurun pada rentang usia dewasa dini. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya perhatian terhadap kesehatan, perhatian khusus mengenai diet, berat badan, olahraga, dan ketergantungan. Puncak kemampuan fisik ini terjadi pada usia dibawah tiga puluh tahun, yaitu 19 tahun hingga 26 tahun.

2. Perkembangan kognitif

Menurut Santrock (2002), dalam masa dewasalah individu mengatur pemikiran operasional mereka, seperti yang dikemukakan Piaget. Piaget mengatakan bahwa cara berpikir seseorang remaja dan seseorang dewasa itu sama, namun yang membedakan adalah apabila seseorang remaja mampu merencanakan dan membuat suatu hipotesis dari suatu masalah, sedangkan pada orang dewasa lebih mampu membuat hipotesis dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu permasalahan. Gisela Labouvie-Vief (1982,1986) mengemukakan bahwa pada saat dewasa dini, seseorang lebih mengandalkan analisis logis dalam menyelesaikan masalah. William Perry mengatakan bahwa pemikiran orang dewasa yang berubah, awalnya berpikir secara dualistic namun berganti menjadi pemikiran yang beragam.

3. Perkembangan Sosio-emosional

Dalam tahap perkembangan ini, Santrock (2002) menjelaskan mulai adanya daya tarik, cinta dan hubungan dekat. Pada masa dewasa dini, orang lebih banyak tertarik pada orang yang memiliki kesamaan. Dengan adanya kesamaan maka individu akan merasa nyaman berinteraksi dengan orang lain.

Pada masa dewasa dini juga mulai mengenal adanya keintiman dan kemandirian. Menurut Erikson tahapan dewasa dini berada pada tahap keenam, yaitu intimacy versus isolation ( keintiman versus isolasi ). Keintiman adalah tahap ketika seseorang membentuk hubungan intim

dengan orang lain. Namun, jika keintiman tidak berkembang pada masa dewasa dini, seseorang akan mengalami yang disebut dengan isolasi.

Dokumen terkait