• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Bahasa

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BU (Halaman 138-144)

BAB V PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA D

5.2 Perubahan Bahasa

Peranan bahasa dalam kehidupan manusia sangatlah besar. Tanpa adanya bahasa, manusia takkan bisa berkomunikasi tanpa adanya salah sangka. Tanpa adanya bahasa perkembangan kebudayaan akan mengalami stagnasi, bahkan Koentjaraningrat menjadikan bahasa sebagai unsur kebudayaan yang pertama (Koentjaraningrat, 2000:203).

Bahasa dalam kajian budaya, adalah bahasa sehari-hari, bukan bahaa logis. Bahasa memiliki beberapa fungsi dan untuk memahaminya, perhatian haruslah

dialihkan dari logika dan penyusunan bahasa yang sempurna kepada logika bahasa sehari-hari, yaitu bahsa common sense. Menurut Wittgensten, bahasa bukanlah kehadiran metafisik, tetapi sebuah alat yang dipergunakan manusia untuk mengkoordinasikan tindakan-tindakannya dalam konteks hubungan sosial (Storey, dalam Santoso, 2007:1).

Penggunaan bahasa yang digunakan sehari – hari oleh masyarakat etnis Tinghoa di Desa Pupuan merupakan bahasa yang mampu menghubungkan atau mengkomunikasikan antar-etnis di Desa Pupuan. Penggunaan bahasa ini tentunya telah mengalami proses mimikri di mana masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan proses pembelajaran bahasa lokal dari semenjak awal kedatangannya. Pembelajaran ini tentunya membuat masyarakat Etnis Tionghoa mengalami perubahan bahasa dalam penggunaan sehari – hari.

Perubahan penggunaan bahasa pada masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan memerlukan waktu puluhan tahun, bahkan antar generasi. Generasi pertama etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan, baik itu dari utara (Buleleng) maupun selatan (Tabanan dan Badung) masih kental dalam penggunaan bahasa bahasa ko’i bahkan hanya beberapa saja yang pada saat itu bisa berbahasa Bali, khusus bagi yang sudah bisa mempergunakan Bahasa Bali, biasanya adalah etnis Tionghoa yang sudah lama menetap di Bali, tetapi kemudian memutuskan diri untuk berpindah ke Desa Pupuan.

Seperti yang diungkapkan oleh narasumber Wayan Sudarsana;

“Leluhur saya ketika pertama kali datang ke Desa Pupuan sudah mahir mempergunakan bahasa Bali, ini dikarenakan sebelum datang ke desa sudah lama menetap di Kerajaan Badung dan di sanalah belajar bahasa Bali. Kalau yang leluhurnya datang dari utara (pelabuhan di wilayah

Buleleng), jarang yang bisa bahasa Bali pada saat itu, karena mereka datang langsung dari Tiongkok, dan baru belajar Bahasa Bali ketika di Pupuan. Sedangkan anak-anaknya kemudian yang lahir di Desa Pupuan, belajar dua bahasa. Bahasa ko’i sebagai bahasa leluhur dan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari.”

Hasil wawancara di atas juga menjelaskan adanya perubahan penggunaan bahasa, di mana pada generasi kedua, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai mempergunakan bahasa Bali, disamping bahasa ko’i sebagai bahasa sehari- hari, hal ini dikarenakan karena semakin intensnya komunikasi antar budaya yang terjadi, dan juga ada kepentingan ekonomi, di mana Etnis Tionghoa yang pada saat itu dominan sebagai pedagang mau tidak mau harus belajar Bahasa Bali, karena sebagian besar konsumen dan pekerjanya adalah orang Bali. Seperti yang diutarakan oleh Gabriel Tarde, bahwa semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau bahkan melebihi) tindakan orang disekitarnya. Ia berpendapat bahwa mustahil bagi dua individu yang berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang untuk tidak menunjukan peningkatan dalam imitasi perilaku secara timbal balik. Ia juga memandang imitasi memainkan peranan yang sentral dalam tranmisi kebudayaan dan pengetahuan dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Padahal pada generasi ini, mulai dibangun sekolah khusus etnis Tionghoa di Desa Pupuan, akan tetapi penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa yang dominan dipergunakan dalam komunikasi tidak bisa dibendung. Bahasa ko’i sebagai bahasa leluhur hanya dipergunakan dalam komunikasi terbatas antar etnis Tionghoa saja, sedangkan komunikasi secara umum mempergunakan Bahasa Bali.

Generasi ketiga, penggunaan bahasa ko’i sebagai alat komunikasi sehari- hari semakin berkurang. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia bahkan dalam komunikasi sesama etnis Tionghoa. Hal ini dikarenakan selain karena kepentingan ekonomi dan budaya, pada generasi ini, pada generasi ini terjadi peristiwa G 30 S PKI, yang menyebabkan adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di seluruh Indonesia, dan berujung pada keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat China yang berisikan larangan penggunaan adat istiadat dan budaya China, hal ini sangat mempengaruhi generasi ketiga bahkan keempat dan selanjutnya tidak bisa mempergunakan bahasa leluhurnya dengan leluasa. Bahasa ko’i sebagai bahasa leluhur dilarang penggunaanya, dan dipergunakan sangat terbatas khususnya dalam hal penghitungan uang, dan sistem kekerabatan dan ritual-ritual keagamaan, bahkan yang mahir dalam bahasa ko’i ini hanyalah orang-orang tua.

Seperti yang dikemukakan oleh narasumber Bapak Ketut Aryawan:

“Generasi yang lahir setelah G 30 S PKI sangat jarang yang bisa berbahasa ko’i, ini karena pada pemerintah melarang penggunaan bahasa ko’i sehari- hari, selain itu orang tua juga enggan untuk mengajarkannya, jadi kami sejak kecil dirumah biasa mempergunakan bahasa Bali”

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bapak Ketut Ananda Kusuma; “Saya dari kecil tidak pernah belajar bahasa ko’i, tapi untuk istilah-istilah keluarga, saya masih bisa misalnya koko untuk kakak laki, cece untuk kakak perempuan. Dari kecil kami dikeluarga dibiasakan mempergunakan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari, lagian dari beberapa generasi kami sudah tinggal di Bali dan lebih merasa sebagai orang Bali.”

Dari dua pandangan di atas, bisa diambil sebuah simpulan bahwa setelah berlakunya Inpres No 14 Tahun 1967, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan meniadakan pembelajaran bahasa ko’i pada keturunannya. Disatu sisi generasi penerus etnis Tionghoa merasakan keterputusan budaya dengan leluhurnya, akan tetapi disisi lain, hal ini mendukung juga proses akulturasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa yang dilakukan oleh pemerintah

Pada masa setelah reformasi pasca dicabutnya Inpres No 14 Tahun 1967 dengan Keppres Np 6 tahun 2000 oleh pemerintahan Gus Dur, sempat ada pembelajaran mengenai bahasa ko’i yang dilaksanakan oleh lembaga sekolah selama beberapa waktu. Akan tetapi pembelajaran ini terhenti ditengah jalan.

Menurut Birch, pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala politis, sosial, kultural dan ideologi. Ada kekuatan diluar individu yang ikut menentukan bentuk bahasa tertentu yang akan dipergunakan. Hal ini sering terjadi dibawah sadar maupun secara sadar. Implikasinya dapat kita lihat, bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, dikehendaki dalam aturan yang baik (good order), dan dinilai peran dan status bawahan serta atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi-strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kuasa, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari kontrol terhadap masyarakat.

Menurut Menz, makna dan nilai dari pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik, melainkan diproduksi dalam perjuangan atau perebutan komunikatif dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis. Merujuk pandangan ini, aktor penghasil teks bukanlah individu

yang merdeka, tetapi merupakan individu yang diatur oleh dimensi-dimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif. Individu-individu sering berada dibawah dimensi kesadaran dalam melakukan pilihan bahasa itu (Santoso, 2007:6).

Merujuk pada pandangan Birch dan Menz, bahasa yang dipergunakan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan sebuah pilihan bahasa yang dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh budaya, kepentingan ekonomi, maupun hegemoni dari pihak penguasa (pemerintah). Pengunaan bahasa Bali oleh etnis Tionghoa generasi kedua sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan kepentingan ekonomi. Etnis Tionghoa yang pada saat itu berada pada strata yang lebih tinggi di masyarakat secara ekonomi (superior), mau tidak mau harus belajar mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasi untuk mempermudah komunikasi dengan konsumennya maupun dengan pekerjanya yang sebagian besar orang Bali. Faktor perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali juga mendorong hal ini, di mana bahasa Bali dipergunakan sebagai komunikasi sehari-hari dalam keluarga, walaupun kadangkala juga dipergunakan bahasa ko’i dalam komunikasi sehari-hari. Hal yang berbeda terjadi pada generasi ketiga, di mana pasca terjadinya peristiwa G 30 S PKI, semua budaya Tionghoa dihapus oleh pemerintahan yang baru termasuk juga bahasanya. Hegemoni pemerintah sebagai pemegang kuasa penuh atas budaya baik-buruk, legal-ilegal pada masa itu, menjadikan bahasa ko’i menjadi bahasa yang sangat dilarang untuk dipergunakan, sehingga keturunan Etnis Tionghoa pada generasi berikutnya tidak bisa mempergunakan bahasa leluhurnya lagi.

Berdasarkan uraian di atas yang bersumber pada hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada masa kini mempergunakan bahasa ‘hibrid’ yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Bahasa ko’i atau bahasa Mandarin sudah sangat terbatas penggunaannya, dikarenakan masyarakat Tionghoa di Desa Pupuan saat inisebagian besar lahir di atas 1970-an tidak mahir mempergunakan bahasa ko’i lagi, hanya dalam penyebutan istilah- istilah kekerabatan saja bahasa ko’i masih sering dipergunakan dan juga pada istilah besaran uang.

Dalam dokumen PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BU (Halaman 138-144)

Dokumen terkait