• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASJIDILHARAM DAN MASJIDILAKSA Perspektif Tafsir Historis

F. Masjidilharam dalam Hadîs

Kata Masjidilharam disinggung dalam 65 Hadîs yang mempunyai arti tidak berbeda dengan pembahasan yang dikemukakan oleh Ibn Ashur dalam Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, yaitu kawasan yang berada di sekitar Kakbah terutama

lingkaran tawaf yang mengelilinginya (sihn al-mataf). Di antaranya adalah Hadîs

laporan Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak perlu bersusah payah untuk bepergian, kecuali menuju tiga masjid; Masjidilharam, Masjidku ini dan Masjidilaksa” (Hr. Abu Dawud: 2035).

“Dilaporkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Salat di Masjid Rasulullah lebih utama seribu salat dari pada masjid-masjid lainnya kecuali Masjidilharam. Karena sesungguhnya Rasulullah adalah nabi terakhir, konsekuensinya masjid beliau adalah masjid terakhir” (Hr. Muslim: 1394).

“Dilaporkan dari Abu Dhar ia bertanya kepada Rasulullah tentang masjid mana yang pertama kali dibangun di atas bumi? Rasulullah menjawab: Masjidilharam. Kemudian masjid mana? Rasulullah menjawab: Masjidilaksa. Aku bertanya lagi: Berapa lama jarak antar keduanya? Rasulullah menjawab: empat puluh tahun. Kemudian beliau bersabda bumi itu bagimu adalah masjid, maka kapan pun kamu mendapati waktu salat, maka salat lah di tempat itu” (Hr.

Muslim: 520).

Kata Masjidilharam di dalam Hadîs juga diungkapkan dengan istilah

baytillâh. Diantara Hadîs yang menggunakan redaksi baytillâh adalah diriwayatkan

dari ‘Uqbah bin Amir al-Juhani, ia berkata: “Saudariku bernazar akan berjalan kaki ke baytullâh, maka ia memintaku untuk minta fatwa kepada Rasulullah saw, maka aku minta fatwa kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Hendaknya dia berjalan kaki atau ia menaiki (kendaraan)” (Hr. Abu Daud: 3301).

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Ada tujuh tempat yang dilarang untuk dijadikan sebagai tempat salat; di atas permukaan Kakbah, kuburan, tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan (binatang), toilet, kandang unta dan di tengah jalan” (Hr. Ibn

Majah: 747).

tempat untuk dijadikan sebagai tempat salat; tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan binatang, tempat pemakaman, di tengah jalan, toilet, kandang unta dan di atas permukaan baytullah” (Hr. Turmudzi: 346).

Berdasarkan penelusuran di atas, kata Masjidilharam dalam Alquran dan Hadîs juga diungkapkan dengan istilah Kakbah, baytullâh dan al-bayt. Dalam

perjalanan sejarah, istilah Masjidilharam semakin populer ketika Alquran dan Hadîs menyandingkannya dengan istilah-istilah yang sudah populer sebelumnya. Akhirnya, Masjidilharam itu lebih dikenal dan identik sebagai tempat ibadah khusus bagi kaum Muslim pengikut Nabi Muhammad saw.

Oleh karena itu, jika ketentuan ayat-ayat dan beberapa Hadîs yang menjelaskan tentang masjid ditelusuri secara historis, maka pengertian kekhususan masjid sebagai tempat ibadah hanya untuk kaum Muslim tidak bisa dibenarkan. Secara historis, Masjidilharam sudah ada sejak Nabi Ibrahim as, kemudian masjid ini secara terus menerus digunakan sebagai tempat ibadah oleh kabilah Jurhum, Amaliqah, Khuzaah, komunitas Jahiliah, yang tentu istilah Masjidilharam saat itu belum populer. Istilah Masjidilharam baru muncul ketika Alquran diturunkan (masa Nabi Muhammad saw antara 611-632 M). Ketika masa Nabi Muhammad pun Masjidilharam digunakan sebagai tempat ibadah tidak hanya oleh kaum Muslim, tetapi digunakan juga oleh semua pengikut lintas agama: Muslim dan non Muslim.

Masjidilharam menjadi tempat ibadah khusus bagi kaum Muslim baru diumumkan pada tahun 9 H/631 M ketika Abu Bakar al-Sidiq ra memimpin jamaah haji, sebagai pelaksanaan ketentuan ayat Alquran yang menyatakan:

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Oleh karena itu, mereka tidak boleh mendekati Masjidilharam setelah tahun mereka ini, dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. al-Taubah [9]: 28).49 Kemudian ketentuan yang melarang 49 Ayat ini diperkuat oleh pidato Ali bin Abi Talib saat berada di Mina atas izin Abu Bakar,yang menjelaskan substansi dan pelaksanaan teknis implementasi ketentuan ayat tersebut, lihat Ibn Hisham, al-Sîrat al-Nabawiyyah, Jilid IV, Tahqiq al-Shaikh Muhammad Ali al-Qutb (Bairut: al-Maktabah al-Ashriyah, Cet I, 1998), 161-162. Teks tidak lengkap lihat sahîh al-Bukhâry, Hadîs no. 369, 1622, 4655 dan sahîh Muslim, Hadîs No 1347 dan al-Baihaqi dalam Dalâ’il al-Nubuwwah, I/295-296.

non-Muslim mendekat diberlakukan pada tahun berikutnya, yaitu tahun 10 H/632 M ketika Nabi Muhammad melaksanakan ibadah haji. Sejak tahun inilah Masjidilharam menjadi “monopoli” tempat ibadah khusus kaum Muslim.

G. Masjidilaksa dalam Alquran

Masjidilaksa adalah salah satu tempat suci ketiga bagi kaum Muslim, tepatnya pada seluruh wilayah di dalam pagar pada sisi tenggara di Kota Lama Yerusalem. Dalam kawasan yang populer dengan Masjidilaksa ini terdapat masjid

Qubbat al-sakhrah dan Masjid Qibli yang berada di sisi selatannya menghadap

ke arah kiblat (Kakbah). Komplek dan kawasan yang di dalamnya terdapat dua masjid ini bagi kaum Muslim dikenal sebagai al-harâm al-sharîf (tanah suci yang

mulia) yang juga disebut Masjidilaksa. Namun wilayah ini bagi umat Yahudi dan Kristen dikenal dengan sebutan bayt al-maqdis (rumah suci). Hadîs riwayat

Abu Dhar al-Ghifari menyatakan bahwa Masjidilaksa adalah masjid kedua yang dibangun di atas muka bumi ini setelah Masjidilharam (Hr. Muslim: 520).

Pendapat yang kuat menyatakan bahwa Nabi Adam adalah orang pertama yang membangun Baytulmaqdis di atas bumi, tepatnya empat puluh tahun setelah

beliau menancapkan pondasi-pondasi Baitulharam. Itu berarti bangunan tersebut sudah eksis sebelum bangunan gereja, sinagog, haikal dan ma’bad. Kemudian

nabi Ibrahim memperbaharui bangunan tua itu dan melestarikannya pada tahun 1997-1822 SM. Pelestarian tersebut diteruskan oleh nabi Ishak, nabi Yakub dan keturunannya, kemudian renovasi terbesar dilakukan oleh nabi Daud (1041-971 SM) dan nabi Sulaiman (989-931 SM).50

Informasi tentang Masjidilaksa disebutkan dalam al-Qur’ân hanya dalam satu ayat: “Maha Suci Zat, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs. al-

Isra [17]: 1).

50 Abdullah Makruf, Atlas Ma’âlim Masjidilaksa (Jordan: Yayasan Alfursan, Cet. I, 2010), 10, dan Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Târîkh al-Anbiyâ’ wa al-Rusul (Riyad: al-Ubaikan, Cet VII, 2006), 54.

Ayat ini satu-satunya yang menjelaskan keberadaan Masjidilaksa sebagai saksi peristiwa israk-mikraj Rasulullah saw yang terjadi setelah tahun duka cita (‘âm al-huzn) dua tahun sebelum beliau hijrah ke kota Madinah. Menurut Ibn

Ashur, Masjidilaksa yang dimaksud pada ayat di atas adalah masjid yang terkenal dengan sebutan bayt al-maqdis yang berada di Kota Ilya.51

Di dalam surat al-Isra’ juga terdapat ayat yang menjelaskan tentang Masjidilaksa, namun hanya dengan kata al-masjid bukan dengan kata atau istilah

yang tegas dengan al-Masjid al-’Aqsâ. Allah berfirman: “Jika kamu berbuat baik maka pahala kebaikan itu akan bermanfaat bagi dirimu sendiri dan jika kamu

51 Muhammad al-Thahir Ibn Ashur, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid XV (Tunisia: Dar Sahnun, tt.), 14.

Peta kota tua Yerusalem, kawasan al-haram al-syarif adalah tempat dibangunnya dua masjid: Qubatu al- Shakhrah dan Masjidilaksa (masjid tidak menunjuk pada bangunan tapi kawasan).

berbuat jahat, maka (kejahatan) itu akan menimpa pada dirimu sendiri. Dan apabila hukuman karena (kejahatan) yang kedua itu datang, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan agar mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai” (Qs. al-Isra [17]: 7).

Ayat ini diturunkan di Mekah (makkiyyah),52 yang sebagian ulama

memahaminya sebagai prediksi (tawaqquat) akan terjadinya suatu peristiwa yang

membuat perubahan sebagian kawasan kota tua Yerusalem sebagai Masjidilaksa pasca Nabi Muhammad saw. Secara historis, kaum Muslim baru menaklukkan sekaligus menguasai kawasan Masjidilaksa (Yerusalem) pada masa Umar bin Khattab, tepatnya pada 637 M dari kekuasaan Romawi yang beragama Kristen. Penaklukan Umar ini bisa dikatakan bahwa kaum Muslim “memasuki Masjidilaksa” untuk pertama kalinya.

Konteks ayat di atas menjelaskan bahwa kawasan Yerusalem saat itu sebagian menjadi pusat gereja dari semua sektenya dan sebagian yang lain berupa kawasan luas yang kosong bekas temple mount atau haikal tempat

ibadah kaum Yahudi. Saat Alquran diturunkan (611-632 M) kawasan ini populer dengan Yerusalem, Ilya dan bayt al-maqdis. Istilah Masjidilaksa tidak dikenal

di kalangan komunitas Kristen dan Yahudi yang tinggal di sekitar kawasan ini. Kawasan kosong bekas tempat ibadah kaum Yahudi inilah yang kemudian diyakini sebagai kawasan Masjidilaksa, seperti yang disebut dalam Alquran surat al-Isra’ ayat satu di atas.

Jadi, penamaan masjid pada hamparan tanah kosong di atas, adalah “inovasi” Alquran dan Hadîs yang oleh kaum Muslim diyakini sebagai kebenaran mutlak. Masjid dalam perspektif kaum Muslim adalah tempat sujud untuk melaksanakan ibadah kepada Allah, bukan bayt al-maqdis (tempat yang

disucikan) seperti yang populer di kalangan komunitas Yahudi. Karena Alquran menyebutnya sebagai Masjidilaksa, maka secara fungsional berarti tidak berbeda pengertiannya dengan Masjidilharam yang hanya digunakan sebagai tempat ibadah oleh kaum Muslim saja. Keyakinan seperti inilah yang populer di kalangan 52 Jalaluddin Al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlain (Kairo: Dar al-Hadîs, Cet I, tt.), 364.

mayoritas kaum Muslim, sampai saat ini. Jadi, semua upaya dari manapun untuk “menguasai” Masjidilaksa dalam perspektif kaum Muslim harus dilawan dengan segala cara, termasuk dengan mengorbankan daya gerak diplomasi, harta dan jiwa.