• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat Penuh Cinta

Dalam dokumen Sosok Nabi Penuh Cinta (Halaman 73-77)

Muhammad Saw. sangat mencintai semua manusia. Beliau mengajarkan pada umat manusia bagaimana cara mencintai sesamanya dan mengukuhkan cinta antar sesama.

Rasulullah bersama para sahabat dan kaum mukmin lainnya berhijrah dari masyarakat kafir Makkah menuju Madinah demi mempertahankan akidah mereka. Di Madinah, mereka mendapatkan sambutan yang hangat. Rasulullah pun berinisiatif menghilangkan perasaan terasing dalam diri kaum Muhajirin –yakni mereka yang berhijrah meninggalkan sanak saudaranya-. Beliau pun berniat menumbuhkan perasaan kebersamaan dalam diri kaum Anshar -yakni masyarakat Madinah yang membantu kaum Muhajirin-. Rasulullah lalu memberikan nilai lebih dari makna persaudaraan yang selama ini dipahami hanya saudara sedarah atau

senasab. Rasulullah membuat model persaudaraan seiman, seagama dan seakidah. Persaudaraan karena Allah, yang menciptakan semua makhluk. Rasulullah menjadikan setiap orang dari kaum Anshar menjadi saudara dari tiap individu dari kaum Muhajirin, dan menjadikan setiap orang dari kaum Muhajirin menjadi saudara dari tiap individu dari kaum Anshar. Setiap dari mereka mendapatkan saudara baru untuk kemudian mendapatkan hak dan kewajiban layaknya saudara kandung.

Dengan kekuatan cinta yang ditanamkan oleh Rasulullah pada diri kaum muslimin, tiap individu dari kaum Muhajirin maupun Anshar berlomba untuk memberikan yang terbaik bagi saudaranya. Masing-masing mereka memberikan saudaranya apa yang mereka miliki. Setiap dari mereka siap berkorban demi saudara tercintanya. Setiap dari mereka siap mewujudkan impian saudaranya, bahkan dari mereka saling berjanji, “Darahku adalah darahmu! Kehancuranku adalah kehancuranmu! Kelak kau mendapatkan warisanku dan aku pun mendapatkan warisanmu.”

Kaum Muhajirin hanya menginginkan tempat berteduh dan makanan secukupnya. Namun kaum Anshar meminta Rasulullah Saw. untuk membagi rata harta yang mereka miliki untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Rasulullah menolak permintaan kaum Anshar, demikian pula kaum Muhajirin. Baik Rasulullah maupun kaum Muhajirin menolak untuk terus bergantung pada kaum Anshar. Mereka sudah cukup merasa bahagia kaum Anshar menerima mereka dengan baik.

Inilah yang dinamakan berlomba mengejar cinta, berlomba dalam memberi, berlomba untuk bisa mencurahkan semua yang dimiliki, berlomba untuk bisa saling berkorban.

Sa’ad bin Rabi’ adalah salah satu orang terkaya di Madinah. Ia berusaha menyenangkan saudara barunya, Abdurrahman bin Auf dengan mengatakan kepadanya, “Aku adalah orang yang paling kaya di kaum Anshar. Aku telah membagi hartaku untukmu. Aku pun memiliki dua orang istri. Lihatlah mana yang lebih kau sukai, hingga aku bisa menceraikannya dan menikahkannya denganmu!” Namun Abdurrahman menolak kebaikan saudaranya dengan santun dengan ucapannya, “Semoga Allah memberikan keberkahan untukmu, keluargamu dan hartamu!” Lalu dia bertanya, “Dimana letak pasar terdekat di sini?” Abdurrahman lalu beranjak menuju pasar Madinah untuk bekerja dan akhirnya ia pun mendapatkan hasil. Seiring berjalannya waktu, Allah melimpahinya dengan banyak keuntungan. Abdurrahman menikah dan mampu memberikan mahar kepada istrinya berupa harta yang banyak tanpa bergantung kepada harta saudaranya dari kaum Anshar.

Inilah yang dinamakan masyarakat penuh cinta. Masyarakat di mana Muhammad menumbuhkan kasih sayang dan persaudaraan, cinta dan kejernihan hati antara pendatang dan penduduk setempat, antara kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka semua akhirnya menjadi saudara yang satu. Setiap dari mereka memberikan pelayanan terbaik bagi saudaranya. Setiap dari mereka berusaha memberikan hal terbaik yang mereka miliki, dan mereka melakukannya dengan senang hati. Setiap dari mereka rela

berkorban, walau dengan nyawa, harta, waktu maupun tetesan darah demi saudaranya. Mereka pun akhirnya menjadi keluarga yang satu; satu dalam fisik dan hati yang dengannya mereka hidup bersama saudara dan para sahabatnya.

Muhammad telah merealisasikan satu bentuk cinta yang aplikatif dan membentuk persaudaraan di antara mereka secara realistis. Cinta yang ditumbuhkannya mampu membuahkan banyak kebajikan dan menghapus berbagai keburukan. Cinta tersebut mampu menghancurkan bukit cadas dan membuka banyak pintu. Cinta itu mampu membangun peradaban, membersihkan hati, membangkitkan jiwa, memperkuat hubungan dan menciptakan banyak keajaiban.

Muhammad mencintai setiap individu manusia hingga mereka pun mencintainya. Setiap individu yang mengenalnya mencintainya dengan tulus. Siapa pun yang pernah melihatnya pasti mencintainya. Siapa pun yang pernah mendengar namanya pasti mencintainya. Semua pihak mengakui cinta yang disebarkannya, bahkan pihak musuh pun mengakuinya.

Di kala Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi kembali dari tugasnya sebagai delegasi kaum Quraisy kepada kaum muslim dalam negoisasi perjanjian Hudaibiyah, ia memaparkan kepada kaumnya –yang pada saat itu masih tergolong musuh Rasulullah- akan cintanya yang mendalam kepada sesama. Ia mengungkapkan kepada mereka, “Wahai kaum Quraisy, aku telah mendatangi Kisra di kerajaannya, Kaisar di kerajaannya; Najasyi di kerajaannya, namun Demi Allah, aku belum pernah menemui seorang raja pun dalam kaumnya layaknya Muhammad dengan para sahabatnya. Ketika ia hendak berwudhu, para sahabatnya dengan sigap berlomba memberikan air wudhu, dan tidak ada selembar rambut pun yang jatuh kecuali mereka ambil. Mereka tidak pernah sekali pun memberikan salam terlebih dahulu, karena Rasulullah selalu mendahului mereka dalam memberi salam.”

Inilah yang dinamakan cinta. Cinta untuk semua, antara ayah dan anak, antara sesama saudara, antara sesama sahabat, guru dan murid, pemimpin dan yang dipimpin, antara jendral dan anak buah, yang tua dan yang muda, dan antara nabi dengan para sahabatnya. Inilah cinta yang hendaknya dibangun antar sesama manusia, antar sesama makhluk-Nya.

Cinta yang dibangun atas dasar saling memberikan ketenangan dan inisiatif, bukan atas dasar paksaan dan rasa takut, juga bukan atas dasar hawa nafsu dan pragmatisme belaka. Cinta yang dilandasi kejernihan hati nurani dan bukan hanya sekedar tutur kata lisan. Cinta yang mendatangkan kegembiraan dengan memberi dan memberi dan tidak pernah sekali pun menerima. Cinta yang membuat seseorang rela berkorban dan mengenyampingkan kepentingan pribadi.

Diriwayatkan bahwa kaum kafir menawan seorang dari kaum mukmin, yakni Zaid bin Datsnah. Mereka menyiksanya hingga Zaid menemui ajalnya. Di kala Zaid hampir menemui ajalnya, Abu Sufyan bertanya padanya, ‘Zaid, apakah kau ingin bila Muhammad sekarang menggantikan

posisimu dan kau bisa kembali ke keluargamu?’ Zaid menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan rela bila Muhammad ada pada posisiku menghadapi rintangan yang berat, sedang aku ada bersama keluargaku.’ Abu Sufyan terkejut mendengarkan jawabannya, lalu berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seorang pun mencintai saudaranya sebagaimana para sahabat Muhammad mencintai Muhammad.’ Kaum kafir lalu menambah siksaannya kepada Zaid hinga ia menemui ajalnya dengan penuh cinta dan keimanan.

Muhammad telah membuka pintu hatinya yang penuh cinta kepada para sahabatnya, serta mengalirkan darinya kasih sayang terdalam. Beliau mencintai sahabatnya dengan sepenuh hatinya dan mencurahkan segalanya untuk mereka. Beliau menjaga dan memberikan petunjuknya yang terbaik. Maka tak heran bila para sahabat pun mencintai mereka dan beriman pada ajaran yang dibawanya. Mereka pun berlomba mencurahkan segala yang mereka miliki, jiwa, raga dan harta demi menegakkan kebenaran; dan mereka melakukannya dengan senang hati. Mereka rela mendapatkan siksaan dan bahkan menghadang maut dengan gembira demi mendapatkan syahid di jalan-Nya dan kekekalan di surga-Nya bersama para rasul-Nya di bawah asuhan Tuhannya Yang penuh cinta; Yang merupakan sumber kehidupan, cinta dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dalam dokumen Sosok Nabi Penuh Cinta (Halaman 73-77)