• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN DAN TRADISI YANG UNIK, MEMBUAT MEREKA-MEREKA MEMILIKI IDENTITAS KHUSUS DAN BERBEDA DENGAN KELOMPOK LAINNYA, DAN ETNISITAS

A. Masalah Etnisitas

Penggunaan identitas etnik didalam perjuangan politik saat ini masih banyak terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Kota Medan yang masyarakatnya berasal dari berbagai macam etnis, seperti beberapa etnis yang dominan, misalnya: Jawa, Batak, Tionghoa, Minang, Aceh, Tamil, dan lain-lain. Etnis dijadikan sebagai salah satu sarana untuk berkampanye, dan menarik simpati dari masyarakat, terutama yang berasal dari kalangan etnis tertentu. Pengaruh etnis ini sangat terasa dari masyarakat yang berasal dari kalangan etnis tertentu, seperti Batak Toba, Batak Mandailing, ataupun Tionghoa.

Dari sekian banyak etnis di Medan yang paling kuat militansi dan primordialnya adalah etnis Batak Mandailing dan Tionghoa. Hal ini dapat mempengaruhi etnis lain untuk turut bersikap primordialisme, dan menciptakan budaya politik dimana seseorang calon dipilih salah satunya adalah berdasarkan kesamaan suku, yang pada akhirnya dapat merujuk kepada SARA (Suku,Agama,dan Ras ).

Keadaan yang demikian hanya akan membuat masyarakat menjadi semakin tidak paham dengan arti politik, karena perbedaan etnis tersebut akan mempengaruhi partisipasi masyarakat didalam Pemilukada Kota Medan. Hal ini dapat menjadi salah satu bukti bahwa identitas etnis masih menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh didalam perpolitikan di Kota Medan. Sehingga masih banyak dari masyarakat yang memberikan suaranya didalam pemillu lebih berdasarkan kepada unsur kesamaan etnis, daripada visi-misi yang diusung oleh masing-masing pasangan calon yang ikut dalam Pemilukada Kota Medan tahun 2010.

Menurut hasil penelitian saya dilapangan beberapa hari lalu prihal tentang alasan masyarakat etnis Tionghoa dalam menentukan atau menjatuhkan pilihannya kepada pasangan calon Kepala Daerah, bahwa masyarakat etnis Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota mengaku masalah etnisitas sama sekali tidak mempengaruhi pilihan mereka dalam menentukan Kepala Daerah mereka. Namun fakta yang saya temukan dari hasil pemilukada 2010 melalui data dari kantor KPU medan bahwa calon Kepala Daerah yang beretnis Tionghoa mengantongi suara lebih unggul dari pasangan pesaingnya, ini dapat kita lihat pada tabel 8: Hasil perolehan suara pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Medan 2010 putaran ke dua, pada BAB II.

Seperti beberapa warga Tionghoa yang berhasil saya wawancarai di kelurahan Pusat Pasar, yaitu Nelsin Kwong (43 tahun), A Hanny (45 tahun), dan Tan Wanni (30 tahun), yang mengaku bahwa etnisitas tidak mempengaruhi mereka dalam menjatuhkan pilihan.

Nelsin Kwong (43 tahun), “Tidak mempengaruhi itu masalah etnisitas buat saya untuk memilih calon Kepala Daerah. Yang penting bagaiamana orangnya. Prestasinya. Dari etnis mana saja saya dukung jika dia memang mampu untuk memegang dan menjalankan posisi itu”56

56

A Hanny (45 tahun), “Enggaklah, bukan suatu yang rasional itu kalau kita milih calon pemimpin dengan melihat etnisnya aja. Dilihat yang lainnya donk untuk dijadikan bahan pertimbangan”57

Tan Wanni (30 tahun), “Buat saya enggak mempengaruhi itu. Siapapun saya pilih kalau dia memang mampu”58

Walau masyarakat etnis Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota mengaku bahwa masalah etnisitas tidak mempengaruhi pilihan mereka untuk memberikan suaranya kepada salah satu calon Kepala Daerah 2010 yang lalu, namun nyatanya calon Kepala Daerah yang beretnis sama dengan mereka yang memegang suara terbanyak melebihi suara kandidat pesaingnya. Artinya, etnisitas turut menentukan pilihan politik warga Tionghoa di kelurahan Pusat Pasar. Kelurahan yang lebih dari setengah warganya beretnis Tionghoa ini tentu menjagokan calon Kepala Daerah yang juga beretnis sama dengan mereka, yaitu Sofyan Tan. Terbukti dengan kemenangan suara yang jauh lebih banyak diperoleh Sofyan Tan melebihi suara pesaingnya. Berpijak dari teori yang saya pakai mengenai etnisitas, bahwa diferensiasi etnis merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras. Namun etnis memiliki ciri-ciri paling mendasar yang lain, yaitu adanya kesamaan budaya. Ini membuktikan bahwa masalah etnisitas sedikit banyak juga mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihannya.

Tidak seperti politik uang yang jelas menyalahi aturan, politik etnis lebih efektif digunakan untuk menarik perhatian masyarakat dalam Pemilu, karena politik etnis lebih bersifat kasat mata dari pada politik uang. Sumatera Utara kaya akan etnis dari Melayu, Batak, Jawa, Tionghoa, dan Aceh telah berbaur menjadi masyarakat Sumut yang kaya etnis. Kuatnya politik etnis memang nyata di Sumut, dan kita tidak bisa pungkiri itu. Orang Batak memilih orang Batak, orang Jawa memilih orang Jawa, demikian seterusnya. Namun, perlu juga kita sadari bahwa cara seperti itu jelas tidak selalu memberikan kualitas yang baik terhadap terpilihnya Kepala Daerah. Cara tersebut bukanlah cara yang sehat dalam demokrasi, karena tanpa tidak sengaja kita telah melakukan tindakan-tindakan diskriminatif. Belum tentu orang Batak (seseorang bersuku Batak) yang kita pilih adalah orang yang terbaik menjadi kepala daerah jika

57

Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Mei 2012, di kelurahan Pusat Pasar, Medan Kota

58

kita tidak membuka mata untuk melihat calon kepala daerah yang bersuku Jawa, Melayu, dan lain-lain.

Politik etnis ini juga sangat diperhatikan sehingga kerap kali kita dengar bahwa jika ingin menguasai Sumut pada umumnya, dan Medan pada khususnya, pasangkanlah dua orang tokoh/calon pemimpin yang berasal dari etnis atau agama yang berbeda. Itulah hitung-hitungan yang memang nyata di masyarakat kita. Hal tersebut menjadi tanda bahwa sebenarnya betapa rapuhnya persatuan Sumut. Mengapa kita tidak melihat seseorang dari kualitas dirinya, kepemimpinannya, dan terutama rekam jejaknya apakah kotor atau tidak. Akhirnya politik identitas memainkan peranan penting untuk mengangkat seseorang atau menjatuhkan lawan politiknya. Orang yang ingin menguasai Sumut harus menganut paham dualisme dalam dirinya. Misalnya saja di tempat Orang Batak pakai marga Batak dan ditempat komunitas Jawa pakai Bahasa Jawa. Parahnya lagi, yang tidak bermarga bisa menjadi bermarga jika bergabung dalam komunitas Batak (komunitas bermarga) dan yang bermarga menjadi tidak bermarga jika berada dalam lingkungan masyarakat Jawa, dan lain-lain.

Sumut membutuhkan seorang figur pemimpin yang mau memimpin Sumut dengan semangat perubahan dan rendah hati. Kita harus singkirkan atribut-atribut etnis yang selalu menghantui paradigma kita dalam memilih. Kita harus berani memilih calon yang terbaik bukan calon yang sesuku, seagama, sealiran, bahkan calon yang telah menyuap kita dengan beberapa rupiah. Atau melihat bahwa akan mendapat keuntungan dari terpilihnya calon yang sesuku dengannya. Dan marilah kita cerdas untuk memberi pelajaran kepada siapapun calon yang melakukan politik uang dan doktrinasi etnis dalam memilih sehingga para calon pemimpin tersebut sadar masyarakat Sumut sudah cerdas dalam memilih. Satu hari dalam pilkada menentukan nasib rakyat selama lima tahun. Pemilukada Sumut bisa bebas dari politik uang dan politik etnis. Jika kita mau. Biarlah yang terbaik yang menjadi pemimpin daerah ini. Pengalaman, jejak rekam calon, sikap dan karakter, dijadikan sebagai referensi kita dalam menjatuhkan pilihan saat pemilu.