i
DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN
TABANAN
I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA NIM 1090 2610 18
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA
NIM 1090 2610 18
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 27 Januari 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A Dr. Putu Sukardja, M.Si NIP. 19431231 197602 1 001 NIP.195206221985031001
Mengetahui
Ketua Program Magister Kajian Direktur Program Pascasarjana Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana,
Dr. I Gusti Ketut Gede Arsana.,M.Si Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195208151981031004 NIP 19590215 198510 2 001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 27 Januari 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasaran SK Rektor
Universitas Udayana, No.: 0127/WH.14.4/HK/2014, Tanggal 24 Januari 2014
Ketua: Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A.
Anggota:
1. Dr. Putu Sukardja, M.Si
v
NIM : 1090 2610 18
PROGRAM STUDI : MAGISTER KAJIAN BUDAYA
JUDUL TESIS : “PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA
DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN”
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Kemendiknas RI No. 17 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 27 Januari 2014
I Putu Putra Kusuma Yudha
vi
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan karuniaNya telah memberikan kesehatan dan hikmah
sehingga penulisan tesis dengan judul “Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di
Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan” dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis disusun untuk memperoleh gelar Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program
Pasca Sarjana, Universitas Udayana.
Terselesaikannya tesis ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, baik secara moriil maupun materiil. Pada kesempatan kali
ini perkenankanlah penulis terima kasih kepada yang terhormat Bapak Rektor dan Ibu
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah menerima penulis
sebagai karya siswa Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, dan sekaligus
memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses penyelesaian masa studi. Terima
kasih yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada Bapak Prof. Dr. I Gde Parimartha,
M.A. sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Putu Sukardja, M.Si sebagai pembimbing II
yang penuh perhatian telah memberikan, bimbingan, tuntunan, dan saran selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Emiliana Mariyah,
M.S Prof. Dr. I Gde Semadi Astra, dan Dr. I Wayan Redig selaku penguji yang telah
vii
Witari, Ketut Budiarsa, Ni Wayan Ariati, Agung Indrawati, Cok Istri Putra Muniarti, I
Nyoman Candra, dan Made Gria, terima kasih atas bantuan dalam hal administrasi serta
dukungan moral kepada penulis. Juga kepada Dr. I Nyoman Dhana, M. A yang banyak
memberikan saran kepada penulis dan juga dukungan berupa buku-buku mengenai etnis
Tionghoa, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Kepada Bapak Drs. I Made Purna M. Si selaku Kepala Balai Pelestarian Nilai
Budaya Badung, Bali NTB NTT dan Bapak I Made Dharma Suteja, S.S, M. Si, tempat
penulis bekerja dan mengamalkan ilmu, penulis ucapkan terima kasih atas izin belajar
yang diberikan serta dukungan penuh hingga tesis ini bisa selesai dengan baik. Begitu
juga dengan teman-teman di BPNB, yang seringkali penulis repotkan, penulis
mengucapkan banyak terima kasih.
Kepada seluruh narasumber, I Ketut Anto Wijaya, I Ketut Aryawan, I Ketut
Ananda Kusuma, I Nyoman Raka, I Made Selamet, Dhamma Joti Kassapa, Ir. Wayan
Sudarsana, Drs. I Wayan Suantika, I Wayan Sugawa dan kawan-kawan di dunia maya
yang tergabung dalam komunitas Budaya Tionghoa yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
Akhirnya rasa hutang budi dan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan
kepada bapak (Drs. I Made Paria), ibu (Dra. I Gusti Ayu Putu Kartini), istri (Desak
Komang Dewi Adnyani), putra tercinta (I Putu Bagus Purushottama Yudha) dan saudari
viii
ikhlas mengorbankan segala-galanya demi selesainya tesis ini.
Penulis dalam hal ini menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kebaikan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini bisa bermanfaat
bagi kita semua.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya bagi umat
yang berhati mulia
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Denpasar, 29 Januari 2014
ix
representasi atau akulturasi budaya. Identitas seseorang atau suatu kelompok kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan. Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi budaya sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia yang selalu bergejolak. Hal ini kemudian, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya sebagai sebuah etnis. Berdasarkan problematik latar belakang di atas, ada tiga rumusan pokok yang dikaji, sebagai berikut, (1). Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (2). Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (3). Apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, untuk memahami faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, untuk menginterpretasi implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yakni data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Teori yang dipergunakan adalah teori hibriditas, teori hegemoni, dan teori praktik.
Hasil penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut, pertama perubahan identitas budaya etnis Tionghoa sangat terlihat pada, perubahan agama dan kepercayaan, perubahan bahasa dan perubahan nama. Kedua faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah adanya kesamaan/kemiripan-kemiripan nilai budaya antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa, adanya faktor sosial ekonomi, adanya tekanan politik dari pemerintah dan hubungan Indonesia dengan China. Ketiga, adanya perubahan identitas budaya ini tentunya membawa implikasi bagi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, kedua dampak ini ditanggapi secara berbeda oleh masing-masing individu. Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa ini juga mengandung makna harmonisasi dan asimilasi serta makna ekonomi.
x
change that happend arund it, such as the existence of domination, minority, or the existence of hegemony from the administrator that make the identity changed. This phenomenon is happend by Tionghoa etnic in Pupuan Villages. If we looked aboard from Tionghoa etnic history in Indonesia, their life axperience was raise and fall caused by the culture social political situation inside and out side Indonesia. Acording Indonesian history Tionghoa etnic always have a difficult position and always incleaned as a victim from Indonesian social politic slap situation. This make them always face a difficult situantions that influence their existance as an etnic. Acording that problematic background there are three problems that disccuse in this study such as, 1. How the indentity changes in Tionghoa etnic in pupuan happend? 2. What factor that influence the Tionghoa etnict identity changes in Pupuan Village? 3. What the implication and the meaning from the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village?
The objective from this study are to know the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village, to understand the factor that influence the indentity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village, to intrepretation the implication and the meaning from the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village. The method that used in this study is kualitatif method, where the data collected by observation, interview, and document study. The theory that used in this study are hybridity theory, hegemony theory, and practical theory.
The result from this study are explain bellow first cultural identity changes of Tionghoa etnic is seen in the changes of religion and belived, changes of language and change of name, second, the factors the influence the changes are the same of cultural vallue between Balinese etnic and Tionghoa etnic, social economic factors, the political presure from Indonesia administrators,and the realtionship between Indonesia and China. Third, the exintence of cultural identity changes alson bring an implication to tionghoa etnic in pupuan village. The implication that happend in them is rise colectifities or individual, both of this impac are get a different reaction by each individuals. Cultural Identity changes of tionghoa etnic also contain harmonisation and asimilation meaning and also economic meaning.
xi
(identitas pribadi) seseorang, di dalamnya tercakup perasaan, emosi, hasrat dan kemauan seseorang. Subjektifitas juga berkaitan dengan kesadaran (concious) dan ketidaksadaran (unconscious) seseorang. Chris Barker kemudian menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171). Identitas inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan. Berdasarkan problematik latar belakang di atas, ada tiga rumusan pokok yang dikaji, sebagai berikut : (1). Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (2). Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (3). Apa implikasi dan makna eksistensi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan?
xii
pisau analisis dari penelitian ini, maka akan dipergunakan tiga buah teori, yakni (1) teori hibriditas,(2) teori hegemoni, dan (3) teori praktik.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berparadigma kritits dengan mempergunakan pendekatan kajian budaya (cultural studies) yang bersifat kritis, interdisipliner dan multidimensional sebagai landasan berfikir. Sumber data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari informan dan objek yang diobservasi langsung di lapangan. Data primer penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan Ketua Perkumpulan Suka Duka Etnis Tionghoa ‘Karang Semadi’ di Desa Pupuan, tetua etnis Tionghoa di Desa Pupuan, Bendesa Adat desa adat Pupuan, Kepala Desa Pupuan. Data primer juga didapatkan dari observasi langsung di lapangan untuk melihat bagaimana kehidupan sosial masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Sumber data sekunder berupa data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti tesis, disertasi, buku dan artikel yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder penulis dapatkan dari referensi buku-buku yang berkaitan dengan etnis Tionghoa, yang dijual bebas di toko-toko buku.
xiii
(1). Perubahan agama dan kepercayaan, dimana pada awal masuknya etnis Tionghoa agama yang dianut oleh etnis Tionghoa adalah agama-agama tradisional Tionghoa yang mengutamakan pada penghormatan leluhur dan Dewa-Dewa (termasuk Buddha di dalamnya). Pada perkembangan berikutnya, masa Orde Baru etnis Tionghoa dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan budaya mereka sendiri dan melakuan asimilasi total pada pribumi, termasuk kepercayaan yang mereka anut.
(2). Perubahan bahasa. Generasi pertama Etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan, baik itu dari utara (Buleleng) maupun selatan (Tabanan dan Badung) masih kental dalam penggunaan bahasa bahasa ko’i. Generasi kedua, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai mempergunakan bahasa Bali, disamping bahasa ko’i sebagai bahasa sehari-hari sedangkan generasi ketiga, penggunaan bahasa ko’i sebagai alat komunikasi sehari-hari semakin berkurang. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia bahkan dalam komunikasi sesama etnis Tionghoa.
(3). Perubahan nama. Umumnya, nama seseorang etnis Tionghoa terdiri paling banyak dari 3 suku kata. Nama yang pertama menjelaskan marganya (she), dan 2 nama dibelakangnya adalah nama yang sebenarnya. Pada awal kedatangannya sampai dengan zaman kemerdekaan etnis Tionghoa di Indonesia mempergunakan nama Tionghoanya sebagai identitas yang dimilikinya, demikian juga dengan yang terjadi di Desa Pupuan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa mempergunakan nama Tionghoanya sebagai nama resmi dalam identitas, termasuk identitas kependudukan sampai dengan 27 Desember 1966.
xiv
Kedua faktor – faktor yang mempengaruhi identitas budaya etnis Tionghoa di
Desa Pupuan berkaitan erat dengan kondisi sosial politik yang berkembang pada masa tersebut. Selain itu adanya kesamaan filosofi yang mendasari gerak langkah kehidupan masyarakat di Desa Pupuan juga mendukung perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa. Adapun faktor-faktor tersebut:
(1). Adanya kesamaan/kemiripan-kemiripan nilai budaya antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa. Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah adanya kesamaan nilai budaya. Adanya kesamaan-kesamaan nilai budaya merupakan modal budaya yang menjadikan proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa menjadi identitas budaya baru yang bersifat hibrid di Desa Pupuan berlangsung secara damai.
xv
(3). Adanya perubahan politik di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dihilangkan identitas etnisnya. Berbagai unsur yang terkait dengan budaya leluhur dihilangkan dengan memperkenalkan politik asimilasi total yang bertujuan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa yakni sekolah, organisasi dan media China sebagai sarana pengembangan budaya dan adat istiadat leluhur. Dengan melaksanakan asimilasi inkorporasi, pemerintah meminta etnis Tionghoa untuk mengilangkan identitas ke-Chinaannya menjadi Indonesia.
Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya dinamika hubungan antara negara China dengan Indonesia. Hubungan resmi antara Negara China atau Republik Rakjat Tiongkok atau Republik Rakyat China dengan Indonesia, dimulai pada tanggal 15 Januari 1950, dengan adanya pengakuan kedaulatan China yang kemudian dibalas oleh China dengan mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 28 Maret 1950
Hubungan antar kedua negara mengalami pasang surut, dimana mengalami masa yang paling suram pada awal pemerintahan Orde Baru dengan adanya pemutusan hubungan diplomatik dan juga keluarnya berbagai peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Hal ini merupakan dampak dari ditengarainya China sebagai pendukung Gerakan 30 September pada masa itu. Secara perlahan hubungan ini kemudian pulih khususnya ketika era reformasi, dimana ketiga Presiden (Abdurahhman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono) mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menormalisasikan hubungan dengan China dan juga mencabut segala peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Walaupun hubungan ini bersifat antar negara, tetapi dampak dari dinamika hubungan ini juga mempengaruhi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Secara garis besar dinamika hubungan antar kedua negara terbagi dalam beberapa masa yang saling terikat satu sama lain.
Ketiga, adanya perubahan indentitas budaya ini tentunya membawa implikasi
xvi
tinggi antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial keagamaan di Desa Pupuan. Akan tetapi sebaliknya, ,ketika etnis Tionghoa mulai meninggalkan identitas ke-Baliannya menuju kearah sebuah identitas yang berorientasi nasional dan internasional, maka mulai timbullah ruang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali.
Selain membawa implikasi sosial, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa juga membawa implikasi individu, personal etnis Tionghoa itu sendiri. Secara individu, perubahan identitas ini terlihat pada perubahan kepercayaan, penggunaan bahasa sehari-hari dan perubahan nama.
Dalam kehidupan sehari-hari, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada ditengah lingkungan masyarakat etnis Bali. Interaksi yang intens menjadikan banyak hal yang berubah dari individu etnis TIonghoa di Desa Pupuan. Misalnya pada ritual etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang hanya berdasarkan pada ajaran leluhur, bertambah dan menjadikan ritual-ritual etnis Bali sebagai bagian dari ritual sehari-hari. Sedangkan, pada penggunaan bahasa sehari – hari etnis Tionghoa di Desa Pupuan mempergunakan bahasa ‘hibrid’yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Pada perubahan nama yang dipergunakan oleh masing-masing individu. Perubahan nama ini bisa dipolakan menjadi empat pola, yakni mengganti nama dengan nama yang sama dengan etnis Bali, mencari nama Bali yang memiliki makna, mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Indonesianya dan memakai nama-nama internasional.
xvii
budaya bersifat yang bersifat hibrid memperlihatkan adanya usaha etnis Tionghoa untuk menjaga hubungan harmonis dengan etnis Bali. Adanya upaya ini selain didukung oleh modal dan ranah juga didukung oleh habitus yang berkembang di Desa Pupuan. Selain itu ketika berbicara masalah asimilasi seperti yang diharapkan oleh pemerintah terhadap etnis Tionghoa sejak zaman orde lama, maka yang terjadi di Desa Pupuan adalah sebuah prosesi asimilasi yang sudah berjalan tanpa adanya campur tangan pemerintah (pra politi ali baba). Ketika kemudian timbul hemegoni pemerintah dalam asimilasi ini dengan menjalankan prinsip asimilasi inkorporasi, maka yang terjadi adalah, etnis Tionghoa semakin terasimilasi dalam etnis Bali di Desa Pupuan. Ini juga didukung oleh adanya perasaan nyaman etnis Tionghoa dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari yang bernuansa Bali.
(2). Makna Ekonomi
Dalam sejarahnya, etnis Tionghoa selalu mendominasi kegiatan perdagangan di Desa Pupuan, walaupun secara jumlah penduduk, jumlahnya tidak terlalu banyak. Keberhasilan ekonomi etnis Tionghoa di Desa Pupuan didukung oleh kerja keras dan hidup hemat sesuai dengan ajaran leluhur. Selain itu tentunya, adanya upaya etnis Tionghoa untuk belajar budaya setempat (bahasa, kebiasaan bahkan kepercayaan) sangat mendukung keberhasilan di bidang ekonomi di Desa Pupuan. Dengan keberhasilannya di bidang ekonomi, secara tidak langsung, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mengangkat nama desanya dengan keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi. Selain itu, dengan kekuatan ekonominya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu membangun desa menjadi lebih maju dari desa-desa sekitarnya. Tentunya perubahan-perubahan identitas ini menghasilkan stereotip dikalangan masyarakat yang tingal di Desa Pupuan terhadap etnis Tionghoa.
xix
SAMPUL DALAM ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
RINGKASAN ... xi
DAFTAR ISI ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR BAGAN ... xxv
DAFTAR TABEL ... xxvi
GLOSARIUM ... xxvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Tujuan Umum ... 8
1.3.2 Tujuan Khusus ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
xx
2.1 Kajian Pustaka ... 11
2.2 Konsep ... 19
2.2.1 Perubahan ... 19
2.2.2 Identitas Budaya ... 22
2.2.3 Etnis Tionghoa ... 26
2.2.4 Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan……….. 31
2.3 Landasan Teori ... 32
2.3.1 Teori Hibriditas ... 32
2.3.2 Teori Hegemoni ... 35
2.3.4 Teori Praktik ... 37
2.4 Model Penelitian ... 41
BAB III METODE PENELITIAN ... 43
3.1 Rancangan Penelitian ... 43
3.2 Lokasi Penelitian ... 44
3.3 Jenis dan Sumber Data ... 45
3.3.1 Jenis Data……….. 45
3.3.2 Sumber Data………. . 45
3.4 Penentuan Informan ... 47
3.5 Instrumen Penelitian ... 47
3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 48
3.6.1 Observasi ... 48
xxi
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA PUPUAN ... 54
4.1 Keadaan Geografis dan Penduduk Desa Pupuan ... 55
4.2 Mata Pencaharian Penduduk ... 58
4.3 Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial ... 59
4.4 Sistem Kepercayaan dan Pandangan Hidup ... 71
4.5 Pola Permukiman ... 74
4.6 Sejarah Pupuan ... 78
4.7 Sejarah Etnis Tionghoa di Desa Pupuan………. 85
BAB V PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN ... 92
5.1 Perubahan Agama dan Kepercayaan ... 94
5.2 Perubahan Bahasa ... 107
5.3 Perubahan Nama………. 113
BAB VI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN ... 124
6.1 Adanya Kesamaan Nilai Budaya antara Etnis Bali dengan Etnis Tionghoa ... 125
6.1.1 Masalah Hakekat Hidup ... 128
6.1.2 Masalah Mengenai Hubungan Manusia dengan Alam . 132 6.1.3 Masalah Mengenai Persepsi Manusia tentang Waktu .. 135
6.2 Adanya Faktor Sosial Ekonomi ... 136
xxii
6.4.2 Perubahan Hubungan Luar Negeri Indonesia
dengan China ... 163 BAB VII IMPLIKASI DAN MAKNA PERUBAHAN IDENTITAS ETNIS
TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN ... 170 7.1 Implikasi Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa
Pupuan ... 171 7.1.1 Implikasi Secara Sosial ... 171 7.1.2 Implikasi Individu ... 173 7.2 Makna Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa ... 175 7.2.1 Makna Harmonisasi dan Akulturasi ... 176 7.2.2 Makna Ekonomi ... 177 7.3 Refleksi ... 180 BAB VIII PENUTUP ... 191 8.1 Simpulan ... 191 8.2 Saran ... 196 Daftar Pustaka ... 197
LAMPIRAN
Pedoman Wawancara
Daftar Informan
xxiii
4.2 Ilustrasi Tempat Ibadah Etnis Tionghoa………... 73
4. 3 Tempat Ibadah Etnis Tionghoa……….. 73
4.4 Cetia... 74
4.5 Pemukiman di Desa Pupuan... 78
4.6 Temuan Sarkofagus di Pura Griya Sari Desa Pupuan………. 79
4.7 Sarkofagus di Kayu Puring di Desa Pupuan………... 80
4.8 Foto Pelinggih Tegal Penangsar... 84
4.9 Catatan Mengenai Kedatangan She Kang yang Pertama ke Pupuan... 88
4.10 Salah Satu Anugerah dari Raja yang Berupa Pedang…………... 89
5.1 Bangunan Rumah Abu, Bangunan Dewa Kwan Kong dan Cetia di
Salah Satu Rumah Warga Etnis Tionghoa di Desa Pupuan... 96
5.2 Merajan di Pekarangan Salah Seorang Warga Tionghoa di Desa
Pupuan………. 98
5.3 Pura Luhur Kayu Padi (Duur Kauh) ……….. 101
5.4 Vihara Dharma Giri………. 105
5.5 Contoh SBKRI………. 117
5.6 Penggantian Nama yang didaftarkan di Kajari……… 118
6.1 Cerita Ramayana yang ditulis dalam Aksara Bali, Buah Karya salah
xxv
4.2 Struktur Pemerintahan Desa Adat Pupuan... 68
4.3 Struktur Karang Semadi…... 70
xxvi
4.2 Jumlah Penduduk Desa Adat Pupuan berdasarkan Banjar Adat... 57
4.3 Pengelompokkan Penduduk Desa Pupuan berdasarkan Jenis
Pekerjaan... 59
4.4 Marga (she) Etnis Tionghoa di Desa Pupuan... 62
xxvii
hidup dalam masyarakat untuk mewudjudkan tata kehidupan yang ajeg diimasyarakat.
bahasa ko’I :bahasa mandarin.
banjar :suatu kesatuan komunitas yang lebih kecil dari pada desa. Secara etimologis, banjar berarti baris atau lingkungan.
cacakan :masuk hitungan.
cap go meh :merupakan rangkaian hari raya terakhir di bulan Cia Gwee bagi orang Tionghoa. Cap Go Meh disebut juga pesta Goan Siauw atau hari lahirnya Siang Goan Thian Koan atau roh yang memerintah langit dan bumi. Versi lain menyebut perayaan Cap Go Meh sebagai pesta musim bunga terbesar untuk menghormati matahari yang muncul pada musim dingin yang berkabut.
cengbeng :Merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah ke kuburan sesuai dengan ajaran Khonghucu. Festival tradisional Cina ini jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik Matahari pada musim dingin (atau hari ke 15 dari hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi), pada umumnya jatuh pada tanggal 5 April, dan setiap tahun kabisat, Qing Ming jatuh pada tanggal 4 April
cetia :tempat sembahyang yang berada di rumah khusus untuk etnis Tionghoa. Biasanya pada cetia terdapat patung Buddha, dan Dewi Kwan Im. Kadangkala terdapat juga patung Buddha Sivali.
xxviii
desa pakraman :kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga/kahyangan desa,yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
dresta :pandangan suatu masyarakat mengenai tatakrama pandangan hidup.
gamang :mahluk gaib yang biasanya tinggal di tempat-tempat tertentu.
gambling :perjudian, berani mengambil resiko.
hibrid :mengacu pada percampuran/perkawinan dua esensi atau lebih yang kemudian melahirkan sesuatu yang dianggap lebih unggul, dalam tulisan ini mengacu pada budaya.
hoki :peruntungan dan nasib baik serta bagaimana cara seseorang menyiasati agar selalu mendaptkan nasib baik.
hongsui :kepercayaan pad faktor-faktor alamiah yang diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia.
hopeng :cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi usaha.
xxix
jero gde :istilah lain untuk penunggun karang, merupakan dewa yang berfungsi untuk penjaga rumah (menjaga karang).
karang desa :tanah yang dimiliki oleh desa.
klian banjar :pimpinan banjar.
kongco : secara harafiah memiliki arti kakek buyut. Akan tetapi di Indonesia Kongco merupakan tempat peribadatan etnis Tionghoa untuk memuja Dewa Kong.
lauchu :ketua.
lekita :catatan mengenai suatu kejadian dimasyarakat:
lotiah :kepala kampung.
maha cetia :cetia yang bisa dipergunakan untuk umum.
mebanten :sebuah prosesi mempersembahkan sesuatu kehadapan Tuhan yang biasa dilakukan oleh orang Bali.
mekekawin :melantunkan nyanyian, biasanya puja-puji kehadapan Tuhan.
mepekuren :mengacu pada keanggotaan benjar berdasarkan pernikahan.
merajan :tempat bersembahyang umat Hindu Bali.
nangkil :menghadap untuk memperlihatkan sujud bakti.
xxx
paswara :suatu keputusan raja (pemerintah).
patra cina :ukiran yang mendapatkan pengaruh dari budaya China.
penyamaan :persaudaraan.
perbekel :kepala desa.
pis bolong :uang kepeng, uang yang berasal dari China, Korea, Vietnam, yang saat ini dipergunakan sebagai sarana ritual di Bali.
purusa :penerus garis keturunan dari pihak laki-laki, patrilineal, tetapi belum tentu laki-laki.
totok :murni, tanpa campuran. Mengacu pada etnis Tionghoa.
ratu nyoman :sering disebut juga penumbak rurung/dewa penjaga depan rumah.
rebutan :perayaan dan sembahyang sebagai penghormatan kepada hantu-hantu tersebut. Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris di zaman dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Adanya pengaruh Buddhisme memunculkan kepercayaan mengenai hantu-hantu kelaparan (makhluk Preta) yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia.
rumah abu :tempat penyimpanan abu leluhur, dimiliki oleh etnis Tionghoa.
xxxi
memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu.
shee :marga.
sima :mulanya berarti patok atau batas suatu wilayah desa yang kemudian berubah arti menjadi patokan-patokan atau ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu masyarakat.
siopwe :mediator dewa, biasanya dipergunakan untuk menentukan hari baik atau penentuan keluarga siapa yang mendapatkan mandate utama.
subak :organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan yang digunakan dalam cocok tanam di Bali.
taksu :kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut/kalau mengacu pada pelinggih taksu, berarti tempat melinggihnya batara yang memberikan keahlian.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tiada yang abadi selain perubahan itu sendiri, begitu kata I Ching alias Ya
Keng (http://www.jamilazzaini.com/678/. diakses tanggal 28 mei 2012). Tidak
mungkin juga memahami apa yang dipandang baru tanpa merujuk pada masa lalu
(Gungwu dalam Erniwati, 2011:1). Demikian juga halnya dengan identitas,
identitas masa kini sangat berkaitan erat dengan identitas pada masa lalu, dan
perubahan identitas merupakan suatu hal yang wajar adanya.
Mengacu pada pandangan cultural studies, identitas dan subjektifitas
sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Subjektifitas adalah
menyangkut diri (identitas pribadi) seseorang, di dalamnya tercakup perasaan,
emosi, hasrat dan kemauan seseorang. Subjektifitas juga berkaitan dengan
kesadaran (concious) dan ketidaksadaran (unconscious) seseorang. Chris Barker
menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya.
Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau
akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171). Identitas seseorang atau suatu
kelompok dalam kaitan inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan
yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya
hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan.
Perubahan identitas di Indonesia, juga didukung dengan adanya fakta,
bahwa Indonesia merupakan sebuah negara multikultur yang terdiri dari berbagai
macam etnis dari Sabang sampai Merauke, Mianggas sampai Rote. Berdasarkan
data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 3 Februari 2011 diketahui
Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa (http://www.bps.go.id. diakses tanggal 28
mei 2012), mendiami sekitar 13.000-an pulau.
Selain itu pada awal tarikh masehi sampai abad ke XV, wilayah Indonesia
merupakan sumber dari rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, yang menarik
minat bangsa-bangsa China, India, Arab maupun Eropa untuk datang ke
Indonesia. Adanya hubungan dengan bangsa luar, etnis-etnis yang ada di
Indonesia mengadakan kontak, baik secara intens maupun jarang, karena salah
satu sifat dasar manusia, membutuhkan manusia lainnya untuk hidup, dan
merupakan mahluk yang senang bergaul (animal society).
Kontak antar etnis ini kemudian menimbulkan pengaruh baik secara difusi
maupun evolusi terhadap masing-masing etnis, menjadikan perubahan identitas
suatu etnis di Indonesia menjadi suatu hal yang terus menerus dan terjadi secara
berkelanjutan. Perubahan nama depan menjadi Wayan, Made, Komang dan Ketut
pada komunitas Muslim Kampung Pegayaman, penggunaan uang kepeng (pis
bolong), patra Cina pada etnis Bali, merupakan bukti bahwa identitas suatu etnis
dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan etnis lainnya.
Hegemoni, juga sangat mempengaruhi perubahan identitas budaya suatu
etnis, di mana budaya dominan akan berusaha untuk mengkooptasi budaya
minoritas, dan budaya minoritas akan berusaha untuk mengadopsi produk budaya
dominan untuk menjaga eksistensinya. Prinsip hegemoni dalam perkembangan
kelompok berkuasa (budaya dominan) dengan kelompok yang dikuasai (budaya
minoritas) sehingga apa yang diciptakannya adalah sebuah masyarakat sipil. Di
dalam masyarakat sipil tersebut, pandangan hidup kelas yang dikuasai bukanlah
pandangan kelas hegemoni yang dipaksakan secara pasif, tetapi merupakan
artikulasi dari berbagai pandangan hidup yang ada dari berbagai kelompok sosial,
yang kemudian disatukan dalam sebuah prinsip artikulasi yang konduktornya
adalah kelas hegemoni (Piliang, 2010:71-73). Hal ini tentunya akan menimbulkan
adanya sebuah identitas budaya baru yang berbeda dengan budaya sebelumnya,
akan tetapi masih memiliki nilai, bahkan bentuk budaya lama. Identitas budaya
ini, berada pada ranah yang “abu-abu”, tidak hitam, tidak putih tetapi memiliki
ciri-ciri identitas budaya yang hitam maupun putih.
Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa
yang terdapat di Desa Pupuan. Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di
Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut
yang diakibatkan oleh kondisi sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang
tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia
yang selalu bergejolak. Hegemoni negara maupun dominasi etnis mayoritas atas
etnis Tionghoa demikian kuatnya, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu
dihadapkan pada kondisi-kondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya
sebagai sebuah etnis.
Selain itu adanya hubungan pernikahan campuran dengan etnis-etnis lain,
peranakan juga mempengaruhi eksistensi etnis Tionghoa. Tentunya Tionghoa
peranakan memiliki identitas budaya yang berbeda dengan leluhurnya. Perubahan
identitas budaya dari “totok” ke peranakan, menyebabkan identifikasi terhadap
etnis Tionghoa di Desa Pupuan, pada masa kini, sudah tidak bisa dilakukan
berdasarkan kriteria ras yang paling sederhana sekalipun. Hal ini dikarenakan
etnis Tionghoa peranakan mengidentifikasikan diri di negeri mereka tinggal,
seraya tetap sadar sebagai orang Tionghoa (Gungwu, 1991:1).
Oleh sebab itu, untuk mengidentifikasikan identitas etnis Tionghoa,
satu-satunya cara yang bisa dipergunakan adalah dengan jalan identifikasi identitas
secara budaya. Identitas budaya seorang etnis Tionghoa akan terlihat pada
penggunaan produk budaya Tionghoa, semisal penggunaan nama keluarga dan
keterikatan pada ikatan keluarga Tionghoa (Skinner, dalam Tan.ed, 1979:1-2).
Pada penggunaan nama misalnya, seorang Tionghoa akan menjadi cepat akrab
dengan orang yang baru dikenalinya, apabila mengetahui bahwa nama
keluarganya sama (shee).
Walaupun demikian, etnis Tionghoa peranakan juga melakukan
penyerapan unsur-unsur budaya lokal setempat seperti bahasa, pendidikan, bahkan
agama dalam sendi-sendi prilaku kehidupannya (Hirschman, dalam Cushman,
Jeniffer dan Wang Gungwu.ed, 1991:31-33). Di mana unsur-unsur budaya lokal
ini pada kelanjutannya, memperkaya budaya Tionghoa peranakan dan sekaligus
mengubah identitas budayanya.
Di Desa Pupuan, identitas budaya etnis Tionghoa peranakan yang
Tionghoa di Desa Pupuan. Di mana identitas budaya etnis Tionghoa di Desa
Pupuan yang saat ini dipergunakan merupakan hasil dari sebuah proses
perubahan, proses adaptasi yang dilakukan sejak pertama kali menginjakkan
kakinya di Desa Pupuan. Tidak kurang dari empat masa yang bisa dikatakan
sebagai momen-momen krusial perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa
Pupuan, yakni masa Kerajaan Tabanan (masa pra kemerdekaan), masa
kemerdekaan, masa Orde Baru, dan masa reformasi. Masing-masing dari masa ini
memiliki peran tersendiri dalam perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa
Pupuan. Hal yang menarik terjadi setelah era reformasi, di mana terjadi
kebangkitan harga diri etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan.
Perubahan yang sangat besar terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden
Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres no 6/2000 untuk mencabut Inpres
no.14/1967 dan membebaskan etnis Tionghoa dalam merayakan hari besar dan
menunjukkan adat istiadat mereka.
Keterbukaan dan kebebasan melaksanakan budaya serta adat istiadat
leluhur semakin terbuka setelah tahun 2002 Presiden Megawati menyatakan Hari
Raya Imlek sebagai libur nasional dan tahun 2006, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menghapus diskriminasi dengan mengeluarkan UU Kewarganegaraan
RI no. 12 tahun 2006. Perubahan kebijakan dari negara yang bersifat nasional
yang mengembalikan identitas etnis Tionghoa ke pemiliknya, juga ikut mengubah
identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan (Erniwati, 2011:2-5).
Desa Pupuan sebagai lokasi tempat tinggal juga memiliki peranan yang
rumah, memberikan ruang bagi etnis Tionghoa tempat untuk melakukan aktivitas,
berinteraksi, bersosialisasi juga berbagi peran dengan masyarakat lainnya. Saat
ini, jumlah etnis Tionghoa yang tercatat sebanyak 180 kepala keluarga dan
tergabung dalam satu ikatan perkumpulan suka duka Karang Semadi.
Pada kehidupan sehari-hari di Desa Pupuan, kehidupan masyarakat etnis
Tionghoa Pupuan berbaur dengan masyarakat etnis Bali baik itu dalam
pemukiman maupun desa pakraman. Tidak ada pemukiman khusus etnis
Tionghoa, maupun etnis lainnya di Desa Pupuan. Demikian juga dalam kehidupan
desa pakraman di Desa Pupuan, masyarakat etnis Tionghoa, walaupun mereka
bukan etnis Bali, tetapi ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan adat maupun agama
terutama kegiatan-kegiatan di Pura Khayangan Tiga (Pura Puseh, Pura Dalem dan
Bale Agung) maupun pura-pura lainnya yang terletak di wilayah desa pakraman.
Keikutsertaan ini sudah merupakan tradisi yang diwariskan secara turun menurun
dari generasi ke generasi, yang dibuktikan dengan adanya
peninggalan-peninggalan masa lampau yang berupa patung, tulisan yang memiliki kekhasan
etnis Tionghoa di beberapa tempat suci di Desa Pupuan. Walaupun demikian
pembauran tersebut tidak menjadikan etnis Tionghoa menjadi kehilangan akar
budayanya, yang masih sangat kental akan tradisi-tradisi yang bersumber dari
ajaran nenek moyangnya. Meskipun secara ekstrinsik etnis Tionghoa berbeda
dengan etnis Bali di Desa Pupuan, namun mereka hidup berdampingan sehingga
dapat dikatakan telah membentuk masyarakat multikultural. Bahkan masyarakat
etnis Bali di Desa Pupuan memiliki istilah baru untuk etnis Tionghoa yang telah
Apapun bentuknya itu, perubahan identitas budaya adalah hal yang harus
terjadi untuk mempertahankan eksistensi sebuah etnis. Masalahnya adalah
bagaimana etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu beradaptasi, tetap
memperlihatkan identitas budayanya, dan hidup secara secara berdampingan
sampai sekarang dalam keadaan masyarakat yang terus berubah.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti
fenomena tersebut dari sudut pandang Cultural Studies dengan judul,
“Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa diDesa Pupuan Kecamatan
Pupuan Kabupaten Tabanan”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang
menarik untuk dikaji. Masalah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa
Pupuan?
2. Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di
Desa Pupuan?
3. Apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum ditujukkan untuk memperoleh jawaban atas permasalahan dari penelitian
secara umum, sedangkan tujuan khusus ditujukkan guna memperoleh jawaban
atas rumusan masalah.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
menggali informasi dan mengkaji identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
Melalui penelitian ini diharapkan studi tentang etnis Tionghoa di Bali dari sudut
pandang kajian budaya bisa dikembangkan dan pada akhirnya diharapkan ikut
menyumbangkan sedikit pengetahuan bagi khazanah keilmuan kajian budaya.
1.3.2Tujuan Khusus
Penelitian ini, secara khusus bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Jadi tujuan khusus
dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di
Desa Pupuan
2. Untuk memahami faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis
Tionghoa di Desa Pupuan.
3. Untuk menginterpretasi implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis yang sangat
penting dan dapat dipergunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi
perguruan tinggi khususnya dan secara praktis penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi, rujukan maupun perbandingan dalam penelitan mengenai
etnis Tionghoa maupun identitas suatu etnis berikutnya.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu
tentang interaksi, multikulturalisme serta identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
Penelitian ini dapat dijadikan acuan keilmuan dalam khazanah kajian budaya,
terutama dalam bidang penelitian sistem pengembangan dan pengendalian sosial.
1.3.3 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan mampu memberi
gambaran baik secara umum maupun khusus tentang perubahan identitas budaya
etnis Tionghoa di Desa Pupuan dan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan
identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Selain itu, penelitian ini diharapkan
memberi masukan bagi seluruh masyarakat maupun penentu kebijakan untuk
dapat mengembangkan multikulturalisme dan toleransi yang belakangan ini
sedikit mengendor di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi
identitas etnis serta diharapkan mampu memperkaya khazanah ilmu Kajian
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan salah satu rangkaian penelitian yang berguna
untuk mengetahui sejauh mana penelitian sebelumnya memiliki relevansi dengan
penelitian ini. Kajian pustaka dibutuhkan untuk memberi arahan yang lebih baik
dan memberikan gambaran umum dalam penelitian ini. Dalam kajian pustaka ini
penulis merujuk beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi
dengan penelitian yang akan dibahas.
Penelitian yang berhubungan dengan perubahan identitas etnis Tionghoa
di Bali sampai saat ini masih sangat kurang, terlebih lagi bila ditinjau dari aspek
Kajian Budaya. Atas keterbatasan ini, beberapa hasil penelitian yang berhubungan
dengan etnis Tionghoa dipergunakan untuk mendukung kepentingan penelitian
yang berjudul “Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa Kasus di Desa Pupuan
Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan”. Beberapa hasil penelitian dan pustaka
yang berhubungan dengan etnis Tionghoa dipergunakan sebagai arahan dan
perbandingan bagi kepentingan penelitian.
Disertasi dari Erniwati yang berjudul China Padang dalam Dinamika
Masyarakat Minangkabau dari Revolusi sampai Reformasi. Disertasi dari Erniwati
menjelaskan bagaimana karakteristik China Padang yang minoritas di Padang
khususnya ketika menghadapi masa revolusi, PRRI, Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi. Proses yang panjang ini menjadikan identitas China Padang menjadi
fluktuatif, menyesuaikan diri dengan politik yang ada. Akan tetapi pada
waktu-waktu tertentu, China Padang memperlihatkan identitasnya baik sebagai anggota
perkumpulan, keagamaan atau kongsi dagang. Hal ini memperlihatkan bahwa
China Padang memiliki identitas ganda, namun ada unsur ruang, lokalitas Padang
yang sangat mempengaruhi pembentukan identitas China Padang.
Secara umum disertasi dari Erniwati yang mengambil perspektif historis
memberikan penulis gambaran secara luas mengenai perkembangan identitas etnis
yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang, dari revolusi sampai
reformasi. Konsep-konsep yang dipergunakan Erniwati, juga penulis pergunakan
sebagai perimbangan dalam melakuan penelitian ini. Akan tetapi tentunya dibalik
itu semua, penelitian yang penulis laksanakan berbeda dari disertasi Erniwati.
Penelitian penulis akan mengambil fokus pada perubahan identitas budaya dengan
melihat dari perspektif Kajian Budaya.
Tesis dari I Ketut Wirata pada tahun 2005 yang berjudul Integrasi Etnis
Tionghoa di Desa Adat Carangsari Kecamatan Petang Kabupaten Badung Bali,
Suatu Kajian Budaya. Dalam tesisnya ini, Wirata meneliti tentang integrasi etnis
Tionghoa kedalam masyarakat Bali. Etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari
dikatakan Wirata terikat satu penyamaan dengan etnis Bali di Carangsari. Hal ini
dimungkinkan dikarenakan etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari sama-sama
menempati karang desa dengan etnis Bali. Selain itu terintegrasinya etnis
Adat Carangsari juga memiliki sanggah untuk memuja leluhur dan Tuhan Yang
Maha Esa, serta sama-sama memeluk agama Hindu.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Wirata adalah penelitian baik
dari Wirata maupun penelitian yang akan penulis teliti sama-sama mengambil
sudut pandang Kajian Budaya, selain itu, baik Wirata maupun penulis, sama-sama
mempergunakan etnis Tionghoa sebagai objek penelitian yang diteliti. Sedangkan
perbedaannya, Wirata menekankan penelitiannya pada integrasi etnis Tionghoa ke
dalam Desa Adat Carangsari, mengapa etnis Tionghoa di Carangsari bisa
berintegrasi ke dalam struktur masyarakat Bali, sedangkan penelitian ini terfokus
pada perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yang tidak
hanya mendapatkan pengaruh dari budaya Bali akan tetapi juga pengaruh dari
kehidupan sosial ekonomi dan religi komunitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
Hasil penelitian dari Sutjiati Berata dkk, tahun 2010 yang berjudul Dari
Tatapan Mata ke Pelaminan Sampai di Desa Pakraman, Studi Tentang Hubungan
Orang Bali dengan Orang China di Bali yang diterbitkan oleh Udayana University
Press. Penelitian ini mengambil lokasi di beberapa tempat di Bali, diantaranya,
Desa Baturiti, Denpasar, Desa Carangsari dan Desa Padangbai yang mana
menghasilkan beberapa buah simpulan mengenai hubungan antar etnis Tionghoa
dengan etnis Bali di tengah kehidupan masyarakat yang multikultur khususnya
mengenai pernikahan campur yang terjadi antar etnis Tionghoa dengan etnis Bali.
Selain itu, dalam penelitian ini juga dijelaskan mengenai implikasi kebersamaan
orang Bali dengan orang China dalam desa Pakraman. Penelitian dari Sutjiati
latar belakang ketiga peneliti yang berbeda. Sutjiati Berata, berlatar sastra, Wayan
Ardika berlatar belakang arkeologi sedangkan Nyoman Dana berlatar belakang
antropologi.
Penelitian ini memberikan peneliti gambaran mengenai bagaimana
implikasi perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, yang
mana penulis ingin mengetahui seberapa jauh perkawinan campuran ini
mempengaruhi identitas budaya pada etnis Tionghoa diDesa Pupuan. Akan tetapi
tentunya secara keseluruhan penelitian yang akan penulis laksanakan berbeda
dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Sutjiati Berata dkk. Penelitian
yang akan penulis lakukan mengambil cakupan yang lebih luas, yakni mengenai
perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Selain itu lokasi penelitiannya pun
berbeda sehingga hasil penelitian, pada nantinya akan berbeda. Sedangkan
perspektif penelitian akan berbeda karena perspektif penelitian yang akan penulis
gunakan adalah perspektif kajian budaya.
Buku yang berjudul Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas:
Hubungan Antara Ingatan Kolektif dan Media, karangan Aimee Dawis, Phd terbit
tahun 2010. Buku ini sebenarnya adalah terjemahan disertasi Aimee Dawis yang
berjudul “The Chinese of Indonesia and Their Search for Identity: The
Relationship Between Collective Memory and the Media” yang menceritakan
tentang saat-saat penuh bahaya dalam sejarah Indonesia ketika Orde Baru
pimpinan Soeharto menerapkan kebijakan akulturasinya terhadap orang Tionghoa
Indonesia. Pemerintah Orde Baru ketika itu mengeluarkan larangan penggunaan
memotong semua hubungan dengan Tiongkok yang dianggap komunis. Buku ini
menyoroti generasi yang lahir, dibesarkan dan menajdi dewasa dalam tekanan ini.
Iklim tekanan ini, kemudian lepas dan mencapai puncaknya ketika Presiden
Abddurahman Wahid mencabut semua Keppres dan peraturan pemerintah yang
mendiskriminasi etnis Tionghoa.
Ironisnya era keterbukaan ini dimulai dengan saat-saat yang kelam bagi
etnis Tionghoa, di mana terjadi perampokan, pembunuhan, pemerkosaan terhadap
etnis Tionghoa. Sedikit berbeda dengan buku yang ditulis oleh Aimee Dawis,
penelitian ini akan terfokus pada perubahan identitas budaya etnis Tionghoa
dengan studi kasus di Desa Pupuan, di mana identitas komunitas Tionghoa di sana
terbentuk tidak hanya disebabkan oleh akulturasi paksa yang dilakukan oleh
pemerintah, tetapi juga hasil kompromi budaya dengan budaya sekitarnya, selain
itu bidang kajian dari penelitian ini berbeda. Aimee Dawis mengambil dari bidang
Kajian Media, sedangkan penelitian ini akan bersudut pandang Kajian Budaya.
Namun, dibalik perbedaan-perbedaan yang ada, tulisan dari Dawis ini
sedikitnya memberikan gambaran bagi penulis untuk membayangkan bagaimana
perkembangan situasi secara umum di Indonesia bagi etnis Tionghoa, khususnya
bagaimana etnis Tionghoa memandang media sebagai sarana untuk bernostalgia
terhadap kehidupan etnis Tionghoa pada masa lampau, baik itu melalui film-film
kungfu maupun berita-berita.
Tulisan dari Sulistyawati, pada tahun 2011 yang berjudul Pengaruh
Kebudayaan Tionghoa Terhadap Peradaban Budaya Bali yang termuat pada
terfokus pada akulturasi yang terjadi antara budaya etnis Tionghoa ke dalam
budaya Bali, di mana unsur-unsur budaya etnis Tionghoa melebur menjadi satu ke
dalam budaya Bali. Terdapat 7 poin yang ingin diungkapkan Sulistyawati dalam
tulisannya ini. Pertama pengaruh budaya Tionghoa terhadap sistem religi dan
upacara keagamaan; kedua pengaruh budaya Tionghoa terhadap sistem dan
organisasi kemasyarakatan; ketiga, pengaruh budaya Tionghoa terhadap sistem
pengetahuan; keempat, pengaruh budaya Tionghoa terhadap bahasa; kelima
pengaruh budaya Tionghoa terhadap kesenian; keenam pengaruh budaya
Tionghoa terhadap mata pencaharian hidup; dan ketujuh pengaruh budaya
Tionghoa terhadap sistem teknologi dan peralatan (2011:14-39). Tulisan dari
Sulistyawati ini mengambil sudut pandang dari perspektif budaya Tionghoa.
Tulisan dari Sulistyawati ini memberikan penulis gambaran tentang
besarnya pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Bali. Bahkan bisa dikatakan
berdasarkan tulisan ini, bahwa hampir semua unsur budaya Bali mendapatkan
pengaruh dari budaya Tionghoa. Penelitian yang akan dilakukan penulis akan
mengambil gambaran yang berbeda dari tulisan Sulistyawati ini, di mana penulis
akan mengambil gambaran bagaimana budaya Bali, dan kehidupan sosial
ekonomi religius komunitas etnis Tionghoa mempengaruhi identitas etnis
Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Selain itu perbedaan penelitian penulis
dengan tulisan Sulistyawati ini adalah, penulis akan mempergunakan perspektif
Kajian Budaya dalam melakukan penelitian.
Penelitian Made Purna pada tahun 2008 yang berjudul Pengaruh
Sebuah Model Integrasi Budaya, yang termuat dalam Jurnal Penelitian Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, menyatakan bahwa perkenalan budaya
Tionghoa terhadap budaya Bali sudah ada semenjak abad ke 7 Masehi, di mana
Bali pada saat itu sudah dikenal oleh China dikarenakan oleh pemerintahannya
yang sudah dianggap maju. Dalam bidang religi, banyak tradisi-tradisi,
cerita-cerita maupun tarian-tarian yang mendapatkan pengaruh dari etnis Tionghoa.
Misalkan saja pada Barong Landung, di mana keberadaan Barong Landung
berdasarkan pada mitologi rakyat Kang Cing Wi, Dalem Balingkang dan Dewi
Danu. Selain itu dalam penelitiannya, Purna juga meneliti tentang unsur-unsur
perekat/integrasi antara budaya Bali dengan etnis Tionghoa, yang diantaranya
masalah kawin, sama-sama menghormati leluhur dan simbol-simbol keagamaan.
Khusus mengenai simbol-simbol keagamaan Purna, menjelaskan bahwa kesamaan
simbol-simbol keagamaan menjadikan hubungan antara etnis Tionghoa dengan
budaya Bali menjadi sangat erat.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Purna adalah sama-sama
melihat adanya hubungan erat antara budaya Bali dengan etnis Tionghoa,
sehingga menjadikan kedua unsur ini saling mempengaruhi satu sama lain.
Sedangkan perbedaannya adalah penulis akan mengambil perspketif dari kajian
budaya, berbeda halnya dengan Purna yang mengambil perpektif dari antropologi.
Penelitian penulis juga lebih terfokus pada perubahan identitas yang ada pada
etnis Tionghoa yang mengambil studi kasus di Desa Pupuan.
Buku yang berjudul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, sebuah karya
artikel yang pernah dipublikasikan di Star Weekly dari tahun 1958-1960, di mana
kesemua artikel tersebut menyangkut tentang posisi kelompok Tionghoa
peranakan di Indonesia. Analisis dari buku ini yang mengambil sudut pandang
sejarah dan politik, sangat dipengaruhi oleh latar belakang Onghokham, seorang
sejarahwan walaupun sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Hukum
Universitas Indonesia.
Terdapat 14 artikel yang dimuat dalam buku ini dari 41 artikel yang Ong
sumbangkan kepada Star Weekly. Jika dilihat dan dianalisis, terdapat 4 poin
bahasan yang dimuat dalam buku ini yang saling terikat satu sama lain. Pertama
mengenai sejarah sosial politik orang Tionghoa peranakan di Jawa, Madura dan
Filipina. Kedua mengenai pandangan Ong terhadap kedudukan Tionghoa dalam
tataran masyarakat Indonesia. Ketiga, kontribusi Ong atas polemik mengenai
akulturasi versus integrasi, di mana Ong merupakan salah satu tokoh utama
akulturasi hingga tahun 1963, dan yang keempat membahas mengenai keluarga
Ong yang merupakan keturunan keluarga Han dan Tan yang cukup disegani di
Jawa Timur.
Sedikit berbeda dengan buku yang ditulis oleh Onghokham, penelitian ini
akan terfokus pada perubahan identitas etnis Tionghoa, dengan mengambil kasus
di Desa Pupuan dan mempergunakan perspektif kajian budaya. Akan tetapi, buku
ini bisa menjadi salah satu perbandingan untuk melihat akulturasi yang terjadi di
Jawa, Madura, Filipina dengan yang terjadi di Bali.
Selain kajian-kajian di atas secara keseluruhan masih banyak penelitian/
mengenai akulturasi antara etnis Tionghoa dengan budaya lokal. Kajian-kajian
tersebut di atas, secara keseluruhan dapat memberikan gambaran yang sangat
berarti dalam melihat secara jeli terhadap fenomena perubahan identitas budaya
yang terdapat pada etnis Tionghoa. Akan tetapi, dari beberapa kajian-kajian di
atas tampaknya belum ada kajian khusus yang membahas mengenai perubahan
identitas budaya etnis Tionghoa.
2.2. Konsep
Istilah konsep digunakan sebagai upaya untuk menggambarkan secara
tepat fenomena yang hendak diteliti. Dalam definisinya diartikan sebagai istilah
yang menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau
individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.
Untuk menghindari kesalahpahaman mengenai topik kajian dalam
penelitian ini, maka ada beberapa konsep yang perlu dibatasi yakni: (1)Perubahan,
(2) Identitas Budaya, (3)Etnis Tionghoa,
2.2.1 Perubahan
Ketika berbicara tentang perubahan, tentunya terjadi dalam jangka waktu
tertentu, yang mana terdapat keadaan sebelum dan sesudah dalam jangka waktu
tertentu. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan perubahan adalah perubahan
identitas. Menurut Machionis, perubahan adalah transformasi dalam organisasi
konsep dasar dari perubahan mencakup tiga gagasan: perbedaan, pada waktu yang
berbeda dan diantara sistem sosial yang sama (Sztomka, 2007:5).
Perubahan, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut
pengamatan, apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini
disebabkan keadaan sistem sosial yang tidak sederhana, tidak hanya berdimensi
tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai
komponen sebagai berikut:
1.Unsur-unsur pokok (misalnya jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka).
2.Hubungan antar-unsur (misalnya ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan,
integrasi).
3. Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya peran pekerjaan yang
dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan
ketertiban sosial).
4. Pemeliharaan batas ( misalnya kriteria untuk menentukan siapa saja yang
termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, prinsip
rekruitmen dalam organisasi).
5. Subsistem (misalnya jumlah dan jenis seksi, segmen atau divisi khusus yang
dapat dibedakan)
6. Lingkungan (misalnya keadaan alam atau lokasi geopolitik).
Secara garis besar, dengan adanya perubahan keadaan-keadaan seperti yang
1. Perubahan komposisi (misalnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain,
menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena
kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok).
2. Perubahan struktur (misalnya terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan,
munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerjasama atau hubungan
kompetitif).
3. Perubahan fungsi (misalnya, spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya
peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasi oleh sekolah atau
universitas).
4. Perubahan batas (misalnya, penggabungan beberapa kelompok atau satu
kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan
demokratisasi keanggotaan dan penaklukkan).
5. Perubahan hubungan antarsubsistem (misalnya, penguasaan rezim politik atas
organisasi ekonomi, pengendaliann keluarga dan keseluruhan kehidupan privat
oleh pemerintahan otoriter).
6. Perubahan lingkungan (misalnya, kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya
wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional)
Namun, kadangkala, perubahan hanya terjadi sebagian, terbatas ruang
lingkupnya, tanpa menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem.
Sistem sebagai keseluruhan tetap utuh, tidak terjadi perubahan menyeluruh atas
unsur-unsurnya meski di dalamnya terjadi perubahan sedikit demi sedikit
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perubahan adalah
transformasi dalam organisasi mayarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku
pada waktu tertentu. Lingkup perubahan dalam penelitian ini mencakup,
perubahan komposisi, perubahan struktur, perubahan fungsi, perubahan batas,
perubahan hubungan antarsubsistem.
2.2.2 Identitas Budaya
Identitas berasal dari bahasa latin, kemudian diadopsi oleh bahasa Perancis
menjadi identité. Identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki
definisi ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda atau jatidiri.
Identitas seseorang dapat ditilik dari jenis kelamin, ras, etnis, bahasa, bangsa,
agama, dan bahkan dari cara dia berpakaian. Identitas bisa disimpulkan secara
sederhana sebagai sebuah kumpulan sifat-sifat yang menentukan bagaimana
seseorang “ingin meng/ di-identifikasi-kan.
Menurut Takashi Irimoto (dalam Kumbara, 2011:40-41), sebagai
paradigma baru dalam antropologi tentang etnisitas dan identitas menyebutkan:
1. Identitas sebagai kerangka kerja terdiri atas hubungan antara alam, manusia dan
masyarakat.
2. Pergaulan dengan satu macam tingkatan kelompok dari individu-individu di
dalam masyarakat terhadap segala macam kehidupan manusia.
3. Lebih lanjut, jika etnisitas ditambahkan kepada identitas, maka identitas dapat
diposisikan di dalam hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok yang
4. Identitas berhubungan dengan proses perubahan penduduk dan kebudayaannya.
Madan Sarup dalam kaitannya dengan perubahan identitas menyatakan
bahwa identitas itu tidak pernah tetap, tidak utuh, tidak satu, tetapi fabricated dan
constructed, terus digodok dalam proses. Artinya, bahwa identitas itu akan terus
berubah, terus dikonstruksi dalam suatu proses.
Budaya berasal dari bahasa Sansekerta ‘buddhayah’, yaitu bentuk jamak
dari budi atau akal. Kemudian kata ini berkembang definisinya menjadi daya dari
budi yang berupa cipta, rasa dan karsa (Koentjaraningrat, 2000:181). Sedangkan
kebudayaan sendiri adalah hasil cipta rasa dan karsa manusia, di mana dalam
antropologi istilah ini tidaklah dibedakan.
Williams, mendefinisikan konsep budaya sebagai budaya yang dibentuk
oeh makna dan praktik. Kebudayaan adalah pengalaman yang hidup: teks, praktik
dan makna bagi semua orang ketika mereka menjalani hidupnya. Kebudayaan
tidak menggambarkan kondisi material kehidupan, sebaliknya apapun tujuan
praktik budaya, sarana produksinya tidak terbantahkan lagi selalu bersifat materi.
Jadi makna kebudayaan yang hidup harus dieksplorasi di dalam konteks syarat
produksi mereka, sehingga menjadi bentuk kebudayaan sebagai keseluruhan cara
hidup(Barker, 2005:50-55).
Secara umum identitas dibagi menjadi dua dunia kategori utama, yakni:
identitas budaya dan identitas politik. Identitas budaya menentukan posisi subjek
di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan
belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu
pembedaan (sense of otherness) (Barker, 2005:169-190).
Stuart Hall (dalam Erniwati, 2011:21-22) membagi identitas budaya atas
dua definisi yang berbeda, yaitu pertama, identitas budaya berhubungan dengan
persamaan budaya pada suatu kelompok tertentu di mana anggota-anggotanya
memiliki sejarah dan nenek moyang yang sama. Identitas budaya pada definisi ini,
menggambarkan persamaan pengalaman sejarah dan berbagai lambang-lambang
budaya yang membuat mereka menjadi satu komunitas yang stabil, tidak berubah
dan melanjutkan kerangka acuan dan pemaknaan di bawah perubahan sejarah.
Kedua, definisi identitas budaya adalah identifikasi yang dibentuk oleh sejarah
dan unsur-unsur kebudayaan. Identitas budaya disini kemudian mengandung
identitas politik, yaitu politik penentuan posisi dalam masyarakat tertentu.
Stuart Hall menjelaskan bahwa identitas kebudayaan sebagai representasi
adalah tidak permanen karena merupakan produksi atau konstruksi yang tidak
lengkap, tetapi selalu dalam proses perubahan dan dibentuk dari dalam kelompok.
Kedua definisi ini memperkuat definisi identitas sebagai kategori budaya, sejarah,
dan politik. Identitas budaya tunduk atau berada di bawah permainan sejarah,
budaya, dan kekuasaan yang berakar pada masa lalu. Dengan kata lain identitas
budaya dibentuk oleh diskursus budaya melalui sejarah yang terkait dengan
permainan kekuasaan melalui transformasi dan pembedaan (difference).
Secara implisit, Bhaba (Supriyono, dalam Sutrisno dkk. ed, 2004:145-146)
berpendapat bahwa identitas budaya bukanlah identitas bawaan yang dibawa sejak
pandangan tentang oposisi biner “penjajah” dan “terjajah” tidak lagi sebagai yang
terpisah satu dari yang lain dan masing-masing berdiri sendiri. Sebaliknya,
pendapat Bhaba menganjurkan bahwa negosiasi identitas budaya mencakup
perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya yang terus menerus yang pada
saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan perbedaan budaya.
Relasi budaya-budaya, termasuk “penjajah” dan “terjajah”, berada dalam
interpendensi dan konstruksi subjektivitas yang mutual. Menurut Bhaba, budaya
dan sistem budaya terbentuk dalam ruang ketiga. Interpendensi itu mengambil
wajah dalam hibriditas. Hibriditas identitas, memunculkan diri dalam budaya,
bahasa, ras dan sebagainya. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, cultural
studies memaknai identitas sebagai sebuah ‘entitas’ yang dapat diubah menurut
sejarah, waktu dan ruang tertentu.
Dalam kaitannya dengan identitas budaya etnis Tionghoa, Wang Gungwu
mengatakan bahwa konsep identitas budaya membuka kemungkinan untuk
mengkaji tidak hanya bagaimana orang-orang Tionghoa menopang identitas
Tionghoa mereka sambil mengadopsi banyak nilai-nilai yang bukan Tionghoa,
tetapi juga bagaimana sebagian mereka dapat melakukan akulturasi total dan
menerima suatu identitas yang bukan Tionghoa yang sepenuhnya baru. Dengan
konsep ini para cendekiawan akan bisa menjajaki kesediaan orang Tionghoa
menerima identitas nasional, lokal, dan menelaah sejauh mana mereka
mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, ketika berhubungan dengan orang
Tionghoa lainnya yang juga tinggal di lokalitas yang sama atau dengan orang
Identitas budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu jati diri
sebuah komunitas Tionghoa yang tidak dibawa dari lahir dan terus mengalami
perubahan, baik itu pengaruh unsur-unsur budaya luar yang mutual maupun
pengaruh sejarah dan kekuasaan. Hal ini, sejalan dengan pandangan Bhaba dan
Hall yang menyatakan bahwa identitas budaya bukan merupakan identitas yang
dibawa semenjak lahir dan akan mengalami perubahan terus menerus dan
perubahan ini akan terkait dengan relasi interaksi budaya, sosial, kekuasaan,
politik dan sejarah masa lalu. Identitas budaya dalam penelitian ini mencakup
bahasa, religi/kepercayaan, dan penamaan
2.2.3 Etnis Tionghoa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etnis berarti kelompok
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan
tertentu karena keturunan adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
Narrol, menyatakan bahwasannya yang disebut dengan etnis/kelompok
etnis adalah sebagai berikut:
1.Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
2.Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan
dalam suatu bentuk budaya.
3.Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
4.Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan
dapat diterima oleh kelompok lain, dan dapat dibedakan dari kelompok populasi