• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Masukan (Input)

Terdapat beberapa aspek yang dikategorikan sebagai masukan (input) dalam penanganan HIV dan AIDS yaitu:

5.1.1 Tenaga Pelaksana

Tenaga pelaksana yang dibutuhkan dalam penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit Rujukan Strata II adalah dokter, perawat, konselor, manajer kasus, farmasi/apoteker, asisten laboratorium dan ODHA yang berfungsi sebagai konselor dan manajer kasus. Tenaga pelaksana tersebut sudah harus dilatih oleh tim Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP). Hasil penelitian di Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige menunjukkan bahwa di Klinik VCT-CST tersebut tidak memiliki ODHA yang berfungsi sebagai konselor dan manajer kasus, sementara ODHA yang dihunjuk tersebut dapat berfungsi sebagai pendukung kepatuhan minum obat dan kelompok dukungan sebaya.

Tenaga pelaksana memang sering mengikuti pelatihan tetapi yang mendapatkan sertifikat resmi dari Dinas Kesehatan Provinsi hanya konselor yaitu sertifikat konselor professional. Pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi atau pelatihan lainnya di luar Kabupaten tentunya belum mencukupi dan menjamin terlaksananya layanan HIV dan AIDS dengan baik. Oleh karena itu, masih diperlukannya suatu bimbingan teknis pasca pelatihan termasuk kegiatan supervisi. Kegiatan tersebut harus dikoordinasikan dengan

Dinas Kesehatan daerah setempat melalui kemitraan dengan berbagai institusi layanan VCT baik swasta atau pemerintah di tingkat nasional atau provinsi bahkan tingkat kabupaten sekalipun untuk menghimpun para mentor yang cukup handal dalam memberikan bimbingan klinis ataupun pelatihan di tempat.

Penelitian di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir dengan wawancara menyatakan bahwa pernah diadakan penyuluhan kepada tenaga pelaksana dengan mengundang tim pelaksana yang didatangkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara ketika pertama sekali VCT terbentuk. Akan tetapi untuk saat ini, tidak pernah lagi diadakan pelatihan yang seperti itu. Sejalan dengan penelitian Purwaningtias (2007) yang menyimpulkan bahwa petugas kesehatan di RSUP Dr. Sardjito telah mengikuti training yang diselenggarakan oleh Depkes tentang penyediaan pelayanan HIV dan AIDS secara berkala.

5.1.2 Biaya Operasional

Selama ini dana penanggulanganan AIDS di Indonesia lebih banyak berasal dari pemerintah pusat dn bantuan luar negeri. Pemerintah daerah, kalangan bisnis serta masyarakat mempunyai potensi besar untuk ikut serta mendanai kegiatan penanggulangan AIDS di Indonesia. Peran pemerintah daerah hendaknya tercermin dari komitmen finansial dan peraturan daerahnya. Pemerintah daerah perlu berkonstribusi untuk mendukung upaya penanggulangan AIDS di daerahnya, konstribusi tersebut dapat berupa pengadaan tenaga, peningkatan fasilitas dan sarana rumah sakit, dana obat infeksi opportunistik dan obat ARV, serta dukungan dana untuk kegiatan penyuluhan dan pecegahan AIDS (Depkes, 2007).

Biaya operasional yang digunakan di klinik VCT-CST berasal dari Global Fund, pemerintah dan swasta. Dana Global Fund digunakan untuk mengimport Stavudin dan Efavirenz dan sebagian kecil juga digunakan untuk menambah persediaan obat Zidovudine, Lamivudin dan Nevirapin buatan Kimia Farma. Dinas Kesehatan baik Provinsi maupun Kabupaten dan BKKbN memfasilitasi peralatan yang digunakan untuk penanganan HIV dan AIDS seperti reagen pemeriksaan sampel darah pasien, kondom, peralatan suntik, dll.

Dukungan dana dari pemerintah daerah di Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige masih belum optimal karena pada saat ini masih menggunakan bantuan dari Global Fund dan pemerintah daerah hanya memfasilitasi peralatan seperti reagen pemeriksaan sampel darah pasien, dan kondom sesuai dengan permintaan dari Klinik VCT-CST saja. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Milantika (2009) yang menyimpulkan bahwa dukungan dana pemerintah daerah di Klinik VCT Kabupaten Bandung belum optimal dan masih tergantung Global Fund.

Dukungan dana dari swasta berasal dari gereja baik dari dalam negeri seperti HKBP pusat di Pearaja, Tarutung maupun dari luar negeri seperti United Evangelism Mission (UEM) dan Evangelical Luteran Church of America (ELCA). Dana ini dialokasikan kepada Rumah Sakit HKBP Balige secara umum. Namun, apabila program di Klinik VCT-CST membutuhkan dana tambahan, maka dana ini dapat digunakan.

5.1.3 Sarana dan Prasarana

Penanganan HIV dan AIDS tentunya memerlukan sarana dan prasarana. Menurut Wibowo (2008), peralatan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan suatu program dapat menunjang kelancaran suatu program. Sarana dan prasarana yang diperlukan dalam Rumah Sakit rujukan strata II meliputi ruangan khusus dalam penanganan HIV dan AIDS; peralatan untuk pemeriksaan fisik (pemeriksaan infeksi opportunistik ODHA); peralatan laboratorium untuk menampung sediaan laboratorium (spesimen); obat untuk terapi dan profilaksis Infeksi Opportunistik, obat ARV (Zidovudine, lamivudin, Nevirapine dan Efavirenz), obat untuk terapi substitusi (metadon, buprenorfin).

Peralatan yang digunakan untuk pencegahan yaitu kondom, paket peralatan suntik steril (jarum suntik dan semprit, usapan alkohol, dsb), pasokan dan obat untuk kewaspadaan universal seperti sarung tangan, Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) dan Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT). Sementara yang digunakan dalam monitoring dan evaluasi yaitu formulir catatan medis yang meliputi kartu pasien, ikhtiar perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral (ARV), follow-up perawatan pasien dan terapi ARV, register pra ART, register ART, laporan bulanan dan laporan kohort serta kartu atau formulir rujukan pasien.

Penelitian di Rumah Sakit HKBP Balige menyatakan bahwa sarana dan prasarana yang ada di Klinik VCT-CST cukup tersedia walaupun ada beberapa yang belum tersedia sehingga penanganan HIV dan AIDS belum dapat berjalan dengan baik. Adapun sarana dan prasarana yang tersedia yaitu ruangan khusus

penanganan HIV dan AIDS yang disebut dengan Klinik VCT-CST, peralatan laboratorium, obat untuk terapi dan profilaksis infeksi opportunistik, obat ARV, peralatan untuk pencegahan dan perlengkapan untuk monitoring dan evaluasi. Adapun yang tidak lengkap yaitu peralatan untuk pemeriksaan fisik yaitu untuk pemeriksaan Global Fungsi seperti MRI, CT-Scan, obat untuk terapi substitusi (metadon, buprenorfin).

Pemeriksaan Global Fungsi sangat diperlukan untuk mengetahui infeksi opportunistik apa yang diderita oleh ODHA. ODHA yang masih memiliki infeksi opportunistik dan akan memulai terapi ARV, terlebih dahulu mengobati infeksi opportunistiknya minimal 2 minggu sebelum ARV dijalankan. Terapi substitusi dengan obat oral metadon atau buprenorfin juga sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan dalam penggunaan heroin dari narkoba suntikan atau narkoba jalanan selama bertahun-tahun karena faktor kedua yang menyebabkan ODHA di Kabupaten Toba Samosir tinggi adalah pengguna narkoba dan suntik (penasun) . Penelitian Schottenfeld (2008) menyimpulkan bahwa pengguna heroin dapat dinyatakan bebas heroin dengan menggunakan buprenorfin dengan jangka waktu 59 hari.

Dokumen terkait