• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Mengenai Hubungan Manusia dengan Alam

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BU (Halaman 163-167)

BAB VI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN IDENTITAS

6.1 Adanya Kesamaan Nilai Budaya antara Etnis Bali dengan Etnis

6.1.2 Masalah Mengenai Hubungan Manusia dengan Alam

Hubungan manusia dengan alam, dapat dilihat pada ajaran Taosime yang mengagung-agungkan alam semesta. Dalam ajaran Tao, manusia diajak untuk menata hidupnya agar selaras dengan cara bekerja alam semesta, salah satunya dengan memilih jalan kesederhanaan, mencontoh sifat air yang selalu memilih tempat rendah yang terlemah dari semua benda, tetapi dapat menembus batu- batuan. Sifat air yang lemah ini sanggup menampung segala-galanya, baik yang bersih maupun yang kotor.

Pengertian Tao memiliki makna transenden maupun imamen. Makna transenden menunjuk pada jalan dari kenyataan terakhir, di mana menjadi dasar dari semua yang ada dan dapat diketahui hanya melalui kenyataan yang mistis. Disinilah kemudian muncul semboyan Tao “mereka yang mengetahui tidak akan bicara sedangkan mereka yang bicara tidak mengetahui”. Tao yang bermakna transenden ini menunjukkan pada kekuatan alam semesta yang menjadi sumber dan akhir dari semua yang ada.

Tao yang mengandung makna imamen merupakan jalan alam semesta sebagai kaidah, irama dan kekuatan pandang dalam seluruh alam semesta. Tao dalam makna ini mengambil wujud fana dan memberi tahu segala sesuatu. Ia menyesuaikan hakekatnya pada setiap manusia dan mendorong seseorang mendekati menuju jalan dari kenyataan yang terakhir. Dengan demikian, pada etnis Tionghoa juga dikenal kehidupan yang selaras dengan alam semesta dan dihubungkannnya dengan dunia mistis yang berkaitan dengan religio magi

(Hariyono, 1994:39-40). Hal ini kemudian yang menjadi landasan masyarakat

etnis Tionghoa di Desa Pupuan, mampu menyatu dengan lingkungan alam di Desa Pupuan. Hidup yang selaras, seimbang sama dengan lingkungan lainnya, menjadikan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.

Sedangkan pada etnis Bali masalah keharmonisan ini sangat erat kaitannya dengan filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana, memiliki arti tiga penyebab keharmonisan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup, yang terdiri dari:

1. Parahyangan (hubungan baik antara Sang Maha Pencipta dan mahluk ciptaannya).

2. Pawongan (hubungan baik antara manusia dengan manusia). 3. Palemahan (hubungan baik antara manusia dengan lingkungan).

Konsep Tri Hita Karana bersifat universal dan mendorong manusia untuk mendapatkan keseimbangan hidup lewat membina hubungan yang baik di ketiga aspek kehidupan. Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam berpikir, yang membedakannya dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya.

Merupakan kewajiban yang harus ditaati secara tulus ikhlas untuk selalu menjaga ‘hubungan baik’ dengan Sang Pencipta lewat bersyukur, berdoa, bersembahyang dan jalan lainnya dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satu bentuk rasa syukur dan taat kepada pencipta adalah lewat membina hubungan baik dengan makhluk Tuhan lainnya, yang dalam konteks ini adalah manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang dengan masing-masing keterbatasannya memerlukan orang lain dalam hidupnya. Sangat penting untuk menjaga hubungan baik dengan sesama kita karena dengan begitu banyak kemudahan yang akan kita dapatkan di kehidupan ini. Sudah seharusnya sesama manusia harus bisa hidup rukun, saling membantu serta meringankan beban sesama,saling menjaga dan saling mengingatkan. Tidak cukup sampai di situ, tidak kalah pentingnya bagi kita untuk membina hubungan baik dengan lingkungan kita yang dalam Bali disebut

palemahan. Jika kita membina hubungan baik dengan lingkungan dalam hal ini

menjaga kelestarian alam sekitar,maka alam juga akan menjaga kita. Namun apabila kita tidak menjaga alam dengan baik seperti contoh menebang hutan secara terus-menerus, mengeruk segala isinya secara berlebihan, maka cepat atau lambat lingkungan akan angkat bicara. Maka, hubungan baik dengan ketiga aspek, ketuhanan, kemanusiaan dan lingkungan harus ditanamkan dalam diri kita masing-masing, sehingga keharmonisan, kesejahteraan, keseimbangan, serta kebahagiaan hidup dapat kita capai.

Filosofi Tri Hita Karana menjadi dasar hubungan masyarakat etnis Bali dengan etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yang sama-sama ingin mencari keharmonisan dalam hidup khususnya dengan alam semesta. Apalagi kemudian,

masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan juga memiliki kepercayaan dengan filosofi ini, karena dianggap memiliki makna yang kurang lebih sama dengan ajaran leluhur mereka.

6.1.3. Masalah Mengenai Persepsi Manusia tentang Waktu

Pada dasarnya etnis Tionghoa memiliki filosofi waktu tentang kekinian, akan tetapi terkadang mereka juga memiliki filosofi waktu tentang masa lalu. Konfusius seorang filosof Tionghoa juga memberikan penghormatan pada masa lalu. Bahkan, ajaran Konfusius sendiri bersumber pada sejarah masa lampau yang disebut dengan zaman keselarasan agung yang pernah dialami oleh China, di mana pada masa itu tradisilah yang menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat pada masa itu. Tradisi yang diciptakan dengan baik akan menciptakan manusia yang baik juga.

Selain itu, etnis Tionghoa juga memiliki pandangan waktu ke masa yang akan datang, misalnya dalam bekerja, etnis Tionghoa lebih berani untuk mengorbankan atau mengubah sesuatu demi kelangsungan di masa yang akan datang, meskipun itu tampak suatu gambling sekalipun.

Etnis Bali juga memiliki konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang.

Dalam ajaran hukum karma phala yang dipercayai oleh etnis Tionghoa maupun etnis Bali disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.

Adanya kesamaan filosofi dalam memandang hakekat hidup, hubungan manusia dengan alam dan persepsi mengenai waktu merupakan modal budaya yang menjadi prasyarat untuk mengakumulasi modal yang lain. Sebab modal budaya merupakan hasil dari proses akumulasi yang panjang dan memiliki konsekuensi historis yang sulit dihindari.

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BU (Halaman 163-167)

Dokumen terkait