• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah membaca uraian bab ini diharapkan peserta didik dapat:

C. Teknik Pengumpulan Data (Koleksi Data)

Penelitian dimulai dari ketertarikan peneliti terhadap dinamika pesantren Muhammadiyah dan Nahlatul Ulama di Pantai Utara Kabupaten Lamongan pasca-reformasi. Di kawasan ini, banyak pesantren yang berkembang secara pesat dilihat dari bangunan dan jumlah santrinya. Namun, ada pula yang tidak mengalami perkembangan yang signifikan.

Fenomena yang terjadi di pesantren Al Islam Tenggulun, misalnya. Pesantren ini dikenal berperhatian besar dalam berdakwah dan mendidik para santri, namun justru tidak mengalami perkembangan yang berarti. Bahkan, justru mendapat musibah. Kegelisahan KH. Khozin (pesantren Al Islam) terjadi sejak peristiwa Bom Bali 1 pada 12 Oktober 2002230. Sejak itu, pesantrennya sering diusik oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, terutama di malam hari.

Orang tersebut memperhatikan pesantren Al Islam, namun ketika dikejar oleh para santri ternyata menghilang di persawahan dan hutan. Ada yang berubah menjadi kucing, namun ada juga yang berubah menjadi burung. Kegelisahan tersebut terus berlangsung ketika adiknya yakni Amrozi ditangkap di rumah, kemudian Ali Ghufron dan Ali Imron. Bahkan kedua adiknya yakni Ali Ghufron dan Amrozi akhirnya dieksekusi mati. Sedangkan Ali Imron dihukum seumur hidup karena terlibat pengeboman gereja di Mojokerto.

Kekhawatiran KH. Khozin bukan semata-mata karena adiknya. Melainkan pesantren Al-Islam yang kini sedang diasuh menyangkut keberlanjutan dan perkembangan pesantren ke depan. Padahal menurut beliau, tidak ada keterkaitan antara adiknya dengan pesantren.

Kekhawatiran seperti ini kemudian peneliti coba menggali informasi pada kalangan para kiai dan pengurus Muhammadiyah dan

230 Bom Bali terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di Kute Bali, Indonesia, mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209, kebanyakan merupakan

Nahdlatul Ulama yang ada di sekitar pesantren. Termasuk reaksi dan tindakan mereka terhadap peristiwa tersebut.

Di sisi lain, di sekitar pesantren terutama di kawasan pesisir Paciran, sedang dikembangkan kawasan industri pariwisata dan pelabuhan internasional. Dalam hal ini, para pemilik kapital (asing maupun dalam negeri dari luar Paciran dan Solokuro) melalui Pemerintah Kabupaten Lamongan yang juga memiliki kepentingan berusaha menguasai lahan-lahan sawah penduduk di kawasan tersebut yang berdekatan dengan area pesantren.

Di sinilah, terjadi tarik menarik kepentingan antara pesantren dengan pemilik kapital dan pemerintah. Terutama terkait pemilikan lahan-lahan tanah. Pesantren membutuhkan perluasan tanah dalam rangka pengembangan area pesantren dan berbagai usaha pesantren. Sedangkan para pemilik kapital dan pemerintah juga berusaha memiliki lahan untuk membuka dan mengembangkan kawasan industri.

Untuk bisa membeli lahan, para pemilik kapital mengalami kesulitan bila langsung ke penduduk. Karena itulah, melalui pemerintah sebagai penguasa teritorial, dan mengingat masyarakat Paciran sebagai masyarakat santri, maka pemerintah tidak bisa secara langsung ke penduduk. Tetapi, membutuhkan bantuan kiai sebagai tokoh yang berpengaruh.

Sudah tentu tidak semua kiai menerima tawaran pemerintah dan para pemilik kapital. Di sini lah diperlukan musyawarah antar- kiai. Dalam hal ini, peran bupati Lamongan sangat dibutuhkan untuk mengundang para kiai bermusyawarah. Hasil musyawarah kiai inilah yang dijadikan dasar penjelasan ke masyarakat tentang pentingnya kehadiran industri pariwisata dan pelabuhan internasional, beserta kebijakan yang ditempuh agar nilai-nilai religius tidak terkalahkan.

Masyarakat setempat juga menyadari tarik menarik tersebut, sehingga ada yang mempertahankan tanahnya untuk tidak dijual. Tetapi, tidak sedikit yang bersedia menjual tanahnya terutama yang di kawasan tandus dan lereng pegunungan di Desa Kemantren dengan harga yang semakin tinggi.

Sebagai gambaran, dulu sebelum ada pengembangan industri pariwisata dan pelabuhan internasional, harga tanah hanya senilai Rp 50.000 per meter persegi. Tapi kini, sudah mencapai Rp 1.000.000 per meter persegi. Bagi para pemilik kapital, nilai tersebut masih terjangkau, namun bagi pesantren sangat berat.

Padahal sebelum ada pengembangan kawasan industri pariwisata dan pelabuhan internasional, banyak penduduk yang mewakafkan tanahnya ke pesantren. Kalau membeli masih dengan harga yang murah, kini tidak lagi demikian. Sebab, pesantren harus membeli dengan harga yang tinggi. Konteks seperti ini sudah tentu memiliki pengaruh terhadap dinamika pesantren. Sehingga, perlu dikaji lebih mendalam.

Teknik pengumpulan data dalam studi ini diawali dengan observasi secara terfokus terhadap interaksi antara agen (kiai) dengan stuktur (aturan dan sumber daya pesantren) sehingga mendorong terjadinya dinamika pesantren, sistem kehidupan, dan perilaku masyarakat perdesaan. Khususnya dalam kehidupan sosial, religius, dan ekonomi baik di dalam maupun di sekitar pesantren.

Beberapa tempat yang diobservasi antara lain di pesantren, tempat pengajian, masjid atau musala, tempat bekerja, dan tempat melangsungkan kehidupan sosial khususnya di kawasan pesisir. Yakni di desa Paciran, Sendangagung, Tunggul, Kranji, Banjaranyar, Banjarwati dan Weru. Selain itu juga di kawasan pedalaman, yakni desa Tenggulun dan Payaman.

Observasi dilakukan sewaktu masyarakat beribadah di tempat-tempat ibadah, istirahat, maupun pertemuan-pertemuan dalam pengajian agama yang diselenggarakan oleh pesantren dan kelompok pengajian Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam terhadap elite Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama seperti kiai dan pimpinan Muhammadiyah serta Nahdlatul Ulama, khususnya di kawasan pesisir (Paciran, Tunggul, Kranji, Banjaranyar, Banjarwati, Weru dan Sendang Duwur), dan kawasan pedalaman (desa Tenggulun dan Payaman).

Wawancara dilakukan sewaktu elite tersebut bekerja, sebelum/setelah beribadah, beristirahat, maupun sewaktu diselenggarakan pengajian agama yang diselenggarakan oleh pesantren dan kelompok pengajian Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Hasil wawancara dengan kiai dapat memperkuat informasi interaksi agen (kiai) dengan stuktur (aturan dan sumberdaya pesantren sehingga mendorong dinamika pesantren, juga konstribusi kebijakan pemerintah (tentang penyelenggaraan pendidikan di pesantren dan pengembangan kawasan industri pariwisata dan pelabuhan internasional di pantai utara Kabupaten Lamongan terhadap dinamika pesantren.

Dari wawancara terhadap elite Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama diperoleh tanggapan terhadap dinamika pesantren. Hasil wawancara juga memperkuat informasi mengenai makna dinamika pesantren bagi elite Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Lamongan, terutama di kawasan pesisir dan pedalaman. Termasuk perbedaan pemaknaan di antara elite Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama baik di kawasan pesisir maupun pedalaman beserta sebab-sebabnya.

Sebagai pendukung, dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan teknik dokumenter baik melalui peliputan langsung terhadap faktor kehidupan masyarakat santri di pesantren, dan lingkungan kehidupan masyarakat perdesaan di Kecamatan Paciran dan Solokuro di Kabupaten Lamongan. Maupun peliputan secara tidak langsung dari dokumen pemda Kabupaten Lamongan, khususnya Kantor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Agama Kabupaten Lamongan, serta Kantor Kecamatan Paciran dan Solokuro. Dokumen tentang lembaga pendidikan dan pesantren di Kecamatan Paciran dan Solokuro, termasuk faktor demografis dan sosial-ekonomi, serta kehidupan keagamaan.