• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PESANTREN

B. Masyarakat Perdesaan Pesisir dan Pedalaman

1. Masyarakat Perdesaan Pesisir

Masyarakat perdesaan pesisir lebih dicirikan sebagai masyarakat nelayan. Karena, mereka hidup sehari-hari sangat bergantung pada hasil tangkapan ikan di laut. Pollnac membedakan nelayan ke dalam dua kelompok. Yakni, nelayan besar (large scale fisherman) dan nelayan kecil (small scale fisherman)80. Pembedaan ini berdasarkan respons untuk mengantisipasi tingginya risiko dan ketidakpastian. Nelayan skala besar dicirikan oleh besarnya kapasitas teknologi penangkapan, atau jumlah armada dimana mereka lebih berorientasi pada keuntungan (profit

oriented). Mereka melibatkan buruh nelayan sebagai Anak Buah Kapal

(ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks. Sedangkan nelayan skala kecil dicirikan sebaliknya. Yakni, kapasitas teknologi penangkapan, jumlah armada, dan tenaga yang minim. Serta, beorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (pribadi).

Sedangkan Satria menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi. Empat tingkatan tersebut adalah peasant fisher, post peasant fisher, commercial

fisher, dan industrial fisher81.

79 Kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi oleh Hinduisme India yang membawa sistem kasta. Namun sesudah itu, tampak perbedaan mendasar antara kedua masyarakat tersebut. Ketika ciri kebudayaan India masuk ke Jawa, orang Jawa mengambilnya dengan sangat seletif, serta menolak sistem kasta yang berdasar oposisi-oposisi, lebih suka mengambil jalan tengah (Laksono menyebut Paradoksal). Hasilnya, meskipun menerima Hinduisme, kebudayaan Jawa tidak dapat menerima sistem Kasta, dan juga masyarakat Jawa berlapis-lapis namun tidak herarkhis. PM. Laksono, Tradisi…, viii

80 Pollnac dalam tulisan Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2009), 384

Tingkat pertama yakni peasant fisher atau nelayan tradisional. Mereka biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistensi). Sebutan ini muncul karena alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan), dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Umumnya, mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti dayung atau sampan. Mereka juga tidak bermotor, dan umumnya masih menggunakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.

Tingkat kedua adalah post peasent fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh. Juga, memungkinan mereka memeroleh surplus dari hasil tangkapan itu karena memunyai daya tangkap yang lebih besar. Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi pada wilayah pesisir. Namun pada tipe ini, nelayan sudah mulai berorientasi pasar. Tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak tergantung pada anggota keluarga.

Tingkat ketiga yang disebut commercial fisher. Yaitu, nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah membesar yang dicirikan dengan besarnya jumlah tenaga kerja dan status yang berbeda dari buruh hingga manajemen. Teknologi yang digunakan juga lebih modern, namun membutuhkan keahlian sendiri baik dalam mengoperasikan kapal maupun alat tangkap.

Tingkat keempat adalah industrial fisher atau nelayan industrial. Ciri utamanya adalah: (a) diorganisir dengan cara-cara mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju, (b) secara relatif lebih padat modal, (c) memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan (d) menghasilkan ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

Tabel 2.1.

Penggolongan Nelayan Berdasarkan Karakteristik Usaha

Jenis Orientasi Ekonomi dan Pasar Tingkat Teknologi Hubungan Produksi Usaha Tradisional Subsistensi,

rumah tangga Rendah

Tidak hirarkhis, status terdiri dari pemilik dan Anak Buah Kapal (ABK) yang homogen Usaha Post-Tradisional Subsistensi, surplus, rumah tangga, pasar domestik Rendah Tidak hirarkhis, status terdiri dari pemilik dan Anak Buah Kapal (ABK) yang homogen Usaha Komersial Surplus, pasar domestik, ekspor Menengah Hirarkhis, status terdiri dari pemilik, manajeman, dan Anak Buah Kapal (ABK) yang heterogen Usaha Industrial Surplus, ekspor Tinggi Hirarkhis, status terdiri dari pemilik, manajeman, dan Anak Buah Kapal (ABK) yang heterogen Sumber: Satria 2009

Problem yang dihadapi antara nelayan tradisional dengan yang industrial sangat berbeda. Akan tetapi, secara umum para nelayan tersebut memiliki problem yang sama terkait dengan pasar, manajemen

usaha dan sumber daya, teknologi, hukum, organisasi sosial, dan sikap mental. Meskipun kedalamannya bisa berbeda-beda. Keterbatasan pasar serta manajemen dan teknologi menjadi kendala utama dalam pembudidayaan ikan. Namun, tidak bisa dilepaskan dari hak kepemilikan (property right) sumber daya. Sehingga, terjadi konflik antara pembudidaya dengan nelayan berkaitan dengan alokasi sumber daya. Nelayan yang sudah berpuluh-puluh tahun menangkap ikan di suatu area, kemudian atas nama kepentingan investasi harus “tergusur” dan pindah ke wilayah tangkap lain. Nelayan sudah terlanjur menganggap bahwa wilayah tersebut secara de facto miliknya. Meskipun secara de jure belum ada pengakuan hingga saat ini. Menurut Ostrom (1990) nelayan tersebut sudah tercerabut access, with-drawal,

management, dan exclusion rights-nya82. Selain itu, degradasi lingkungan laut dan pesisir, serta pencurian ikan oleh kapal-kapal asing83, menjadikan nelayan lokal semakin sulit mencari ikan. Bila sudah demikian, yang dirugikan tidak hanya negara melainkan juga nelayan lokal.

Masyarakat pesisir sering mengalami kelemahan bargaining

position dengan pihak-pihak lain di luar kawasan pesisir. Sehingga,

mereka kurang memiliki kemampuan mengembangkan kapasitas diri dan organisasi atau kelembagaan sosial yang dimiliki sebagai sarana aktualisasi dalam membangun wilayah. Bahkan, bisa terjadi kemiskinan. Untuk mengatasi berbagai problem tersebut, salah satu strategi yang ditempuh adalah dengan membangun dan memperkuat kelembagaan sosial yang dimiliki, atau yang ada pada masyarakat, dan mengembangkan kualitas SDM dengan jalan meningkatkan wawasan pembangunan dan keterampilan ekonomi masyarakat84.

Kini, banyak masyarakat pesisir lebih berdaya dan tidak hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan laut. Banyak di antara mereka

82 Ostrom dalam tulisan Arif Satria, Ibid, 387.

83 Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Alam, (Yogyakarta:LKIS, 2006), ix

84 Tim Pemberdayaan Masyarakat Pesisir PSKP Jember, Strategi Hidup Masyarakat

kemudian membuka lahan tambak, mengolah ikan menjadi berbagai bahan makanan, dan berdagang. Terlebih dengan dikelolanya wisata laut secara moderen oleh pemerintah dan pengusaha. Misalnya pengembangan Tanjung Kodok di Pantai Paciran menjadi Wisata Bahari Lamongan (WBL) yang disertai paket wisata gua, kebun binatang, dan wisata ziarah. Banyak sektor perekonomian baru yang bisa dimasuki oleh masyarakat pesisir, misalnya jasa dan kantin. Masyarakat juga bisa memproduksi berbagai olahan makanan dan minuman khas, kerajinan, dan sebagainya.