• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ke Masjid Jami Tenggarong, Yuk!

Dalam dokumen Aku cinta cagar budaya Indonesia (Halaman 125-131)

117

Aku Cinta Cagar Budaya Indonesia

“Kenapa

Ummi mengajak kita ke Masjid Jami, ya?” tanya Aisyah kepada Adit. Memang sore itu, Ummi bilang mau jalan-jalan ke Masjid Jami. Padahal tidak ada acara penga-jian atau acara lain.

“Entahlah, Kakak pun tak tahu,” jawab Adit sambil mem-benarkan posisi jilbab Aisyah, adiknya. Dalam hati, Adit pun bertanya-tanya.

Adit sudah sering ke Masjid Jami Tenggarong karena melaksanakan shalat lima waktu, shalat Jumat, atau karena ada acara sekolah yang dilaksanakan di masjid tersebut. Ka-lau shalat Jumat, biasanya Adit pergi memakai sepeda, kare-na Masjid Jami memang tidak jauh dari rumah mereka.

“Sudah siap?” tanya Ummi sambil meraih tas kecil berisi mukena di atas meja.

Adit dan Aisyah mengangguk sambil berjalan di be-lakang Ummi. Mereka berjalan beriringan menuju Masjid Jami. Terdengar suara azan Ashar berkumandang. Mereka berge-gas mempercepat langkah.

Sesampai di masjid mereka segera mengambil posisi di shaf yang telah tersedia. Setelah iqamah terdengar, mereka melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Cukup banyak ja-maah yang hadir, karena bertepatan dengan sedang ber-langsungnya acara adat Erau yang dilaksanakan setahun sekali di kota Tenggarong. Banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang sedang berkunjung.

Imam melantunkan surah Al Fatihah dengan indah dan tartil. Semua jamaah khusyu’ dalam shalatnya. Adit shalat di barisan depan bersama jamaah laki-laki lainnya. Ummi dan Aisyah shalat di barisan perempuan.

Setelah shalat selesai, tak lupa mereka saling bersalaman dengan jamaah lainnya. Adit duduk di teras samping masjid sambil menunggu Ummi dan Aisyah. Adit berdiri menuju men-ara dan memanjat tangga menmen-ara sedikit untuk membaca

Komunitas Wonderland Family

tulisan yang tertera di dinding menara.

“Diresmikan pada tanggal dua puluh satu Nopember tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh sembilan, bertepa-tan satu Muharram seribu empat ratus Hijriyah, menyongsong abad ke lima belas Hijriyah.” Adit membaca tulisan yang diukir di atas pualam ditandatangani Bupati Kutai Drs. Awang Fai-syal pada waktu itu.

“Sedang apa, Dit?” tanya Ummi yang sudah keluar ber-sama Aisyah.

“Ternyata masjid ini sudah tua, ya, Mi,” kata Adit. Bukan-nya menjawab pertaBukan-nyaan Ummi, Adit malah menunjuk tu-lisan di dinding menara.

Ummi tersenyum sambil menjawab, ”Kalian akan jauh lebih terkejut kalau Ummi bilang masjid Jami Adji Amir Hasa-noeddin ini dibangun pada tahun seribu delapan ratus tujuh puluh empat.” Ummi menyebut nama Masjid Jami dengan lengkap. Kalau orang Tenggarong, biasa hanya menyebut Majid Jami saja.

Adit dan Aisyah terbelalak bersamaan.

“Wah, tua sekali, ya!” seru mereka tampak kaget.

“Masjid Jami ini masjid pertama di Tenggarong. Awalnya Raja Aji Sulaiman hanya membangun mushola biasa. Tetapi karena kebutuhan masyarakat, oleh Raja Aji Muhammad Parikesit pada tahun seribu sembilan ratus tiga puluh dipugar menjadi masjid,” jelas Ummi.

“Ummi tahu dari mana?” tanya Aisyah. “Baca sejarah dari buku, dong,” sela Adit.

“Betul, Kak. Selain dari cerita orang-orang tua dulu, kita bisa baca dari buku sejarah kerajaan Kutai. Nah, Ummi

senga-119

Aku Cinta Cagar Budaya Indonesia

nasional bahkan dunia. Sambil kita berkeliling Ummi jelaskan lagi tentang Masjid Jami, ya,” lanjut Ummi.

“Pembangunan tahap pertama dilaksanakan pada masa raja Sultan Sulaiman, sedang tahap kedua dilaksanakan oleh cucu beliau Sultan Aji Muhammad Parikesit atas prakarsa menteri kerajaan bernama Aji Amir Hasanuddin. Nama men-teri inilah yang kemudian diabadikan menjadi nama Masjid Jami,” jelas Ummi sambil mengajak Adit dan Aisyah masuk lagi ke dalam masjid.

“Kalian lihat enam belas tiang besar dari kayu ulin di dalam masjid? Awalnya kayu ini untuk ritual adat Kutai

mendu-duskan atau pemandian putra mahkota Aji Punggeuk, tetapi

calon raja tersebut meninggal dunia. Akhirnya kayu tersebut digunakan untuk proses pembuatan masjid.”

“Pembangunan pertama dilakukan ketika subuh oleh rakyat dengan bergotong-royong tanpa upah, hanya bermo-dalkan iman dan keikhlasan kepada Allah Ta’ala. Dan luar bi-asanya, sebelum masjid ini direhab, tidak ada satupun paku yang digunakan, karena mereka menggunakan pasak kayu dari kayu ulin.”

Adit dan Aisyah berdecak kagum mendengar penjela-san Ummi sambil melihat koleksi dalam masjid berupa menara masjid, tiang guru, mimbar masjid, dan sudut mihrab masjid. Bangunan Masjid Jami dirancang permanen bercorak rumah adat Kalimantan Timur. Atapnya tumpang tiga dengan pun-caknya berupa bentuk limas segi lima.

“Ternyata, banyak bukti sejarah yang sangat berharga bagi kita, kan?” tanya Ummi kepada Adit dan Aisyah yang se-dang mencoba melingkarkan tangannya di tiang ulin masjid.

“Karena itulah kita harus menjaga dan melestarikan Mas-jid Jami. Tentu saja kita juga harus memanfaatkan masMas-jid un-tuk beribadah di sini.”

“Iya, Mi. Bersyukur Ummi hari ini mengajak kami ke sini sambil menjelaskan tentang Masjid Jami. Kalau tidak, kami

Komunitas Wonderland Family

tidak akan tahu sejarah dibalik masjid yang ternyata luar bi-asa,” jawab Adit.

“Baiklah, sekarang waktunya kita pulang,” kata Ummi sambil melangkah ke luar masjid.

Mereka berjalan beriringan lagi menuju rumah. Setelah mengetahui sejarah Masjid Jami, Adit menjadi semakin kagum dengan masjid tersebut. Adit berjanji dalam hatinya untuk leb-ih sering lagi sholat berjamaah di Masjid Jami.

***

Fakta Unik

1. Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin (EYD: Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin) merupakan masjid pertama yang diban-gun pada masa kerajaan Kutai dan masih didiban-gunakan un-tuk peribadatan sehari-hari.

2. Dibangun pada tahun 1874 dengan 16 tiang utama dari kayu ulin khas Kalimantan tanpa paku, karena menggu-nakan pasak kayu dari kayu itu sendiri.

3. Kayu ulin atau kayu besi adalah jenis kayu khas Kaliman-tan yang sangat kuat, susah dipaku atau digergaji, tetapi mulah dibelah. Karena itulah jaman dahulu bangunan dari ulin tidak menggunakan paku, melainkan pasak kayu dari kayu ulin juga.

121

Dalam dokumen Aku cinta cagar budaya Indonesia (Halaman 125-131)