• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa Pembuangan

Dalam dokumen Nilai = x 100 (Halaman 46-50)

BAB III : PERANAN MOHAMMAD HATTA DALAM PERJUANGAN

C. Masa Pembuangan

34

seminggu. Ia juga berusaha membangkitkan semangat pejuang pergerakan di daerahnya, Minangkabau. Setelah kembali dari Belanda, ia berkeliling memberikan ceramah-ceramah, termasuk di Islamic College, sebuah perguruan tinggi menengah di Padang bagi anak-anak muda lulusan Thawalib Padang Panjang. Tetapi hanya seminggu berada di Minang, pemerintah Belanda memberlakukan baginya passenstelsel (peraturan yang melarang seseorang berada di daerah tertentu). Ia malah dibawa polisi ke kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) di Telukbayur untuk diangkut ke Priok. Ketika itu ia benar-benar bagai pemimpin yang diharapkan. Beberapa kota di daerah kelahirannya ini sudah menanti kedatangannya. Mohammad Hatta juga berkeliling ke daerah-daerah di pulau jawa dan kemanapun ia pergi, selalu mendapatkan sambutan yang hangat dari masyarakat. Apalagi di beberapa kota sudah berdiri cabang-cabang PNI Baru, partainya.

35

Hatta dizinkan keluar selama tiga hari untuk mempersiapkan barang-barang bawaan yang mana kebanyakan adalah buku-bukunya. Ia membawa semua bukunya ke tempat pembuangan ini, berpeti-peti banyaknya. Hatta merasa perlu dekat buku-bukunya, karena memang dengan buku ia bisa menghabiskan waktu selama pembuangan dengan berguna.

Hatta dan beberapa tahanan lainya diberangkatkan dari Tanjung Periok dengan kapal Melchior Treub menuju Boven Digul. Disana, para tahanan ditempatkan dirumah-rumah yang sudah disediakan. Hatta ditempatkan di sebuah rumah bekas kantor. Selama disana para tahanan mendapat pengawasan yang ketat oleh Belanda. Hidup dengan tingkat kehidupan petani dan bebas dari kenikmatan modern setidaknya memberikan kesempatan bagi Hatta untuk mengalami sendiri penderitaan rakyat. Selama di tempat pembuangan, Hatta mencari nafkah secara terhormat dengan menulis di sejumlah surat kabar, seperti Adil, Pemandangan, Panji Islam, atau Pedoman Masyarakat. Honornya untuk tambahan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil dari menulis artikel untuk koran Jakarta tidak dihabiskan Hatta semata-mata untuk dirinya sendiri, ia juga membantu sesama orang buangan yang merasa kekurangan dalam memenuhi keperluan hidupnya. Apalagi diantara mereka ada yang datang dengan membawa anak dan istri.

Hatta sempat ditawari pekerjaan oleh pengawas kamp dengan upah 7.50 gulden per bulan. Namun, ia menolaknya dengan alasan tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Ia berargumen, jika sejak awal mau berkompromi, di

36

Jakarta pun ia sebenarnya bisa mendapat gaji yang jauh lebih tinggi, sekitar 500 gulden per bulan. Bahkan, saat kepala pemerintahan setempat, Kapten Van Langen mengancam Hatta tidak akan bisa kembali ke tempat asal, ia tetap kuat pendiriannya menolak tawaran tersebut. Selama di Digul, selain menulis dan bercocok tanam Hatta juga aktif mendidik sesama tahanan. Ia memberikan semacam pengajaran kepada para tahanan agar tetap bertahan dalam keyakinan politik mereka. Akan tetapi kegiatan ini tidak bertahan lama karena sebagian besar tahanan mulai menderita malaria.

Pada 1936 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Banda memberikan lingkungan hidup yang lebih damai bagi Hatta, walaupun masih dalam pembuangan. Ia pun tidak terlalu terpaksa bercocok tanam selama di Banda karena gajinya hasil menulis naik menjadi 75 gulden perbulan. Dengan tunjangan bulanan sebesar 75 gulden, Hatta mampu menyewa sebuah rumah tua bergaya kolonial yang luas dan tinggal bersama Sjahrir. Disamping itu, ia juga banyak menulis dalam bulanan Sin Tit Po, pimpinan Lim Koen Hian yang juga terkenal di kalangan orang pergerakan. Tulisan-tulisan di dalamnya berbahasa Belanda, karena memang ditujukan untuk kalangan menengah ke atas. Tetapi, pada akhir 1938 bulanan ini berhenti terbit. Sebagai gantinya, Hatta menulis dalam Nationale Commentaren (Komentar Nasional) pimpinan Ratulangi, yang juga seorang pergerakan. Kegiatan seperti ini tentu menggembirakan Hatta, apalagi korespondensinya jauh lebih mudah dengan kawan-kawan seperjuangan dibanding ketika masih di Digul. Malah bila ia menulis untuk Pemandangan di

37

Jakarta, yang dipimpin oleh Tabrani, ia memperoleh 50 gulden sebulan untuk satu atau dua tulisan. Segalanya ini mempermudah hidupnya, terutama dalam memesan buku-buku yang terbit di Belanda.

Penduduk setempat telah diperingatkan supaya menghindari kedua pendatang baru itu. Kedua orang yang oleh pengawas Belanda disebut sebagai

"kaum Merah". Meskipun demikian, lambat laun keduanya diterima di kalangan rakyat setempat.21 Mula-mula, mereka tergantung pada budi baik sesama rekan sepembuangan, Dr.Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusuma Sumantri. Hatta sudah kenal Iwa, karena ia pernah bekerja sama erat sewaktu di Perhimpunan Indonesia. Tetapi, dalam banyak hal, Dr. Tjipto yang legendaris menjadi teman dekat Hatta dan Sjahrir. Ia semakin mereka sukai dan kagumi. Melalui dua orang anak angkat Dr. Tjipto, Sjahrir dan Hatta diperkenalkan kepada tiga orang anak yaitu Des Alwi, Lily, dan Mimi yang berasal dari satu keluarga terkemuka di masyarakat sana. Mengetahui bahwa ketiga anak tersebut tidak bersekolah, Sjahrir memutuskan untuk memperbaiki situasi tersebut dengan membuka sebuah sekolah kecil untuk mereka di rumahnya. Sjahrir senang anak-anak dan bisa mengajar mereka. Meskipun Hatta bisa melihat bahwa depresi Sjahrir yang mendalam agak terobati, tetapi kehadiran anak-anak itu menimbulkan ketegangan antara Hatta dan Sjahrir. Hatta merasa sulit menulis dan belajar di tengah-tengah

21Marvis Rose, Indonesia Merdeka "Biografi Politik Mohammad Hatta", Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

1991. hlm. 136.

38

kesibukan dan kebisingan hingga akhirnya Hatta memutuskan untuk pindah ke sebuah paviliun.

Hatta juga tertarik dalam kegiatan pendidikan. la menggabungkan diri dengan Sjahrir untuk mengajar kelas anak yang lebih besar, termasuk anak-anak Dr. Tjipto dan dua orang lulusan MULO dari Minangkabau, yang dikirim supaya belajar di bawah bimbingan Hatta. Namun, setiap kali ada gagasan untuk mengembangkan kegiatan pengajaran mereka menjadi sebuah sekolah nasionalis, dipotong oleh pemerintah kolonial yang memerintahkan pembatasan jumlah murid yang boleh mendaftar. Pemerintah menghendaki tidak ada Pendidikan Nasional Indonesia di Banda Neira.

Dalam dokumen Nilai = x 100 (Halaman 46-50)

Dokumen terkait