• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of the Leading Sectors and Development Disparity within Development Areas (DA) in Ciamis Regency West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of the Leading Sectors and Development Disparity within Development Areas (DA) in Ciamis Regency West Java"

Copied!
267
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PUJI WIJANARKO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sektor Unggulan dan Kesenjangan Pembangunan dalam Wilayah Pengembangan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 15 Januari 2013

Puji Wijanarko NIM H152090031

*

(4)

dalam Wilayah Pengembangan di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan ARIFIN RUDIYANTO

Pembangunan adalah bertujuan mewujudkan masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata, tiga masalah utama pembangunan ekonomi adalah pengangguran, kemiskinan serta kesenjangan dimana kemiskinan adalah kondisi kesenjangan yang paling buruk. Di Indonesia sendiri, walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa kesenjangan wilayah di Indonesia tidaklah terlalu besar apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai karakteristik yang sama tetapi beberapa gejolak di daerah membuktikan bahwa kesenjangan itu ada. Berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Ciamis tahun 2009 untuk mengurangi kesenjangan maka arah pembangunan Kabupaten Ciamis ditetapkan dengan tema: ”Peningkatan Kualitas Pembangunan Menuju Tercapainya Visi dan IPM Kabupaten Ciamis” dimana

visinya adalah: ”Dengan Iman dan Taqwa Ciamis Terdepan dalam Agribisnis dan

Pariwisata di Priangan Tahun 2009”. Penelitian ini bertujuan mengetahui lebih detail masalah kesenjangan di Kabupaten Ciamis dengan: (1) Menentukan sektor unggulan wilayah pengembangan (2) Melihat tingkat perkembangan wilayah (3) Mengetahui besarnya tingkat kesenjangan (4) Mengetahui faktor penyebab kesenjangan. Metode LQ dan SSA untuk menjawab tujuan 1, metode Skalogram, Entropy dan Klassen untuk menjawab tujuan 2, metode Williamson dan Spatial Mean Method untuk menjawab tujuan 3 serta Regresi berganda untuk menjawab tujuan 4. LQ; secara agregat, wilayah pengembangan (WP) Selatan memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan WP Utara dan WP Tengah. SSA; WP Tengah memiliki nilai differential shift positif lebih baik dibanding WP Utara maupun WP Selatan. Metode Skalogram; kecamatan Pangandaran di WP Selatan berada pada hirarki 1. Indeks Entropi; secara agregat menurun nilainya dari tahun 2006 - 2010 namun masih mendekati 1 berarti tingkat keberagaman dan keberimbangan aktifitas/ sektor ekonomi antara WP di Kabupaten Ciamis masih baik. Pada Tipologi Klassen kecamatan; Kawali, Ciamis, Cikoneng, Banjarsari, Padaherang dan Pangandaran masuk dalam daerah maju. Berdasarkan Indeks Williamson tahun 2006-2010 meningkat yang berarti terjadi kesenjangan yang semakin tinggi dari tahun tersebut, Spatial Mean Method untuk Penduduk dan PDRB berada di Kecamatan Cimaragas walaupun titik centroid Kabupaten berada pada kecamatan Cidolog (WP Tengah) tetapi arahnya ke utara. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Ciamis dalam mengambil kebijakan pembangunan.

(5)

PUJI WIJANARKO. Analysis of the Leading Sectors and Development Disparity within Development Areas (DA) in Ciamis Regency West Java. Supervised by ERNAN RUSTIADI and ARIFIN RUDIYANTO.

Development is aimed to bring a just and equal prosperity for the society, but it is faced with three main issues of economic development, namely unemployment, poverty and disparity, in which poverty is reflecting the worst disparity condition. In Indonesia, although there is a view that the regional disparity in Indonesia is not so large compared to that of other countries with similar characteristics, there is some social unrest in the region, proving that the gap does exist.” The general objective of the study was to examine disparity between three Development Area (DA) in Ciamis Regency by (1) determining competitive sectors in the region, (2) analyzing subdistrict’s level of development, (3) measuring the magnitude of disparity, and (4) identifying the determinant factors of disparity. Location Quotient (LQ) and Shfit Share Analysis (SSA) methods were employed to identify priority sectors; the methods of Schallogram, Entropy and Klassen were employed to analysis level of development; the Williamson Index and Spatial Mean Methods were employed to measure disparity; and Multiple Regression was employed to identify determinant factors of disparity. In general, the Southern DA has more competitive sectors than the Northern and Central DA. Development According to SSA, the development areas in the Central DA has better positive differential values of shifts than both Northern and Southern DA. Based on the schallogram, Pangandaran District in the Southern DA is at the first hierarchie. Entropy index Ciamis regency was declining from 2006 to 2010, indicating that there were still have better level of disparity and balance of economic activities/ sectors among the development district in Ciamis regency. Based on the Klassen Typology, the subdistricts of Kawali, Ciamis, Cikoneng, Banjarsari, Padaherang and Pangandaran are in the category of developed regions. In terms of Williamson Index for 2006-2010, there was an increase, indicating that there was an increasing disparity in the period of the years, and the Spatial Mean of Population and GDP was in the subdistrict of Cimaragas although the center point of the Regency was in Cidolog subdistrict (Central DA) but with its direction to the north. This study is expected to become an input or consideration for Ciamis Regency government in making its development policies

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

DI KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PUJI WIJANARKO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Oktober 2011 sampai Maret 2012 ini ialah kesenjangan, dengan judul Analisis Sektor Unggulan dan Kesenjangan Pembangunan dalam Wilayah Pengembangan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Ir Arifin Rudiyanto, MSc PhD selaku pembimbing yang telah bersedia mencurahkan waktu, pemikiran serta sabar memberi pengarahan dan masukkan bagi kelengkapan penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi PWD dan Dr Ir Setia Hadi, MS sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan ini. Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis, terutama kepada: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Bapak Dian Winarlan dan Ibu Armina, Badan Pusat Statistik terutama kepada Bapak Asim Haidar, Dinas Tata Ruang terutama kepada Ibu Rini dan Bapak Agus serta pihak lain yang telah bekerjasama dalam penelitian ini.

Penulis persembahkan karya ilmiah ini kepada Almarhumah Ibunda tercinta Rodiah yang memang asli dari Kabupaten Ciamis dan berkeinginan melihat anaknya lulus dan wisuda namun tidak kesampaian serta terima kasih kepada istriku tercinta Nur Afiyah, tersayang Latifah dan Karina Sita Putri yang dengan tulus mengorbankan baik moril maupun materil serta penyemangat tanpa disadari dalam menyelesaikan studi ini, Ayahanda Imam Soetardjo dan Ibunda Mertua Hj Siti Khadijah dan semua keluarga atas dukungan moril dan doanya yang tak terbatas. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kelimpahan ridho dan keberkahan setiap langkah kita. Kepada saudaraku PWD Angkatan 2009 (Pak Firman, Aa Wawan, Si Bontot Tabrani, Ibu Hj Linda, Ibu Nina, Pak Dede, Pak Adam, Pak Masril, Pak H Untung, Pak Alex, Pak Eni dan Ibu Luh) terima kasih atas semua kebersamaan dan goresan perjalanan episode hidup yang pernah kita lalui bersama, setiap kenangan canda tawa serta pernak-pernik perkuliahan akan selalu teringat dalam hati sanubari. Penulis tetap berkeinginan melihat semua teman-teman lulus dan sukses.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 15 Januari 2013

(11)

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1

Masalah Pembangunan Wilayah Kabupaten Ciamis 4

Masalah Penelitian 8

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pewilayahan 10

Hirarki Wilayah 11

Pembangunan Wilayah 13

Indikator-indikator Pembangunan 14

Sektor Unggulan 18

Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah dan Berbagai Implikasinya 20

Ukuran Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah 22

Faktor-faktor Penyebab Kesenjangan Pembangunan 23

Urgensi Pembangunan antar Wilayah Secara Berimbang 27

Upaya Penanggulangan Kesenjangan Pembangunan 27

Paradigma Pembangunan dan Pengembangan Wilayah 30

Beberapa Penelitian tentang Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah 31 3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran 35

Hipotesis Penelitian 36

Lokasi dan Waktu Penelitian 37

Metode Pengumpulan Data 37

Metode Analisis: Identifikasi Sektor Unggulan per Wilayah Pengembangan 38

Locatoin Quotient 38

Shift Share Analisis 39

Analisis Perkembangan Wilayah 40

Metode Skalogram 40

Indeks Entropy 41

Tipologi Klassen 41

Analisis Tingkat Kesenjangan 43

Indeks Williamson 43

Spatial Mean Method 43

Analisis Faktor Penyebab Kesenjangan 44

(12)

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Umum Kabupaten Ciamis 46

Kondisi Demografi 48

Karakteristik Biofisik Wilayah 53

Kondisi Sarana dan Prasarana 54

Jalan 55

Pendidikan 56

Kesehatan 57

Keagamaan 59

Perdagangan 59

Ekonomi Wilayah 60

Arah Kebijakan Pembangunan 61

Alokasi dan Distribusi Anggaran Pembangunan 65

5 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Sektor Unggulan 68

Sektor Unggulan Komparatif (LQ) 68

Sektor Unggulan Kompetitif (SSA) 74

Identifikasi Tingkat Perkembangan Wilayah 78

Hirarki Wilayah 78

Indeks Keragaman/ Perkembangan Struktur Ekonomi 80

Tipologi Perkembangan Wilayah 81

Identifikasi Tingkat Kesenjangan 83

Indeks Kesenjangan 83

Pergeseran Lokasi Pemusatan Wilayah 84

Faktor Penyebab Kesenjangan 88

Ikhtisar 90

6 SIMPULAN dan SARAN Simpulan 92

Saran 93

DAFTAR PUSTAKA 94

(13)

1 Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dan wilayah terkecil 7

2 Kecamatan dengan wilayah terbesar dan kepadatan penduduk terendah 7

3 Laju pertumbuhan PDRB (ADHK) Kab. Ciamis, Jawa Barat dan Nasional berdasarkan lapangan usaha tahun 2006-2010 8

4 Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan pengelompokannya 17

5 Matrik tujuan, metode, data dan sumber data dalam penelitian 38

6 Luas wilayah dan kepadatan penduduk Kabupaten Ciamis 50

7 Jarak kecamatan ke ibukota Kabupaten Ciamis (Km) 51

8 Jumlah usia tidak produktif, usia produktif dan beban tanggungan 52

9 Data penggunaan lahan (Km2) 53

10 Kondisi dan panjang jalan yang ada di Kabupaten Ciamis 55

11 Sarana pendidikan di Kabupaten Ciamis 57

12 Rumah sakit, puskesmas, pengobatan di Kabupaten Ciamis 58

13 Rumah ibadah di Kabupaten Ciamis 60

14 Fasilitas ekonomi di Kabupaten Ciamis 61

15 PDRB wilayah pengembangan dan kecamatan serta kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten Ciamis 62

16 Sasaran pendapatan daerah pemerintah Kabupaten Ciamis dari tahun 2009-2010 66

17 Rencana belanja daerah pemerintah Kabupaten Ciamis tahun 2009-2010 67

18 Rencana pembiayaan pemerintah Kabupaten Ciamis tahun 2009-2010 67

19 Nilai LQ per wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis tahun 2010 69

20 Nilai LQ kecamatan di Kabupaten Ciamis tahun 2010 71

21 Nilai LQ Kabupaten Ciamis terhadap Kab/ Kota Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun 2010 72

22 Nilai LQ kecamatan di Kabupaten Ciamis relatif terhadap kecamatan di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah 73

23 Nilai SSA WP Utara di Kabupaten Ciamis tahun 2006-2010 74

24 Nilai SSA WP Tengah di Kabupaten Ciamis tahun 2006-2010 75

25 Nilai SSA WP Selatan di Kabupaten Ciamis tahun 2006-2010 75

26 Nilai Differential Shift kecamatan di Kabupaten Camis tahun 2006-2010 76

27 Nilai SSA Kabupaten Ciamis terhadap Kab/ Kota Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun 2006-2010 78

28 Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) di Kabupaten Ciamis tahun 2008 79

29 Jumlah tingkat Hirarki kecamatan dalam wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis tahun 2008 79

30 Nilai Entropi Kabupaten Ciamis tahun 2006-2010 81

31 Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per kapita Kabupaten Ciamis tahun 2006-2010 82

32 Indeks Williamson wilayah pengembangan di Kabupaten Ciamis tahun 2006-2010 83

33 Mean Centre kecamatan di Kabupaten Ciamis 84

(14)

35 Data (Y) dan (X) wilayah pengembangan Kabupaten Ciamis

tahun 2006-2010 89

36 Analisis regresi berganda faktor kesenjangan pembangunan

di Kabupaten Ciamis 89

(15)

1 Peta orientasi Kabupaten Ciamis terhadap Provinsi Jawa Barat 5

2 Peta wilayah administrasi Kabupaten Ciamis 6

3 Konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah 15

4 Struktur proses pembangunan 16

5 Kerangka pemikiran 36

6 Klasifikasi tipologi Klassen 42

7 Kerangka analisis penelitian 45

8 Peta wilayah administrasi Kabupaten Ciamis 46

9 Peta wilayah pengembangan Kabupaten Ciamis 48

10 Peta kepadatan penduduk di Kabupaten Ciamis 49

11 Peta penggunaan lahan di Kabupaten Ciamis 54

12 Peta kebutuhan pendidikan di Kabupaten Ciamis 56

13 Klasifikasi/ kategori LQ>1 dan RS 77

14 Peta penyebaran kecamatan menurut menurut hirarki di Kabupaten Ciamis 80

15 Pengelompokan pertumbuhan ekonomi kecamatan berdasarkan tipologi Klassen 81

16 Diagram indeks Williamson 83

17 Peta centroid kecamatan di Kabupaten Ciamis 85

18 Titik kordinat Xm dan Ym pada peta di Kabupaten Ciamis 86

19 Titik kordinat Xm dan Ym pada peta di WP Utara Kab. Ciamis 87

20 Titik kordinat Xm dan Ym pada peta di WP Tengah Kab. Ciamis 87

21 Titik kordinat Xm dan Ym pada peta di WP Selatan Kab. Ciamis 88

(16)

1 Data yang digunakan dalam analisis Location Quotien wilayah

pengembangan terhadap Kabupaten Ciamis 96

2 Data yang digunakan dalam analisis Location Quotien Kabupaten Ciamis

terhadap Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah 98

3 Data yang digunakan dalam Shift Share Analisis wilayah pengembangan

terhadap Kabupaten Ciamis 100

4 Data yang digunakan dalam Shift Share Analisis Kabupaten Ciamis

terhadap Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah 102

5 Jenis data yang digunakan dalam analisis Skalogram 105

6 Sort hirarki Skalogram 108

7 Data dan penghitungan yang digunakan dalam analisis indeks Entropy 111 8 Data dan penghitungan yang digunakan dalam analisis indeks Williamson 113 9 Data dan penghitungan yang digunakan dalam Spatial Mean Method 118

10 Hasil regresi berganda 123

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran yaitu meningkatnya konsumsi disebabkan meningkatnya pendapatan (Sumodiningrat 2001:13). Hal senada diungkapkan oleh Todaro (1994:15) bahwa pembangunan adalah proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, perilaku sosial dan institusi nasional, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan pemberantasan kemiskinan.

Pada mulanya upaya pembangunan negara sedang berkembang diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita, atau yang lebih populer disebut strategi pertumbuhan ekonomi. Pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang mulai menyadari bahwa pertumbuhan

(growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan

ekonomi yang tinggi setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahril dalam Kuncoro 2003). Hal ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) meski tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara 1986:12; Meier 1989:7 dalam Rahman 2009). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan memiliki dimensi lebih dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Hal inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan (Myrdal 1968), misalnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan yang dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi. (Meier 1989 dalam Rahman 2009) lebih khusus mengatakan pembangunan ekonomi dengan kata lain tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.

Definisi dari pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah suatu proses dimana pendapatan per kapita suatu negara meningkat dalam kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.

(18)

Pelaku pembangunan yang tidak memiliki sumber daya dan tidak mempunyai akses dalam pembangunan akan menganggur, karena menganggur maka tidak memiliki pendapatan yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan.

Kemiskinan adalah kondisi kesenjangan yang paling buruk. Kebijaksanaan pembangunan yang sistematis diperlukan untuk memperkecil kesenjangan. Berdasarkan pengalaman empiris, strategi pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan terbukti tidak mampu memecahkan masalah justru

sebaliknya acapkali mempertajam kesenjangan, keterbelakangan, dan

ketertinggalan.

Kesenjangan atau disparitas pembangunan regional cukup banyak terjadi di negara-negara berkembang. Hasil observasi menunjukkan bahwa secara umum kesenjangan regional di negara-negara yang kurang maju lebih lebar dari pada yang terjadi di negara-negara maju (Williamson 1975:159). Negara-negara yang maju telah membentuk strategi-strategi untuk memulai pembangunan wilayah-wilayah tertinggal yang ada. Inggris telah menerapkan instrumen seperti subsidi, kelonggaran pajak, dan sistem pengendalian kesempatan kerja untuk diarahkan menuju kepada aktifitas-aktifitas kepada wilayah-wilayah yang tertahan potensinya. Belgia, Denmark, Irlandia dan Belanda telah mencari penyokong pembangunan regional dengan cara desentralisasi administratif dan memberi lebih banyak otoritas kepada pemerintahan lokal dan membuat otoritas regional terpisah. Untuk mengatasi kesenjangan regional di India, pemerintah India

melakukan social equity, yaitu pemerataan pelayanan dan fasilitas sosial (Mathur

dalam Lo dan Kamal 1978:131 dalam Rahman 2009).

Studi-studi empiris diatas memperlihatkan bahwa negara-negara dengan perencanaan terpusat telah berusaha untuk membangun hirarki permukiman penduduk dengan sistem produksi. Struktur ini dirancang untuk memungkinkan pertumbuhan pusat-pusat perkotaan yang terkontrol melalui kebijakan-kebijakan yang dengan sengaja mempromosikan investasi pada pusat-pusat yang diharapkan untuk pertumbuhan dan pembatasan investasi di wilayah lain. Pendekatan yang sama telah digunakan untuk membatasi ekspansi kota-kota kecil yang luas dan untuk mendorong pembangunan kota-kota kecil dan menengah.

Sementara di Indonesia sendiri, walaupun beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kesenjangan wilayah di Indonesia tidaklah terlalu besar apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai karakteristik yang sama (Hill 1998:23 dalam Rahman 2009), tetapi beberapa gejolak di daerah membuktikan bahwa kesenjangan itu ada. Terdapat wilayah yang merasa bahwa perkembangan mereka jauh tertinggal dari wilayah lainnya terutama dari Pulau Jawa (Nurzaman 2002: 88).

Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Ciamis tahun 2009, untuk mengurangi kesenjangan maka arah pembangunan

ditetapkan dengan tema: ”Peningkatan Kualitas Pembangunan Menuju

Tercapainya Visi dan IPM Kabupaten Ciamis”. Visinya adalah: Dengan Iman

dan Taqwa Ciamis MANTAP Sejahtera Tahun 2014”. Visi pembangunan

ekonomi sebelumnya yang berbasis agribisnis dan pariwisata tetap dilanjutkan

melalui penguatan dan pemantapan sektor tersebut, sehingga menjadi motor penggerak perekonomian daerah dan masyarakat.

(19)

Kabupaten Ciamis menjadi daerah yang maju dalam setiap aspek kehidupan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kondisi tersebut dapat dicapai apabila terciptanya rasa aman, lingkungan hidup yang nyaman dan lestari, serta sumber daya manusia yang amanah, produktif dan berdaya saing, sehingga mencapai ketangguhan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Adapun makna Sejahtera merupakan suatu kondisi masyarakat yang ditandai oleh kehidupan beragama yang mantap, terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan perumahan yang layak, lingkungan yang sehat, memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai serta memiliki rasa aman dan tentram.

Sedangkan Agribisnis pada visi sebelumnya mengandung makna suatu paradigma yang lebih komprehensif terhadap pembangunan pertanian secara sistemik yang mengintegrasikan 5 (lima) sub sistem, meliputi infrastruktur/ sarana dan prasarana produksi pertanian, budidaya pertanian, pengolahan hasil pertanian, pemasaran produk pertanian dan kebijakan pemerintah (supporting system). Pertanian dalam arti luas meliputi tanaman pangan dan hortikultura, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Pariwisata mengandung makna segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Priangan sendiri meliputi: Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar.

Tujuan akhir dari visi yang dimaksud adalah terwujudnya masyarakat Kabupaten Ciamis yang sejahtera lahir dan batin yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, terbentuknya kehidupan masyarakat yang relijius dan Islami, terwujudnya keamanan, ketenteraman dan keadilan. Prioritas pembangunan Kabupaten Ciamis dirumuskan dengan memperhatikan isu strategis dan ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan common goals:

 Peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, untuk

menciptakan sumberdaya manusia Kabupaten Ciamis yang unggul dan berdaya saing

 Ketahanan pangan, difokuskan pada komoditas beras, jagung, kedelai dan

ketersediaan protein hewani

 Pengelolaan, pengembangan dan pengendalian infrastruktur wilayah dan

perdesaan; difokuskan pada jaringan jalan, sarana transportasi, sarana kelautan dan perikanan, jembatan dan sarana pemerintahan.

 Peningkatan daya beli masyarakat, melalui penciptaan lapangan kerja serta

menyiapkan tenaga kerja terampil dan berjiwa enterpreneur untuk kebutuhan

dalam negeri dan luar negeri.

 Peningkatan kinerja aparatur, difokuskan pada penerapan insentif berbasis

kinerja dan peningkatan pelayanan publik.

 Penanganan pengelolaan bencana, difokuskan pada sistem kelola penanganan

bencana.

 Pengendalian dan pemulihan kualitas lingkungan, difokuskan pada pelestarian

dan peningkatan luas dan fungsi kawasan lindung di Kabupaten Ciamis.

(20)

diarahkan kepada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi, sehingga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah, sektor dan golongan. Pendekatan pembangunan sentralistik selama ini cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi serta mengabaikan pemerataan.

Sejalan dengan pendapat Rustiadi et al. (2007) bahwa diperlukan pendekatan

perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut: (i) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (ii) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, (iii) menciptakan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan) dan disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun.

Strategi pengembangan wilayah yang mempertimbangkan keterkaitan antara perkembangan kondisi sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam dan ketersediaan prasarana wilayah. Harapannya mampu mengatasi permasalahan kesenjangan antar wilayah yang ada di Kabupaten Ciamis dalam tingkat kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Semua potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat wilayah tersebut dalam mendukung aktifitas perekonomian.

1.2 Masalah Pembangunan Wilayah Kabupaten Ciamis

Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat sebagaimana terlihat pada Gambar 1, tanggal 16 Juni 1964 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis yang secara resmi dikukuhkan dengan surat keputusan DPRD Kabupaten Ciamis pada tanggal 17 Mei 1972 terlihat wilayah berdasarkan peta pada Gambar 2. Jumlah penduduk Kabupaten Ciamis pada Tahun 2010 tercatat 1.605.414 jiwa dengan tingkat

kepadatan penduduk rata-rata 657 jiwa/ Km² dengan luas wilayah 2.444 Km².

Oleh karena cukup luas wilayahnya maka Kabupaten Ciamis telah menetapkan RTRW sesuai dengan karakteristik, sumberdaya alam dan potensi masing-masing daerah.

Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi 2009, Kabupaten Ciamis memiliki 36 Kecamatan, 350 Desa/ Kelurahan, 3.772 Rukun Warga dan 12.086

Rukun Tetangga. Kabupaten Ciamis dibagi dalam pewilayahan pembangunan

yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan dalam rangka penyeimbangan pembangunan antar wilayah. Maksud dan tujuan pewilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Oleh karena cukup luas wilayahnya maka Kabupaten Ciamis telah menetapkan RTRW sesuai dengan karakteristik, sumberdaya alam dan potensi masing-masing daerah.

Berdasarkan Perda Kabupaten Ciamis no. 3 tahun 2007 maka Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 Wilayah Pengembangan (WP);

 WP Utara terdiri dari 20 Kecamatan; Panumbangan, Panawangan, Sukamantri,

Panjalu, Jatinagara, Cipaku, Lumbung, Kawali, Cihaurbeuti, Sadananya,

(21)

Tambaksari, Cisaga, Rajadesa dan Rancah dengan pusatnya Kecamatan Ciamis

 WP Tengah terdiri dari 9 Kecamatan; Lakbok, Mangunjaya, Purwadadi,

Banjarsari, Padaherang, Cimaragas, Cidolog, Langkaplancar dan Pamarican dengan pusatnya Kecamatan Banjarsari

 WP Selatan terdiri dari 7 Kecamatan; Kalipucang, Pangandaran, Cigugur,

Sidamulih, Parigi, Cimerak dan Cijulang dengan pusatnya Kecamatan Pangandaran

Gambar 1 Peta orientasi Kabupaten Ciamis di Provinsi Jawa Barat 2010

Secara umum untuk struktur perekonomian Kabupaten Ciamis masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi adalah sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta sektor jasa. Sektor pertanian yang meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan,

kehutanan, dan perikanan pertumbuhannya lambat di bawah rata-rata Laju

(22)

Gambar 2 Peta administrasi wilayah Kabupaten Ciamis

Jumlah penduduk miskin Kabupaten Ciamis pada tahun 2010 sebanyak 324.151 jiwa atau 20,15% dari jumlah penduduk. Sementara itu perkembangan jumlah pengangguran menurun dari 12,19% pada tahun 2009 menjadi 11,95% pada Tahun 2010. Kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Ciamis yang

dihitung melalui Purchasing Power Parity (PPP) pada Tahun 2009 sebesar Rp.

(23)

Tabel 1 Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dan wilayah terkecil

Kecamatan

Luas Wilayah

(KM2)

JumlahPddk (Jiwa)

KepadatanPddk (Jiwa/KM2)

DistribusiPddk (%)

Ciamis (U) 33 91.943 2.786 5,73

Sindangkasih (U) 27 47.985 1.777 2,99

Baregbeg (U) 24 40.426 1.684 1,87

Cihaurbeuti (U) 36 51.801 1.439 3,23

Cikoneng (U) 36 49.169 1.366 3,06

Kawali (U) 33 40.344 1.223 2,51

Lumbung (U) 25 30.038 1.202 1,87

Panumbangan (U) 59 61.776 1.047 3,85

U: WP Utara, T: WP Tengah, S: WP Selatan

HasilAnalisis, Sumber: DinasKependudukandanPencatatanSipilKab. Ciamis2010

Tabel 2 Kecamatan dengan wilayah terbesar dan kepadatan penduduk terendah

Kecamatan

Luas Wilayah

(KM2)

JumlahPddk (Jiwa)

KepadatanPddk (Jiwa/KM2)

DistribusiPddk (%)

Langkaplancar (T) 177 48.833 276 3,04

Kalipucang (S) 137 37.333 273 2,33

Padaherang (T) 119 62.483 525 3,89

Cimerak (S) 118 46.349 393 2,89

Pamarican (T) 104 68.212 656 4,25

Parigi (S) 98 42.261 431 2,63

Cigugur (S) 97 21.457 221 1,34

Cijulang (S) 93 25.729 277 1,60

Sidamulih (S) 78 28.237 362 1,76

U: WP Utara, T: WP Tengah, S: WP Selatan HasilAnalisis, Sumber: DinasKependudukandanPencatatanSipilKab. Ciamis 2010

Terlihat dalam Tabel 1 bahwa di dalam WP Utara terdapat 8 besar kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi dibanding luas wilayahnya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Tabel 2 yang memperlihatkan kecamatan-kecamatan dengan luas wilayah terbesar yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya yang rendah terutama untuk WP Tengah. Oleh karena jumlah penduduk yang tidak merata terutama dibandingkan dengan luas wilayahnya maka diperlukan suatu cara penanganan yang baik terutama di dalam pengembangan wilayah.

Belum lagi permasalahan Tata Ruang, yang seharusnya setiap kecamatan sudah memiliki Rencana Tata Ruang. Selain terbatasnya aparatur bidang Tata Ruang (LKPJ 2009) yang memungkinkan timbulnya kecemburuan sosial dan ketidakpercayaan/ kesulitan dalam mengurus berbagai hal terutama masalah perizinan.

Akhir-akhir ini muncul wacana bahwa Wilayah Pengembangan (WP) Selatan khususnya Kecamatan Pangandaran akan memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis. Selanjutnya ingin membentuk wilayah/ kabupaten baru, hal ini berhembus sejak tahun 2004 setelah Banjar resmi memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis kemudian menjadi Kotamadya pada tahun 2003.

Berkaitan dengan identifikasi dan permasalahan diatas maka ada hal

penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan headline media masa dengan

(24)

Republika Juli 2011) dan Kabupaten Ciamis masuk didalamnya. Memang hal tersebut mengakibatkan beban tersendiri untuk Pemerintah Kabupaten Ciamis untuk dapat menunjukkan perubahan khususnya dalam hal pemerataan pembangunan oleh karena sudah terekspos oleh media.

Untuk sektor perekonomian, indikasi perekonomian diukur menggunakan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB yang dilihat adalah kondisi yang akan datang, maka perlu ditinjau dari target perekonomian wilayah dan laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Kabupaten Ciamis dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat dan Nasional berdasarkan lapangan usaha tahun 2006-2010 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Laju pertumbuhan PDRB (ADHK) Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan nasional berdasarkan lapangan usaha tahun 2006-2010

Sumber; BPS Kab.Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Pusat 2011

1.3 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan permasalahan yang ada maka masalah penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :

1 Sektor apa saja yang menjadi unggulan dari tiap-tiap kecamatan dalam Wilayah

Pengembangan (WP) di Kabupaten Ciamis yang hasilnya kemungkinan terdapat perbedaan cukup jauh dengan wilayah lainnya sehingga mendorong terjadinya kesenjangan antar wilayah.

2 Melihat aktifitas masyarakatnya sangat beragam di samping potensi

sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya berbeda-beda maka dianggap perlu untuk meneliti bagaimana struktur perkembangan/ hirarki wilayah pada masing-masing kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis.

3 Apabila memang dilihat ada kesenjangan antar wilayah maka kiranya perlu

untuk dapat meneliti seberapa besar tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah/ WP di Kabupaten Ciamis.

4 Dengan melihat tiga persoalan penelitian diatas tersebut maka sangat penting untuk mengetahui yang menjadi faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan wilayah/ WP di Kabupaten Ciamis.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

2006 2007 2008 2009 2010

Kab. Ciamis

Jawa Barat

(25)

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan melihat pertumbuhan wilayah dengan:

1 Menentukan sektor unggulan apa saja yang ada pada kecamatan-kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis

2 Melihat tingkat perkembangan kecamatan dalam WP di Kabupaten Ciamis

berdasarkan keragaman aktifitas dan potensi sumberdaya yang ada Menangani kesenjangan yang ada dengan:

1 Mengetahui seberapa besar tingkat kesenjangan pembangunan dalam WP yang

ada di Kabupaten Ciamis

2 Menganalisa faktor-faktor penyebab kesenjangan pembangunan di Kabupaten

Ciamis

1.5 Manfaat Penelitian

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Wilayah dan Pewilayahan

Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sebagian ahli mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat diantara unsur-unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan.

Menurut Rustiadi et al. (2007) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan menurut undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Keragaman dalam mendefinisikan konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya, tidak ada konsep tunggal yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Budiharsono (2005), wilayah dapat dibagi menjadi: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah perencanaan; dan (4) wilayah administratif. Berbeda dengan pengklasifikasian diatas, Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional dan (3) wilayah perencanaan/

pengelolaan (planning region atau programming region). Dalam pendekatan

klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif politis dan wilayah perencanaan fungsional.

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang di identifikasikan berdasarkan adanya sumber-sumber kesamaan atau faktor perincinya yang menonjol di wilayah tersebut.

(27)

subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih kecil lagi (Richardson 1969 dalam Rustiadi et al. 2009). Suatu subsistem atau bagian dapat membutuhkan masukan (input) dari subsistem atau bagian yang lainnya, dan keluaran (output) suatu subsistem/ bagian tersebut dapat digunakan sebagai input subsistem/ bagian lainnya, dan seterusnya. Wilayah sistem kompleks memiliki jumlah/ kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Konsep-konsep wilayah sistem kompleks dapat dibagi atas wilayah sebagai (1) sistem ekologi (ekosistem), (2) sistem sosial, (3) sistem ekonomi atau gabungan atas dua atau lebih sistem. Sebagai suatu sistem ekologi, secara geografis permukaan bumi terbagi atas berbagai bentuk ekosistem, seperti ekosistem hutan, ekosistem padang rumput, ekosistem laut, dan sebagainya.

Sistem pewilayahan administrasi terkait sangat erat pada sistem pemerintahan beserta perangkat-perangkatnya. Di luar sistem pewilayahan administratif, juga dikenal berbagai pewilayahan-pewilayahan perencanaan/ pengelolaan yang tidak terlalu struktural melainkan sebagai unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan-tujuan dan penyelesaian-penyelesaian masalah tertentu, seperti kawasan otorita DAS, Free Trade Zone, dan lain-lain.

Dari sudut pandang yang lain, pengembangan konsep wilayah dan penerapannya pada dunia nyata akan menghasilkan suatu pewilayahan. Permukaan bumi akan terbagi-bagi atas berbagai wilayah sesuai dengan konsep wilayahnya. Perbedaan konsep wilayah yang diterapkan menghasilkan perbedaan unit-unit atau batas-batas wilayah yang dihasilkan.

Pewilayahan tidak lain merupakan cara atau metode klasifikasi yang berguna untuk mendeskripsikan fenomena, termasuk di dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan sumber daya yang dimanfaatkannnya di atas

permukaan bumi (Isard 1975 dalam Rustiadi et al. 2009). Keragaman dan

perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya di atas dunia ini dapat dijelaskan dan disederhanakan dengan pengklasifikasian spasial. Dengan demikian, klasifikasi spasial (pewilayahan) tidak lain merupakan alat (tools) untuk mempermudah menjelaskan keragaman dan berbagai karaktersitik fenomena yang ada atau singkatnya merupakan alat untuk “memotret” kehidupan nyata yang beragam secara spasial.

Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan merupakan bagian dari konsep-konsep alami, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/ pengelolaan (konsep non alamiah). Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan pewilayahan digunakan untuk penerapan pengelolaan (manajemen) sumberdaya yang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakterstik spasial.

2.2 Hirarki Wilayah

(28)

pusat atau kota ditunjang oleh hinterland yang baik. Secara operasional, pusat-pusat wilayah mempunyai hirarki spesifik yang hirarkinya ditentukan oleh kapasitas pelayanannya. Kapasitas pelayanan (regional services capacity) yang dimaksud adalah kapasitas sumberdaya suatu wilayah (regional resources), yang mencakup kapasitas sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya sosial (social capital) dan sumberdaya buatan (man-made resources/ infrastructure). Di samping itu, kapasitas pelayanan suatu

wilayah dicerminkan pula oleh magnitude (besaran) aktivitas sosial-ekonomi

masyarakat yang ada di suatu wilayah.

Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan, (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana pelayanan. Sedangkan besaran aktivitas sosial-ekonomi serta operasional dapat diukur dari jumlah penduduk, perputaran uang, aktivitas-aktivitas ekonomi, PDRB, jumlah jenis organisasi atau lembaga formal maupun non formal.

Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktifitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi. Banyaknya jumlah sarana pelayanan dan jumlah jenis sarana pelayanan berkorelasi kuat dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Pusat-pusat hirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah di samping juga melayani hinterland di sekitarnya. Kegiatan yang sederhana dapat dilayani oleh pusat yang berhirarki rendah, sedangkan kegiatan-kegiatan yang semakin kompleks dilayani oleh pusat berhirarki tinggi (Rustiadi et al. 2007).

Berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau daerah belakang (hinterland) suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduk dengan kualitas dan kuantitas relatif paling lengkap dibandingkan dengan wilayah lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki wilayah yang lebih tinggi. Pusat wilayah ini biasanya berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu.

Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling

rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah lain. Wilayah hinterland

(29)

Suatu pusat yang berorde tinggi pada umumnya mempunyai jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang lebih banyak dari orde yang lebih rendah. Dengan demikian pusat yang berorde lebih tinggi melayani pusat-pusat yang berorde lebih rendah. Selain itu, jumlah jenis dan sarana pelayanan yang ada pada suatu pusat pada umumnya berkorelasi erat dengan jumlah penduduk. Dengan demikian, pada pusat-pusat berorde tinggi seringkali mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi.

Beberapa teknik dan metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hirarki pusat-pusat wilayah adalah dengan metode skalogram,

metode sosiogram dan metode biseksi (bisection) (Rustiadi et al. 2007;

Budiharsono 2005). Dengan menggunakan metode tersebut semua nama pusat wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan sarana pelayanan dicatat dalam sebuah format matriks.

Hirarki wilayah dapat membantu untuk menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing wilayah. Fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya. Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan kualitas pelayanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan 2006). Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat maka akan semakin tinggi hirarki pusat tersebut (Budiharsono 2005).

2.3 Pembangunan Wilayah

Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun secara umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Secara sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, sedangkan menurut Saefulhakim (2008) pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes), artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut, sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan.

Rustiadi et al. (2007) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses

pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan

berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Selanjutnya Todaro (2003) menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

(30)

data-data dan fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktifitas. Perencanaan mencakup aspek-aspek yang bersifat fisik maupun non-fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2004).

Suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan dilaksanakan. Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/ daerah tertentu. Perencanaan ditujukan untuk memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas.

Menurut Sumodiningrat (1999) pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu pembangunan sektoral, pembangunan wilayah, dan pembangunan pemerintahan. Dari segi pembangunan sektoral, pembangunan daerah merupakan pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan atau pembangunan sektoral, seperti pertanian, industri dan jasa yang dilaksanakan di daerah. Pembangunan sektoral dilaksanakan di daerah sesuai dengan kondisi dan potensinya.

Pembangunan wilayah, meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintah daerah untuk makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang dan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan pelaksanaan program serta proyek secara efektif.

2.4 Indikator-indikator Pembangunan

Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan wilayahnya. Secara umum tampaknya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja pembangunan yang paling populer. Namun demikian, pertumbuhan perekonomian yang pesat tersebut, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan serta kerusakan sumbedaya alam akan berdampak paradoks dan mengarah pada kemunduran pembangunan itu sendiri. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur (indikator) tersebut bukan hanya pertambahan output seperti GNP, tetapi harus disertai beberapa tolok ukur lainnya (Rustiadi et al. 2009)

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang

(31)

tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/ program/ kegiatan dan dalam menilai kinerjanya dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi kinerja organisasi/ unit kerja.

Menurut Rustiadi et al. (2007), dari berbagai pendekatan yang ada,

setidaknya terdapat tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni: (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya dan (3) indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 3)

Sumber: Rustiadi et al. (2007)

Gambar 3 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah

Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi

Indikator Kinerja Pembanguna

n Wilayah

Indikator Berdasarkan

Tujua Pe ba gu a

G owth P oduktifitas, Efisie si, da Pertumbuhan)

E uity Pe e ataa , Keadila da Keberimbangan)

“ustai ability Kebe la juta

Indikator Berdasarkan

Kapasitas Sumberdaya Pe ba gu a

Sumberdaya Alam

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya Buatan

Sumberdaya Sosial

Indikator Berdasarkan

P oses Pe ba gu a

Input

Implementasi/Proses

Output

Outcome

Benefit

(32)

dan pertumbuhan (growth); (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity) dan (3) keberlanjutan (sustainability).

Pembangunan juga harus dilihat sebagai suatu upaya secara terus-menerus untuk meningkatkan dan mempertahankan kapasitas sumberdaya-sumberdaya pembangunan, sehingga kapasitas sumberdaya pembangunan sering menjadi indikator yang penting dalam pembangunan. Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) baik melalui proses produksi atau penyediaan barang dan jasa maupun tidak. Dalam perspektif ekonomi sumberdaya, sumberdaya juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi.

Terdapat berbagai cara mengelompokkan atau mengklasifikasikan sumberdaya. Salah satu cara mengklasifikasikan sumberdaya yang paling umum adalah dengan memilah sumberdaya atas sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Pendekatan lain dalam klasifikasi sumberdaya adalah dengan memilah atas: (1) sumberdaya alam (natural resources), (2) sumberdaya manusia (human resources), (3) sumberdaya fisik buatan (man-made resources), mencakup prasaran dan sarana wilayah dan (4) sumberdaya sosial. Masing-masing sumberdaya memiliki sifat kelangkaan dan berbagai bentuk karakteristik unik yang menyebabkan pengelolaannya memerlukan pendekatan yang berbeda-beda (Rustiadi et al. 2009)

Sumber: Rustiadi et al. (2007)

Gambar 4 Struktur proses pembangunan

Input

Implementasi/Proses

Output

Outcome

Benefit

(33)
[image:33.595.103.517.92.753.2]

Tabel 4 Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan pengelompokkannya

Basis/Pendekatan Kelompok Indikator-indikator Operasional

Tujuan Pembangunan

1. Produktivitas, Efisiensi dan Pertumbuhan (Growth)

a. Pendapatan wilayah (1) PDRB

(2) PDRB per Kapita (3) Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan Finansial/Ekonomi

(1) NPV (2) BC Ratio (3) IRR (4) BEP

c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/Kompetitif (1) LQ

(2) Shift and Share

d. Produksi-produksi Utama (tingkat produksi, produktivitas, dll)

(1) Migas

(2) Produksi Padi/Beras (3) Karet

(4) Kelapa Sawit

2. e.

3. Pemerataan, Keberimbangan dan

Keadilan (Eqiuty)

a. Pendapatan wilayah (1) Gini Ratio (2) Struktural (Vertikal) b. Ketenagakerjaan/Pengangguran

(1) Pengangguran Terbuka (2) Pengangguran Terselubung (3) Setengah Pengangguran c. Kemiskinan

(1) Good-Service Ratio (2) % Konsumsi Makanan

(3) Garis Kemiskinan (Pendapatan setara beras, dll) d. Regional Balance

(1) Spatial Balance (primacy index, entropy, index Williamson)

(2) Sentral Balance (3) Capital Balance (4) Sector Balance Tujuan Pembangunan 4. Keberlanjutan a. Dimensi Lingkungan

b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial

Sumberdaya

1. Sumberdaya Manusia a. Knowledge b. Skill (Keterampilan) c. Competency d. Etos kerja/Sosial e. Pendapatan/Produktivitas f. Kesehatan

g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI)

2. Sumberdaya Alam a. Tekanan (Degradasi) b. Dampak

3. Sumberdaya Buatan/Sarana dan Prasarana

a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas Terhadap Fasilitas

4. Sumberdaya Sosial (Social Capital)

a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/Budaya (norm) b. Organisasi Sosial (network)

c. Rasa Percaya (trust)

Proses Pembangunan 1. Input 2. Proses/Implementasi 3. Output 4. Outcome 5. Benefit 6. Impact

a. Input Dasar (SDA, SDM, Infrastruktur, SDS) b. Input Antara

(34)

Pembangunan adalah suatu proses, yang kadangkala kinerja pembangunan tetap perlu dievaluasi meskipun prosesnya masih pada tahap dini atau belum memperlihatkan hasil yang dapat ditunjukkan. Sampai tahap ini, penilaian kinerja proses pembangunan setidaknya dapat dilihat input-inputnya. Keragaan dari input setidaknya akan menentukan keragaan pembangunan pada tahap-tahap selanjutnya. Di sisi lain, evaluasi atau kinerja pembangunan seringkali hanya dilakukan pada pencapaian-pencapaian jangka pendek yang tidak bersifat esensial atau mendasar. Akibatnya tidak menghasilkan manfaat-manfaat jangka panjang atau bahkan merugikan akibat dampak-dampak yang bersifat jangka panjang. Oleh karenanya, pencapaian output jangka pendek belum memberi jaminan tercapainya tujuan-tujuan jangka panjang yang lebih hakiki.

Proses pembangunan sebagai bagian dari aliran proses digambarkan oleh Rustiadi et al. (2007) seperti ditunjukkan pada Gambar 3, yang dimulai dari tahap

input, implementasi, output, outcome, benefit dan impact. Masing-masing

pencapaian tahap output, outcome, benefit dan impact dapat mempengaruhi

kembali pada faktor input.

Deskripsi indikator-indikator pembangunan wilayah ke dalam kelompok-kelompok indikator berdasarkan klasifikasi tujuan pembangunan, kapasitas sumberdaya pembangunan dan proses pembangunan terlihat pada Tabel 4 diatas.

2.5 Sektor Unggulan

Di Indonesia, pembangunan ekonomi secara umum dibagi ke dalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tersebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak mencukupi, maka perlu ada penetapan prioritas pengembangan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan (Suripto 2003), yang

diharapkan dapat mendorong (menjadi push factor) bagi sektor-sektor lain untuk

berkembang (Tarigan 2006). Oleh sebab itu, identifikasi dan penentuan sektor unggulan menjadi sangat penting bagi setiap daerah dalam memacu pertumbuhan ekonominya.

(35)

nilai tambah. Sedangkan keunggulan kompetitif menganalisis kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah (Tarigan 2006).

Berdasarkan indikator tersebut di atas, penentuan sektor unggulan dapat di dasarkan pada kriteria sebagai berikut (Suripto 2003):

1 Share terhadap PDRB: suatu sektor dikatakan unggul jika memberikan kontribusi minimal 10%, sedangkan subsektor minimal 2,5%.

2 Nilai LQ: sektor/ subsektor dikatakan unggul jika mempunyai LQ>1.

3 Pertumbuhan PDRB: suatu sektor dikatakan unggul jika mengalami rata-rata pertumbuhan minimal 5% per tahun dan terus mengalami pertumbuhan positif setidaknya pada 3 tahun, atau mengalami kenaikan pada dua tahun terakhir secara berturut-turut.

4 Selisih antara pertumbuhan share sektor/ subsektor terhadap PDRB wilayah kajian dan wilayah yang lebih besar bernilai positif.

Alat analisis yang umum digunakan untuk menentukan potensi relatif

perekonomian suatu wilayah diantaranya adalah metode location quotient (LQ)

dan metode analisis shift share (SSA). Menurut Bendavid-Val (1991) bahwa

location quotient (LQ) adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu sektor ekonomi wilayah tertentu. Pengertian relatif di sini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas.

Lebih lanjut dikatakan bahwa LQ dapat dinyatakan dalam beragam ukuran, namun yang sering digunakan adalah ukuran kesempatan kerja (employment) sektor atau sub sektor dan ukuran nilai tambah (value added). Selain itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah yakni mengetahui kapasitas ekspor suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang dan jasa dari produk lokal suatu wilayah. Secara operasional, LQ di definisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas sub wilayah ke-i terhadap persentase aktivitas wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah: (1) kondisi geografis relatif homogen; (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama.

Analisis shift share (SSA) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah

yang lebih luas. Analisis shift share mampu memberikan gambaran sebab-sebab

terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi dalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktivitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah secara umum.

(36)

pergeseran proporsional (proportional shift) yang merupakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/ aktivitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran diferensial (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/ aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidak-unggulan suatu sektor/ aktivitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain.

2.6 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah dan Berbagai Implikasinya

Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi dan Pribadi 2006). Namun demikian seringkali pembangunan wilayah yang dilaksanakan tidak merata, baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan atau disparitas pembangunan antar

wilayah. Menurut Chaniago et al. (2000) bahwa kesenjangan dapat diartikan

sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan antar sektor atau wilayah, maka kesenjangan/ disparitas pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi ketidakberimbangan/ ketidaksimetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah ini sangat tergantung pada

perkembangan struktur (sektor-sektor) ekonomi dan struktur wilayah

(perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi baik darat, laut maupun udara, telekomunikasi, air bersih, penerangan, dll) serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan keterampilan) serta penguatan kelembagaan. Dalam tingkat yang tinggi, kesenjangan tersebut dapat mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan.

Sebenarnya masalah kesenjangan pembangunan regional merupakan fenomena universal. Semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, kesenjangan pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Dalam banyak negara, pembagian ekonomi telah melahirkan tekanan sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana serta terpusat, pembangunan diarahkan agar mengikuti kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah (Rustiadi et al. 2007).

(37)

pertumbuhan ekonomi makro cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi serta sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat

pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya

yang berlebihan.

Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang nyata misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Menurut Anwar (2005) terjadinya kesenjangan yang semakin melebar pada akhirnya menimbulkan kerawanan-kerawanan finansial, ekonomi, sosial politik yang pada gilirannya melahirkan krisis multidimensi yang sulit di atasi.

Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/ kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Di sisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Selain itu, ketidakseimbangan pembangunan juga menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.

Wilayah/ kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan

sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan (Rustiadi et al. 2009). Sebaliknya, kemiskinan di wilayah belakang/ perdesaan semakin meningkat yang pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi lemah akibat timbulnya berbagai “penyakit urbanisasi” yang luar biasa.

Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota ini dapat

terlihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami “

over-urbanization” yang dicirikan dengan berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan sepertinya munculnya daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan, kriminalitas dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan perkembangan perkotaan menjadi sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang semakin kompleks dan susah untuk diatasi.

(38)

2.7 Ukuran Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah

Disparitas atau kesenjangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum dalam kegiatan ekonomi suatu daerah yang pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Terjadinya disparitas ini dapat membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah, sehingga berimplikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah.

Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif: distribusi perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi ukuran pendapatan “fungsional” atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi (Todaro 1994:234).

Melihat kesenjangan pembangunan antar wilayah dalam suatu negara atau daerah bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyak kelompok masyarakat miskin pada daerah bersangkutan atau adanya segelintir kelompok kaya di tengah-tengah masyarakat yang umumnya miskin. Berbeda dengan distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat, ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan antar wilayah, sehingga yang dipersoalkan bukan antar kelompok kaya dan miskin, tetapi perbedaan antara daerah maju dan daerah terbelakang (Sjafrizal 2008).

Ukuran kesenjangan pembangunan wilayah yang mula-mula ditemukan adalah Williamson index yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966. Secara ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim

digunakan untuk mengukur perbedaan. Istilah Williamson index muncul sebagai

penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah. Walaupun indeks ini cukup lazim digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan antar wilayah (Sjafrizal 2008; Rustiadi et al. 2007; Susanti et al. 2007).

Gambar

Tabel 4 Indikator-indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/ pendekatan pengelompokkannya
Gambar 5 Kerangka Pemikiran
Gambar 7 Kerangka analisis penelitian
Gambar 8 Peta wilayah Kabupaten Ciamis
+7

Referensi

Dokumen terkait