Bab III Metode Penelitian
3.3 Metode Analisis Data
4.1.2 Masa Penyiksaan
Masa penyiksaan adalah sebuah episode dalam hidup tokoh utama, di mana ia ditukar oleh orang tuanya dengan 50kg beras kepada Pak Edi yang kemudian menjadi majikannya. Pak Edi selanjutnya menjual Kinanthi kepada calo TKI, yang menyebabkan Kinanthi mengalami penyiksaan.
1. Keberangkatan
Bagian ini adalah bagian yang mengawali episode penyiksaan Kinanthi. Bagian yang menandai tahap awal pengembaraan yang akan membawanya hingga ke Amerika. Kinanthi akan diserahkan kepada seorang calo TKI yang berpura-pura menyekolahkan dia. Calo TKI tersebut telah memberi 50 kg beras kepada orang tua Kinanthi. Keadaan ini semakin membuktikan kemiskinan tokoh utama novel ini.
Sebelum keberangkatan tersebut Kinanthi mendengar lagi tembang Kinanthi yang dinyanyikan oleh ayahnya. Nyanyian tersebut membawa kedamaian dan rasa aman bagi Kinanthi. Sebagai seorang Jawa yang belum tersentuh budaya lain, Kinanthi dapat menyesap lagu tersebut ke dalam jiwanya. Lagu tersebut seperti sebuah kejanggalan bagi Kinanthi
karena kali ini lagu itu khusus dinyanyikan baginya. Sebuah usaha untuk memberi Kinanthi ketenangan batin sebelum ia diberangkatkan menjadi pembantu Pak Edi.
Pangasange sepi samun Away esah ing salami Samangsa wis kawistara Lalandhepe mingis-mingis Pasah wukir Reksamuka Kekes srabedaning budi Dene awas tegesipun Weruh waranane urip Miwah wisesaning tunggal Kang atunggil rina wengi Kang mukitan ing sakarsa
Gumelar ngalam sakalir (Kinanthi, hal. 70)
Kinanthi merasa teduh dengan syair lagu itu. Lagu tersebut direspon batin Kinanthi sebagai sebuah pertanda yang tidak ia ketahui. Ia mencoba mencari makna dengan menatap wajah ayahnya. Ia melihat cermin, sesuatu yang menampilkan objek secara menyeluruh. Ayahnya menembang dengan sepenuh hati karena ingin memberi pelepasan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh ayahnya. Ayahnya sangat menyayangi Kinanthi, tidak rela berpisah dengan Kinanthi.
Kinanthi menggeliatkan kepalanya. Menatap kedua mata bapaknya yang sekarang menjadi lebih cermin dibanding biasanya. Cermin yang menetes. Kinanthi merasa ada getaran pada syair yang dilagukan bapaknya. Getar yang tidak pada tempatnya. Getar yang disebabkan oleh cermin yang menetes itu (Kinanthi, hal. 70).
Dari teks berikut dapat dilihat bahwa lagu tersebut memberi efek yang diharapkan terhadap Kinanthi. Lagu itu membuat Kinanthi merasa bahagia dan merasa seperti tidak membutuhkan apa-apa lagi, merasa hidupnya sempurna. Ayahnya sangat mengenal Kinanthi. Ia mengetahui semangat Kinanthi dalam pelajaran, ingin jadi orang pintar, ingin jadi seorang dokter. Ayahnya mengetahui jika ia tetap bersama-sama dengan Kinanthi, Kinanthi tidak akan dapat mencapai cita-cita tersebut. Apa yang tidak diketahui ayah Kinanthi adalah bahwa
ia telah menyerahkan Kinanthi pada orang yang salah. Ayah Kinanthi dengan kenaifannya tidak tahu kalau Pak Edi adalah calo TKI.
Ketika Ayah Kinanthi menyebut nama Edi, seketika batin Kinanthi menjadi was-was. Hilang ketenangan yang diberikan oleh syair tembang Jawa tersebut. Isu bahwa ia akan diambil oleh keluarga bapaknya mencuat ke permukaan. Ia tidak ingin bepisah dengan keluarganya. Sebagai sebagai seorang anak yang berumur dua belas tahun, Kinanthi belum siap untuk berpisah dengan ayah-ibunya. Ia masih memiliki kebutuhan psikologis dari kedua orangtuanya. Ketergantungan alami yang dimiliki anak-anak.
Bagaimanapun Kinanthi menolak untuk berangkat, tetap saja kesepakatan antara orang tua Kinanthi dan Pak Edi tidak dapat dibatalkan. Berbagai kata bujukan sudah dilakukan untuk membujuk Kinanthi, tetapi Kinanthi tetap tidak mau. Kinanthi merasakan ketidakamanan berjauhan dengan keluarganya. Dia akan kehilangan dusun, ayah, adiknya (Hasto) terlebih sahabatnya, Ajuj. Kinanthi tidak terlalu mempersoalkan ia akan berpisah dengan ibunya karena ibunya tidak pernah memperlakukan Kinanthi dengan cukup ramah.
Kemiskinan membuat ayah Kinanthi membujuk Kinanthi dengan teguh agar Kinanthi berangkat. Bagi ayah Kinanthi, kemiskinan membuat keluarga mereka disepelekan oleh orang-orang sedusun. Ia meminta tanggung jawab Kinanthi untuk menghapus beban sosial itu. Ayah Kinanthi ingin mereka kaya agar tidak ada lagi beban sosial yang ia rasakan di antara orang-orang sedusun. Ayah Kinanthi ingin mereka menjalani kehidupan yang normal. Iming-iming Kinanthi tidak akan lama di rumah keluarga Pak Edi dan segera pulang ke rumah tidak dapat membuat Kinanthi berhenti menangis. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menangis di dada ayahnya. Ia tahu kali ini ia tidak akan dapat meluluhkan hati ayahnya.
“Nanti, kalau kamu sudah jadi orang berhasil, kamu pulang ke rumah ini. Kalau kamu punya banyak uang, orang-orang tidak akan berani lagi menyepelekan keluarga kita.”
Kinanthi mulai menangis tanpa suara.
“Eh, ora pareng nangis. Tidak boleh menangis. Ini tidak akan lama. Nanti, kamu kembali lagi ke rumah ini, Nduk.” (Kinanthi, hal. 73)
Kinanthi berteriak-teriak ketika lelaki asing datang menjemputnya untuk dibawa ke Bandung. Penampilan lelaki dari kota itu menimbulkan ketakutan dalam diri Kinanthi. Penampilan yang memberinya rasa tidak aman dan rasa was-was yang berlebihan sehingga ia melarikan diri ke rumah Mbah Gogoh untuk menemui Ajuj.
“Ndak mau! Ndak mau!” Kinanthi berteriak-teriak sembari meronta dari pegangan tangan mboknya ketika laki-laki bernama Edi itu mendekat. Lelaki tinggi kurus dengan rambut belah pinggir yang licin. Berbaju lengan panjang garis-garis dan celana cutbrai. …. Kinanthi terus meronta sampai benar-benar berhasil melepaskan diri dari pegangan mboknya. Dia lalu berlari sekencang-kencangnya ke samping rumah, menembus kebun ketela pohon milik tetangga (Kinanthi, hal. 76).
Perpisahan Kinanthi dan Ajuj digambarkan cukup dramatis, sehingga tokoh utama mengingat perpisahan itu seumur hidupnya. Kinanthi menangis keras-keras sambil memanggil nama Ajuj. Jika dibandingkan dengan tangis Kinanthi ketika berpisah dengan ayah-ibunya, tangis perpisahan dengan Ajuj lebih mengharukan bagi Kinanthi. Jika orang tua Kinanthi memang sengaja menjual Kinanthi, yang artinya orang tua Kinanthi memang sengaja memisahkan Kinanthi dari mereka, berbeda dengan Ajuj. Ajuj tak menginginkan perpisahan mereka. Di sini dapat dilihat orang tua Kinanthi dan Ajuj memiliki peran yang bertolak belakang dalam kehidupan Kinanthi.
2. Kinanthi menjadi pembantu di rumah Pak Edi
Di rumah keluarga Edi, meski Kinanthi diperlakukan dengan baik oleh Pak Edi dan Istrinya, tetap saja Kinanthi berprofesi sebagai seorang pembantu. Ia melakukan seluruh
pekerjaan rumah setiap hari dan melayani tamu Eli (istri Pak Edi) yang tidak ada habis-habisnya. Lebih parah lagi ia tidak diberi gaji. Ke sekolah ia berjalan kaki, yang berarti ia tidak diberi uang saku. Hanya uang sekolah Kinanthi yang dibayarkan oleh Eli sebagai kedok bahwa ia menyekolahkan Kinanthi.
Demikian Kinanthi digambarkan ketika baru pertama kali sampai di kota Bandung, di rumah keluarga Edi:
Kinanthi terbengong-bengong. Dia mengangguk, tetapi tetap tidak paham. Dia baru sadar, sejak kemarin malam, dia telah terpisah jarak hampir seribu kilometer dari dusun kelahirannya. …. Kinanthi begitu bersemangat. Menyenangkan sekali mengenal hal-hal baru. Seharian dia bisa melupakan kejadian dramatis dua hari lalu, ketika dia meronta dalam pelukan bapaknya, menolak dibawa pergi dari dusun (Kinanthi, hal. 85-86)
Kinanthi terheran-heran dengan segala perabotan yang baru pertama kali ia lihat. Ia digambarkan sebagai seseorang bergairah mengenal hal-hal yang baru. Kinanthi tekun mendengarkan dan mempelajari peralatan baru itu, hingga ia melupakan kejadian ketika ia menangis berkoar-koar ketika ia memberontak hendak melepaskan diri agar tidak ikut ke Bandung. Sekarang, dengan keasyikannya terhadap perabotan baru itu, Kinanthi melupakan kisah sedih dua hari yang lalu. Kesedihan yang teralihkan untuk sementara.
Perlakuan baik yang awalnya dialami Kinanthi membuatnya berpikir bahwa apa yang dikatakan ayahnya mungkin benar, bahwa keluarga Edi adalah masa depan baginya. Di rumah itu dia disekolahkan, diberi makanan cukup gizi, dan diberi kamar yang cukup nyaman: hal-hal yang tidak mungkin ia dapatkan di dusun. Perubahan segera terjadi pada tubuhnya oleh asupan makanan sehat. Ia bahkan tidak mengalami kelelahan seperti yang ia alami ketika menggendong Hasto setiap hari.
Perlahan-lahan, Kinanthi mulai berpikir, barangkali benar kata bapaknya, memang keluarga Eli adalah harapan masa depannya. Di rumah yang di mata
mungil di dekat dapur. Bahkan, dia memiliki kamar mandi sendiri. Kamar mandi dan kakus yang tidak ada bandingnya dengan segala tempat buang air di dusun (Kinanthi, hal. 87)
Setelah beberapa lama tinggal di rumah Edi, oleh kenyamanan yang sudah mapan, Kinanthi teringat oleh berbagai hal yang ia dapatkan di dusun. Kinanthi menjadi manusia urban pada umumnya, ingin kembali ke identitas awal, lingkungan yang bahkan tidak memperlakukan ia tidak baik. Padahal ia mendapatkan segalanya di rumah Pak Edi: belajar, fasilitas, buku-buku. Kelelahan yang ia dapatkan di rumah tersebut tidak ada apa-apanya dengan apa yang ia dapatkan ketika di dusun. Berjala ke tlogo berkilo-kilometer, tanahnya yang tandus, terlebih lagi perbuatan buruk yang ia dapatkan dari orang-orang dusun. Di sini, ia mendapatkan teman-teman sekolah yang menerima ia apa adanya, ia sendiri yang tidak mau berteman dengan banyak orang, Kinanthi terlalu menutup diri. Dan kini semua yang ia dapatkan itu terasa sia-sia oleh ingatannya tentang dusun yang bahkan tidak memperlakukannya dengan baik. Satu hal yang patut ia syukuri dari dusun itu adalah Ajuj. Ia boleh menulis banyak surat kepada Ajuj, sebanyak yang ia mau. Tetapi kampung tidak pantas diingat sebagai sebuah hal yang berharga.
Sekali lagi, Kinanthi adalah manusia urban yang tidak mudah puas terhadap kemapanan kota Bandung. Bagaimana buruknya kampung halamannya, ia tidak akan melupakannya.
Setelah semua barang yang tadinya menakjubkan itu dia kenal, Kinanthi mulai merindukan apa-apa yang sudah dia tinggalkan. Dusun kering itu, debu-debu yang mengepul di jalan berbatu, bau tanah selepas hujan, bunyi kodok bersahut-sahutan, bapaknya yang menembang, omelan simboknya, rengekan Hasto, keramahan Mbah Gogoh, dan candaan Ajuj. Semua itu tidak lagi ia temui di kota ini (Kinanthi, hal. 88).
Kinanthi adalah wanita yang polos sekaligus tertutup, bahkan pada sahabatnya sendiri. Ia tidak mau bercerita tentang hal-hal yang terjadi pada dirinya kecuali ia ditanyakan
terus-menerus. Ketika sahabatnya menanyakan perihal tentang kehidupannya, ada perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia merasa berat hati untuk berbagi cerita dengan Euis, apalagi tentang kehidupannya di rumah keluarga Edi. Perlakuan keluarga Edi terhadap Kinanthi memiliki defenisi yang berbeda bagi Kinanthi dan orang-orang di sekitarnya. Kinanthi menganggap pekerjaan yang ia lakukan di rumah keluarga Edi adalah sebuah kewajaran sedangkan bagi orang lain, termasuk sahabatnya, ia adalah seorang pembantu rumah tangga yang menurut sudut pandang sosial merupakan golongan masyarakat rendahan.
Euis mencoba membesarkan hati sahabatnya, mencoba membangun rasa percaya diri Kinanthi. Kinanthi tidak percaya diri dengan profesinya sebagai pembantu rumah tangga, hal yang tidak sepenuhnya ia pahami di mana letak kerendahan seorang pembantu rumah tangga. Ia terlalu mendengarkan perkataan orang lain, cibiran mengenai dirinya bahwa ia seorang pembantu rumah tangga.
“Pokoknya, kamu nggak boleh minder hanya karena harus bekerja untuk sekolah. Justru kamu harus bangga. Tidak usah dengarkan apa kata orang. Yang penting, kan, halal,” tandas Euis memnacing senyum Kinanthi saat mengeja kata “halal” dengan penekanan huruf “h” dan “l” yang kocak (Kinanthi, hal. 89).
Di luar rencana keluarga Edi untuk menjadikan Kinanthi TKI, Kinanthi murni melakukan pekerjaan tersebut untuk sekolah. Dengan Kinanthi bersekolah sebenarnya Pak Edi akan mendapatkan keuntungan yang berlipat karena Kinanthi akan semakin pintar. Calon TKI yang pintar akan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari TKI yang biasa-biasa saja. Dalam hal ini Kinanthi tidak menyadari, bahkan sangat naïf, dengan rencana-rencana Pak Edi terhadapnya. Sisi lain ketidakadilan yang harus dihadapi Kinanthi.
Pembantu rumah tangga tanpa gaji menjadi profesi yang dijalani Kinanthi di rumah keluarga Edi. Kinanthi tidak mengerti persoalan gaji-menggaji. Ia hanya mengetahui bahwa ia menjalankan tugasnya dengan baik. Kepolosan yang tidak pada tempatnya. Kinanthi merasa
ia menumpang di rumah keluarga Edi, ditanggung biaya hidup dan biaya sekolahnya. Asumsi tersebut membuat Kinanthi merasa apa yang sudah dapatkan sudah cukup tanpa diberi gaji. Padahal seharusnya Kinanthi harus mendapat gaji karena ia mengerjakan rumah tangga sepenuhnya. Sahabat Kinanthi sendiri merasa seharusnya Kinanthi digaji:
“Jadi, gaji kamu, teh, sabaraha, Thi? Berapa gitu?” Kinanthi menggeleng.
“Ndak tahu? Atau, ndak mau ngasih tahu?” buru Euis. “Aku ndak digaji, Is.”
“Ha? Nubener, we. Yang benar?”
Kinanthi mengangguk sambil menunduk. “Wah, keterlaluan itu namanya.”
“Ndak apa-apa, Is. Aku, kan, numpang hidup di rumah Pak Edi. Disekolahin lagi.”
(Kinanthi, hal. 91).
Selama Kinanthi berada di rumah keluarga Edi, ingatannya tentang Ajuj tidak pernah terlewatkan. Ajuj hidup dalam memorinya dan membuat dirinya tidak menyerah. Ajuj seperti sebuah kekuatan bagi Kinanthi. Perasaan Kinanthi semakin hari semakin berkembang, sejalan dengan pertumbuhan Kinanthi yang semakin dewasa. Rindu yang sekarang berbeda dengan rindu yang dulu ia miliki. perasaan yang dimiliki Kinanthi disebabkan karena ia mulai memasuki usia pubertas, yaitu masa bangkitnya kepribadian ketika minatnya lebih ditujukan kepada perkembangan pribadi sendiri. Masa ini ditandai dengan sifat-sifat yang baru, seperti pendapat lama yang ditinggalkan, keseimbangan jiwa yang terganggu, suka menyembunyikan isi hati, masa bangunnya perasaan kemasyarakatan, dan adanya perbedaan sikap antara pemuda dengan gadis (Zulkifli, 2005: 70). Sikap memuja dalam diri Kinanthi adalah sikap yang menandai peralihan dari anak-anak ke masa pubertas:
Entah bagaimana, Kinanthi mulai merasa ada yang berbeda pada dirinya. Menyebut nama Ajuj, menulis kata “Ajuj” seperti menghidupkan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang menyetrum saraf-saraf tertentu pada rangkaian tertentu pada rangkaian pembuluh darahnya. Sesuatu yang membuatnya tersipu sekaligus terharu. Memori terakhir, ketika dia menyaksikan Ajuj berlari
mengejar mobil yang membawa dia meninggalkan dusun selalu membuat Kinanthi menangis (Kinanthi,hal. 95).
Dalam kehidupan, seseorang akan mengalami masa-masa yang menyedihkan dalam hidup. Kematian merupakan sebuah peristiwa yang mengguncang kehidupan seseorang. Kematian dalam banyak kasus akan mengubah kehidupan secara psikologis, terutama ketika kehilangan seseorang yang paling dekat dalam hidup, seperti anggota keluarga. Kejadian ini dialami Kinanthi, yaitu ketika ia kehilangan Euis, sahabatnya. Kematian yang dialami Euis tidak wajar, ia diperkosa lalu dibunuh. Peristiwa tersebut membuat Kinanthi pingsan berkali-kali dan selama seminggu ia tidak mampu menjalani hari-harinya seperti biasa karena terguncang karena kematian sahabatnya.
Kinanthi pingsan berkali-kali pada hari kematian Euis dan sehari setelahnya. Dia tidak masuk sekolah hampir sepekan lamanya. Beruntung, majikannya bisa memahami dan tidak memaksa Kinanthi untuk tetap mengerjakan jadwal hariannya. Kinanthi diberi keringanan untuk berkabung selama sepekan. Kinanthi merasa, sebagian dirinya ikut mati bersama Euis. Kehilangan yang begitu menyesakkan. Enam bulan bersama Euis adalah rentang waktu yang sangat ajaib. Dia belajar menjadi tegar karena melihat Euis. Belajar untuk percaya diri juga dari sosok Euis. Belajar mensyukuri hidup pun dari sahabatnya itu (Kinanthi,hal. 99).
Euis memberi banyak arti dalam kehidupan Kinanthi. Euis adalah sahabat yang memberinya rasa percaya diri dan lebih mensyukuri hidup. Euis adalah tempat Kinanthi membuka diri, satu-satunya teman yang ia miliki di sekolah.
Kematian Euis memberi dampak yang besar dalam kehidupan sosial Kinanthi. Kematian tersebut membuat Kinanthi tidak bergairah menjalin persahabatan dengan orang lain. Dia kembali lagi seperti dulu, pendiam dan tidak memiliki teman. Tidak terbuka kepada siapapun. Hal tersebut membuat Kinanthi dipandang aneh oleh teman-teman sekolahnya. Kinanthi tidak peduli dengan pendapat teman-temannya. Ia menjalani hari-harinya seperti yang ia inginkan, belajar dan mendapatkan ranking pertama di kelasnya. Ia mengalami
pergeseran tujuan, tidak ingin berteman dengan siapapun, hanya mengejar ilmu dan menamatkan SMP-nya dengan nilai yang memuaskan.
3. Kinanthi menjadi TKI
Mengirimkan Kinanthi ke luar negeri sebagai TKI sudah dirancang keluarga Edi sejak lama. Kedua suami-istri tersebut memang berprofesi sebagai calo TKI. Demi mendapatkan TKI yang pintar dan cantik, mereka menyiapkan segala sesuatu yang dapat mendukung Kinanthi untuk menjadi TKI yang berkualitas. Menyekolahkan Kinanthi hanyalah alasan sampingan bagi mereka. Semua itu mengarah bagi keuntungan keluarga Edi. Kinanthi juga didaftarkan kursus bahasa Arab, agar mudah memahami permintaan majikan Arab.
Kinanthi dipersiapkan untuk menjadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Agak sukar untuk menemukan permpuan muda sepintar Kinanthi. Dipoles sedikit, harga jualnya menjadi lebih tinggi. Majikan Arab tentu akan lebih membayar beda, pembantu yang pandai dibanding yang kosong melompong. Untuk itulah, Kinanthi disekolahkan oleh keluarga Edi, supaya sedikit pintar. Supaya cepat tanggap jika majikan Arab-nya nanti meminta sesuatu. Supaya sedikit bisa berbahasa Inggris, selain bahasa Arab (Kinanthi,hal. 122).
Penyiksaan di rumah keluarga Edi hanyalah sekelumit dari penyiksaan yang akan dialami Kinanthi selanjutnya. Kekerasan yang ia hadapi tidak membuatnya gila. Satu tahun dikurung di rumah, disiksa, dan tidak pergi ke mana tak lantas membuat pribadi Kinanthi menjadi mati. Hanya tubuhnya yang lemah tak berdaya karena tidak diberi makanan yang cukup.
Setahun setelah kematian Gesit, tepat ketika Kinanthi seharusnya ia menamatkan SMP-nya, ia keluar dari rumah Edi untuk selama-lamanya. Ia dibawa Edi ke penampungan TKI untuk dikirim bersama ribuan TKI lainnya ke luar negeri. Setahun berdiam di rumah Kinanthi belum pulih dari trauma kematian Euis dan Gesit. Kinanthi serta-merta menutup diri ketika berada di penampungan:
Di penampungan itu, Kinanthi tetap tidak mengakrabi satu, dua, atau beberapa orang secara khusus. Dia mulai meyakini, seperti Si Pahit Lidah, dia tidak boleh menyentuh apapun, mendekati siapa pun, kecuali dia ingin seseorang itu mendapat sial. Mulai terpikir oleh Kinanthi, hal ini dia warisi dari ibunya, perempuan yang disebut orang-orang sebagai baulawean
(Kinanthi,hal. 127).
Pada tahap ini, Kinanthi sudah benar-benar meyakini bahwa ia mewarisi bakat ibunya. Ia mulai meyakini apa yang dulu dikatakan oleh orang-orang di kampung. Bukti-bukti yang terjadi di sekolah dia arahkan kepada pergunjingan orang-orang kampung sehingga seolah-olah apa yang dikatakan orang-orang benar. Ia seperti meyakinkan dirinya sendiri apa yang dikatakan orang-orang benar, padahal dahulu ia tidak mempercayainya.
Kinanthi menyukai hal-hal yang baru. Jika ia berada di tempat baru, ia merasa dapat membangun kembali hidupnya mulai dari nol. Sama seperti ketika sampai di rumah keluarga Edi, hati Kinanthi diliputi semangat baru. Ia menyukai perubahan, tidak menyukai sesuatu yang statis. Demikian kian juga ketika ia sampai di Arab Saudi:
Tanah Arab benar-benar menjadi harapan baru bagi Kinanthi. Barangkali memang tangan Tuhan sudah menjentik di permukaan bumi, mengubah nasibnya perlahan-lahan. Bukankah di sini, dia bisa jauh dari kutukan orang-orang dusun? Bukankah di sini pula, dia terpisah dari kenangan kematian Euis dan Gesit? Inilah hidup baru. Itulah mengapa Kinanthi tidak mempermasalahkan sikap orang-orang di bandara Indonesia yang memperlakukan dirinya dan kawan-kawan barunya dengan begitu tak simpati. Rupanya para calon TKW memiliki derajat paling rendah dibandingkan manusia lain yang menginjakkan kaki di terminal pesawat terbang itu(Kinanthi,hal. 127).
Semakin jauh Kinanthi dari kampung halaman, ia merasa kutukan orang-orang kampung akan semakin jauh darinya. Kinanthi benar-benar tidak bisa terlepas dari pembicaraan orang-orang di dusunnya sehingga sampai ia berada di Arab Saudi, ia tetap mengingat apa yang dikatakan orang-orang dusunnya. Ingatan Kinanthi terhadap
pergunjingan tentang dirinya tidak pernah dia lupakan. Kinanthi ingin melupakan kejadian-kejadian sedih dalam hidupnya, terutama kematian Euis dan Gesit.
Ternyata apa yang diharapkan Kinanthi tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tidak semudah yang ia bayangkan. Kinanthi tidak mengikuti pemberitaan di media mengenai tenaga kerja Indonesia di luar negeri, sehingga tidak was-was terhadap perlakuan majikan Arab terhadap pembantu rumah tangga. Kinanthi mengharapkan yang muluk-muluk terjadi. Sejak awal ia sampai di rumah majikannya, ia sudah mendapat sinyal buruk. Pertama-tama soal gaji yang cukup rendah.
“Sudah. Terima saja. Kita kerja baik-baik sampai kontrak habis. Setelah itu, pulang ke Indonesia,” Marni bangkit sambil menguatkan jepitan kerudungnya. “ Kamu istirahat dulu,” Marni hendak melangkah ke pintu kamar, “Satu lagi, Mbak.” Jangan mudah percaya kepada TKI lain, terutama para driver. Mereka itu banyak yang jahat. Mereka bisa jual kamu ke