MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN
1.2.4 Masyarakat Mandailing
Masyarakat Mandailing dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memiliki dan menggunakan nilai budaya Mandailingnya dalam kehidupan keseharian mereka, terutama berkaitan dengan pengetahuan kesehatan dari
6 ―It is an anthropological truism that food is both substance and symbol, providing physical nourishment and a key mode of communication that carries many kinds of meaning (Counihan and Van Esterik 1997). Many studies have demonstrated that food is a particularly potent symbol of personal and group identity, forming one of the foundations of both individuality and a sense of common membership in a larger, bounded group. What is much less well understood is how such a stable pillar of identity can also be so fluid and changeable, how the seemingly insur-mountable boundaries between each group's unique dietary practices and habits can be maintained, while diets, recipes, and cuisines are in a constant state of flux (Warde 1997:57-77).‖ 6
memakan Pakkat muda tersebut. Penjelasan mengenai masyarakat Mandailing ini berkaitan dengan identitas masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan Mandailing baik secara umum maupun khusus.
Menurut beberapa literature, mengenai suku Mandailing, mengatakan bahwa suku ini tergolong ke dalam kelompok suku Batak yang ada di Sumatera Utara. Akibat dampak dari pembagian-pembagian wilayah yang menyebabkan terjadinya pengelompokan-pengelompokan itu terjadi. Faktor yang menyebabkan terjadinya pembagian wilayah-wilayah tersebut dikarenakan adanya penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Belanda pada saat itu, yang berdampak besar sampai pada saat ini sehingga masyarakat kini hanya tau bahwa masyarakat Mandailing adalah masyarakat yang berasal dari suku bangsa Batak.
Menurut cerita masyarakat mengenai kelahiran suku bangsa Batak, terlebih lagi batak Toba mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah sama yaitu si raja Batak. Namun menurut masyarakat Mandailing menyatakan bahwa kelompok mereka bukanlah ―Batak‖ seperti yang banyak orang ketahui, sejak lama masyarakat Mandailing tidak mau disebut sebagai orang Batak. Bahkan mereka sampai mengumpulkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang Batak. Beberapa bukti data dari hasil penelitian mengenai asal usu Mandailing dapat memperkuat kepercayaan tersebut dan melahirkan pernyataan baru bahwa yang mengatakan masyarakat Batak saat ini dulunya lahir dari suku Mandailing, dan yang menjadikan bukti bahwa orang Batak adalah (1) Tonggo-tonggo Siboru Deak Parujar dari orang Toba, (2) Mpu Negarakertagama Syair ke 13 dari Mpu Prapanca, (3) Adat Da lihan Na Tolu,
(4) Bahasa dan Aksara Mandailing, (5) Perkataan Gordang. Terlepas dari itu benar atau tidaknya tetapi Mandailing sudah dikenal sejak abad ke-13. Selain itu suku bangsa Mandailing sendiri memiliki beberapa kelompok marga, marga-marga tersebut adalah Lubis, Nasution, Harahap, Hutasuhut, Batubara, Matondang, Rangkuti, Parinduri, Pulungan, dan Daulay.
Asal usul marga yang menempati tanah Mandailing dimulai pada abad ke-9, Sedangkan dalam pelaksanaan adat dan hukum adat di Mandailing, berhubungan dengan sistem adat Dalihan Na Tolu, hal ini mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial budaya yang tergabung dalam satu tatanan struktur yang terdiri atas keluarga, mora, dan anak boru. Ketiga kelompok ini memilik kedudukan dan fungsi tertentu sedangkan dalam sistem hukum adat Mandailing seseorang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok ini berdasarkan situasi, kondisi, dan tempat. Setiap orang secara pribadi dapat memiliki tiga kategori tersebut, dalam kehidupan masyarakat Mandailing ada tiga kategori itu yakni Kahanggi, Anak Boru, dan Mora.
7
Fungsi dari Dalihan Na Tolu sangat berkaitan erat dengan Horja yakni pekerjan dalam kegiatan masyarakat, sedangkan pembagaian dari horja itu sendiri ada tiga yaitu (1) upacara kegembiraan, (2) upacara kematian, dan (3) upacara pernikahan. Sedangkan dalam kegiatan musyawarah terbagi menjadi empat tinggkat yakni (1) musyawarah antara suami istri, (2) musyawarah antara satu keturunan, (3) musayawarah dengan kahanggi, anak boru, mora, mamora-natoras, dan raja pamusuk, dan (4) musyawarah yang dihadiri di tahi sahuta di tambah lagi raja panusunan.
7
Sedangkan dalam sistem pemerintahan sebelum adanya penjajahan Belanda pada saat itu Tapanuli Selatan terdiri atas beberapa wilayah yaitu satu kesatuan dari hukum adat, pemerintahan territorial dan geologis, antara satu wilayah dengan wilayah lainnya memiliki kedudukan yang sejajar.
Pengertian raja bagi masyarakat Mandailing bukanlah orang feodal, tetapi adalah seorang yang dianggap paling tua karena dianggap sebagai pendiri kampung, raja merupakan separuh yang didahulukan dan ditinggikan oleh masyarakatnya, raja juga tidak memerintah secara otokrat, tetapi secara demokrat sesuai denga hasil mufakat yang dilakukan secara bersama sama,
Bagi mereka raja sebagi pemegang tampuk adat dengan satu wilayah oleh sebab itu raja tersebut dikalangan masyarakat Mandailing yakni Raja Panusunan. Selain sebagai penguasa, raja juga berfungsi sebagai pengayom rakyatnya, adil, dan pengasih. Semua raja yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan Nasution di Mandailing Godang, yang masing masing memerintah penuh atas wilayahnya sendiri.
Sedangkan dari sistem kepercayaan orang Mandailing memiliki sejarahnya, sebelum agama Islam masuk dan menjadi agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Mandailing, masyarakat percaya bahwa alam terbagi atas tiga bagian yaitu (1) dunia atas, (2) dunia manusia, dan (3) dunia bawah. Tiga dunia yang dipercaya ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat baik dilihat dari bentuk rumah maupun lingkungan.
Sedangkan dari letak geografis ada dua lokasi yang yang memiliki udara yang sejuk serta dikelilingi oleh dua sungai yang mengalir menuju Singkuang
yakni sungai Batang Gadis dan sungai Pungkut. Selain itu di Mandailing Julu memiliki persawahan yang tak begitu banyak seperti di Mandailing godang tetapi kebanyakan masyarakat Mandailing banyak yang memiliki sistim mata pencaharian bertani, berladang, dan berdagang. Oleh sebab itu masyarakat Mandailing ada sebagian yang memiliki lahan sendiri untuk digarap dan hasilnya dapat dijual sebagian dari pendapatannya sendiri.
1. 3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, studi pengetahuan gizi yang diangkat dalam penelitian ini akan lebih jelas dengan adanya perumusan masalah ini, yang bertujuan guna mendapatkan fokus dari kajian dan sebagai pembatas agar kajian tidak terlalu luas. Dalam fokus kajiannya, permasalahan yang dapat dirumuskan dalam kajian ini adalah sebagai berikut.
.1. Bagaimana cara penyajian Pakkat (kuliner) ini pada masyarakat Mandailing di kota Medan
.2. Adakah manfaat yang diketahui masyarakat dalam mengkonsumsi pucuk rotan muda ini dalam segi kesehatan
.3. Mengapa Pakkat ini dikonsumsi di bulan Ramadhan. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat penelitian ini agar dapat menjadi patokan atau tolok ukur dalam kegiatan penelitian yang dilakukan dan agar dapat sejalan dengan pemikiran awal di dalam penelitian ini. Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:
Dari penelitian yang berbentuk etnografi, secara sederhana penelitian dapat memenuhi tujuan untuk mendeskripsikan secara penuh dan menyeluruh tentang rotan muda bagi masyarakat Mandailing di kota Medan.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Manfaan yan diharapkan pada penelitian ini dalam bidang akademis adalah untuk menambah ilmu pengetahuan Antropologi. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahuai manfaat gizi yang ada di dalam rotan muda tersebut sebagai makanan tradisional (Etnofood) dan serta pengetahuan masyarakat dalam mengkonsumsi rotan tersebut
1. 5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Mandailing di kota Medan yang berawal dari Jl. Letda Sujono, dimana setiap bulan Ramadhan banyak pedagang musiman yang berdagang Pakkat di sepanjang jalan Letda Sujono tersebut. Para pedagang Pakkat ini merupakan pedagang musiman yang hanya ada pada saat bulan Ramadhan. Masyarakat konsumen Pakkat menyajikannya sebagai kebutuhan dibulan Ramadhan.
Banyak aktivitas yang terjadi pada setiap harinya, mulai dari pembakaran, pengupasan, beragam konsumen, dan aneka bumbu pendukung untuk makanan Pakkat ini. Melihat aktivitas para pedagang Pakkat di kota Medan, maka membuat penulis tertarik untuk meneliti.
Penulis mengambil lokasi penelitian tentang makanan Pakkat di kota Medan antara lain di Jalan Letda Sujono, Jalan. Sisingamangaraja, dan Jalan Denai.
Selain penelitian terhadap para pedagang Pakkat, penulis juga mengadakan observasi terhadap masyarakat yang berasal dari Mandailing yang tinggal di kota Medan. Pedagang Pakkat dan masyarakat Mandailing menjadi focks kajian dalam penelitian ini.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, menggunakan secara rinci mengenai Pakkat pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Selain melihat Pakkat sebagai makanan tradisional masyarakat Mandailing, juga melihat bagai mana pengetahuan mereka mengenai gizi yang terdapat pada Pakkat tersebut, maka konsep ini sejalan dengan konsep dari Goodenough (1970:101)
―Ketika berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian
merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah tujuan dari menguraikan suatu budaya. Ada banyak hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan
konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.‖
Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode kualitatif lebih tepatnya menggunakan pendekatan fenomenologis.
Berdasarkan pada kenyataan lapangan. Teknik dalam mengumpulkan data yang akan digunakan oleh peneliti adalah:
1.6.1. Observasi
Dalam penelitian ini penulis mendatangi lokai penelitian, melihat aktivitas yang terjadi di lapangan serta mengamati berbagai kegiatan yang selama ini dikerjakan baik informan maupun para pembeli ataupun masyarakat setempat. Selain itu penulis juga mengamati bagaimana bentuk dari Pakkat tersebut, bagaimana cara mengolahnya, apa saja peralatan yang digunakan dalam membakar Pakkat. Semua dilakukan dalam observasi yang dilakukan penulis guna mendapatkan data lapangan yang akurat.
1.6.2. Wawancara
Dalam penelitian ini penulis juga melakukan teknik wawancara, diman penulis mewawancarai para pedagang dan masyarakat Mandailing, guna mendapatkan informasi yang jelas guna menambah data informasi dalam penelitia yang dilakukan oleh penulis.
1.6.3. Dokumentasi
Dalam penelitian ini penulis mendokumentasikan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh informan, bahkan penulis juga mendolumentasikan Pakkat, alat yang digunakan dalam membakar Pakkat, alat apa saja yang digunakan dalam memotong Pakkat, kemudian kegiatan membakar Pakkat, dan memotong Pakkat selama di lapangan didapati oleh penulis sendiri, disamping itu penulis juga mendkumentasikan hasil wawancara dalam bentuk rekaman yang diperoleh dari iniforman.
ABSTRAK
Halimah R agustria Nim 120905055 Skripsi ini berjudul Pengetahuan Masyarakat Mandailing Dalam Mengolah Pakkat Studi Etnofood Pada MASYARAKAT Mandailing di Jl Letda Sujono Medan. Dengan jumlah halaman 125 dengan 1 tabel dan 7 Gambar serta 8 dokumentasi pribadi
Setiap mahkluk hidup memerlukan makanan, dimana fungsi dari makanan itu dapat berpengaruh didalam tubuhnya. Selain member pengaru makanan juga dapat memberikan rasa pengetahuan, nilai budaya, nilai seni, symbol, dan kearifan local dari sebuah suku bangsa yang menjadikannya popular dan banyak berkembang hingga saat ini.seiring perkembangan nya waktu makanan kini sudah berubah wujud bukan hanya menjadi sebuah kebutuhan atau pun nutrisi. Saat ini makanan telah berkembang menjadi salah satu gaya hidup bagi masyarakat. Selain sebagai gaya hidup makanan juga saat ini menjadi sebagai jati diri suku bangsa, terutama pakkat. Pakkat dikenal sebagai makanann yang berasal dari mandailing dan kebanyakan yang mengkonsumsi pakkat ini adalah orang dewasa, serta kehadiran pakkat pun sangat sulit untuk dijumpai pada hari biasa.
Proses penelitian yang dilakukan menggunakan metode etnografi yang bertujuan mendeskripsikan secara utuh dan menyeluruh mengenai pakkat 9 pucuk rotan) pada masyarakat Mandailing, dengan menggunakan pendekatan observasi dan wawancara terhadap masyarakat Melayu Hamparan Perak. Dalam proses pengumpulan data lapangan yang dilakukan, peneliti menemui beberapa informan yang mengetahui seluk-beluk pembuatan dan pengetahuan mengenai khasiat dari pakkat tersebut di Kota Medan.
Penelitian ini mendapatkan data lapangan bahwa pakkat merupakan makanan khas mandailing yang banyak diyakini dapat membuat yang memakan pakkat ini memiliki selera makan yang tinggi. Selain itu pakkat juga dapat membantu mengurangi berbagai jenis resiko seperti jantung, asam urat, masuk angin, diare, gula. Dan masih banyak lagi khasiat dari pakkat ini. Selain itu biasanya yang mengkonsumsi pakkat ini kebanyakkan adalah kalangan orang dewasa yang sudah terbiasa mengkonsumsi pakkat guna menambah selera makan. Kata Kunci : Etnofood, Simbol, Masyarakat Mandailing, Pengetahuan
PENGETAHUAN MASYARAKAT MANDAILING DALAM MENGOLAH