• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.2 Masalah Pembangunan Wilayah Kabupaten Ciamis

Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat sebagaimana terlihat pada Gambar 1, tanggal 16 Juni 1964 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis yang secara resmi dikukuhkan dengan surat keputusan DPRD Kabupaten Ciamis pada tanggal 17 Mei 1972 terlihat wilayah berdasarkan peta pada Gambar 2. Jumlah penduduk Kabupaten Ciamis pada Tahun 2010 tercatat 1.605.414 jiwa dengan tingkat

kepadatan penduduk rata-rata 657 jiwa/ Km² dengan luas wilayah 2.444 Km².

Oleh karena cukup luas wilayahnya maka Kabupaten Ciamis telah menetapkan RTRW sesuai dengan karakteristik, sumberdaya alam dan potensi masing-masing daerah.

Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi 2009, Kabupaten Ciamis memiliki 36 Kecamatan, 350 Desa/ Kelurahan, 3.772 Rukun Warga dan 12.086

Rukun Tetangga. Kabupaten Ciamis dibagi dalam pewilayahan pembangunan

yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan dalam rangka penyeimbangan pembangunan antar wilayah. Maksud dan tujuan pewilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Oleh karena cukup luas wilayahnya maka Kabupaten Ciamis telah menetapkan RTRW sesuai dengan karakteristik, sumberdaya alam dan potensi masing-masing daerah.

Berdasarkan Perda Kabupaten Ciamis no. 3 tahun 2007 maka Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 Wilayah Pengembangan (WP);

 WP Utara terdiri dari 20 Kecamatan; Panumbangan, Panawangan, Sukamantri,

Panjalu, Jatinagara, Cipaku, Lumbung, Kawali, Cihaurbeuti, Sadananya,

Tambaksari, Cisaga, Rajadesa dan Rancah dengan pusatnya Kecamatan Ciamis

 WP Tengah terdiri dari 9 Kecamatan; Lakbok, Mangunjaya, Purwadadi,

Banjarsari, Padaherang, Cimaragas, Cidolog, Langkaplancar dan Pamarican dengan pusatnya Kecamatan Banjarsari

 WP Selatan terdiri dari 7 Kecamatan; Kalipucang, Pangandaran, Cigugur,

Sidamulih, Parigi, Cimerak dan Cijulang dengan pusatnya Kecamatan Pangandaran

Gambar 1 Peta orientasi Kabupaten Ciamis di Provinsi Jawa Barat 2010

Secara umum untuk struktur perekonomian Kabupaten Ciamis masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi adalah sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta sektor jasa. Sektor pertanian yang meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan,

kehutanan, dan perikanan pertumbuhannya lambat di bawah rata-rata Laju

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Ciamis. Namun demikian, sektor pertanian masih dominan dengan persentase distribusi terhadap PDRB masih terbesar, yaitu mencapai 30,55 %. Angka ini menunjukan bahwa sektor pertanian paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi Kabupaten Ciamis. Di samping itu penanganan masalah kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya masih cukup besar dan hal tersebut sangat berpengaruh terhadap terjadinya kesenjangan.

Gambar 2 Peta administrasi wilayah Kabupaten Ciamis

Jumlah penduduk miskin Kabupaten Ciamis pada tahun 2010 sebanyak 324.151 jiwa atau 20,15% dari jumlah penduduk. Sementara itu perkembangan jumlah pengangguran menurun dari 12,19% pada tahun 2009 menjadi 11,95% pada Tahun 2010. Kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Ciamis yang

dihitung melalui Purchasing Power Parity (PPP) pada Tahun 2009 sebesar Rp.

640.300,000 per kapita per tahun, dan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2010 sebesar 71,37. Berikut ini data mengenai kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dan wilayah terkecil serta kecamatan dengan wilayah terbesar tetapi kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Ciamis:

Tabel 1 Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dan wilayah terkecil Kecamatan Luas Wilayah (KM2) JumlahPddk (Jiwa) KepadatanPddk (Jiwa/KM2) DistribusiPddk (%) Ciamis (U) 33 91.943 2.786 5,73 Sindangkasih (U) 27 47.985 1.777 2,99 Baregbeg (U) 24 40.426 1.684 1,87 Cihaurbeuti (U) 36 51.801 1.439 3,23 Cikoneng (U) 36 49.169 1.366 3,06 Kawali (U) 33 40.344 1.223 2,51 Lumbung (U) 25 30.038 1.202 1,87 Panumbangan (U) 59 61.776 1.047 3,85

U: WP Utara, T: WP Tengah, S: WP Selatan

HasilAnalisis, Sumber: DinasKependudukandanPencatatanSipilKab. Ciamis2010

Tabel 2 Kecamatan dengan wilayah terbesar dan kepadatan penduduk terendah

Kecamatan Luas Wilayah (KM2) JumlahPddk (Jiwa) KepadatanPddk (Jiwa/KM2) DistribusiPddk (%) Langkaplancar (T) 177 48.833 276 3,04 Kalipucang (S) 137 37.333 273 2,33 Padaherang (T) 119 62.483 525 3,89 Cimerak (S) 118 46.349 393 2,89 Pamarican (T) 104 68.212 656 4,25 Parigi (S) 98 42.261 431 2,63 Cigugur (S) 97 21.457 221 1,34 Cijulang (S) 93 25.729 277 1,60 Sidamulih (S) 78 28.237 362 1,76

U: WP Utara, T: WP Tengah, S: WP Selatan HasilAnalisis, Sumber: DinasKependudukandanPencatatanSipilKab. Ciamis 2010

Terlihat dalam Tabel 1 bahwa di dalam WP Utara terdapat 8 besar kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dibanding luas wilayahnya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Tabel 2 yang memperlihatkan kecamatan-kecamatan dengan luas wilayah terbesar yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya yang rendah terutama untuk WP Tengah. Oleh karena jumlah penduduk yang tidak merata terutama dibandingkan dengan luas wilayahnya maka diperlukan suatu cara penanganan yang baik terutama di dalam pengembangan wilayah.

Belum lagi permasalahan Tata Ruang, yang seharusnya setiap kecamatan sudah memiliki Rencana Tata Ruang. Selain terbatasnya aparatur bidang Tata Ruang (LKPJ 2009) yang memungkinkan timbulnya kecemburuan sosial dan ketidakpercayaan/ kesulitan dalam mengurus berbagai hal terutama masalah perizinan.

Akhir-akhir ini muncul wacana bahwa Wilayah Pengembangan (WP) Selatan khususnya Kecamatan Pangandaran akan memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis. Selanjutnya ingin membentuk wilayah/ kabupaten baru, hal ini berhembus sejak tahun 2004 setelah Banjar resmi memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis kemudian menjadi Kotamadya pada tahun 2003.

Berkaitan dengan identifikasi dan permasalahan diatas maka ada hal

penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan headline media masa dengan

Republika Juli 2011) dan Kabupaten Ciamis masuk didalamnya. Memang hal tersebut mengakibatkan beban tersendiri untuk Pemerintah Kabupaten Ciamis untuk dapat menunjukkan perubahan khususnya dalam hal pemerataan pembangunan oleh karena sudah terekspos oleh media.

Untuk sektor perekonomian, indikasi perekonomian diukur menggunakan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB yang dilihat adalah kondisi yang akan datang, maka perlu ditinjau dari target perekonomian wilayah dan laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Kabupaten Ciamis dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat dan Nasional berdasarkan lapangan usaha tahun 2006-2010 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Laju pertumbuhan PDRB (ADHK) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan nasional berdasarkan lapangan usaha tahun 2006-2010

Sumber; BPS Kab.Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Pusat 2011

1.3 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan permasalahan yang ada maka masalah penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :

1 Sektor apa saja yang menjadi unggulan dari tiap-tiap kecamatan dalam Wilayah

Pengembangan (WP) di Kabupaten Ciamis yang hasilnya kemungkinan terdapat perbedaan cukup jauh dengan wilayah lainnya sehingga mendorong terjadinya kesenjangan antar wilayah.

2 Melihat aktifitas masyarakatnya sangat beragam di samping potensi

sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya berbeda-beda maka dianggap perlu untuk meneliti bagaimana struktur perkembangan/ hirarki wilayah pada masing-masing kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis.

3 Apabila memang dilihat ada kesenjangan antar wilayah maka kiranya perlu

untuk dapat meneliti seberapa besar tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah/ WP di Kabupaten Ciamis.

4 Dengan melihat tiga persoalan penelitian diatas tersebut maka sangat penting untuk mengetahui yang menjadi faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan wilayah/ WP di Kabupaten Ciamis.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 2006 2007 2008 2009 2010 Kab. Ciamis Jawa Barat Nasional

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan melihat pertumbuhan wilayah dengan:

1 Menentukan sektor unggulan apa saja yang ada pada kecamatan-kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis

2 Melihat tingkat perkembangan kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis

berdasarkan keragaman aktifitas dan potensi sumberdaya yang ada Menangani kesenjangan yang ada dengan:

1 Mengetahui seberapa besar tingkat kesenjangan pembangunan dalam WP yang

ada di Kabupaten Ciamis

2 Menganalisa faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan di Kabupaten

Ciamis

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna dalam memberikan masukan dan informasi sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kabupaten Ciamis dalam Perumusan Perencanaan Pembangunan dan Strategi Pengembangan Wilayah untuk kesejahteraan masyarakatnya.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan

Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sebagian ahli mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan.

Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan menurut undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Keragaman dalam mendefinisikan konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep tunggal yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Budiharsono (2005), wilayah dapat dibagi menjadi: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah perencanaan; dan (4) wilayah administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian diatas, Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional dan (3) wilayah perencanaan/

pengelolaan (planning region atau programming region). Dalam pendekatan

klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif politis dan wilayah perencanaan fungsional.

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang di identifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor perincinya yang menonjol di wilayah tersebut.

Berbeda dengan konsep wilayah homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Pengertian wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih subsistem, dan selanjutnya setiap

subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih kecil lagi (Richardson 1969 dalam Rustiadi et al. 2009). Suatu subsistem atau bagian dapat membutuhkan masukan (input) dari subsistem atau bagian yang lainnya, dan keluaran (output) suatu subsistem/ bagian tersebut dapat digunakan sebagai input subsistem/ bagian lainnya, dan seterusnya. Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/ kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Konsep-konsep wilayah sistem kompleks dapat dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Sebagai suatu sistem ekologi, secara geografis permukaan bumi terbagi atas berbagai bentuk ekosistem, seperti ekosistem hutan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut, dan sebagainya.

Sistem pewilayahan administrasi terkait sangat erat pada sistem pemerintahan beserta perangkat-perangkatnya. Di luar sistem pewilayahan administratif, juga dikenal berbagai pewilayahan-pewilayahan perencanaan/ pengelolaan yang tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan-tujuan dan penyelesaian-penyelesaian masalah tertentu, seperti kawasan otorita DAS, Free Trade Zone, dan lain-lain.

Dari sudut pandang yang lain, pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan menghasilkan suatu pewilayahan. Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkan.

Pewilayahan tidak lain merupakan cara atau metode klasifikasi yang berguna untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk di dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan sumber daya yang dimanfaatkannnya di atas

permukaan bumi (Isard 1975 dalam Rustiadi et al. 2009). Keragaman dan

perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas dunia ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan) tidak lain merupakan alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karaktersitik fenomena yang ada atau singkatnya merupakan alat untuk “memotret” kehidupan nyata yang beragam secara spasial.

Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan merupakan bagian dari konsep-konsep alami, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/ pengelolaan (konsep non alamiah). Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakterstik spasial.

2.2 Hirarki Wilayah

Secara teori, hirarki wilayah ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas-kapasitas perekenomiannya. Secara historik, pertumbuhan suatu

pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Secara operasional, pusat-pusat wilayah mempunyai hirarki spesifik yang hirarkinya ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan (regional services capacity) yang dimaksud adalah kapasitas sumberdaya suatu wilayah (regional resources), yang mencakup kapasitas sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-made resources/ infrastructure). Di samping itu, kapasitas pelayanan suatu

wilayah dicerminkan pula oleh magnitude (besaran) aktivitas sosial-ekonomi

masyarakat yang ada di suatu wilayah.

Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan. Sedangkan besaran aktivitas sosial-ekonomi serta operasional dapat diukur dari jumlah penduduk, perputaran uang, aktivitas-aktivitas ekonomi, PDRB, jumlah jenis organisasi atau lembaga formal maupun non formal.

Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktifitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi. Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat hirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah, sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh pusat berhirarki tinggi (Rustiadi et al. 2007).

Berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau daerah belakang (hinterland) suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduk dengan kualitas dan kuantitas relatif paling lengkap dibandingkan dengan wilayah lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki wilayah yang lebih tinggi. Pusat wilayah ini biasanya berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu.

Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling

rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah lain. Wilayah hinterland

ini biasanya berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Struktur wilayah nodal sangat efisien khususnya dalam mendukung pengembangan ekonomi dan sistem transportasi. Mekanisme pasar bebas secara alami cenderung membentuk struktur wilayah nodal.

Suatu pusat yang berorde tinggi pada umumnya mempunyai jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang lebih banyak dari orde yang lebih rendah. Dengan demikian pusat yang berorde lebih tinggi melayani pusat-pusat yang berorde lebih rendah. Selain itu, jumlah jenis dan sarana pelayanan yang ada pada suatu pusat pada umumnya berkorelasi erat dengan jumlah penduduk. Dengan demikian, pada pusat-pusat berorde tinggi seringkali mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi.

Beberapa teknik dan metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hirarki pusat-pusat wilayah adalah dengan metode skalogram,

metode sosiogram dan metode biseksi (bisection) (Rustiadi et al. 2007;

Budiharsono 2005). Dengan menggunakan metode tersebut semua nama pusat wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan sarana pelayanan dicatat dalam sebuah format matriks.

Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah. Fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas pelayanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan 2006). Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat maka akan semakin tinggi hirarki pusat tersebut (Budiharsono 2005).

2.3 Pembangunan Wilayah

Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, sedangkan menurut Saefulhakim (2008) pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes), artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut, sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan.

Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses

pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan

berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak terlepas dari perencanaan. Perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada

data-data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktifitas. Perencanaan mencakup aspek-aspek yang bersifat fisik maupun non-fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2004).

Suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan dilaksanakan. Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/ daerah tertentu. Perencanaan ditujukan untuk memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas.

Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan pembangunan pemerintahan. Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri dan jasa yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di daerah sesuai dengan kondisi dan potensinya.

Pembangunan wilayah, meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah daerah untuk makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang dan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan pelaksanaan program serta proyek secara efektif.

2.4 Indikator-indikator Pembangunan

Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan wilayahnya. Secara umum tampaknya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja pembangunan yang paling populer. Namun demikian, pertumbuhan perekonomian yang pesat tersebut, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan serta kerusakan sumbedaya alam akan berdampak paradoks dan mengarah pada kemunduran pembangunan itu sendiri. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur (indikator) tersebut bukan hanya pertambahan output seperti GNP, tetapi harus disertai beberapa tolok ukur lainnya (Rustiadi et al. 2009)

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat

tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/ program/ kegiatan dan dalam menilai kinerjanya dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi kinerja organisasi/ unit kerja.

Menurut Rustiadi et al. (2007), dari berbagai pendekatan yang ada,