• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi politik militant radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah

KEBUDAYAAN DAN TRADISI YANG UNIK, MEMBUAT MEREKA-MEREKA MEMILIKI IDENTITAS KHUSUS DAN BERBEDA DENGAN KELOMPOK LAINNYA, DAN ETNISITAS

D. Memberi suara

4. Partisipasi politik militant radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah

E.3 Perilaku Pemilih

Menurut Fadilah Putra Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok.24

22

Ramlan Surbakti, Op cit, hlm 143.

Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para konsensus untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudikan termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik. Disamping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen masyarakat tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, dimana ideology dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai tertentu. Mereka

23

ibid, hlm 144. 24

http://edikusmayadi.blogspot.com/2011/04/perilaku-politikpemilih.html. Diakses pada tanggal 25 Juni 2012. 25

‘menunggu’ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program kerja terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.25

Perilaku pemilih adalah keikutsertaan warga dalam Pemilu sebagai rangkaian pembuatan keputusan. Perilaku pemilih menjawab pertanyaan apakah warga masyarakat menggunakan hak pilihnya atau tidak. Untuk memahani kecenderungan perilaku memilih mayoritas masyarakat secara akurat dapat dikombinasikan dalam dua pendekatan yang relevan, yaitu:26 Pertama, pendekatan psikologi sosiologi. Konsep ini merujuk kepada persepsi pemilih atas partai – partai yang ada atau keterkaitan emosional pemilih terhadap partai. Konkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh partai – partai lain. Kedua, pendekatan rasional. Dalam pendekatan ini, kegiatan memilih dipandang sebagai produk kalkulasi untung rugi. Pertimbangan untung rugi terutama digunakan untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.27

Yang dapat dinyatakan sebagai pemilih dalam Pemilukada yaitu mereka yang telah terdaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konsituen maupun masyarakat pada umumnya. Perilaku pemilih dapat ditujukan dalam memberikan suara dan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung.

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Colombia mengenai perilaku pemilih, perilaku memilih ditentukan oleh status sosial ekonomi, agama dan daerah tempat tinggal. Jadi, jika seseorang berada di status sosial ekonomi tertentu, berarti ia memilih parpol tertentu. Jika ia beragama tertentu, ia akan memilih parpol tertentu. Dan, jika ia tinggal di daerah tertentu, ia maka akan memilih parpol tertentu. Penelitian ini dikenal dengan sebutan Mazhab Colombia. Mazhab ini juga dikenal dengan nama pendekatan sosiologis atau sosial struktural.

26

Muhammad Asfar. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Jakarta. Pustaka Eureka, hlm 56. 27

Setelah pendekatan sosiologis, kemudian muncul pendekatan sosial psikologis yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang lebih menekankan pada faktor kelompok sosial dimana individu berada (sosiologis), pada pendekatan sosial psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri. Menurut pendekatan sosial psikologis, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku memilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi isu atau tema dan orientasi kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut misalnya, lemah hingga kuat. Lalu, yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu-isu apa saja yang diangkat oleh parpol tersebut. Sedangkan, yang dimaksud orientasi kandidat adalah siapa yang mewakili parpol tersebut. Menurut pendekatan sosial psikologis, tiga faktor itulah (identifikasi partai, orientasi tema dan orientasi kandidat) yang akan menentukan perilaku memilih. Lalu, setelah pendekatan sosial psikologis, muncul pendekatan baru yang dinamakan dengan pendekatan ekonomis. Pendekatan ekonomis biasa juga disebut dengan pendekatan rational-choice. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Lalu, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya. Berhubungan dengan pemilu, melalui pendekatan ini, pemilih diasumsikan mempertimbangkan segala pilihan yang ada, misalnya tiap-tiap parpol yang ada, tiap-tiap kandidat yang ada dan tiap-tiap kebijakan yang ada. Lalu, dilihat untung atau ruginya bagi individu. Pada akhirnya individu akan memilih yang memberi keuntungan paling besar dan kerugian paling kecil bagi dirinya. Namun pada kenyataannya, ketika mengambil keputusan, individu jarang sekali melakukan hal-hal yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa, biasanya individu tidak mengetahui setiap alternatif yang ada dan juga tidak mempertimbangkan setiap hasil yang mungkin muncul dari setiap alternatif. Oleh karena itu, setelah pendekatan ekonomis, muncul lagi pendekatan baru dalam melihat perilaku memilih. Pendekatan tersebut adalah pendekatan

behavioral decision theory. Pendekatan behavioral decision theory (BDT) mengasumsikan bahwa individu sebagai limited information processors, Pendekatan ini menganggap bahwa jumlah informasi yang dapat diolah oleh individu, sangat terbatas. Keterbatasan individu dalam memproses jumlah informasi, biasa juga disebut bounded rationality. Menurut pendekatan ini,

sebagai mahkluk rasional kognisi individu masih memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut diantaranya adalah Keterbatasan-keterbatasan dalam menyimpan jumlah informasi, keterbatasan dalam mengolah informasi dan keterbatasan dalam memanggil kembali informasi yang telah diolah.28

Meskipun sebenarnya individu tidak bisa melakukan pengambilan keputusan yang benar-benar rasional, seperti yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis, di tengah-tengah keterbatasannya tiap-tiap individu masih bisa membuat keputusan yang baik. Hal tersebut dimungkinkan karena individu mengembangkan sejumlah mekanisme kognitif untuk mengatasi keterbatasannya itu.

E.3.1 Konfigurasi Pemilih

Isu strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan dijawab oleh seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih rasional dalam menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri masih terdapat pemilih yang emosional dan tradisional. Figuritas dan popularitas kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri. Namun dari pada itu, perlu juga dilihat tipe ataupun jenis pemilih dalam konfigurasi pemilih, seperti yang terdapat dibawah ini,29

1. Pemilih Rasional

Dalam konfigurasi pertama ini terdapat pemilih rasional (rational voter), dimana pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy-problem-solving’ dan berorientasi rendah untuk factor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau, dan (2) program tawaran untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. (forward looking). Pemilih tidak hanya melihat program kerja atau platform partai yang berorientasi kemasa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanifestasikan pada reputasi dan citra (image) yang berkembang dimasyarakat. Dalam

28

http://webandikamongilala.wordpress.com/2010/09/03/perilaku-pemilih-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 26 Juni 2012. 29

konteks ini lebih utama bagi partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa membangun reputasi didepan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk mengatasi permasalahan.

Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti faham, asal usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi itu bukan hal yang signifikan. Hal ini terpenting bagi jenis pemilih adalah apa yang bisa (dan telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau seorang kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan sosial-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, desintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan kepartai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional.

2. Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini merupakan panduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal – hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah

‘rational voter’ untuk berpaling kepartai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu pada program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.

Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. Ada tiga kemungkinan yang akan muncul ketika terdapat perbedaan antara nilai ideology dengan ‘platform’ partai: (1) memberikan kritikan internal, (2) frustasi, dan (3) membuat partai baru yang memiliki kemiripan karekteristis ideologi dengan

partai lama. Kritis internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya tidak difasilitasi oleh mekanisme internal partai politik, mereka cenderung menyuarakan melalui mekanisme eksternal partai, misalnya melalui media massa seperti radio, televisi, dan sebagainya.

3. Pemilih Tradisional

Pemilih dalam jenis ini akan memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal usul, faham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karekteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang dianut.

Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama priode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling menonjol bagi pemilih jenis ini. Ideologi dianggap sebagai salah satu landasan dalam membuat suatu keputusan serta bertindak, dan kadang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat.

4. Pemilih Skeptis

Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologi mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang mempedulikan ‘platform’

dan kebijakan partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukan secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa kearah perbaikan yang mereka

harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.

E.3.2 Pola Pengembangan Pemilih

Meskipun tampak relatif, pola pengembangan pemilih mencerminkan kecendrungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokan atau segmentasi itu dapat didasarkan pada: 30

1. Lingkup Agama

Lingkup agama berpola pilihan lebih mengacu pada landasan partai atau kandidat yang cendrung pluralis atau inklusif.

2. Lingkup Gender

Karekteristik ini menghasilkan dua segmen: kaum laki-laki dan perempuan. Pemilih perempuan cukup strategis karena jumlah suara lebih 50% dari total populasi pemilih

3. Lingkup Kelas Sosial

Seperti sebuah piramida, lapisan puncak yang paling sedikit jumlahnya disebut kelas atas, sedangkan dibawahnya lapisan kelas menengah yang jumlahnya lebih besar, dan segmen paling bawah yang jumlahnya paling rendah adalah kelas bawah.

4. Lingkup Geografi

Segmen ini memilih pilihan berdasarkan tingkat, sebagai pendekatan yang lazim, asal usul daerah dimana kandidat tampil cukup menjadi alasan. Selain itu dapat pula dikembangkan berdasarkan pulau, perkotaan, pedesaan, kampung, kelurahan, kecamatan, dan lain-lain.

5. Lingkup Usia

Seringkali kedewasaan manusia digambarkan sejak masa transisi (usia 17-23), masa pembentukan keluarga (usia 24-30), masa peningkatan karir (30-40), masa kemapanan (51-65). Kondisi – kondisi tertentu menyangkut belum berkeluarga, tidak berkerja (pengangguran), dan

30

termasuk golongan lansia tidak mempengaruhi tingkatan-tingkatan usia tersebut dalam pengambilan keputusan untuk memilih calon partai atau kontestan dalam Pemilu maupun Pemilukada.

6. Lingkup Demografi

Berdasarkan karakter factor demografis seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, dan lain-lain. Metode demografis dipergunakan biasanya guna mendukung riset politik, misalnya data statistik, sejarah Pemilu regional, maupun data sensus.

7. Lingkup Psikografis

Berdasarkan gaya hidup, yakni bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada laporan sebuah riset yang membagi delapan segmen dibeberapa kota. Respon tersebut antara lain: the affluent (pekerja keras), the achiervers (intelek rendah hati), the loners (tak suka menonjol), the anxious (peragu semangat besar), the pleasure seekers (mengejar hura-hura), dan

the attention seekers (ingin tampil beda) 8. Lingkup Perilaku

Memberi tekanan pada pola perilaku dengan berbagai tipe, yakni: pemilih rasional (berfokus pada platform program), pemilih emosional (berfokus kepada pertokohan), pemilih sosial ( berfokus pada asosiasi dengan kelompok sosial tertentu), dan pemilih situasional (berfokus pada dampak perubahan atas situasi tertentu)

E.4 Perilaku Politik

Perilaku politik adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik. Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik.31

Menurut Rahadian P. Paramita perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesempatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kesempatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat

31

tertutup.32

Menurut ahli lain, yaitu Ramlan Surbakti mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik. perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan politik.

Perilaku politik adalah salah satu aspek dari ilmu politik yang berusaha untuk mendefenisikan, mengukur dan menjelaskan pengaruh terhadap pandangan politik seseorang. Secara teoritis, perilaku politik dapat diuraikan dalam tiga pendekatan utama yakni melalui pendekatan sosiologi, psikologi, dan rasionalitas.

33

Perilaku Politik juga dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.

Perilaku politik merupakan salah unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya.

Sejalan dengan pengertian politik, perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut.

Dalam pelaksanaan perilaku di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan Pemilukada langsung di suatu daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan Pemilu atau Pemilukada tersebut, hal ini jugalah yang membuat digunakannya teori perilaku politik dalam proposal penelitian ini Perilaku politik dapat di bagi dua yaitu : 34