ANALISIS IMPLEMENTASI PENANGANAN HIV DAN AIDS
DI RUMAH SAKIT HKBP BALIGE
TAHUN 2015
SKRIPSI
OLEH:
YOHANA P.R PARDEDE
111000142
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS IMPLEMENTASI PENANGANAN HIV DAN AIDS
DI RUMAH SAKIT HKBP BALIGE
TAHUN 2015
Skripsi Ini Diajukan Sebagai
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH:
YOHANA P.R PARDEDE 111000142
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDG’s tahun 2015. Kasus HIV dan AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Rumah Sakit sebagai instansi kesehatan berperan penting dalam penurunan kasus HIV dan AIDS. Oleh sebab itu, Menteri Kesehatan membuat suatu kebijakan dengan menetapkan sebanyak 358 rumah sakit rujukan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk Rumah Sakit HKBP Balige. Klinik VCT-CST merupakan tempat pelayanan HIV dan AIDS di Rumah Sakit. Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, hingga Desember 2014 terdapat 105 orang pengidap HIV dan 254 orang pengidap AIDS.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam mengenai implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang, yang terdiri dari 1 orang pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, 1 orang dokter, 1 orang konselor, 1 orang manajer kasus, 1 orang perawat, 1 orang apoteker, 1 orang analis laboratorium dan 2 orang penderita HIV dan AIDS. Analisa data menggunakan metode Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi penanganan HIV dan AIDS belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan karena tidak lengkapnya tenaga pelaksana yaitu ODHA yang dihunjuk sebagai manajer kasus dan konselor sehingga berfungsi sebagai pendukung kepatuhan minum obat dan kelompok dukungan sebaya, kurangnya sarana dan prasarana, serta dukungan dana dari pemerintah daerah masih belum optimal. Selain itu, koordinasi diantara tenaga pelaksana di klinik VCT-CST dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir masih belum berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan kepada Direktur Rumah Sakit agar melengkapi dan menetapkan tenaga pelaksana yang bekerja full timer di Klinik VCT-CST serta melengkapi sarana prasarana yang mendukung pelayanan. Selain itu, diharapkan agar koordinasi antara klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir dapat berjalan dengan baik dan pemerintah daerah turut andil dalam hal ini.
ABSTRACT
HIV and AIDS is one of the MDG’s targets in 2015. HIV and AIDS cases
increase from year to years all over the world, including Indonesia. Hospital as the health instance has an important role to decrease HIV and AIDS cases. Therefore, the Ministry of Health made a policy by authorizing around 358 hospitals in Indonesia in reconciliation of HIV and AIDS, including HKBP Balige’s Hospital. VCT-CST clinic is a place for HIV and AIDS service in hospital. The data in Health Department of Toba Samosir regency registered until December 2014 shows that there are about 105 people infected HIV and 254 people infected AIDS.
This research is qualitative research which aims to know clearly and deeply about the implementation of HIV and AIDS treatment in HKBP Balige’s Hospital. The method of collecting data is in-depth interview. There will be nine persons as the informants of this research, they are an employee of Health Department of Toba Samosir regency, a doctor, a counselor, a case manager, a nurse, a pharmacist, a laboratory analyst, and two ODHA (People with HIV and AIDS). The technique of analyzing data is the method of Miles and Huberman.
The result of this research shows that the implementation of HIV and AIDS treatment has not been optimally conducted. It was due to the lack of human resources namely ODHA as HIV and AIDS case manager and counselor to promote medication adherence and peer proponent group. Furthermore, it was also due to the lack of facilities and infrastructure and the insufficiency of financial aid from local government. What made it worse is the coordination among the ones in charged in the VCT-CST clinic and Health Department of Toba Samosir regency were not run well.
Based on the result, the Director of Hospital is expected to complete and authorize the staff to work full time in VCT-CST clinic and also equipthe facilities and infrastructure to support the treatment. Further, it also expected that VCT-CST clinic, HKBP Balige’s Hospital and Health Department of Toba Samosir regency can coordinate well and local government took a part of this case.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Yohana P.R Pardede
Tempat Lahir : Balige
Tanggal Lahir : 28 Februari 1994
Suku Bangsa : Batak Toba
Agama : Kristen Protestan
Nama Ayah : Sahat Togar Pardede Suku Bangsa Ayah : Batak Toba
Nama Ibu : Lisda Sitinjak
Suku Bangsa Ibu : Batak Toba
Alamat Rumah : Jl. Siliwangi no. 9, Balige
Pendidikan Formal
1. SD/ Tamat tahun : SDN no. 173524 Balige / 1999 – 2005 2. SLTP/ Tamat tahun : SMP N 4 Balige / 2005-2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Analisis Implementasi Penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige Tahun 2015” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Dalam penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir penulis banyak memperoleh bimbingan, dukungan, bantuan, saran dan kritik dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak dr. Heldy B.Z, MPH, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
3. Ibu Dr. Juanita, S.E, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktu, bimbingan, pengarahan, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Ibu dr. Rusmalawaty, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
5. Ibu Siti Khadijah, SKM, M.Kes, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.
6. Bapak dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU, terutama Departemen AKK yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral selama perkuliahan. 8. Ibu dr. Frida Sinaga, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba
Samosir dan Bapak Lambok Siahaan SKM, selaku Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir
yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.
9. Bapak dr. Tihar Hasibuan MARS, selaku Direktur Rumah Sakit HKBP Balige, Bapak Harry, selaku Kepala Tata Usaha, bapak dr. Maruli Tua
Sianipar, bapak Tamba Edwin Hutagaol, SE, Ibu Diak. Nurhayati Silalahi, Ibu Diak. Oka Nurhayati Harianja, Ibu Melva Siahaan, Am.Kep, Ibu Mariana
S. Napitupulu, S.Si,Apt, dan Ibu Diak. Ardiana Sihombing, selaku tenaga pelaksana di Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.
10. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Sahat Togar Pardede dan Ibunda Lisda Sitinjak yang selalu memberikan doa, kasih sayang,
semangat, serta dukungan kepada penulis selama ini.
11. Adik-adik tersayang Berliana J.M Pardede, Ulion Alberto P. Pardede, Altiroy R.M Pardede dan seluruh keluarga besar penulis yang selalu memberikan
12. Ismail Sinaga yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
13. Sahabat-sahabat tersayang Dwi Anggun Alami, Siti Saodah, Yenni Farida Siregar yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
14. Sahabat-sahabat d’Dearest tersayang Betty Marshaulina Simanjuntak, Ruth Mandasari Sianipar, Pistarina Pasaribu dan sahabat penulis Swarman Siahaan yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
15. Kelompok kecil TABITA tersayang Kak Ira Primona, Delima Simbolon, Elisabeth Hutagalung, Lamtiur Junita Bancin, Marta Elnist, Mei Sianturi yang
telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
16. Teman-teman di Kost Vina yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
17. Teman-teman Departement AKK FKM USU, terkhusus kepada teman-teman seperjuangan AKK angkatan 2011.
18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, memberikan semangat, dukungan dan doa selama ini.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Medan, Mei 2015
DAFTAR ISI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Implementasi Kebijakan ... 9
2.2 HIV-AIDS... 10
2.2.1 Pengertian HIV-AIDS ... 10
2.2.2 Ciri-ciri Penderita ... 11
2.2.3 Penularan HIV-AIDS... 13
2.2.4 Penanggulangan HIV-AIDS ... 13
2.3 Pelayanan Kesehatan untuk AIDS ... 14
2.4 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS di Indonesia ... 16
2.5 Kebijakan pada Perluasan Layanan PDP ... 18
2.5.1 Sistem Rujukan PDP ... 19
2.5.2 Rumah Sakit Rujukan ODHA ... 21
2.6 Perawatan Penderita AIDS ... 25
2.7.1 Konseling Sebelum Testing HIV ... 27
2.7.2 Konseling Sesudah Testing HIV ... 28
2.8 Testing HIV ... 31
2.9 Terapi Antiretroviral (ARV) ... 31
2.10 Komite HIV-AIDS... 32
2.10.1 Voluntary Counselling Test (VCT) ... 33
2.10.2 Prinsip Pelayanan VCT... 34
2.11 Kerangka Pikir ... 35
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
3.1 Jenis Penelitian ... 38
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38
3.3 Informan Penelitian ... 38
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 38
3.5 Instrumen dalam Pengambilan Data ... 39
3.6 Teknik Analisis Data ... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40
4.1 Gambaran Umum Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige ... 40
4.2 Materi Talkshow ... 41
4.3 Karakterikstik Informan... 42
4.4 Standar Operational Prosedur ... 43
4.5 Wawancara Penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige ... 44
4.5.1 Pernyataan Informan tentang Sertifikat Pelatihan Khusus HIV- AIDS ... 44
4.5.2 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan ODHA yang Dihunjuk sebagai Manajer Kasus atau Konselor ... 45
4.5.3 Pernyataan Informan tentang Pendanaan Penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP ... 45
4.5.4 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Peralatan Kesehatan yang Mendukung Pelayanan Kesehatan Rujukan... 46
4.5.5 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Obat-Obatan ... 47
4.5.6 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Perlengkapan untuk Pencegahan HIV-AIDS ... 49
4.5.7 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Perlengkapan untuk Monitoring dan Evaluasi... 50
4.5.8 Pernyataan Informan tentang Proses Capasity Building ... 51
4.5.9 Pernyataan Informan tetang kendala dalam melaksanakan Program Capasity Building... 53
4.5.10 Pernyataan Informan tentang Proses Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) ... 54
Diantara Klinik VCT lainnya... 56
4.5.13 Pernyataan Informan tentang Kerjasama dengan Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir ... 57
4.5.14 Pernyataan Informan tentang Keterlibatan LSM ... 58
4.5.15 Pernyataan Informan tentang Sistem Pelaporan ... 59
BAB V PEMBAHASAN ... 61
5.1 Masukan (Input)... 61
5.1.1 Tenaga Pelaksana... 61
5.1.2 Biaya Operasional ... 62
5.1.3 Sarana dan Prasarana ... 64
5.2 Proses ... 65
5.2.1 Capasity Building ... 66
5.2.2 Komunikasi, Informasi dan Edukasi ... 70
5.2.3 Sistem Pelaporan ... 74
5.3 Output ... 76
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 77
6.1 Kesimpulan ... 77
6.2 Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Pedoman Wawancara
Surat Izin Penelitian dari FKM USU
Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit HKBP Balige
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah ODHA di Kabupaten Toba Samosir ... 3 Tabel 4.1 Karakteristik Informan ...42
Tabel 4.2 Matriks pernyataan informan tentang sertifikat pelatihan khusus HIV-AIDS ...44
Tabel 4.3 Matriks pernyataan informan tentang ketersediaan ODHA yang Dihunjuk sebagai manajer kasus atau konselor...45
Tabel 4.4 Matriks pernyataan informan tentang Sistem Pendanaan
Penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP ...45
Tabel 4.5 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan
Peralatan Kesehatan yang Mendukung Pelayanan Kesehatan
Rujukan ...46
Tabel 4.6 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan
Obat-Obatan ...47
Tabel 4.7 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan
Perlengkapan untuk Pencegahan HIV-AIDS ...49 Tabel 4.8 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan
Perlengkapan untuk Monitoring dan Evaluasi ...50 Tabel 4.9 Matriks Pernyataan Informan tentang Proses Capasity Building ...51 Tabel 4.10 Matriks Pernyataan Informan tetang kendala dalam
melaksanakan Program Capasity Building ...53
Tabel 4.11 Matriks Pernyataan Informan tentang Proses Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) ...54
Tabel 4.12 Matriks Pernyataan Informan tentang Kendala dalam
Pelaksanaan KIE ...55
Tabel 4.13 Matriks Pernyataan Informan tentang Kedudukan Klinik VCT- CST diantara Klinik VCT lainnya ...56
Tabel 4.14 Matriks Pernyataan Informan tentang Kerjasama dengan
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR ISTILAH
Singkatan : Singkatan dari
AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome ART : Antiretroviral Therapy
ARV : Antiretroviral ASA : Aksi Stop AIDS
BKKbN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
CST : Care Support Treatment Depkes : Departemen Kesehatan Dinkes : Dinas Kesehatan
ELCA : Evangelical Luteran Church of America FHI-ASA : Family Health Internasional-Aksi Stop AIDS HiKHA : Himpunan Konselor HIV-AIDS
HIV : Human Immunodeficiency Virus HKBP : Huria Kristen Batak Protestan IDU : Injecting Drugs User
IMS : Infeksi Menular Seksual KB : Keluarga Berencana Kemkes : Kementerian Kesehatan KEPMENKES : Keputusan Menteri Kesehatan KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi KPA : Komisi Pemberantasan AIDS LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MDG’s : Millenium Development Goals MRI : Magnetic Resonance Imaging
NAPZA : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif ODHA : Orang dengan HIV-AIDS
PDP : Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Penasun : Pengguna Narkoba Suntik
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan PMK : Pengendalian Masalah Kesehatan
PMTCT : Prevention of Mother To Child Transmission Pokja : Kelompok Kerja
PPP : Profilaksis Pasca Pajanan PSK : Pekerja Seks Komersial RI : Republik Indonesia Risti : Risiko Tinggi
RS : Rumah Sakit
Subdit : Sub Direktorat SUMUT : Sumatera Utara TBC : Tuberkulosis
UEM : United Evangelism Miss
UNAIDS : United Nations Programme on HIV-AIDS VCT : Voluntary Counselling and Testing
ABSTRAK
HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDG’s tahun 2015. Kasus HIV dan AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Rumah Sakit sebagai instansi kesehatan berperan penting dalam penurunan kasus HIV dan AIDS. Oleh sebab itu, Menteri Kesehatan membuat suatu kebijakan dengan menetapkan sebanyak 358 rumah sakit rujukan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk Rumah Sakit HKBP Balige. Klinik VCT-CST merupakan tempat pelayanan HIV dan AIDS di Rumah Sakit. Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, hingga Desember 2014 terdapat 105 orang pengidap HIV dan 254 orang pengidap AIDS.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam mengenai implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang, yang terdiri dari 1 orang pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, 1 orang dokter, 1 orang konselor, 1 orang manajer kasus, 1 orang perawat, 1 orang apoteker, 1 orang analis laboratorium dan 2 orang penderita HIV dan AIDS. Analisa data menggunakan metode Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi penanganan HIV dan AIDS belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan karena tidak lengkapnya tenaga pelaksana yaitu ODHA yang dihunjuk sebagai manajer kasus dan konselor sehingga berfungsi sebagai pendukung kepatuhan minum obat dan kelompok dukungan sebaya, kurangnya sarana dan prasarana, serta dukungan dana dari pemerintah daerah masih belum optimal. Selain itu, koordinasi diantara tenaga pelaksana di klinik VCT-CST dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir masih belum berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan kepada Direktur Rumah Sakit agar melengkapi dan menetapkan tenaga pelaksana yang bekerja full timer di Klinik VCT-CST serta melengkapi sarana prasarana yang mendukung pelayanan. Selain itu, diharapkan agar koordinasi antara klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir dapat berjalan dengan baik dan pemerintah daerah turut andil dalam hal ini.
ABSTRACT
HIV and AIDS is one of the MDG’s targets in 2015. HIV and AIDS cases
increase from year to years all over the world, including Indonesia. Hospital as the health instance has an important role to decrease HIV and AIDS cases. Therefore, the Ministry of Health made a policy by authorizing around 358 hospitals in Indonesia in reconciliation of HIV and AIDS, including HKBP Balige’s Hospital. VCT-CST clinic is a place for HIV and AIDS service in hospital. The data in Health Department of Toba Samosir regency registered until December 2014 shows that there are about 105 people infected HIV and 254 people infected AIDS.
This research is qualitative research which aims to know clearly and deeply about the implementation of HIV and AIDS treatment in HKBP Balige’s Hospital. The method of collecting data is in-depth interview. There will be nine persons as the informants of this research, they are an employee of Health Department of Toba Samosir regency, a doctor, a counselor, a case manager, a nurse, a pharmacist, a laboratory analyst, and two ODHA (People with HIV and AIDS). The technique of analyzing data is the method of Miles and Huberman.
The result of this research shows that the implementation of HIV and AIDS treatment has not been optimally conducted. It was due to the lack of human resources namely ODHA as HIV and AIDS case manager and counselor to promote medication adherence and peer proponent group. Furthermore, it was also due to the lack of facilities and infrastructure and the insufficiency of financial aid from local government. What made it worse is the coordination among the ones in charged in the VCT-CST clinic and Health Department of Toba Samosir regency were not run well.
Based on the result, the Director of Hospital is expected to complete and authorize the staff to work full time in VCT-CST clinic and also equipthe facilities and infrastructure to support the treatment. Further, it also expected that VCT-CST clinic, HKBP Balige’s Hospital and Health Department of Toba Samosir regency can coordinate well and local government took a part of this case.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kesehatan yaitu situasi sejahtera dari tubuh, jiwa serta sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif dengan cara sosial serta
ekonomis (UU Kesehatan, 2009). Banyak kebijakan-kebijakan yang telah disusun dalam meningkatkan pembangunan kesehatan manusia. Salah satu kebijakan kesehatan yaitu dengan membentuk Millenium Development Goals (MDG’s) yang diadopsi oleh 189 negara pada bulan September tahun 2000, termasuk Indonesia.
MDG’s mempunyai 8 target yang harus dicapai dengan 18 target dan 48 indikator yang diharapkan. Salah satu target MDG’s yaitu mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan mulai menurunkan jumlah kasus baru pada tahun 2015, yang tertera pada target keenam. Namun jumlah kasus HIV dan AIDS dari
tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus meningkat dan tidak ada negara yang tidak terkena dampak dari HIV dan AIDS meskipun berbagai upaya pencegahan terus dilakukan (Depkes RI, 2006).
HIV dan AIDS (Human Immunodeficiency Virus- Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah global yang hampir dihadapi di seluruh
dunia saat ini dan belum ada satu negarapun yang dinyatakan bebas dari HIV dan AIDS. Epidemi HIV dan AIDS telah bergerak dari tingkat epidemi yang rendah ke arah tingkat epidemi pada kelompok resiko tinggi sehingga mengkhawatirkan
pencegahan, HIV dan AIDS juga memiliki window periode atau fase tanpa gejala (asimptomatik) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut
menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena) (Depkes RI, 2006).
Laporan Epidemi United Nations Programme on HIV dan AIDS (UNAIDS
2012) menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% diantaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang
dari 15 tahun. Di Asia Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV. Menurut Laporan Perkembangann HIV dan AIDS South-East Asia Region of
WHO( WHO-SEARO) 2011, sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi
HIV. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak
yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.
Afrika Selatan, sebagai negara yang mengidap penyakit HIV dan AIDS
terbanyak di dunia, tercatat sebanyak 7.540.000 orang terkena infeksi virus HIV dan AIDS hingga tahun Desember 2013. Tingkat prevalensi dewasa adalah 17,9% menurut CIA World Fact Book statistik. Di Afrika Selatan anak juga dipengaruhi
oleh virus. Sebanyak 11,2% dari kejadian HIV pada anak-anak dan pemuda yang berada di bawah usia 24 tahun. Ketika dicari proporsi jumlah mereka yang
mengidap HIV dengan jumlah penduduk, ternyata anak-anak menyumbang 11% dari total populasi (data PBB, 2013).
Penderita HIV dan AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari tanggal 1
orang pengidap AIDS. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (70,4%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (16,4%), dan
kelompok umur >= 50 tahun (5,3%). Sedangkan persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (26%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (25,3%)
dan kelompok umur 40-49 tahun (11,6%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut, hingga Februari 2014, penemuan kasus HIV dan AIDS berjumlah 5.772 orang. Dari 5.722 kasus HIV
dan AIDS yang dilaporkan, penemuan kasus terbesar dijumpai pada golongan usia 30-39 tahun dengan 2.300 kasus. Begitu juga golongan usia 20-29 tahun
dengan jumlah 2.272 kasus, usia 40-49 tahun 768 kasus, dan lebih dari 50 tahun ada 185 kasus. Jumlah kasus HIV dan AIDS pada anak juga cukup besar, yakni dari usia kurang dari 1 tahun hingga usia 19 tahun, ada 197 kasus yang dijumpai
sepanjang 20 tahun ini (Dinkes Kota Medan, 2014).
TAHUN HIV AIDS
2003 10 2
2004 4 4
2005 10 8
2006 8 4
2007 3 8
2008 6 3
2009 10 12
2010 2 17
2011 6 30
2012 15 43
2013 18 53
2014 13 70
Jumlah 105 254
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir
Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, hingga Desember 2014 terdapat 359 kasus HIV dan AIDS (HIV sebanyak 105 orang dan AIDS
sebanyak 254 orang). Resiko penularan yang paling banyak ditemui yaitu melalui hubungan seksual sebanyak 244 orang dan penasun sebanyak 102 orang. Dari 359
kasus yang dilaporkan, mayoritas penderita HIV dan AIDS terdapat pada kelompok umur produktif 31-40 tahun, termasuk di dalamnya perempuan yang akhir-akhir ini mengalami kenaikan, tercatat 109 orang yang terinfeksi. Sampai
saat ini, jumlah penderita HIV dan AIDS yang meninggal tercatat sebanyak 108 orang (Dinkes Kabupaten Tobasa, 2014).
Rumah Sakit merupakan instansi kesehatan yang berperan penting dalam melawan penyebaran HIV dan AIDS. Awalnya di Indonesia hanya 75 Rumah Sakit yang dihunjuk pemerintah sebagai Rumah Sakit yang memberikan
perawatan penderita HIV dan AIDS (KEPMENKES RI No. 832/Menkes/SK/X/2006). Saat ini, kasus Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)
di kalangan masyarakat khususnya masyarakat usia produktif cenderung meningkat, sehingga pemerintah membuat keputusan baru untuk menambah jumlah rumah sakit rujukan ODHA yang tertera pada Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 451/MENKES/SK/IV/2012 yaitu sebanyak 358 Rumah Sakit. Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien dengan HIV dan AIDS di Sumatera Utara ada 18 Rumah Sakit, salah satunya adalah Rumah Sakit HKBP Balige.
Rumah Sakit HKBP Balige adalah Rumah Sakit strata II untuk
RS HKBP Balige harus memiliki: (1) tim pokja HIV dan AIDS; (2) tenaga dokter, perawat, konselor, manajer kasus, tenaga farmasi (apoteker), analis laboratorium
yang telah dilatih dan juga harus memiliki ODHA yang berfungsi sebagai pendukung kepatuhan makan obat dan kelompok dukungan sebaya; (3) layanan
dan kegiatan; (4) obat, dan sarana laboratorium.
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit HKBP Balige dengan melakukan wawancara kepada salah satu tenaga pelaksana rujukan
HIV dan AIDS, didapatkan informasi mengenai peningkatan jumlah ODHA setiap tahunnya. Hingga Desember 2014, jumlah ODHA yang berasal dari Kabupaten
Toba Samosir ada sebanyak 236 orang (Data Rekam Medik Rumah Sakit HKBP Balige, 2014). Rumah Sakit HKBP Balige juga menerima rujukan dari daerah lain di Sumatera Utara, seperti daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli
Selatan, Padang Sidempuan, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Simalungun. Rumah Sakit HKBP Balige sebagai Rumah Sakit strata II telah memiliki
tenaga pelaksana yang terdiri dari 1 orang dokter, 1 orang dokter gigi, 1 orang apoteker/farmasi, 6 orang perawat, 2 orang konselor, 2 orang analis laboratorium, dan 1 orang manajer kasus. Juga memiliki sarana layanan yang disebut Voluntary
Counselling and Testing-Care Support Treatment (VCT-CST). Program-program
yang dilakukan di Rumah Sakit HKBP Balige adalah capacity building dan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE).
Kegiatan pada capacity building yaitu testing HIV, pengobatan, pelayanan konseling dan pendampingan ODHA. Alur pelaksanaannya yaitu pasien yang
terkena HIV) akan terlebih dahulu mendapatkan pelayanan konseling lalu pasien tersebut melakukan testing HIV. Jika hasilnya negatif, maka akan di ulang setelah
tiga bulan, tetapi jika hasilnya positif akan diberikan pengobatan Anti Retroviral (ARV). Jika kondisi pasien sudah membaik, maka akan dilakukan pendampingan
ODHA oleh manajer kasus. Sedangkan kegiatan KIE yaitu mobile klinik, yakni dengan menemui orang-orang-orang yang beresiko tinggi seperti Pekerja Seks Komersial (PSK), tahanan, dan supir untuk diberi informasi agar mereka bersedia
melakukan test HIV; Edukasi seperti misalnya melakukan penyuluhan; Advokasi dan Pelatihan khusus.
Penelitian Dayaningsih (2009) menyimpulkan bahwa di RSUP Dr. Kariadi muncul masalah untuk pelayanan VCT-nya yang bersifat pasif, usaha promosi yang sudah dilaksanakan masih kurang, untuk pelayanan VCT di ruang rawat inap
belum memiliki ruangan khusus untuk VCT, form untuk konseling pre tes ada 4 lembar dirasa tidak efektif. Penelitian Amin (2010) menyimpulkan bahwa
Himpunan Konselor HIV dan AIDS (HiKHA) Jawa Barat mempunyai program yang disebut dengan Aksi Stop AIDS (ASA). Di dalamnya terdapat layanan konseling dan testing sukarela HIV dan AIDS atau disebut juga Voluntary
Counseling and Testing (VCT). Program ini bekerja sama dengan sejumlah lembaga dan institusi dari luar maupun dalam negeri.
Rumah Sakit HKBP Balige telah berusaha memberikan pelayanan dengan standar yang telah ditentukan, namun kenyataan di lapangan, masih dijumpai kendala-kendala dalam penanganan HIV dan AIDS seperti pasokan obat ARV
kemungkinan terjadi karena keterlambatan membuat pelaporan stok ARV yang kosong kepada subdit AIDS Kemkes, keterlambatan mengirimkan order obat.
Selain itu, di Rumah Sakit HKBP Balige juga tidak ada ODHA yang dihunjuk sebagai pendukung kepatuhan minum obat dan kelompok dukungan sebaya,
sementara menurut pedoman Depkes, hal tersebut harus dimiliki oleh Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS.
Penelitian Yuniar (2012) menyimpulkan bahwa ketersediaan dan
keterjangkauan obat ARV dapat meningkatkan kepatuhan minum obat bagi ODHA di Kota Bandung dan Cimahi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik
melakukan penelitian tentang Analisis Implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige tahun 2015.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalahnya adalah bagaimana implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige tahun 2015.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige tahun
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak antara
lain:
1. Sebagai bahan masukan bagi Rumah Sakit HKBP Balige, agar semakin
meningkatkan kualitas Rumah Sakit, karena telah dipercayakan sebagai salah satu rumah sakit rujukan HIV dan AIDS di Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan Ilmu Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan dalam menganalisa standar penunjukan Rumah Sakit sebagai rujukan HIV dan AIDS dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan
sesuai dengan pedoman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus di-implementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012). Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan keputusan diantara pembentukan suatu kebijakan-seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif,
pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan- dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya. Jika sebuah kebijakan diambil
secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika proses implementasi tidak tepat. Namun bahkan sebuah kebijakan yang brilliant
sekalipun jika diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya (Tangkilisan, 2003).
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas,
merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan
fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai dampak (outcome).
Implementasi dikonseptualisasikan sebagai suatu proses, atau serangkaian keputusan-keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif untuk dijalankan.
Implementasi juga bisa diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauh mana tujuan-tujuan yang telah direncanakan mendapat dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstrasi yang
tinggi, dampak implementasi mempunyai makna bahwa telah ada perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas yang dikaitkan dengan program,
undnag-undang publik dan keputsan yudisial. Misalnya, apakah kemiskinan telah bisa dikurangi atau warganegara merasa lebih aman dalam kehidupan sehari-harinya dbandingkan pada waktu sebelum penetapan program kesejahteraan sosial atau
kebijakan pemberantasan kejahatan. Singkatnya, implementasi sebagai suatu konsep pada semua kegiatan. Sekalipun implementasi merupakan fenomena yang
kompleks, konsep itu bisa dipahami sebagai suatu proses, keluaran dan dampak. Implementasi melibatkan sejumlah aktor, organisasi dan teknik pengendalian (Winarno, 2012).
2.2 HIV-AIDS
2.2.1 Pengertian HIV-AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang
sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak
menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain (Komite AIDS HKBP, 2011).
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan
oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker. Stadium AIDS
membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali (Komite AIDS HKBP, 2011).
Pengidap HIV positif adalah seseorang yang telah terinfeksi virus HIV, dapat menularkan penyakitnya walaupun tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit apapun. Penderita AIDS adalah seseorang yang menunjukkan
tanda-tanda dari sekumpulan gejala penyakit yang memerlukan pengobatan, setelah sekian waktu (3-10 tahun) terinfeksi HIV (Komite AIDS HKBP, 2011).
2.2.2 Ciri-ciri Penderita
Beberapa orang mungkin menjadi sakit beberapa hari atau minggu sesudah infeksi. Gejala-gejala pertama yang timbul sangat mirip dengan influenza, yaitu:
(a) Demam; (b) Rasa lemah dan lesu; (c) Sendi-sendi terasa nyeri; (d) Batuk; (e) Nyeri tenggorokan; (f) Pembentukan kelenjar. Gejala ini disebut sebagai
stadium tanpa gejala. Gejala tersebut setelah berlangsung beberapa hari atau minggu akan hilang dengan sendirinya. Dalam stadium ini virus yang di dalam tubuh pengidap secara perlahan terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya
Gejala-gejala klinis AIDS: (a) Demam (panas badan lebih dari 38o C) disertai keringat malam yang timbul secara berkala atau terus menerus; (b)
Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam waktu tiga bulan; (c) Kelemahan tubuh yang mengganggu/menurunkan aktivitas fisik sehari-hari; (d) Pembesaran
kelenjar secara lebih meluas di leher, lipatan paha dan ketiak; (e) Diare atau mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas; (f) Batuk dan sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus menerus;
(g) Kulit gatal dan bercak-bercak merah kebiruan; (h) Sakit tenggorokan; (i) Pendarahan yang tidak jelas sebabnya.
Tanda-tanda diatas ini tidak khas, karena gejala-gejala ini dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit lain. Namun gejala-gejala ini menunjukkan indikasi adanya kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Pada stadium ini
kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya. Sehingga pada tahap ini penderita mudah diserang penyakit berbahaya yang disebut infeksi opportunistik.
Disamping itu juga dapat terjadi: (a) kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker pembuluh darah kapiler; (b) kanker kelenjar getah bening (limfoma). Penyakit-penyakit penyerta ini dapat menyebabkan kematian bagi penderita.
2.2.3 Penularan HIV-AIDS
Menurut Komite AIDS HKBP (2011), penularan HIV-AIDS dapat
melalui: 1. Darah
Dapat melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV dan melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV
2. Cairan sperma dan cairan vagina. Melalui hubungan seks tanpa
menggunakan kondom 3. Air Susu Ibu
Penularan ini dari seorang ibu hamil yang positif HIV dan melahirkan secara normal, kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Selain itu, HIV juga dapat menular melalui pisau cukur yang dipakai oleh tukang pangkas.
4. Transfusi darah yang tercemar, alat cukur dan peralatan lainnya
Bila seseorang pengidap HIV-AIDS bercukur dan luka, lalu darahnya
menempel pada pisau cukur, maka bila orang yang berpangkas berikutnya terluka maka dia akan memiliki resiko besar tertular HIV.
2.2.4 Penanggulangan HIV-AIDS
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mampu membunuh HIV maupun vaksin untuk mencegah penularan. Obat-obatan yang ada dan digunakan
saat ini lebih upaya melemahkan daya progresivitas virus, memperlambat perkembangbiakan virus, memperkuat daya tahan tubuh dengan meningkatkan antibodi yang akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Terapi yang dikenal
lain-lain dapat diperoleh di rumah sakit tertentu dan terbukti sangat menolong ODHA (Permenkes, 2013).
Penanggulangan HIV-AIDS yang perlu diprioritaskan adalah upaya pencegahan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pendidikan kesehatan reproduksi, program pendidik sebaya (peer educator) merupakan
komponen penting dalam KIE disamping upaya lainnya seperti penanggulangan NAPZA, konseling, pendamping dan perawatan ODHA (Permenkes, 2013).
2.3 Pelayanan Kesehatan untuk AIDS
Penderita AIDS/infeksi HIV memerlukan pelayanan kesehatan serupa dengan penderita penyakit menahun yang lain. Mereka memerlukan pelayanan
kesehatan berkeseinambungan, pemantauan yang seksama untuk mencegah infeksi, serta pengobatan segera agar infeksi sekunder tidak berlarut-larut dan
menyebabkan cacat. Seringkali merawat penderita penyakit ini lebih sulit dari penyakit kronik lainnya, karena: (a) terbatasnya tenaga yang terdidik dan terlatih; (b) penderita memerlukan dukungan emosi khusus; (c) pemantauan medik untuk
mencegah kekambuhan sehingga dapat dicegah perawatan di rumah sakit; (d) beberapa tenaga kesehatan sendiri masih cemas dan ketakutan untuk merawat
karena belum mendapat penerangan dan pendidikan yang baik.
Fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh penderita HIV-AIDS adalah sebagai berikut:
a) Fasilitas Perawatan Akut
Perawatan rawat inap intensif yang mempunyai staf lengkap dan sudah
pelayanan dasar yang diperlukan adalah penyakit dalam, bedah, anestesi, laboratorium, radiologi, gizi dan farmasi.
b) Fasilitas Perawatan Khusus
Adalah fasilitas perawatan yang sudah terbiasa merawat pasien AIDS. Unit
ini menyediakan perawatan untuk pasien AIDS yang tidak dalam fase akut tetapi memerlukan perawatan di rumah sakit untuk rehabilitasi.
c) Fasilitas Perawatan Intermediate
Fasilitas ini diperlukan untuk penderita yang tidak terus-menerus memerlukan dokter atau perawat yang berpengalaman. Ini berlaku baik untuk
fasilitas rawat inap maupun berobat jalan.
d) Fasilitas Perawatan Masyarakat (shelter)
Penderita AIDS yang sedang tidak dirawat di rumah sakit kadang-kadang
memerlukan beberapa jenisfasilitas non-medik, seperti perumahan, pengadaan makanan, dan bantuan aktivitas sehari-hariseperti makan, mandi atau ke toilet.
e) Pusat Kesehatan Masyarakat
Puskesmas yang diperlukan adalah yang dilengkapi dengan pelayanan psikologi, rehabiloitasi, sosial, gizi dan pendidikan kesehatan.
f) Perawatan Kesehatan di Rumah
Fasilitas ini diperlukan oleh penderita, agar ia dapat tetap tinggal di rumahnya
2.4 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS (PDP) di Indonesia Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS (PDP) atau
yang disebut juga sebagai Care Support and Treatment (CST) di Indonesia memang dilaksanakan lebih belakangan daripada layanan pencegahan. Namun
dengan meningkatnya jumlah ODHA, maka layanan PDP semakin dibutuhkan masyarakat. Tersedianya obat ARV generik juga mempercepat layanan PDP karena salah satu komponen layanan PDP adalah layanan ARV. Layanan obat
ARV di Indonesia meningkat sejak penggunaan obat ARV generik yang didatangkan dari India dan Thailand (Depkes RI, 2007).
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia sesuai anjuran WHO untuk menyediakan layanan ARV bagi semua memberikan subsidi penuh kepada masyarakat sehingga masyarakat yang membutuhkan obat ini dapat
memperolehnya dengan gratis. Agar layanan ARV ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat maka dilakukan pelatihan tenaga kesehatan baik untuk dokter,
perawat, konselor, farmasi dan lain-lain. Pada tahap pertama 2004 ditunjuk 25 rumah sakit dan pada tahun 2006 jumlah rumah sakit yang melayani ARV ditambah sehingga jumlahnya menjadi 75 rumah sakit. Namun pada kenyataannya
rumah sakit yang mampu melayani ARV lebih banyak dari itu karena banyak rumah sakit yang ditunjuk mempunyai rumah sakit satelit yang ikut dalam
Meskipun jumlah layanan dan cakupan PDP meningkat tajam namun layanan PDP masih menghadapi berbagai masalah yaitu:
1. Sebagian infeksi HIV terdiagnosis pada keadaan tahap lanjut, tak jarang ODHA mempunyai infeksi opportunistik berat bahkan lebih dari satu infeksi
opportunistik. Dengan demikian angka kematian perawatan di rumah sakit masih tinggi
2. Perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan penggantian biaya untuk
kasus AIDS
3. Infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba semakin meningkat. Keadaan ini
mempersulit penatalaksanaan karena tak jarang seorang ODHA yang dirawat menderita berbagai infeksi opportunistik.
4. Kemampuan layanan PDP masih beragam. Terdapat unit layanan yang
sudah mempunyai pengalaman luas dalam PDP namun juga terdapat unit layanan yang baru memulai layanan PDP.
5. Layanan AIDS pada anak masih belum mendapat perhatian yang memadai 6. Agar mampu memberikan layanan PDP pada anak maka diperlukan SDM
yang berpengalaman, fasilitas laboratorium yang mencukupi serta obat ARV
untuk anak. Tenaga dokter yang mampu mendiagnosis dan melakukan terapi pada anak yang terinfeksi HIV masih sedikit dan terbatas di kota
besar
8. Dukungan pengadaan fasilitas dan peralatan medik untuk menerapkan kewaspadaan universal masih minim.
9. Kurangnya komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di lapangan. Dukungan untuk pelaksana di lapangan baik berupa dukungan
finansial maupun teknik yang diberikan oleh LSM internasional masih kurang terkoordinasi sehingga membingungkan petugas di lapangan.
10. Dalam hal pelaporan, pelaksana layanan PDP dimintakan laporan oleh
berbagai pihak yaitu Departemen Kesehatan, lembaga donor dan WHO. 11. Manajemen logistik (perencanaan, pengadaan obat ARV, pendistribusian
dan pemantauan) belum tertata dengan baik sehingga masih dialami adanya kekurangan obat, kelebihan obat, atau terlambatnya distribusi (Depkes RI, 2007).
2.5 Kebijakan pada perluasan Layanan PDP
Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-AIDS di Indonesia relatif
masih baru dan dirasakan kebutuhan yang mendesak untuk segera memperluas jangkauan terapi ARV bagi ODHA meskipun sumber daya dan kemampuan masih sangat terbatas. Meskipun di dalam satu institusi seringkali tidak ada koordinasi
antar bagian sehingga perawatan dan pengobatan menjadi tidak efektif dan kesinambungan perawatan/pengobatan menjadi terganggu dengan berbagai alasan.
Sementara itu layanan yang berbasis komunitas dan LSM hanya terbatas baik secara jenis maupun jangkauan (Depkes RI, 2007).
Oleh karena itu perlu dikembangkan pusat layanan perawatan dan
PDP serta mekanisme koordinasinya. Tim PDP akan bekerja secara tim sehingga terjadi interaksi secara intensif antara para petugas kesehatan, ODHA dan semua
pihak terkait dalam perawatan dan pengobatan HIV-AIDS. Hal tersebut akan meningkatkan komitmen dalam memberikan layanan perawatan dan pengobatan
HIV-AIDS yang efektif (Depkes RI, 2007). 2.5.1 Sistem Rujukan PDP
Rujukan PDP mengikuti sistem rujukan yang ada, yaitu merupakan
rujukan timbal balik antara layanan PDP strata I,II, dan III. Tujuan dari pembagian strata dalam sistem layanan kesehatan adalah:
a. Memperjelas garis kompetensi layanan yang harus disediakan di masing-masing strata
b. Meningkatkan efisiensi dan menghindari tumpang tindih dan pembiayaan
yang tidak perlu
c. Memungkinkan untuk berkembangnya mekanisme rujukan yang efektif
antar jenjang layanan tersebut
d. Menyediakan pedoman dalam perencanaan layanan HIV termasuk perhitungan biaya, alokasi sumber daya baik manusia, obat, diagnostik dan
pasokan yang disediakan di tiap jenjang (Depkes RI, 2007).
Mengacu pada SK Menkes no 832/X/2006, maka strata pelayanan
1. Sarana Layanan Kesehatan Strata III
Sarana layanan kesehatan strata III atau rumah sakit rujukan tertier,
merupakan rumah sakit rujukan yang berupa pusat rujukan nasional, regional atau provinsi. Rumah sakit tersebut memiliki klinisi yang pakar di bidang tatalaksana
HIV-AIDS dan mampu melakukan diagnosis dan terapi yang lebih canggih. Para pakar di rumah sakit rujukan strata III diharapkan juga mampu memberikan konsultasi, pelatihan atau bimbingan klinis bagi petugas di Layanan Kesehatan
Strata II yang pada umumnya berupa rumah sakit di kabupaten/kota. Tidak menutup kemungkinan bahwa rumah sakit swasta menempati jenjang layanan
setingkat dengan layanan strata III tersebut. Layanan yang ditawarkan dapat berupa layanan rawat jalan dan layanan rawat inap.
2. Sarana Layanan Kesehatan Strata II
Sarana layanan kesehatan strata II atau seringkali disebut juga sebagai rumah sakit rujukan sekunder atau tingkat menengah, yang biasanya merupakan
rumah sakit kabupaten/kota sebagai Pusat PDP HIV-AIDS Strata II. Tidak menutup kemungkinan bahwa rumah sakit swasta menempati jenjang layanan setingkat dengan layanan strata II. Jenis layanan untuk HIV berupa layanan rawat
jalan dan layanan rawat inap.
3. Sarana Layanan Kesehatan Strata I
Layanan kesehatan strata I merupakan layanan kesehatan dasar yang biasanya diselenggarakan oleh puskesmas dan atau layanan kesehatan berbasis masyarakat. Biasanya terkait dengan perawatan berbasis masyarakat atau
ODHA memiliki hubungan dan berjejaring dengan puskesmas setempat. Letaknya sangat dekat dengan masyarakat. Pengembangan puskesmas sebagai tempat PDP
HIV-AIDS strata I hanay akan terbatas di daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, seperti di sekitar pemukiman, kegiatan seks komersial dan lain-lain. Paket
yang diselenggarakan di layanan strata I tersebut berupa paket kegiatan dan layanan pendukung untuk puskesmas, perawatan berbasis komunitas/rumah (Depkes RI,2007).
2.5.2 Rumah Sakit Rujukan ODHA
Rumah Sakit Rujukan ODHA bertugas:
1. Menyusun Standar Prosedur Operasional
2. Menjamin ketersediaan obat Anti Retroviral (ARV) yang secara langsung didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan prosedur khusus
yang berlaku dan obat infeksi oportunistik tertentu.
3. Menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai denga pedoman.
4. Menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter spesialis, dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis kesehatan, konselor dan manajer kasus
5. Membentuk tim kelompok kerja/ pokja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui
pelatihan khusus HIV dan AIDS, dan
Rumah sakit rujukan ODHA bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan. Monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan bagi ODHA dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Menteri
Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaannya (KEPMENKES, 2012).
Rumah Sakit Rujukan ODHA berada pada strata III dan strata II. a. Rumah Sakit Rujukan strata III
Layanan yang ditawarkan dapat berupa layanan rawat jalan maupun layanan rawat inap. Untuk layanan rawat inap secara umum digambarkan sebagai berikut: 1) Ketenagaan
Ketenagaan yang dimaksud adalah: (1) Memiliki tim pokja HIV-AIDS yang melibatkan tenaga dan bagian yang terkait dan dipimpin oleh seorang ketua ; (2)
Tenaga klinis yang berpengalaman di bidang HIV-AIDS (dokter, perawat) atau telah dilatih PDP (dasar dan lanjutan); (3) Konselor; (4) Pekerja sosial; (5) Teknisi laboratorium yang terlatih termasuk untuk tes CD4, pemeriksaan kimia darah
yang canggih dan bila mungkin untuk pemeriksaan viral load; (6) Tenaga ahli laboratorium; (7) Tenaga ahli farmasi; (8) Tenaga khusus untuk pencatatan dan
2) Paket Layanan dan Kegiatan Canggih
Paket layanan dan kegiatan yang dimaksud adalah: (1) Tatalaksana klinis
dan medis HIV; (2) Diagnosis dan tatalaksana efek samping obat; (3) Penilaian dan pemeriksaan kemungkinan adanya kegagalan terapi atau resisten terhadap
terapi ARV dan pemberian terapi ARV; (4) Dukungan kepatuhan berobat; (5) Rujukan balik ke rumah sakit sasaran layanan di bawahnya untuk tindak lanjut perawatan kronis.
3) Obat, Sarana Laboratorium, dan sumber daya lain
Obat, sarana laboratorium dan sumber daya lain meliputi: (1) Sarana
laboratorium canggih seperti: pemeriksaan CD4, pemeriksaan serologi (HBV, HCV, sifilis), kimia darah (tes fungsi hati, ginjal), pemeriksaan mikrobiologi; (2) Ketersediaan obat ARV dan obat untuk terapi infeksi opportunistik yang rumit
atau pada penyakit tahap lanjut; (3) Formulir rujukan untuk menajga kesinambungan perawatan kronik HIV.
b. Rumah Sakit Rujukan strata II
Layanan Rumah Sakit strata II terdiri dari rawat jalan, rawat inap, laboratorium, farmasi dan radiologi. Dilengkapi dengan mekanisme rujukan ke
program lain seperti klinik TB, klinik KIA, klinik IMS, klinik KB, dan sebagainya.
1) Ketenagaan
Ketenagaan yang dimaksud adalah: (1) Memiliki tim pokja HIV-AIDS atau seorang koordinator yang bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan dan
ODHA yang terpilih atau petugas kesehatan untuk mengkoordinasikan kegiatan pertemuan berkala dengan berbagai pihak, seperti misalnya pertemuan klien,
pertemuan klinik, dsb; (2) Untuk tatalaksana klinis diperlukan tenaga dokter, perawat, konselor, manajer kasus, tenaga farmasi (apoteker), analis laboratorium
yang telah dilatih dan juga harus memiliki ODHA yang berfungsi sebagai pendukung kepatuhan makan obat dan kelompok dukungan sebaya.
2) Layanan dan Kegiatan
Layanan dan kegiatan yang dimaksud adalah: (1) Pemberdayaan daan koordinasi pada para pelaku utama, termasuk ODHA; (2) Konseling dan test HIV;
(3) Layanan klinis dan terapi ARV; (4) Dukungan psikologis dan sosioekonomi; (5) Pencegahan HIV
3) Obat, Sarana Laboratorium dan sumber daya lain
Obat, Sarana Laboratorium dan sumber daya lain meliputi: (1) Test HIV; (2) Pemeriksaan klinis yaitu peralatan laboratorium; (3) Obat: Obat untuk terapi dan
profilaksis Infeksi Opportunistik, obat ARV (Zidovudine, lamivudin, Nevirapine dan Efavirenz), dan obat untuk terapi substitusi (metadon, buprenorfin); (4) Pencegahan: kondom, paket peralatan suntik steril yaitu jarum suntik dan semprit,
usapan alkohol, pasokan obat untuk kewaspadaan universal; (5) Monitoring dan Evaluasi: Formulir catatan medis (kartu pasien, ikhtiar perawatan HIV dan Terapi
Infeksi Opportunistik dan penyakit yang ditangani di Rumah Sakit rujukan strata II meliputi:
1. Pernafasan: TB, Pneumonia
2. Neurologis: Toksoplasmosis, Kiptokokosis, Meningitis
3. Kulit dan Mukosa: Kandidiosis, Herpes Simpleks, Herpes Zoster, Dermatitis Seboroik
4. Diare
5. Demam: Septisemia 6. Infeksi virus sitomegali
7. Kanker leher rahim
2.6 Perawatan Penderita AIDS
Bila kasus AIDS semakin banyak ada baiknya dipikirkan membuat Unit
AIDS tersendiri. Keuntungan dan kerugian membuat unit tersebut, dibandingkan dengan merawat penderita di unit-unit lain yang tersedia, adalah sebagai berikut:
Unit AIDS tersendiri:
1. Koordinasi lebih mudah. Smeua sarana, termasuk sarana administrasi dapat direncanakan berada di suatu tempat.
2. Penderita-penderita dapat bergaul baik satu dengan yang lain.
3. Staf yang berpengalaman dan betul-betul berminat merawat penderita AIDS dapat dipusatkan di satu unit.
4. Rumah sakit dapat menghemat biaya pendidikan dan pelatihan untuk staf yang lain dan dapat menghindari masalah dengan staf yang tidak bersedia
5. Memperkuat rasa persatuan antar staf.
6. Pelayanan penderita menjadi lebih baik. Sarana dan tenaga terlatih dapat
dipusatkan untuk daerah dengan jumlah kasus rendah. 7. Memudahkan riset di daerah yang kasusnya banyak.
Pasien dirawat di unit yang sudah ada di rumah sakit:
1. Penderita-penderita penyakit lain di ruang yang sama merasa keberatan 2. Semua staf rumah sakit mendapat kesempatan merawat penderita AIDS
dan kecemasan serta ketakutan staf dapat dikurangi.
3. Memudahkan penderita mendapatkan pelayanan medik khusus di unit lain
seperti hematologi, onkologi dan jantung.
4. Memudahkan penderita berkumpul dengan sanak saudara dan teman yang berkunjung, terutama di daerah yang kasusnya masih amat jarang.
5. Tidak memerlukan tenaga dan biaya yang banyak. (Murni, 2009)
Dianjurkan untuk membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa dokter,
perawat dan pekerja sosial. Tim ini bertugas mengorganisir seluruh pelayanan AIDS di rumah sakit. Penderita AIDS rawat inap akan dirawat oleh dokter yang ada di unit-unit seperti tersebut diatas, yang bergabung dalam Tim Dokter
Khusus. Bila ada kesulitan akan dikonsultasikan kepada dokter-dokter yang tergabung dalam Tim Konsultasi Multidisiplin (Murni, 2009).
2.7 Konseling HIV
Konseling adalah hubungan kerjasama antara konselor dan klien untuk membantu klien memecahkan masalah yang dihadapinya. Konseling mencakup
Konseling juga bertujuan menolong klien membuat keputusan untuk mengubah perilaku tersebut dengan perilaku sehat yang bertanggung jawab, dan membantu
klien mempertahankan perilaku yang baru (Djoerban, 2001). Lapisan masyarakat yang memerlukan konseling HIV, yaitu:
a. Orang yang terinfeksi HIV ataupun orang yang sudah menderita AIDS b. Saudara kandung, orangtua, sahabat dan kenalan serta suami, isteri
ataupun pacar ODHA
c. Orang yang minta pemeriksaan darah terhadap HIV, karena khawatir terinfeksi
d. Orang yang baru saja tes HIV, baik hasilnya positif ataupun negatif
e. Aktivis LSM Peduli AIDS yang aktif memberikan bantuan dan dukungan kepada ODHA
f. Dokter, perawat, pegawai laboratorium dan lain-lain yang memeriksa dan mengobati ODHA atau spesimen darah ataupun spesimen lain yang
berasal dari ODHA, dan
g. Orang-orang yang ingin menghindarkan diri terinfeksi HIV, atau ingin membantu agar orang lain tidak terinfeksi HIV (Djoerban, 2001).
Konseling HIV dilakukan sebelum dan sesudah Testing HIV.
2.7.1 Konseling Sebelum Testing HIV
Konseling sebelum tes diberikan kepada orang yang sedang mempertimbangkan dirinya untuk test HIV. Konseling pra test mencakup pemberian informasi mengenai aspek teknis dan medis tes HIV, serta
untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Dampak yang dibahas meliputi dampak sosial, kejiwaan, hukum, medis dan personal. Pemberian informasi diberikan
dengan bahasa yang mudah dipahami dan yang terbaru. Dalam konseling test HIV dibahas sebagai suatu tindakan yang positif dan dikaitkan dengan perubahan
perilaku untuk menurunkan resiko tertular HIV (Djoerban, 2001). Topik Konseling Pra Test
Konseling pra test seharusnya menekankan pembahasan pada dua topik
utama, yaitu, pertama riwayat pribadi klien dan resiko terpapar HIV. Kedua penilaian tentang pemahaman klien mengenai HIV AIDS dan pengalaman di masa
lampau sewaktu menghadapi krisis (Djoerban, 2001).
Konseling awal sebaiknya meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil test HIV, baik yang positif atau negatif.
Konseling juga bertujuan memberikan pengertian pentingnya perubahan perilaku yang dapat mengurangi resiko tertular HIV (Djoerban, 2001).
2.7.2 Konseling Sesudah Testing HIV
Jenis konseling sesudah testing HIV tergantung hasil test:
1) Konseling untuk hasil test HIV negative
Kabar tentang hasil test HIV negative biasanya dirasakan oleh klien sebagai rasa nyaman atau euphoria (senang berlebihan). Tetapi ada beberapa hal
yang harus ditekankan:
a. Masa jendela. Setelah seseorang terinfeksi HIV, maka di dalam darahnya HIV segera bereplikasi dalam jumlah yang besar sekali. Namun pada saat
Untuk diketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test ketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test secara tidak langsung, yakni mendeteksi
antibody. Bila antibodi terhadap HIV positif, berarti ada HIV dalam darahnya. Ada selang waktu sekitar tiga bulan sejak seseorang terinfeksi
ketika test darah negatif tetapi sebetulnya sudah ada HIV dalam darahnya. Test negatif berarti tidak ada infeksi HIV sampai dengan 3 bulan sebelum test darah.
b. Paparan HIV berikutnya hanya dapat dicegah dengan menghindari perilaku beresiko tinggi. Perlu dijelaskan dengan gambling tentang perlunya tidak
melakukan hubungan seksual kecuali dnegan suami/isteri, menerapkan seks aman, atau menghindari pinjam-meminjam jarum suntik (Djoerban, 2001).
2) Konseling untuk hasil test positif
Orang dengan hasil test positif harus diberitahu secepatnya. Diskusi awal membahas berita tersebut harus bersifat amat pribadi dan dirahasiakan. Setelah
beberapa waktu yang diperlukan klien untuk menyesuaikan diri, klien dijelaskan arti dari HIV positif. Saat tersebut bukan saatnya membahas mengenai pengobatan dan berapa tahun harapan hidupnya. Yang lebih penting dibahas adalah
pemahaman tentang shock akibat diagnosis positif terinfeksi HIV dan menawarkan dukungan. Juga penting untuk memberikan semangat dan harapan,
Reaksi penerimaan penjelasan tentang infeksi HIV sangat individual tergantung beberapa hal:
a. Keadaan kesehatan klien. Orang yang sedang sakit seringkali bereaksi lambat. Reaksi yang sebenarnya baru muncul setelah keadaan kesehatannya
membaik.
b. Persiapan klien menerima kabar. Orang yang sama sekali tidak mempunyai persiapan mungkin reaksinya jauh berbeda dengan orang yang siap
mendengar kabar bahwa ia terinfeksi HIV.
c. Seberapa jauh dukungan masyarakat sekitarnya, dan seberapa mudah ia
menelepon atau menceritakan masalah ini kepada teman-temannya. Beberapa faktor ikut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menerima kabar terinfeksi HIV, yaitu kepuasan kerja, kehidupan berkeluarga dan ikatan keluarga, serta
kesempatan rekreasi. Reaksi ini bias menjadi semakin buruk bila ada factor riwayat social yang terisolir, kemiskinan, masa depan pekerjaan suram,
dukungan keluarga minimal, dan tempat tinggal yang buruk.
d. Kondisi psikologis dan kepribadian sebelum tes HIV. Bila ada tekanan kejiwaan sebelumnya, reaksi penerimaan mungkin berbeda dan memerlukan
penatalaksanaan yang berbeda.
e. Nilai budaya dan agama yang berkaitan dengan AIDS, sakit dan kematian. Di
2.8 Testing HIV
Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing
dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang berbeda-beda karena perbedaan prinsip metode yang digunakan. Testing yang
digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma (Murni, 2009).
Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau
serumnya. Pada saat ini belum digunakan spesimen lain seperti saliva, urin, dan spot darah kering. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing)
memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilens, dan untuk penelitian. Hasil testing yang
disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis
maupun manusia dan administratif. Petugas laboratorium (perawat) mengambil darah setelah klien menjalani konseling pra testing (Depkes RI, 2006).
2.9 Terapi Antiretroviral (ARV)
Dahulu kita sering mendengar bahwa AIDS disebut sebagai penyakit yang tidak ada obatnya. Ini adalah istilah yang salah. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, bahkan dicegah, dengan obat yang tidak terlalu mahal
dan tersebar luas. Dan sekarang ada obat yang lebih canggih yang dapat memperlambat kegiatan HIV menulari sel yang masih sehat. Obat ini disebut obat
Dalam pengobatan HIV, tidak boleh memakai satu jenis obat saja. Kita harus memakai kombinasi tiga macam obat ARV yang berbeda agar terapi ini
efektif untuk jangka waktu yang lama. Terapi ini disebut terapi retroviral atau ART. ART dulu sangat mahal, tetapi sekarang tersedia gratis untuk semua orang
di Indonesia dengan subsidi sepenuhnya oleh pemerintah, melalui sejumlah Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan ARV (Murni, 2009).
ART hanya berhasil jika dipakai secara patuh, sesuai dengan jadwal,
biasanya dua kali sehari, setiap hari. Kalau dosis terlupakan, keefektifan terapi akan cepat hilang. Beberapa orang akan mengalami efek samping ketika memakai
ART, terutama pada minggu-minggu pertama penggunaannya. Penting sekali pengguna ART diawasi oleh dokter yang berpengalaman dengan terapi ini. (Murni, 2009).
2.10 Komite HIV-AIDS
Menurut Loly, yang dikutip oleh Suzanna C Hutagalung (2011), Komite HIV-AIDS adalah salah satu organisasi peduli AIDS yang didirikan HKBP
sebagai wujud perhatian gereja dalam penanganan HIV-AIDS. Komite ini dibentuk dengan tujuan :
1. Meningkatkan kualitas spiritual anggota gereja untuk mampu memelihara dirinya mencegah penularan HIV-AIDS sehingga tidak terinfeksi HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA.
3. Mengupayakan Rumah Sakit HKBP Balige sebagai pusat rujukan penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA untuk daerah
sekitarnya.
4. Memotivasi pelayan dan anggota gereja atau masyarakat bertekad menghentikan suasana penolakan dan kebisuan (breaking silence) ditengah
gereja dan masyarakat.
5. Mengembangkan fungsi Komite Penanggulangan HIV-AIDS dan
penyalahgunaan NAPZA di tingkat pusat dan Distrik dalam bentuk koordinasi.
6. Mengembangkan institusi Komite Penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA HKBP untuk mandiri dalam sumber daya
2.10.1 Voluntary Counselling Test
VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS. Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and
Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS berkelanjutan.
Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik dan ARV.
b. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor
terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah
penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi dan risiko.
2.10.2 Prinsip Pelayanan VCT
a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa
paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak di tangan klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak
direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh