• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemenuhan Kebutuhan Seksual Yang Mutualis

Dalam dokumen Sosok Nabi Penuh Cinta (Halaman 94-97)

Baik lelaki maupun wanita, keduanya adalah kenikmatan bagi masing-masing pasangannya, bahkan bisa dikatakan bahwa keduanya adalah puncak kenikmatan duniawi –kenikmatan jiwa dan raga- satu dengan lainnya. Atas dasar inilah, kedunya memiliki hak yang sama untuk bisa saling menikmati, baik itu kenikmatan jiwa dan kenikmatan raga dengan ukuran dan batasan yang sama, baik dalam memandang, berbicara, bercinta, kedekatan, sentuhan dan dalam berbagai aktivitas seksual lainnya.

Pemenuhan kebutuhan seksual adalah kebutuhan lelaki dan wanita secara bersamaan. Atas dasar inilah, maka lelaki memiliki hak untuk bisa menikmati kepuasan aktivitas seksualnya bersama istrinya. Demikian pula dengan wanita, ia memiliki hak untuk bisa menikmati kepuasan aktivitas seksualnya bersama suaminya. Tidak perlu malu dalam mengungkapkannya.

Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya,

ﺎَﻬَﺘَﺟﺎَﺣ ﻰﻀﹾﻘَﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﹶﻞْﺒﹶﻗ ُﻪَﺘَﺟﺎَﺣ ﻰَﻀﹶﻗ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﱠﻢﹸﺛ ﺎَﻬﹾﻗّﺪَﺼُﻴﹾﻠﹶﻓ ُﻪﹶﻠْﻫﹶﺃ ْﻢﹸﻛُﺪَﺣﹶﺃ َﻊَﻣﺎَﺟ ﺍﹶﺫﹺﺇ

ﺎَﻬَﺘَﺟﺎَﺣ ﻰﻀﹾﻘَﺗ ﻰﱠﺘَﺣ ﺎَﻬﹸﻠّﹺﺠَﻌُﻳ ﹶﻼﹶﻓ

“Bila seorang dari kalian bersetubuh dengan pasangannya, maka ungkapkanlah kejujuran padanya. Bila ia telah mampu mencapai kepuasannya –atau coitus- sebelum pasangannya mencapainya, maka hendaknya ia tidak terburu-buru menyudahinya –dan ia tetap menunggu- hingga pasangannya mencapai kepuasan yang sama.”

(al-Hadits)

Permasalahan ini adalah permasalahan yang sangat penting dan umumnya tidak begitu diindahkan oleh banyak kaum lelaki. Banyak dari mereka –baik karena kebodohan, kelalaian ataupun keegoisannya, hanya memuaskan hasrat seksualnya belaka tanpa memperdulikan dan mengindahkan kepuasan pasangannya. Keinginannya seolah hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan seksualnya belaka tanpa memikirkan pemenuhan kebutuhan seksual pasangannya. Ia hanya menganggap wanita sebagai pemuas belaka dan seolah tidak memiliki perasaan ataupun kebutuhan seksual yang harus dipenuhinya sebagaimana dirinya. Ia beranggapan seolah kepuasan hanyalah haknya semata dan bukan hak bagi pasangannya. Dengan demikian ia seolah berpendapat bahwa apa yang dibolehkan untuknya tidak layak didapatkan pasangannya dan apa yang dihalalkan untuknya adalah halal untuk pasangannya.

Apakah seorang lelaki tidak mengetahui bahwa dengan melakukan kontak tubuh dengan pasangannya, berarti ia telah membangkitkan perasaan dan gairah seksual pada diri pasangannya? Lalu mengapa ia terlalu terburu-buru menyudahi aktivitas seksualnya padahal pasangannya belum merasakan kepuasan seperti yang dirasakannya? Mengapa ia tidak mau menunggu? Mengapa ia tidak memadamkan api yang telah

dinyalakannya pada diri pasangannya? Mengapa ia tega meninggalkan pasangannya di tengah jalan dan langsung tidur tanpa mempedulikan perasaannya? Mengapa ia meninggalkannya dalam keadaan gelisah dan berputus asa karena belum terpuaskan kebutuhannya, dan hal tersebut terus menghantuinya hingga pagi bahkan hingga hari berikutnya?

Wanita dengan segala tabiatnya adalah sosok pemalu, dan karenanya ia tidak akan mampu berterus terang akan apa yang dirasakannya kepada suaminya. Ia menyembunyikan semua deritanya dalam hatinya, ia menahannya seorang diri hingga kesemuanya itu mampu menggerogoti kebahagiannya dan mempengaruhi segala tabiat dan perilakunya terhadap suaminya, anak-anaknya dan semua yang berinteraksi dengannya tanpa seorang pun bisa mengetahui penyebabnya secara pasti.

Lebih dari itu, bahkan karena ketidakpuasannya tersebut, wanita pun menjadi rentan mengalami frigiditas. Ia menjadi benci untuk bisa bersetubuh secara totalitas, kontak tubuh yang dilakukannya adalah kontak tubuh yang tidak akan menghasilkan anak, ataupun gairah seksual, kontak tubuh yang memendam kegagalan dan keterputusasaan. Ia pun menjadi sangat sulit untuk berinteraksi dengan kaum lelaki dan terkesan ia banyak menyulitkan siapapun yang ingin dekat dengannya. Ia menjadi begitu merendahkan kaum lelaki dan di kala syetan mampu menjerumuskannya, tak jarang ia bisa menjadi pengkhianat cinta, berselingkuh dengan lelaki lain selain suaminya yang akhirnya semuanya itu berujung pada kehancuran rumah tangga dan bahkan masyarakatnya. Ia telah menodai agama dan etika moralnya.

Atas dasar itulah, Rasulullah mewajibkan setiap lelaki untuk bisa memuaskan pasangannya sebagaimana mereka mampu mendapatkan kepuasan dari pasangannya, untuk memenuhi segala gelora jiwa pasangannya sebagaimana mereka mampu mendapatkan kepuasan atas gelora jiwa dari pasangannya. Hendaknya setiap lelaki tidak mendahului kepuasannya dari kepuasan pasangannya. Hendaknya ia tidak menyodorkan potongan daging kepadanya bila ia memang tidak berniat memberinya, jangan menawarkan potongan roti kepadanya bila memang ia tidak berniat menghadiahkannya, dan jangan membuka nafsu makannya bila hanya akan membuatnya kelaparan. Dengan demikian, bila seorang lelaki telah mendapatkan kepuasan seksualnya dan pasangannya belum mendapatkan kepuasan yang sama, maka hendaknya ia tetap melanjutkan aktivitas seksualnya dan mengikuti aturan mainnya hingga pasangannya mampu mencapai kepuasannya. Dengan demikian, maka satu sama lain sama-sama mampu memenuhi kebutuhan seksual yang sama dan bisa saling berbagi cinta dan kasih secara mutualis. Keduanya mampu memenuhi gairah hasrat seksual dan mencapai kepuasan –coitus- secara bersamaan yang akhirnya melaraskan langkah mereka sebagai suami istri yang saling berbagi kebahagiaan dalam hidup.

Walau dengan berbagai kesibukan dan tanggung jawab yang mendera, dan memiliki berbagai permasalahan umat yang harus dipecahkan, namun Rasulullah tetap menjadi sosok yang paling lemah lembut kepada istrinya.

Beliau selalu menampakkan wajah yang ceria di hadapan istri-istrinya. Beliau pun selalu konsisten mengunjungi semua istrinya di pagi dan sore hari dan berusaha membantu memecahkan permasalahan hidup yang mereka miliki. Beliau selalu ikut serta bercanda ria dengan istrinya. Bahkan tak segan membantu pekerjaan rumah. Beliau ikut membersihkan rumah dan membantu istrinya; serta menyeru kepada para sahabat untuk meneladaninya dalam hal tersebut, yakni dalam membantu istri dan melayaninya dalam pelbagai permasalahannya.

Rasulullah Saw. bersabda,

ﹲﺔﹶﻗَﺪَﺻ َﻚَﺘَﺟْﻭَﺯ َﻚُﺘَﻣْﺪﺧ

“Melayani istrimu adalah sedekah.” (al-Hadits)

Sungguh! Pernikahan adalah ikatan intregatif, jiwa dan raga, akal dan pikiran, materi dan non-materi. Pernikahan adalah ikatan untuk bisa saling tolong-menolong, ikatan saling membantu dalam segala hal. Dengan demikian, sudah selayaknya tiap suami atau istri tidak ragu membantu apa yang bisa dilakukannya dan memberi apa yang dimilikinya, baik itu berupa harta maupun jasa, baik itu berupa bantuan, nasihat ataupun sekedar semangat, lirikan, sentuhan mesra, pandangan menghargai atau senyuman manis. Masing-masing pihak hendaknya mampu memberikan yang terbaik, karena satu dengan lainnya saling melengkapi, baik itu melengkapi keluarga, masyarakat dan juga kehidupan manusia secara global.

Keluarga adalah pondasi utama dari struktur masyarakat. Kebahagiaan masyarakat tergantung pada kebahagiaan dalam keluarga. Atas dasar itulah, Rasulullah memerintahkan tiap individu untuk bisa memecahkan segala permasalahan keluarga –baik itu yang tersurat dan tersirat, yang umum dan khususnya, yang berhubungan dengan jiwa dan raga, yang berhubungan dengan permasalahan agama ataupun dunia- dan memperbaiki interaksi antar anggotanya. Rasulullah memerintahkan tiap individu untuk bisa memperjelas semua hal yang samar dengan penuh transparansi walau hal tersebut menyakitkan. Beliau pun menganjurkan untuk bisa memecahkan segala masalah yang muncul. Semua itu demi kebahagiaan masing-masing individu, lelaki maupun wanita, yang berujung pada kebahagiaan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, maka setiap individu masyarakat akan mampu meningkatkan produktivitasnya demi kemajuan bersama dan demi kebahagiaan di dunia dan akhirat hingga Allah meridhai semua aktivitas hamba-Nya dan memberikan hamba-Nya limpahan cinta dan kasih sayang-Nya, menggandakan kebajikan serta memasukkan hamba-Nya ke dalam rahmat dan ampunan-Nya.

Dalam dokumen Sosok Nabi Penuh Cinta (Halaman 94-97)